NovelToon NovelToon

Little Angel

Pertemuan Pertama

Dewa baru saja keluar dari sebuah club bersama teman kencannya saat bertemu seorang gadis remaja yang tengah celingak celinguk di sekitar parkiran Club tepat disamping mobilnya. Gadis itu masih mengenakan seragam lengkap dan memakai tas ransel berwarna kuning cerah motif polkadot.

"Lo ngapain?"

Gadis remaja itu menoleh, menatap sesaat Dewa dengan tatapan menyelidik lalu pada gadis yang tengah di rangkulnya. Ia bergidik ngeri membuat Dewa sedikit tersinggung. Apa maksudnya cobak?

"Om-om mesum!" Semprot gadis remaja itu lalu pergi begitu saja.

Dewa melongok, itu tadi apa-apaan? Dewa kehilangan kata-kata walaupun hanya untuk sekedar mengumpat. Yang benar saja dong, masa ia di semprot tuyul sih?

"Siapa, sayang?" perempuan dalam pelukannya menatap padanya dengan sorot penasaran.

Dewa mengedikkan bahu, "Tuyul lepas kalik." Ucapnya asal lalu keduanya melanjutkan tujuan awal mereka yaitu sebuah motel yang tak jauh dari club tersebut.

Tanpa mereka sadari, saat itulah Mr.cupid memanahkan jeratnya kepada keduanya. Please lah, takdir tidak sebercanda itu. Semua yang terjadi pada alasannya termasuk pertemuan tak sengaja antara Dewa dan gadis kecil yang disebutnya tuyul lepas tersebut.

***

"DEWAAAAAA BANGUUUUN!"

BYUUUUUR!

"Kebakaran... kebakaran..." Dewa terduduk kelimpungan.

BUKK!

"AW!" Dewa memegang kepalanya yang baru saja di pukul pakai gayung oleh-- "Nenek?"

Nenek Ida berkacak pinggung, "Iya. Memangnya nenek siapa lagi? Ya Tuhaaaaaan... ampun nenek punya cucu tidak berguna seperti kamu, Dewa. Percuma mama dan bapak kamu memberi nama Dewa kalau kelakukan kamu seperti iblis begini. Pulang-pulang mabok, bau perempuan. Ya Tuhaaaaan ampuniiii saya." Nenek Ida menggeleng frustasi melihat kelakuan cucu satu-satunya yang sama sekali tidak membanggakan.

Dewa melongos. Setiap hari seperti ini. Nenek kesayangannya ini akan selalu mengomel dengan topik dan kalimat yang sama sampai ia bosan mendengarnya. Untung saja ia sayang setengah mati sama nenek dengan dandanan kece badai ala sosialita ini, kalau tidak, mungkin sudah di titip ke panti jompo untuk meramaikan suasana disana.

"Ck nenek gak pengertian bangat sama cucu. Dewa baru pulang dari hutan nek, ketemunya monyet dan sebangsanya. Jadi wajarlah kalau libur gini seneng-seneng." Dewa membela diri. Wajah kantuknya hilang sudah setelah disiram segayung air dari nenek kesayangannya ini. Semalam ia gagal bersenang-senang dengan partner ONS gara-gara tuyul yang sayangnya manis itu membuat ulah. Meneriakinya penjahat kelamin hanya karena tidak sengaja salah masuk kamar yang sudah di pesannya untuk skidipkapkap. Oke, salahnya juga karena terlalu banyak minum sampai-sampai tidak bisa membedakan angka enam dan sembilan tapi tetap saja, gagal on membuat kepalanya semakin pusing. Nah, yang menjadi misteri sampai sekarang adalah ngapain tuyul manis itu di tempat sejenis motel remang-remang? Kalau melihat tampang lugu polos dan tak berdosanya, mustahil dia juga seorang bi*ch seperti pasangan-pasangan in Crimenya. Kecuali kalau istilah don't judge a book by its cover benar adanya.

BUK!!!

"AWWWW!" Dewa tersadar dari pikirannya tentang semalam saat lagi-lagi gayung berwarna merah itu kembali mampir di kepalanya.

"Cepat siap-siap!"

"Siap-siap kemana?"

"Berdoa dewaaaa. Ya tuhaaaan kamu lupa ini hari apa?" Nenek memijat pelipisnya sudah tidak sanggup lagi menghadapi cucu bandelnya ini.

"Hari raya?" Tanya Dewa bego.

Nenek menghela nafas panjang. Sebagai seorang nenek-nenek dengan riwayat penyakit jantung, nenek Ida termasuk beruntung karena tidak mati menghadapi kelakuan cucunya. Puja Dewa Khrisna.

"Cepat siap-siap. Nanti kalau sudah di tempat, kamu tau sendiri." Ujar Nenek akhirnya. Ia menyerah, menyerah ya Tuhaaaaan. Kasihanilah nenek tua ini. Tidak bisakah ia menukar Dewa pada tukang loak? Setidaknya hidup cucu ganteng yang sayangnya bandel ini tidak sia-sia.

Dewa menggerutu, "Doa lagi, doa lagi." Tentu saja ia mengucapkan itu setelah sang nenek keluar dari kamarnya.

"Anjiiiiir bukannya basah gara-gara mimpi skidipkapkap, kasur gue malah basah air bekas cucian beras. Sial sekali Dewa." Dewa menatap frustasi kasurnya yang basah padahal baru digantinya kemarin sore.

Kerjaan lagi, kerjaan lagi.

.

.

.

Dewa menghampiri nenek Ida yang tengah asik menelpon dengan seseorang. Lihatlah, neneknya itu terlalu kuat untuk seseorang yang katanya kemarin masuk rumah sakit gara-gara jantungnya kumat memikirkan jodoh cucunya. Cibiran halus lolos dari bibir Dewa, Drama Queen wanna be sekali. Hebat juga kakek Rian bertahan dengan kembaran nek lampir ini. Big applause lah buat kakek yang sudah di nirwana.

"Nek, katanya mau doa. Kok malah ngobrol?"

Nenek yang merasa terganggu mendelik sebal. Tapi saat mendengar suara di balik telfon senyumnya langsung mengembang.

"Oh, ini jeng, cucu saya. Biasalah ngajakin sarapan bareng. Baik bangat loh jeng anaknya. Berbudi pekerti luhur."

"Uweeeek" Dewa berpura-pura menahan mual. Berbudi pekerti luhur apaan? Yang tadi saja masih terngiang-ngiang ditelingannya yang mengatainya jelmaan iblis. Pencitraan! Kali ini Ibu dari anak gadis malang mana lagi yang jadi korban? Cucu mantan mentri? Pemilik stasiun tv? Atau jangan-jangan Ibu Direksi? Dewa menggeleng pelan. Gue masih mau bebas kok dipaksa nikah. kawin kan lebih mudah. Itu sih gue ayok aja, dumelnya dalam hati.

"Iya jeng. Nanti kita atur. Baik, sampai bertemu di tempat biasa. See you, muaaach."

Dewa bergidik geli. Astaga bukankah neneknya sudah semakin parah?

"Mulut kamu ya, Wa. Untung Bu Kadek tidak dengar, bisa gagal jodoh kamu kalau sampai dia tau kelakuan aslimu." Nenek mulai lagi omelannya.

