NovelToon NovelToon

Wanita Kedua

PROLOG dan VISUAL

Berawal dari kesalahpahaman.

Universitas Bintang Kota adalah universitas ternama di kota ini. Ya, di sinilah Erika kuliah.

Evans melirik pelan pada Erika.

"Hari ini dia cantik sekali. Sayang, tampangnya saja yang polos." Evans mengernyit tidak suka.

"Apa kamu sudah punya pacar?" tanya Evans santai sambil makan.

"Belum Kak," jawab Erika cepat.

"Kenapa belum?"

"Karena belum ada yang cocok Kak, hehe."

"Sudah berapa kali kamu kencan?" Evans menatap lekat-lekat wajah Erika.

"Eum. Ini. Ini pertama kalinya Kak, aku jalan sama cowok," jawab Erika menunduk malu sambil tersenyum kecil.

"Oh ya?" tanya Evans sedikit sinis. Erika sedikit bingung mendengar nada bicara Evans. Dia mengangkat wajahnya melihat ekspresi wajah Evans.

"Wah, aku tersanjung kalau begitu," ucap Evans kemudian sambil tersenyum untuk menutupi kejengkelannya karena dia tahu Erika berbohong. Erika tersenyum tanpa tahu apa yang terjadi.

"Bagaimana kalau aku yang jadi pacarmu mulai sekarang?" tanya Evans cepat.

"Apa?" Erika terkejut betapa cepatnya laki-laki di hadapannya ini mengatakan hal itu.

Erika yang polos dan miskin jatuh cinta pada Evans, lelaki tampan dan kaya, lelaki yang sangat diidam-idamkan banyak wanita.

Mencintai Evans sama seperti menggenggam mata pisau, semakin menggenggamnya erat semakin berdarah-darahlah yang kamu rasakan.

Rasa kecewa dan sakit hati, itulah yang dirasakan Erika sejak bersama Evans. Tapi Erika tidak mampu melepaskan lelaki itu.

Hingga puncaknya...

"Kak Evans!" Erika memeluk erat pinggang Evans yang berdiri memunggunginya. "Aku mohon kak. Kita masih bisa memperbaiki semuanya," ucap Erika dengan suaranya yang lirih. Air mata sudah membasahi pipinya sejak dari tadi.

Evans menunduk memandangi tangan mungil Erika yang melingkari tubuhnya dengan erat. Evans memejamkan mata seolah berat untuk berkata.

"Erika, hubungan kita sudah berakhir. Hubungan kita sudah tidak bisa terselamatkan. Aku akan segera menikah." Dengan berat hati Evans memegang tangan mungil itu dan akan melepas pelukan Erika padanya. Erika menggeleng keras, sekuat tenaga mempertahankan pelukannya. Mencengkeram kemeja laki-laki itu, seolah jika pelukannya terlepas, maka hubungan mereka akan benar-benar berakhir. Tidak tahukah laki-laki ini betapa besar penderitaan gadis ini jika tak bisa bersamanya? Seluruh hati Erika sudah sepenuhnya milik Evans. Bagaimana dia bisa bertahan?

Tetapi biar bagaimanapun, tenaga Evans lebih kuat. Pelukan itu terlepas dan isak tangis Erika langsung pecah. Isak tangis memilukan bagi siapapun yang mendengarnya.

"Apa kakak tidak pernah mencintaiku?" tanya Erika dengan putus asa bersama tangisannya yang ditahan. Evans memutar tubuhnya sehingga mereka berdiri berhadapan saling bertatap wajah. Evans bisa melihat wajah sendu Erika yang memelas cinta padanya. Ada rasa tak tega di hati Evans. Biar bagaimanapun gadis ini pernah menghiasi hari-harinya yang kosong.

"Aku menyukaimu, Erika." Suara Evans terdengar berat. "Tetapi, yang kucintai hanya dia." Evans berucap jujur walau tahu gadis ini akan sangat terluka.