Dewa yang sudah kebal langsung menghempaskan pantatnya diatas sofa mahal yang kata neneknya langsung di pesan dari india.

"Katanya buru-buru mau doa. Malah telfonan."

Nenek mengibaskan tangan, "Nanti sore saja persembahannya. Sekarang antar nenek ke restoran Sky castle. Nenek mau ketemu calon besan." wajah nenek yang tadinya ganas langsung berubah cerah saat kata besan ia sebutkan.

Dewa memutar bola mata jengah, "Yang mana lagi nih?"

"Ada. Pokoknya nenek jamin kali ini bakalan jadi." Nenek meraih tas tangan Gucci miliknya lalu dengan kekuatan gajahnya menarik kerah baju Dewa agar berdiri. Dewa si cucu berbudi pekerti luhur tentu saja menurut apa kata nenek. Lagipula ia menjamin kali ini pasti gagal lagi Sebelum-sebelumnya. Biasanya penolakan dilakukan bukan karena Dewa jelek, kurang mapan, otak kotor dan sejenisnya tapi perjodohan gagal karena setiap gadis yang dijodohkan dengannya meminta hal yang sama yakni setelah menikah mereka menginginkan nenek Ida harus di pindahkan ke panti jompo. Dan tanpa berpikir dua kali Dewa mengakhiri perjodohan tersebut tanpa sepengerahuan sang nenek sebab bagi Dewa semenyebalkan apapun neneknya tetap saja ia adalah cinta matinya. Dewa tak akan pernah menukar neneknya dengan wanita cantik manapun. Dirinya memang pemuja wanita cantik tapi otaknya tetap waras untuk menomorsatukan sang nenek yang sudah merawatnya sejak kecil.

"Diantar aja kan,Nek? Dewa mau jalan sama Gibran."

"Kamu homo?"

Dewa yang sedang menyetir hanya melongok. Untung saja ia bukan tipe kagetan kalau tidak, Mereka yang sedang dalam kendaraan bisa saja mengalami kecelakaan gara-gara kalimat nenek ida barusan. Homo? Ya ampuuuun homo apaan kalau tiap malam masih tegak berdiri hanya karena melihat tumit kendall jenner. Heh!

"Nenek lupa, Gibran kan sudah menikah." Terang Dewa sabar. Umur tak akan pernah berdusta. Neneknya pasti mulai pikun.

Nenek terdiam sebentar, berusaha mengingat yang mana teman anaknya yang bernama Gibran itu.

"Yang ganteng itu? Yang kalau senyum kayak ada manis-manisnya?"

"Anjiiiiiiir si nenek genit amat yak. Tau aja barang bagus." Dewa sampai tak habis pikir mendengar definisi neneknya tentang Gibran.

"Taulah. Memang kamu, rongsokan."

Ya Tuhan. Dewa memegang dadanya dramatis, "Nek, yang tadi tuh kejam bangat." ucapnya dengan nada yang penuh dengan drama tersakiti.

"Alaaaah, memang benar kok. Ibaratnya kalian berdua itu langit dan bumi, Gibran langitnya, kamu inti bumi, tenggelam." Bukannya berhenti, nenek Ida malah menambah hinaannya.

Dewa semakin speechless, "Yang cucunya nenek itu sebenarnya siapa sih? Dewa apa Gibran?"

"Maunya sih Gibran." Jawab Nenek cepat tanpa berpikir sama sekali.

Dewa menghela nafas putus asa, menggelengkan kepala dramatis. Gini amat nasib gue yak, cucuk yang tak diinginkan. Udah kayak judul ftv azab aja.

"Au ah, Dewa ngambek." Dewa pura-pura cemberut. Ia melirik Neneknya yang tertawa renyah. Senyumnya pun mengembang. Begini saja sudah cukup untuknya. Melihat nenek bahagia seperti ini. Jika ada yang bisa menerima neneknya dengan hati terbuka dan bisa mencintai wanita tua itu sepenuh hati, Dewa rela menggadaikan hidupnya untuk mencintai gadis itu. Sayang sekali, sampai umurnya kepala tiga belum juga ada gadis seperti itu. Selama ini hanya wanita-wanita brengsek seperti dirinya yang ia temui. Terkadang ia takut memikirkan nasib asmaranya, kata Gibran laki-laki baik akan bersama perempuan baik. Jadi kalau yang brengsek seperti dirinya, apa mungkin mendapat wanita baik-baik? Dewa membelokkan mobilnya ke halaman restoran yang dimaksud neneknya dan seperti takdir memang sedang bermain-main, ia melihat tuyul kecil semalam yang baru saja keluar dari restoran dengan terburu-buru.

"Kamu boleh pergi sama Gibran tapi jangan sampai mabuk-mabukan."

"Ya?" Dewa yang sempat dibuat terpaku oleh sosok gadis kecil tadi menoleh pada neneknya.

Nenek melepas seatbelt lalu menghadap pada sang cucu, "Tobat. Nenek harap kamu bertobat. Liat Gibran, dia contoh yang baik untu kamu."

Dewa mengangguk, "Dewa berusaha, Nek." Katanya malas-malasan. Sulit mencontoh Gibran karena lelaki itu tidak memiliki hati dan nafsu. Untung saja ada Nadia yang terpaksa menikahinya kalau tidak, ia bisa menjamin kalau Gibran akan meninggal dalam keadaan perjaka dan itu sangat mengerikan.

"Peluk Nenek." Nenek merentangkan tangannya yang sudah sangat keriput menunggu sang cucu kesayangan, "Semoga kali ini ada gadis baik yang mau terima kamu apa adanya." ujar nenek sembari menepuk punggung Dewa.

Dewa mengangguk. Dalam hati ia memohon hal yang serupa. Semoga ada gadis baik yang bisa mencintai neneknya seperti ia mencintai sang nenek. Jika benar ada, Dewa tak peduli seburik apa rupanya, ia akan menjadikannya istri.

"Nanti Dewa telfon supir kantor untuk jemput nenek. Jangan naik taksi atau ojek. Nanti nenek hilang." Dewa melepas pelukan neneknya dan mengecup kening wanita tua itu, "Dewa sayang sama nenek."

"Nenek tahu."

Nenek dan cucu itupun melepaskan diri. Nenek turun dari mobil dan masuk kedalam restoran sedangkan Dewa sesuai rencana awal akan piknik ke pantai bersama Gibran dan istrinya serta para kampret lainnya tentu saja.

***

Dewa dengan panik menuju restoran sky castle dimana pagi tadi ia bawa neneknya. Ia baru pulang dari pantai dan saat tiba di rumah, tak ada orang disana. Bibi Ijah yang biasanya datang untuk menyiapkan malam tidak mengetahui keberadaan. Wanita paruh bayah itu tiba di rumah nenek dalam keadaan kosong, hanya ada pak satpam di gerbang depan yang berjaga.

Dewa menghubungi nomor neneknya berkali-kali tapi tidak aktif. Sialnya ia tidak memiliki nomor hp sahabat-sahabat gaul sang nenek sehingga ia tidak bisa bertanya pada siapapun.

"Mbak, tadi pagi ada arisan kan di resto ini?" Dewa menghampiri seorang pelayang yang sedang mengangkat piring bekas pelanggan.

"Maaf, kurang tau, Pak. Saya baru mulai kerja. Shift satu sudah selesai jam lima sore tadi."