Erika sekali lagi menggeleng kuat, tubuhnya berhambur hendak memeluk Evans, tetapi tangan Evans dengan sigap menahan kedua tangannya, memegang tangan itu agar tidak memeluknya. "Tidak, kumohon jangan tinggalkan aku kak!" Air mata tak henti-hentinya membanjiri pipinya. Sebagai seorang laki-laki normal, siapa yang tega meninggalkan jika ada perempuan cantik dan benar-benar tulus seperti ini memohon-mohon padanya agar jangan ditinggalkan? Ini pasti akan menjadi sesuatu yang sangat sulit bagi lelaki manapun.

"Baiklah, jika kamu memang ingin bersamaku, jadilah istri keduaku." Seraya berucap seperti itu, Evans melepaskan tangan Erika. Erika sempat terperangah mendengar kata-kata Evans. Mereka saling menatap dalam beberapa saat. Tetapi, sepertinya hati gadis ini sudah jauh melompati logikanya. Dengan cepat gadis itu menghambur ke pelukan Evans. "Aku mau." jawabnya lirih. Evans tertegun sejenak lalu perlahan membalas pelukan gadis itu dengan hangat.

🌱🌱🌱

"Tidak apa-apa.. Tidak apa-apa.. Mau jadi yang kedua ataupun yang ketiga. Tidak apa-apa. Asalkan Kak Evans bisa ada di sisiku, semua akan baik-baik saja. Aku pasti bisa melewatinya." Erika berucap dalam hati berupaya meyakinkan dirinya.

Mampukah Erika meraih hati Evans sepenuhnya?

Erika Zunatta👇

Evans Ducan 👇

Alexa Janitra 👇

Annastasya Bilea 👇

Danish Zunatta 👇

Aldrich Fanderin 👇

Revin Abimana 👇

Lisa Wijaya 👇

Tuan dan Nyonya Ducan

Wilma Zunatta 👇

Adit 👇

Neng Azizah 👇

Kampus

Visual Erika 👆

Episode-episode awal agak slow ya guys, biar terkesan alami dan dapat feel-nya. Selamat baca. Nikmati harimu! 😉

Di sebuah rumah kecil sederhana, seorang gadis sedang sibuk membenahi dirinya. Wajahnya memang polos tanpa make up tetapi terlihat sangat manis dengan matanya yang sipit, berkulit putih seputih susu dengan rambutnya yang lurus hitam. Dia mengenakan baju yang sebenarnya terlihat kampungan. Tetapi dia tidak memahami hal itu. Baginya, pakaian yang dia kenakan sudah cukup indah.

"Kak Danish, apa aku terlihat cantik?" tanya gadis itu seraya keluar dari kamar.

"Um, cantik," jawab Danish sambil mencubit hidung adiknya.

"Aku gugup, Kak. Ini hari pertamaku masuk kampus," ucap Erika dengan cemberut. Tetapi di balik cemberut ada senyum kecil terukir di sana.

"Adikku ini, lucu deh. Kakak yakin kamu bisa menyesuaikan diri di sana. Apalagi kamu gadis yang pintar," kata Danish sambil mengusap kepala adiknya itu.

"Makasih ya, Kak. Sudah merelakan uang tabungan Kakak untuk kuliahku." Erika memeluk kakaknya.

"Iya sama-sama. Sudah cepat sana berangkat," kata Danish lembut seraya tersenyum kecil.

"Ok, kak! Ibu, aku pergi ya."

"Iya," sahut Wilma singkat, yang baru saja datang dari dapur.

Danish memang sayang sekali sama adik satu-satunya itu. Mereka berdua tinggal dengan ibu di rumah peninggalan ayah. Ayah mereka telah meninggal sejak mereka kecil. Ibunya bekerja mencuci baju tetangga. Sementara Danish bekerja sebagai pelayan di sebuah toko. Dia biasa mengantar barang dengan mobil pick up atau mengangkat barang-barang.

"Danish. Kamu kan laki-laki. Usia mu masih 22 tahun. Harusnya kamu yang kuliah," ucap Wilma dengan wajah tidak senang.

"Ibu, aku mau fokus cari uang. Sudah kuputuskan uang tabungan ini untuk Erika kuliah. Erika lumayan berprestasi dan baru saja lulus SMA, lebih baik dia yang kuliah." Danish dengan lembut menjelaskan.

"Kalau kamu tidak mau kuliah, uang tabunganmu itu kan bisa untuk kamu menikah nanti," ujar Wilma menjelaskan keberatannya.

"Aku juga akan menabung untuk itu. Jangan khawatirkan aku. Aku hanya ingin ada perubahan di keluarga kita. Kalau Erika kuliah, dia bisa mendapat pekerjaan yang baik. Tidak seperti aku yang harus susah payah." Danish berupaya membuat ibunya paham.

"Danish, mau sukses bagaimana pun, ujung-ujungnya Erika bakalan ikut dengan suaminya kelak. Dan keluarga kita tidak akan ada perubahan. Mudah-mudahan saja Erika ingat semua budimu," lugas Wilma. Danish sendiri diam sejenak menghela nafas.

"Ibu, aku melakukan ini ikhlas untuk Erika. Dia ingin sekali kuliah. Ibu tidak lihat senyum bahagianya itu sejak kukatakan dia akan kuliah. Itu saja sudah buat aku bahagia," ucap Danish tersenyum sambil merangkul bahu ibunya. Ibunya hanya diam saja. "Baiklah. Aku berangkat kerja dulu ya, Bu." Setelah pamit, Danish pun langsung berangkat.

*****

Universitas Bintang Kota adalah universitas ternama di kota ini. Fasilitasnya lengkap. Tim pengajarnya juga terpercaya. Banyak orang berlomba-lomba untuk masuk ke universitas ini. Bukan tidak sulit masuk ke universitas ini. Selain harus memiliki nilai yang bagus di ijazah. Mereka juga harus mengikuti tes yang sulit. Sungguh para orang tua sangat berbangga hati ketika anaknya berhasil menjadi salah satu mahasiswa di universitas ini. Ya, di sinilah Erika kuliah.

"Benar ya di sini?" Sambil celingak-celinguk Erika mencari di mana kelasnya bergabung.

"Lihat itu! Cupu banget ya?? Hihhihi."

"Mana? Mana?"

"Itu lho yg pakai baju kampungan."

"Oh itu. Dia kemari tuh..!"

"Wkwkwkwk. Dia sekelas kita lho."

"Kok yang kayak gitu bisa masuk universitas sini sih?"

"Hihihihi."

Dari kejauhan, Erika melihat beberapa mahasiswi yang asyik nongkrong di wilayah kelas itu. Dia merasa sedikit gugup. Namun seraya berjalan mendekat, dia mencoba tersenyum kecil kepada mereka.

"Hai teman-teman. Di sini kelas Akuntansi kan?" tanyanya seraya melihat keterangan di pintu masuk kelas.

"Heehhh! Siapa teman maksudmu? Kamu dari planet mana, hah?" tanya salah seorang mahasisiwi yang nongkrong di sekitar itu.

"Hahahahhah." Semua tertawa mendengarnya.

Erika diam saja lalu melangkah masuk ke dalam kelas. Di kelas orang-orang langsung memandangnya remeh. Ada yang tertawa kecil. Ada juga yang cuek saja. Ya, Erika bukanlah tidak peka atas situasi ini. Hanya saja dia belum memahami kenapa orang-orang memandangnya remeh. Itu semua karena dandanan kampungnya.

Beberapa mahasiswi tadi yang sebelumnya asyik nongkrong, memasuki kelas sambil melihat ke arah Erika yang masih bingung harus duduk di mana. Sepertinya dia hendak memilih bangku kosong di nomor dua dari depan bagian tengah.

"Hei, anak kampung!" seru Anna.

Erika terkejut. Diperhatikannya perempuan itu. Cantik dan tampilannya benar-benar modis. Dengan rambut panjang curly di bagian bawah.

"Ada apa?" tanya Erika singkat, walau sebenarnya dia tidak suka panggilan itu.