Penjelasan pelayan resto itu membuat Dewa mengacak rambut putus asa. Kalau tidak di rumah dan di butik, lalu dimana neneknya?

Tanpa permisi Dewa keluar dari restoran dan kembali mencoba menghubungi sang nenek. Nomor hpnya masih belum aktif. Matanya melihat kesegala penjuru restoran dan jalanan berharap ada neneknya disalah satu tempat itu. Motor tua milik Gibran masih terparkir di depan pos satpam restoran.

"Pak, numpang tanya. Bapak liat nenek-nenek yang pakai baju hijau, rambut disanggul tinggi tadi?" Tanya Dewa pada satpam penjaga.

"Oh yang dandangannya nyentrik itu ya Pak?"

Dewa mengngguk cepat, "Iya yang itu. Bapak liat?"

"Baru sejam yang lalu perginya pak. Ada mobil avanza yang jemput sepertinya taksi online, pak."

"Taksi Online?" Dewa semakin panik. Neneknya itu meskipun tangkas tapi pikunnya suka kumat tiba-tiba. Bagaimana kalau neneknya kesasar? Bagaimana kalau ada orang yang menjahatinya? Nenek dimana sih? Kenapa juga dia harus singgah-singgah? Seharusnya setelah mengantar Jonathan, ia langsung pulang saja bukannya terjebak bersama cabe-cabean di pinggir jalan.

"Dewa bego!" Dewa mengusap wajahnya dengan kasar. Kalau sampai terjadi apa-apa, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Karena keegoisannya sekarang nenek hilang.

Drt... Drt...

Dewa segera mengangkat telfonnya saat nomor rumah tertera di layar.

"Halo Bi Ijah."

"Halo, Den, Nyonya sudah di rumah."

Dewa menghela nafas lega, "Syukurlah. Nenek baik-baik saja kan?"

"Sepertinya nenek habis di rampok, Den."

"Apaaaa? Di rampok?" Dewa menutup panggilan bibi cepat lalu menstater motor tua itu untuk kembali ke rumah. Siapapu yang berani menyentuh neneknya, maka ia akan menghabisi orang itu tanpa ampun.

Dewa melajukan motornya seperti orang yang kesetanan. Ia bahkan tak memperdulikan bunyi klakson kendaraan lain yang memperingatkannya karena melambung sembarangan. Yang ada di pikirannya adalah keadaan sang nenek. Siapa orang yang tega menyakiti wanita tua itu? Pegangan Dewa di setir motor mengencang. Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan keluarga satu-satunya yang ia miliki tersebut.

Pak Satpam bergegas membuka gerbang saat mendengar deru motor yang dikendarai Dewa.

"Pak, bawa di garasi." Ujar Dewa menyerahkan motor pada tukang kebun yang baru saja menyelesaikan pekerjaanya. Ia berlari masuk ke dalam rumah menemui sang nenek.

"Nenek!"

***

Melihat lebih Dekat

"Nenek!" Dewa berlari menghampiri sang nenek yang duduk selonjoran diatas sofa panjang. Wanita tua itu terlihat payah dengan keadaan pakaiannya yang kotor.

"Kamu sudah pulang?" Nenek mengusap belakang rambut Dewa yang tampak sangat panik melihat keadaan dirinya.

"Nenek kenapa bisa begini? Mana yang sakit, Nek? Ya Tuhaaaan." Dewa memeriksa badan neneknya dengan hati-hati. Wajahnya pucat melihat sobekan celana di bagian lutut neneknya dan noda merah disana yang sudah ditetesi betadine. Telapak tangan sang nenekpun sudah ditempeli plester bermotif kartun pororo yang membuatnya bisa bernafas lega. Siapapun si pororo itu pasti memiliki ilmu pertolongan pertama yang tidak diragukan dan Dewa sangat berterima kasih.

"Ini keajaiban--" Nenek terkekeh, sayangnya Dewa sama sekali tidak melihat ada yang lucu disini. "Ini kali pertama Nenek mendengarmu menyebut Tuhan."

Dewa diam. Ia menipiskan bibirnya gusar, "Apaan sih Nek? Lagi luka gini juga." Dewa berujar lirih. Ia paling malas kalau neneknya sudah membawa-bawa hal seperti ini dalam obrolan mereka. Bagi Dewa, Tuhan sudah tidak memikili eksistensi lagi semenjak kedua orang tuanya meninggalkannya. Dewa hanya seorang bocah berumur lima tahun saat sebuah kecelakaan bus pariwisata merenggut dua malaikatnya. Seharusnya ia tak memaksa hari itu. Seharusnya ia mendengar apa yang dikatakan ibunya untuk liburan di kebun binatang saja setelah hujan reda.

"Wa---"

Dewa buru-buru menyeka airmata dipelupuk matanya, "Nenek datang sama siapa? Yang nyelakain nenek udah ditangkap?" ia mengalihkan ke topik utama, neneknya sadar sang cucu mengalihkan isu tapi tak memaksa melanjutkan membahas salah satu topik sensitif menyangkut anak dan menantunya.

Nenek menghela nafas lelah, usia renta membuat satu-satunya keluarga yang dimiliki dewa itu cepat sekali lelah, "Polisi sudah memburunya. Dan itu gadis yang menolong nenek. Ndis, sini sayang." Nenek melambaikan tangannya.

Dewa menoleh kearah dimana neneknya memanggil seseorang, ia terkejut mendapati tuyul lepas sudah ada dalam rumahnya, mengenakan baju kaos miliknya yang kebesaran di badan kecilnya. Astaga permainan takdir semacam apa ini?

"Halo." Gendis melambaikan tangan ceria. Senyumnya terlalu lebar untuk ukuran orang yang baru saja bertemu dengan seseorang yang semalam diteriakinya penjahat kelamin.

"Sini, Ndis." Panggil nenek menepuk bagian sofa yang kosong, tepat didepan Dewa duduk bertumpu di lututnya "Kenalkan, ini cucu saya, namanya Dewa."

Gendis mengulurkan tangan tanpa sungkan, "Halo Om Dewa. Namaku Gendis."

Dewa masih memperhatikan tangan yang terulur di depannya. Menimbang apakah ia harus menyambut uluran tangan itu atau tidak. Bukannya apa-apa, ia khawatir tuyul manis di depannya tiba-tiba saja menggigitnya atau mungkin tangannya ini sudah diludahi. Hih!

BUK!!!

"AW!" Dewa meringis mengusap punggungnya yang baru saja mendapat tabokan dari neneknya. Ada ancaman dari tatapan sang nenek. Dewa mendengus sebal lalu kembali beralih pada gadis remaja di depannya.

Dewa berdehem, "Khm. Panggil bang Dewa saja."

Gendis menggeleng, "Gak boleh. Kata Mami harus menghargai orangtua."

******! Gue dibilang orangtua.

"Terserahlah." Malas berdebat Dewa menarik tangannya yang terulur, wangi minyak telon. Batinnya.

"Senang bertemu Om Dewa." Ucap Gendis masih memamerkan lesung pipinya yang membuat Dewa gatal ingin menyentuhnya. Sepertinya Gendis tidak mengingatnya melihat bagaimana gadis remaja di depannya ini tampak santai berdekatan dengannya. Dewa cukup bersyukur untuk itu tapi disisi lain egonya sedikit terluka. Bisa-bisanya wajah tampannya tidak meninggalkan kesan sama sekali, keterlaluan.

"Kamu yang nolong nenek saya?" Tanya Dewa sedikit sanksi. Bagaimana mungkin gadis remaja semanis ini bisa menolong seorang korban yang sedang di rampok? Atau jangan-jangan komplotannya dan sebenarnya target utamanya rumah ini? Hoho bisa jadi! Otak sinetron Dewa mulai membuat spekulasi-spekulasi konyol.

"Gak bisa dikatain nolong sih, Om. Gendis cuman bantuin teriak, warga pada ngumpul, rampoknya kabur." Terang Gendis mengingat kejadian saat ia pulang dari les sore tadi.

"Ia, Wa. Gendis gadis pemberani. Dia bahkan melindungi nenek saat perampok itu melempar linggis." Sambung nenek seraya mengusap lengan Gendis.

Gendis menyengir saat Dewa menatapnya intens, "Ada yang luka?"

Gendis menggeleng, "Gak apa-apa, Om. Tenang aja." ujarnya mengibaskan tangan cepat tapi kemudian "Awww!" ia meringis saat punggungnya membentur lengan sofa yang ujungnya terbuat dari ukiran kayu.

"Ndis?" Nenek berujar khawatir.

"Gak apa-apa, Nek. Ini cuman--" Gendis gelapan. Ia menatap takut-takut pada Dewa yang sejak tadi tak mengalihkan perhatian darinya.

"Nenek ke kamar ya. Istrahat. Nanti Dewa yang urus Gendis." Dewa mengangkat neneknya tanpa kesulitan meskipun wanita tua itu menolak.

"Jangan kemana-mana." Dewa mengingatkan sebelum menghilang didalam sebuah kamar dengan ornamen khas bali di pintunya.

Sepeninggal Dewa, Gendis buru-buru mengambil tas dan baju kotornya untuk segera pergi dari tempat itu. Namun saat ia akan kabur, seseorang memeluk perutmya posesif.

"Mau kemana?"

"Kabur."

Dewa berdecak. Kali pertama ia bertemu orang yang mengakui niatnya untuk kabur. Tidak bisakah tuyul manis ini memberikan sebuah alasan yang masuk akal? Bahkan tidak masuk akalpun tidak masalah. Janganlah ia terlalu jujur seperti ini. Ketahuan oon-nya.

"Nanti saya antar tapi kita cek dulu keadaan kamu."

"Gak usah. Gendis gak kenapa-kenapa kok." Gendis menggeliat berusaha meloloskan diri tapi lengan kokoh Dewa terlalu kuat menahannya.

"Jangan ngeyel." Dewa mengangkat Gendis begitu saja dengan satu tangan. Seolah badan gendis hanyalah manekin tak bernyama yang ringan dibawa-bawa.

"Eeeh Om, lepasin!" Teriak Gendis berusaha berpegangan pada sofa tapi Dewa dengan mudah melepaskan pegangan itu. Lelaki itu dengan langkah lebar membawa Gendis ke kamarnya dimana kotak obatnya tersimpan.

Dewa mendudukkan Gendis diatas ranjangnya. Gendis yang sudah lepas kembali berusaha melarikan diri namun tertahan oleh tarikan Dewa di kerah baju kaos yang dipinjamnya dari lelaki itu.

"Om, Gendis beneran gak apa-apa. Gendis harus pulang sekarang. Mami Papi ntar nyariin." Cerocos Gendis yang tak diabaikan oleh Dewa. Lelaki perkulit putih bersih itu tak kesulitan sama sekali menahan Gendis dengan satu tangannya sedangkan tangan yang lain mengambil kotak obatnya dari dalam tas loreng miliknya.

"Mana yang sakit?" Dewa sudah kembali mendudukan Gendis diatas ranjang. Sudah tidak ada jalan melarikan diri untuk tuyul manis itu.

Gendis pasrah. Ia duduk dengan bahu meluruh, "Punggung Gendis." ucapnya malas.

"Buka baju kamu!"

"GAK MAU!" gendis menyilangkan kedua tangan didadanya dengan waspada. Ia mengambil jarak sejauh mungkin dari Dewa hingga ia hampir terjerembab jika saja Dewa tidak sigap menarik lengannya.

"Heh, siapa yang mau ngapa-ngapain kamu sih bocah? Gak ada gue nafsu liat badan bocah kayak kamu." Omel Dewa lelah. Tuyul kecil ini benar-benar merepotkan. Padahal ia hanya mau berbaik hati mengobatinya, "Sini!"

"No!" Tolak Gendis masih mempertahankan posisinya.

"Astagaaaaa!" Dewa mengacak rambut kesal. Ia manarik nafas kasar, "Liat muka saya baik-baik. Ada tampang penjahat gak?"

"Ada." Jawab Gendis bahkan tanpa berpikir seolah diujung lidahnya memang sudah siap mengucapkan kata ini.

Dewa menganga tak percaya. Astaga muka angel kayak gue dituduh tampang penjahat? ASEM!

"Percaya sama saya. Nenek ada di sebelah. Pintu juga tidak di tutup. Mana ada tersangka se-open ini mau ngelakuin kejahatan?"

Gendis terdiam. Terlalu banyak orang jahat di dunia ini dan tampang baik-baik pun biasanya adalah bos besarnya. Gendis menggaruk hidungnya sembari berpikir keras terlihat dari lipatan di jidatnya. Dewa yang melihat itu hanya mengulum senyum diam-diam. Tuyul kecil di depannya ini sangat menggemaskan. Ingin rasanya ia menarik kepala itu dan mengetoknya untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkannya.

"Huffff!" Gendis menghembuskan nafas panjang, "Ia deh, tapi Om jangan ngambil kesempatan dalam kesempitan ya? Gendis kutuk nanti jadi kecoak kalau sampe Om macem-macem." Ancamnnya yang terdengar lucu di telinga Dewa.

Dewa mengangguk, "Iya elaaah. Gak percayaan bangat si bocah." senyumnya tersungging tipis saat Gendis mulai mengangkat kaosnya.

Ebuseeet, mulus bener ni tuyul! Mata Dewa berbinar melihat punggung Gendis yang putih bak pualan. Lembut pasti tuh. Pikirnya mulai kemana-mana. Demi apa lelaki yang sudah melepas keperjakaannya sejak SMP itu deg-degan sekarang. Seperti remaja tanggung yang baru pertama kali mendapatkan mimpi basahnya. Sialan, gue nafsu! Dewa menelan ludah susah payah. Baru kali ini ia tergoda hanya karena melihat punggung. Biasa juga penari xxxxx meliuk-liuk di depannya tidak ada perasaan seperti ini. Tapi sekarang--- Astagaaa Dewa sadar! Dia bocah, anjiiiim!

"Udah liat?"

"Udah?"

"Parah gak?"

"Asli."

"Eh?" Gendis menoleh kebelakang, ia memutar bola mata sebal melihat Dewa yang malah terpaku seperti patung pancoran.

"OM!"

"Eh ya?" Dewa gelagapan. Gendis baru saja teriak di depan wajahnya. Si bocah!

"Niat ngobatin gak? Kalau gak, Gendis pulang aja."

Dewa mengusap wajahnya kasar, "Iya. Ini mau diobatin." Dewa melihat punggung kiri Gendis tepat dibawah tali branya yang membiru. Tampak sangat jelas karena kulit Gendis yang memang putih bening.

Dewa mengambil minyak oles yang ampuh untuk mengobati cedera yang semacam ini, memar biru yang merusak kulit cantik si tuyul. Dewa mengangkat keatas tali bra Gendis sembari menahan nafas, godaan di depan mata. Bahaya! Dewa merapal segala jenis kalimat-kalimat suci yang masih diingatnya saat telunjuknya menyentuh kulit bak pualam itu tapi--- Astaga! Dewa gemetar. Ini kulit paling empuk dan halus yang pernah ia sentuh sebelumnya. Bukan karena selama ini kulit cewek-cewek yang ia sentuh bermotif belang-belang, polkadot apalagi zig zag tapi memang selama ini ia tidak memperhatikan dan tidak mau peduli dengan kelembutan kulit mereka. Selama keinginannya terpuaskan, sekasar kulit buaya pun ia tak masalah. Memang sebrengsek itu manusia bernama Dewa ini.

Dewa menguatkan iman yang entah tiba-tiba datang dari mana yang pasti ia mengingat dosa sekarang jika melecehkan gadis kecil di depannya ini. Dewa berhasil mengoleskan obat pereda lebam di punggung Gendis tanpa menyentuh bagian lain. Mata nakalnya yang halaf lekuk sempurna seorang gadis otomatis mengintip kebagian depan, tidak sampai melihat tapi bayangan akan kekenyalan dan kelembutan gendis sudah menari-nari di kepalanya.

Dewa, untuk kali ini jangan jadi brengsek! Hati malaikatnya mengingatkan. Cepat-cepat ia menggelengkan kepala. Ia akan jadi pria paling brengsek sedunia jika mencelakai gadis manis yang sudah menolong neneknya. Sekali lagi Dewa menarik nafas, saat akan menurunkan kaos yang dipakai Gendis, entah group setan darimana yang memprovokasinya hingga ia dengan lancang menyentuh kulit punggung itu dengan bibirnya.

Cup.

Hanya sentuhan ringan tapi membuat si pemilik punggung bereaksi.

"Obat apa tuh Om? Obatnya dingin gitu kena kulit Gendis."

Dewa tersadar, Astagaaaa apa-apaan tadi? Dewa mengusap wajahnya panik. Bisa-bisanya ia mencuri kecupan dipunggung gadis ini? Gilak Dewa! Gilak!

"Om?"

"Ya?"

"Itu tadi apa? Kok dingin kenyal gitu?"

Dewa tergagap, "Oh, i-itu---"

"Gendis suka."

Heh?

"Olesin aja Om semua punggung Gendis. Pegel soalnya, kebanyakan duduk." Pintanya polos.

Kali ini Dewa bukan hanya mengumpat tapi wejangan-wejangan dari neneknya seperti malaikat yang memintanya untuk menahan diri untuk melakukan sesuai apa yang bocah manis itu minta. Ini anak polos apa bego sih? Bibir gue masa disamain sama minyak nyong-nyong? Gak beres!

"Gak. Cukup. Ntar obat saya habis lagi dipake kamu." Dewa menutup kotak obatnya agak berisik. Sebenarnya hanya untuk mengalihkan pikirannya dari keinginan untuk merengkuh tubuh didepannya ini.

"Pelit." Gerutu Gendis yang tertangkap jelas oleh Dewa.

Bukan pelit, yul. Cuma lo nya nanti yang rugi kalau obat gue dijejelin di punggung lo. Dewa mendumel keki setengah mati. Bahaya sekali kalau Gendis bertemu manusia-manusia sejenis dirinya diluaran sana, bisa habis anak ini. Tiba-tiba saja Dewa merasa khawatir memikirkan kehidupan Gendis diluar. Bagaimana kalau si tuyul di jual? Bagaimana kalau yang beli kakek-kakek bau tanah yang doyan daun muda? Bagaimana kalau---

"Tidak!"

Gendis tersentak, "Om tidak jadi ngantar? Bilang dong dari tadi." Gendis mengambil tasnya lalu berjalan dengan kaki dihentak-hentakkan.

Dewa yang baru menyadari situasi yang ada bergegas menyusul Gendis, "Ndis, tunggu!"

"Udah, kalau gak ikhlas gak usah maksain diri, Om. Gendis bisa mesen taksi kok."

Kalau supir taksinya nyulik gimana? Dewa bergidik horor. Tidak, Gendis harus pulang dengan selamat. Kalau perlu ia akan memesan supir khusus untuk mengantar jemputnya.

Emang punya duit, Wa? Dewa menggaruk kepalanya pusing. Ia baru sadar kalau gaji sebulanmnya hanya cukup untuk beli kolor selusin, beras sekarung, dan mie se-dos. Selebihnya tabungan persiapan nikah dan cicilan rumah.

Nikah? Hadeh, menyebalkan!

Dewa menyamai langkah gendis, menahan lengan kecil itu, "Saya antar."

"Ikhlas gak nih, Om?"

"Ikhlas."

Gendis mengangguk, "Yaudah deh kalau Om maksa."

Tuyuuuuul gue gak maksa lo ya! Koreksi tuh baik-baik. Dewa rasanya mau memitas kepala cantik itu kalau tidak mengingat statusnya sebagai seorang abdi negara, tentara kebanggan rakyat. Ia akan mengotori kewibawaan kesatuannya kalau sampai ketahuan menyiksa anak dibawah umur.

"Aduh, Gendis lupa izin lagi. Bentar Om, Gendis izin dulu." Gendis baru akan kembali dalam rumah ketika tangan Dewa menahannya.

"Gak usah. Nanti saya sampaikan sama nenek kalau kamu udah pulang. Nenek lagi istrahat sekarang."

"Oh, ok deh." Gendis lantas mengikuti langkah Dewa kedalam sebuah mini garasi. Disana ada motor mio milik Dewa yang biasa ia pakai jalan-jalan bersama neneknya.

"Naik!"

"Bentar, Gendis gak tau pake helm." Gendis kelihatan kesulitan memakai helm ditangannya. Posisinya bahkan terbalik.

Dewa berdecak tak sabar, "Kayak gak pernah pakai helm aja."

"Emang. Ini kali pertama Gendis naik motor."

"Sumpah?" Dewa terpekik tak percaya. Anak remaja macam apa yang sedang dihadapinya ini? Masa motor saja tidak pernah naik. Pasti kebiasaan desak-desakkan di angkot nih. Kasian juga.

"Kata Papi, Gendis hanya boleh naik mobil kalau kemana-mana. Takutnya Gendis jatoh trus kelindes truk."

Astaganagaaaa.... serem amat penjelasannya.

"Jadi gak usah pake motor?" Dewa memberi pilihan.

"Motor aja Om, Gendis juga penasaran. Nanti gak usah sampe depan rumah Gendis supaya orang rumah gak liat."

Dewa mengangguk, ia sudah selesai memasang helm Gendis, "Naik."

HAP!!

"Jalan!"

Dewa melirik lengan kecil Gendis yang bertaut memeluknya erat. Konsentrasinya sedikit buyar saat merasakan benda kenyal menempel di punggungnya.

Auto kelindes becak ini sih.

***

Jadi geeees, Little angel bakal slow up sambil menunggu kisah om Gi dan Nad kelar, happy ending forever.

Yang mau nyicil baca, silahkan. Mau nunggu nanti-nanti juga silahkan.

Selamat membaca, maafkan otak kotor Dewa. Karena Dewa emang gak seputih kehidupan Gibran. Untungnya ketemu Gendis gadis polos yang cerdas meskipun rada-rada gitu.

Maklumi ya,...

Dari Dewa yang berusaha tobat.

Tuyul Kecil

Dewa tak akan pernah mengerti aturan semesta. Dia yang begitu alergi dengan anak kecil alias cabe-cabean sekarang malah dibuat dag dig dug hanya karena membonceng tuyul manis yang tangannya anteng melingkari pinggangnya. Dewa miris sendiri dengan dirinya yang murahan. Apa karena beberapa malam ini ia tidak mendapat belaian makanya sensitif seperti sekarang? Tapi dirinya bukan maniak, harusnya baik-baik saja berdekatan dengan makhluk sejenis gendis ini. Astagaaaa... harusnya ia memesan taksi saja untuk si uyul.

"Heh! Lo tidur?" Dewa mengedikkan bahunya saat merasakan punggungnya di sundul oleh helm yang dikenakan Gendis.

"Enggak, Om. Gendis nyender doang, punggung Om nyaman." Ujar Gendis berteriak diantara bising kendaraan dan klakson kendaraan lain.

Sialan ni bocah. Dia pikir punggung gue bantal apa?

"Awas lo sampe ketiduran. Jatoh, gue gak tanggung jawab."

"Iya iyaaaaa bawel bangat sih udah kayak mami aja."

Dewa menghela nafas kesal. Kampret bangat gue disamain emaknya.

Dewa kembali berkonsentrasi membawa motornya menuju perumahan elit yang disebutkan Gendis. Tak seperti perumahan-perumahan lainnya yang bebas akses, kompleks perumahan orangtua Gendis di jaga oleh dua orang satpam di gerbang besar.

"Om om om, berhenti berhenti!" Gendis menepuk bahu Dewa membuat laki-laki itu kaget dan mengerem mendadak.

"Astaga, apa sih bocah? Bahaya!" Dewa turun dari motor dengan kesal sementara Gendis merasa tak berdosa sama sekali malah berlari ke belakang dan berhenti pada gerobak somai. Dewa bergegas menyusulnya. Bahaya kalau tuyul kecil ini hilang, bisa-bisa dia di panggang oleh neneknya.

"Ngapain?" Tanya Dewa melihat Gendis yang duduk anteng di trotoar.

"Jajan." Ujar Gendis memamerkan gigi-gigi bersihnya. Ditangannya sudah ada piring yang siap diisi aneka jajanan pinggir jalan.

Dewa menghela nafas lalu mengambil kursi plastik yang disiapkan oleh abang penjual.

"Duduk!" Perintah Dewa. Seorang gadis manis harusnya bersikap manis dan anggun bukannya bar-bar seperti Gendis.

"Tidak, terima kasih. Enakan gini bisa selonjorin kaki." Tolak Gendis sembari meluruskan kakinya. Beberapa pemuda yang lewat dengan kurang ajarnya melirik nakal kaki jenjang Gendis yang putih, mulus dan bersih. Hal itu tak luput dari perhatian Dewa yang berdecak tak suka. Pria yang terkenal playboy pemain wanita itu terganggu dengan tatapan nakal cowok-cowok pada seorang gadis semulus Gendis, bukankan itu aneh? Ya, harusnya tapi Dewa tidak merasa aneh sama sekali, hanya tidak terima saja si tuyul ditatap semesum itu. Maka dengan gerakan cepat ia melepas jaketnya dan melemparnya diatas pangkuan Gendis.

"Tutupin kaki lo!"

Gendis mendongak, "Kenapa?"

"Banyak nyamuk. Mau lo deman berdarah?"

Gendis menggeleng.

"Yaudah pake."

Gendis mengambil jaket Dewa dan menutupi kakinya sesuai perintah laki-laki itu, hangat dan wangi.

"Ini, Neng."

"Makasi, Bang." Mata Gendis berbinar melihat lumeran bumbu kacang diatas potongan daging goreng yang begitu menggugah seleranya. Dewa yang melihatnya hanya menggelengkan kepala kasian. Gendis terlihat seperti bocah yang tidak jajan sebulan.

"Om mau?" Gendis memberikan setusuk pada Dewa.

"Gak, makasih." Tolak Dewa pura-pura sibuk dengan hpnya yang sebenarnya ia sangat suka menonton Gendis makan. Sangat lahap. Tidak mirip anak orang kaya yang biasanya begitu pilih-pilih makanan. Atau jangan-jangan bocah ini adalah anak dari asisten salah satu pemilik rumah gedongan di kompleks ini? Ah ya, masuk akal. Sebuah spekulasi baru menari-nari dikepala Dewa. Ia manggut-manggut menyetujui hasil analisis cerdasnya.

"Udah. Yuk, Om. Pulang." Gendis mengembalikan piring abang penjual somai berikut uang merah dua lembar.

Semahal itu?

Dewa melongo melihat harga sepiring somai yang dimakan Gendis. Bisa kaya penjual di kompleks ini.

"Kamu kok mau makan somai dengan harga selangit gitu? Rasanya emang setingkat mentri?" Tanya Dewa heran melihat Gendis mau-maunya bayar mahal untuk seporsi jajanan pinggir jalan. Belum tentu sehat dan bersih juga.

"Gak apa-apa, Om. Enak. Worth it lah. Sayang aja tempatnya di pinggir jalan, kalau di gedung mewah mungkin harga seporsinya sejuta."

"Seenak itu?" Dewa terhenyak. Mampus aja gajinya jika setiap hari jajan di tempat itu.

"Gaklah. Harganya sepuluh ribu aja." Ucap Gendis tertawa puas setelah berhasil dengan candaannya.

"Trus kenapa lo bayar dua lembar?" Dewa masih penasaran. Ia memasangkan helm di kepala Gendis siap meluncur.

"Buat jajan anaknya. Anaknya lima loh Om. Ucup, bagong, risna, uti dan loli, semuanya bantuin bapaknya jualan." Jelas Gendis bersemangat.

Dewa manggut-manggut, "Kamu kenal mereka semua?"

"Iya. Mereka murid Gendis di sekolah alam."

"Sekolah alam? Sekolah apa itu?" Dewa tidak langsung menyalakan mesin motornya. Ia penasaran dengan cerita Gendis.

"Sekolah untuk anak-anak yang harus ngebantuin orangtuanya kerja." Jelas Gendis. "Ini jaket Om, Makasih." Ia mengembalikan jaket Dewa tapi laki-laki itu menggeleng.

"Pake aja. Dingin."

"Om gak dingin emang?"

"Gak. Lanjutin cerita kamu." Pinta Dewa tak sabar.

Gendis memakai jaket tersebut, menarik resletingnya hingga ia tampak tenggelam dalam balutan jaket Dewa yang kebesaran di badan kecilnya "Cerita yang mana?"

"Sekolah alam itu."

"Oh, udah sih itu aja. Kalau Om penasaran nanti hari minggu depan ikut Gendis kesana."

"Emang boleh?"

"Boleh dong. Kan kepseknya Gendis." Ujar Gendis lalu tertawa. Dewa yang merasa keki menoyor kepalanya.

"Iseng bangat sih bocah."

"Abisnya Om serius bangat. Udah jalan aja. Gendis harus ngerjain tugas sekolah." Gendis duduk anteng di belakang Dewa dan lagi, menyandarkan kepalanya di punggung laki-laki itu.

"Jalan, Om."

"Iyaaah. Pegangan."

"Hmmmmm"

***

"Anak kecil!"

Gendis yang baru turun dari mobil menoleh ke sumber suara. Tak jauh di sebrang jalan Dewa melambaikan tangan padanya.

"Om ngapain disini?" Tanyanya saat Dewa sudah berdiri di depannya.

"Kebetulan lewat." Ucap tentara muda itu menyeka keringat di dahinya.

Gendis memperhatikan Dewa dari ujung kaki ke ujung kepala, "Om ternyata keren juga pakai seragam gini."

"Maksud lo selama ini gue gak keren gitu?"

"Enggak." Jawab Gendis polos membuat Dewa keki sendiri.

"Lo mau kemana?" Mengabaikan sejenak kekesalannya, Dewa memperhatikan penampilan Gendis yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya.

"Ngajar."

"Lo nyambi?" Benar kan dugaan gue? Ni tuyul pasti anaknya ART.

"Iya. Om mau ikut?"

"Boleh?"

Gendis mengangguk, "Ayo." Tanpa sungkan ia menggandengan lengan Dewa. Caranya Sangat natural seolah dia sudah terbiasa melakukannya. Gibran yang diseret pasrah saja, tatapannya terpaku pada lengannya yang di gandeng Gendis. Anjiiiir gue merinding, ini kali rasanya di gandeng tuyul.

Kening Dewa mengerut saat Gendis membawanya semakin masuk ke dalam gang kumuh. Beberapa anak punk terlihat waspada akan kehadirannya yang lengkap dengan seragam tentaranya. Dewa dibuat takjub melihat bagaimana interaksi Gendis dengan anak-anak jalanan itu. Tidak ada sekat sama sekali diantara mereka. Gendis seolah sudah menyatu, menjadi bagian dari anak-anak itu.

Dewa menahan langkah Gendis, "Lo yakin gak salah tempat?"

Gendis menggeleng, "Enggak. Gendis udah hafal jalanannya. Gak bakalan nyasar apalagi salah tempat."

"Tapi ini--" Dewa memandang sekelilingnya tak yakin. Tempat ini terlalu suram untuk tuyul semanis Gendis.

"Udah, ayo. Mereka gak gigit kok." Canda Gendis lalu kembali menyeret Dewa.

Dewa pasrah. Ia mengikuti langkah riang Gendis melewati gang sempit. Di tengah gang mereka bertemu beberapa orang dengan tampang preman, sontak Dewa menarik Gendis dalam kungkungannya agar tak bersinggungan dengan orang-orang itu.

"Om ngapain?" Tanya Gendis mengerjapkan matanya. Posisinya saat ini terjepit antara dinding dan badan kekar Dewa.

Dewa berdehem, dengan posisi mereka yang seperti ini ia bisa melihat dengan jelas mata cemerlang Gendis yang menatap polos padanya. Hidungnya kecil dan proposional, kulitnya bersih seperti tanpa pori dan bibirnya--sepertinya--nagihin. Eh?!

"Om!" Sentak Gendis memukul kening Dewa yang kelamaan bengong.

"Lo mukul gue?" Dewa mengusap keningnya tak menyangka Gendis akan berani memukulnya.

"Iya. Kelamaan bengong sih. Minggir! Gendis sesak diteken gini." Keluhnya mendorong dada bidang Dewa.

Dewa segera mundur, "Sorry." Ucapnya tiba-tiba salah tingkah. Gila efek ni bocah bahaya juga ya. Dewa mengikuti Gendis yang kembali menyusuri gang sempit itu.

Tak lama kemudian mereka masuk dalam sebuah perkampungan kumuh. Dewa sampai harus menutup hidungnya karena aroma sampah yang dihasilkan dari banyaknya tumpukan sampah hasil mulung yang di biarkan begitu saja memenuhi halaman rumah-rumah beratap seng darurat itu.

"Kak Gendiiiiiiiss!!!" Dewa terkejut saat dengan tiba-tiba segerombolan anak-anak berpakaian lusu berlari menyongsong Gendis berebut memeluk gadis muda yang ditemaninya itu.

Speechless. Dewa hanya bisa terdiam melihat bagaimana lembutnya Gendis berkata-kata pada anak-anak itu. Senyum tak lepas dari bibir tipisnya dan Dewa tanpa sadar ikut tersenyum. Hatinya berdebar kencang untuk alasan yang tidak ia ketahui.

"Om, sini!"

"Ah, ya." Dewa mengerjap tersadar dari keterpesonaannya saat Gendis menarik tangannya mendekat.

"Adik-adik, kenalin, ini Om Dewa. Omnya Gendis. Dia tentara loh. Yang katanya kemarin mau jadi tentara, nih, boleh tanya-tanya. Yakan Om?" Gendis menatap Dewa penuh binar dan senyum manis yang membuat dada Dewa jungkir balik.

"Ya." Dewa mengangguk seperti kucing keberuntungan yang biasa ada di meja kasir toko cina.

Beberapa pasang mata yang penuh rasa ingin tahu tertuju padanya. Ini benar-benar pengalaman baru untuk Dewa. Jika biasanya waktu luangnya saat lepas piket ia habiskan di sebuah bar, pub atau diskotik, dan tak jarang hotel, kali ini beda, Gendis mengenalkannya pada dunia yang tak pernah ia duga akan bersinggungan dengannya. Dewa melihat kearah Gendis yang asik menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan anak-anak itu. Bocah, lo ini sebenarnya apa sih, tuyul cilik apa malaikat tak bersayap?

"Om-om--"

"Ya?"

Sepasang mata bulat polos menatap antusias padanya, "Om bisa menembak? Berapa banyak musuh yang om tembak? Memangnya negara kita belum merdeka ya Om? Kok Om masih jadi tentara."

Dewa menggaruk pelipisnya. Bingung harus menjawab pertanyaannya yang mana. Banyak sekali.

"Bisa dong. Kamu mau saya tembak?"

BUGH!

"AWW!"

Sebuah kaleng susu jatuh menggelinding setelah berhasil menimpuk kepalanya. Si*lan! Siapa yang berani nimpuk gue? Dewa mengambil kaleng itu dan bersiap melempar siapapun yang sudah menimpuk kepalanya. Matanya melihat kiri kanan tapi tidak ada anak-anak atau siapapun yang bisa jadi tersangka. Nanti saat ia melihat ke depan barulah ia melihat pelototan Gendis yang juga mengangkat tinju kearahnya.Ini tersangkanya!

"Apa salah gue sih, yul?" Protesnya tak terima.

Gendis bersidekap, "Jawaban Om ambigu. Gak liat tuh adik-adik sampe pucat gitu?" tunjuknya pada bocah yang duduk di depan Dewa.

Dewa melihat anak-anak itu dan benar saja, mereka menatapnya dengan takut-takut. Dewa menggaruk lehernya yang tak gatal. Ternyata candaannya tadi ditanggapi serius oleh anak-anak itu.

"Mmm--- maksud Om, kalian

mau diajar menembak? Yah, gitu." Demi apapun, ia tidak punya pengalaman berbicara dengan anak-anak. Ia tak seperti Gibran yang meskipun berwajah kaku sangat paham dengan dunia anak-anak. Atau Gio yang cocok sekali menjadi bapak dari sebelas anak, atau Jonathan yang bisa terjun dalam dunia kanak-kanak. Dirinya hanya seorang Dewa yang terbiasa menghadapi wanita cantik dan seksi yang siap menghangatkan malam-malamnya.

"Mauuuuuuuuuuu"

Jawaban serempak dan penuh semangat malah membuatnya kelimpungan. Ini gue ajarin nembak apa? Nembak malaikat?Diam-diam ia melirik Gendis yang sudah melanjutkan kegiatannya mengajar beberapa anak membaca.

.

.

"Pulang bareng gue aja. Ini udah mau gelap." Dewa melirik jam di pergelangannya. Mereka sudah selesai dari mengajar dan Gendis masih menunggu jemputannya.

"Gak mau. motor Om tinggi, Gendis nggak suka." Tolak Gendis keukeh. Dewa melihat kearah motornya yang terparkir di sebrang jalan, MoGe keluaran terbaru.

Dewa menghela nafas lelah, hanya gendis satu-satunya perempuan yang menolak naik diatas moge super mahalnya ini. Perempuan lain malah meminta khusus dirinya memakai motor ini jika ingin di jemput dengan alasan lebih mudah mengelit kalau jalanan macet padahal Dewa tahu alasan mereka sesungguhnya adalah agar bisa peluk-pelukan diatas motor sekaligus menggodanya dengan dada sintal yang sengaja digencet-gencetkan di punggungnya. Untuk informasi saja, bukan hanya laki-laki yang punya otak kotor karena biasanya sebagaian perempuanlah yang suka menawarkan diri untuk dikotori.

"Tapi ini udah mau gelap. Lo mau diculik wewe gombel?"

Gendis yang duduk jongkok di bawah lampu jalan mendongak, "Emang wewe gombel nyulik orang segeda Gendis juga, Om?"

Gaklah bocah. Gue lagi ngibulin lo!

"Iyalah. Apalagi kalau lo keras kepala, suka tuh wewe gombel buat makan malamnya."

Dewa hampir menyemburkan tawanya saat Gendis bangun cepat-cepat dan menarik tangannya.

"Ayo, pulang."

Dewa tersenyum geli mengikuti langkah cepat Gendis kesebrang jalan menuju salah satu gedung pusat perbelanjaan dimana ia memarkirkan motornya. Malah percaya aja ni anak. Otaknya pentium berapa sih?!

Dewa mengambil jaket yang ia simpan dalam bagasi motornya dan menyerahkannya pada Gendis, "Pake."

Gendis tak lagi menolak seperti sebelum-sebelumnya, ia langsung memakai jaket itu untuk melapisi baju seragamnya yang tipis.

"Pakai helemnya."

"Pakein, tangan Gendis gak keliatan." Adunya menggoyang-goyangkan tangannya yang tak terlihat karena jaket milik Dewa yang kebesaran.

Dewa tersenyum samar, Gendis benar-benar lucu dengan jaket miliknya. Boleh gue bungkus gak sih ni bocah? Lucu bangat. Dewa memakaikan helm di kepala Gendis. Untung sekali ia membawa dua helm. Feelingnya begitu kuat bahwa hari ini ia akan kembali bertemu si tuyul. Mulai hari ini dan seterusnya ia akan membawa dua helm, tidak ada yang tau kan di jalan nanti ia bertemu tuyul manis ini lagi.

Puk puk puk!

Dewa menepuk-nepuk helm Gendis, gemas sendiri melihat wajah polos tuyul kecil dihadapannya ini.

"Jangan ditepukin kepala gendis." Gendis menepis tangan Dewa yang nankring di atas kepalanya.

"Ndis, Ibu lo ngidam apa sih pas hamil lo ini?"

"Sabun."

"Heh?" Dewa yang niatnya bercanda malah diberi jawaban ngaco.

"Maksud lo, Ibu lo ngemilin sabun gitu?"

Gendis mengangguk, "Iya. Makanya kulit Gendis lembut, wangi dan bersih."

"Emang iya?"

Gendis mengangguk, "Iya. Mau bukti? Nih--"

"Eh eh lo ngapain?" Dewa menahan tangan Gendis yang berusaha menurunkan leher jaket dan seragamnya, menunjukkan tengkuk mulusnya. Gilak ya, itu tengkuk bisa bikin gue gak bisa tidur ntar malam.

"Mau nunjukin bukti." Jawab Gendis polos.

Dewa menggeram tertahan, "ya gak gitu juga kali, bocah. Buruan naik!" Ini lama-lama gue khilaf juga kalau tiap hari main sama ni bocah.

"Pegangan." Titah dewa.

"Gak bisa. Ini punggung gendis sakit bangat kalau pagangan doang."

"Yaudah peluk!" Dewa gregetan sendiri. Masa begitu saja bocah ini tidak paham sih.

"Gak mau nanti dada Gendis ketekan lagi di punggung Om. Ogah!"

Eh buset, tau loh dia.

Dewa menggeleng, "Gak bakal. Lo kan belum punya dada. Gak bakalan terasa, tenang aja." ujarnya asal.

"Ih enak aja. Gini-gini gendis 36b."

Dewa mencibir, "Rata gitu."

"Enggak! Om mau bukti? Ni Gendis buka--"

"Eeeh gilak!" Dewa sampai menoleh untuk memukul helm Gendis saking gemasnya. Ya ampun anak iniiiii! Arg!

Gendis mengaduh memegang kepalanya, "Kok Gendis di pukul sih?"

"Rasain! Dengar baik-baik ya bocah. Dengerin!" Dewa sampai menekan-nekan kalimatnya saking tak habis pikirnya dengan otak gendis.

"Apaan?" Gendis mengusap helmnya yang di pukul Dewa tadi.

Dewa menarik nafas dalam, "Gak mesti lo buktiin semua hal hanya karena orang lain gak percaya sama lo. Apalagi sampai buka baju gini hanya karena mau buktiin ukuran dada lo. Gak boleh! Mengerti?"

"Bukannya dengan bukti bisa lebih meyakinkan ya Om?" Gendis malah bertanya balik.

"Tapi jangan yang hal-hal pribadi juga. Badan lo, milik lo. Gak boleh ada satupun yang liat. Lo dapat s*x education gak sih? Perlu bangat gue ajarin?" Kepala Dewa mulai berasap. Ia kesal, gemas sekaligus khawatir. Bagaimana kalau kepolosan Gendis dimanfaatkan orang jahat? Astagaaaaa!!!!

"Belajarlah Om. Mami ngajarin."

Malah ngejawab lagi. Dewa mengurut keningnya yang semakin pusing.

B*go dan polos ada bedanya gak sih?

***

Manis sih tapi kata Om Dewa si tuyul ini rada-rada b*go tapi ngangenin

Gimana dong 👉👈

Masih gue liatin lo, bocah 🧐

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!