"Kamu tidak boleh duduk di situ!" tegas Anna.

"Memangnya kenapa? Kosong kok," jawab Erika sambil menatap mata Anna.

Terdengar cekikikan-cekikikan kecil.

"Hihihi. Anak ini baru masuk kampus sudah berani menantangmu, Anna."

"Dia belum tahu siapa Anna. Dia kan bukan satu sekolah sama kita-kita waktu SMA."

"Iya. Dia dari SMA zaman kuno terus pake mesin waktu ke zaman modern, lihat tuh bajunya kampungan banget."

"Hahahahahhaha"

"Apa sih maksud kalian?" tanya Erika cukup kesal.

Memangnya bajuku kenapa? Masak sih ini kampungan? Erika bertanya di dalam hati.

"Pokoknya kamu tidak boleh duduk di situ! Aku tidak suka ada perempuan kampung duduk di dekatku," lugas Anna.

"Sudahlah, Cupu. Kamu duduk di sudut sana aja. Di belakang," sahut yang lain

"Hahahahahha." Seketika tawa meledak.

Erika sangat kesal tetapi dia memutuskan mengalah dan duduk di sudut belakang. Lebih baik dia tidak membuat masalah.

****

Di tengah Ospek

"Hei, Evans! Tidak ikut ospek nih? Mana tahu ada cewek cantik di kelas Manajemen." Ajak Revin sambil menepuk bahu Evans yang sedari tadi nongkrong di bangku taman lapangan kampus.

"Kamu itu ya! Cewek mulu," sahut Evan sambil tersenyum.

"Jadi nggak mau nih gabung sama anak-anak?" tanya Revin cepat.

Evans menggeleng. "Di sini lebih enak sambil lihat anak akuntansi diospek tuh. Hahahah lucu banget deh cewek itu," kata Evans.

"Cewek yang mana?" Revin langsung celingak-celinguk.

"Nggak ada." Evans terkekeh.

"Haissshhh. Sial," ujar Revin kesal seraya pergi meninggalkan Evans.

Evans masih tertawa seraya melihat punggung Revin yang sudah menjauh. Lalu dengan cepat ekspresinya berubah. Dia terdiam sejenak meminum air mineral yang sedari tadi ada di genggamannya. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang lain.

"Dasar murahan," ucapnya dalam hati sambil mengingat kejadian tadi malam.

Namanya Evans Ducan. Siapa yang tidak kenal dengan Evans. Orang tuanya terpandang dan benar-benar dihormati di kalangan bisnis. Sewaktu tingkat tiga, dia menjadi asisten dosen yang handal. Wajahnya yang tampan dengan tinggi 183 cm, membuat perempuan berupaya mencari perhatiannya.

***

Visual Evans Ducan

Terimakasih atas Like, Comment dan Vote-nya ya, Kak! 😉

Pertemuan

Erika 👆

Evans yang sedari tadi memikirkan kejadian tadi malam terkejut mendengar teriakan di sisi lapangan.

"Hei! Cewek kampung bodoh! Sini kau!"

Mata Evans langsung melihat ke pusat suara. Apa-apaan sih mereka ini? Sedang ospek atau sedang bully? Kenapa bersikap arogan begitu?

Evans bergegas ke sisi lapangan itu. Di sana mahasiswa junior jurusan akuntansi berbaris dengan rapi. Ada yang senyum-senyum melihat kejadian itu. Ada pula yang cemberut karena panasnya terik matahari. Tetapi mata Evans tertuju pada senior perempuan yang sedang memarahi seorang mahasiswi baru.

"Kamu kenapa memarahi anak baru dengan cara seperti itu?" tanya Evans yang masih berjalan menuju mereka. Sontak senior itu terkejut. "Kak Evans?"

Para junior yang semula tidak sadar kehadiran Evans juga terkejut melihatnya, mungkin kata yang lebih tepatnya terkesima melihat sosok Evans.

"Kakak itu siapa? Cakep ya? Hehe." Suara bisik-bisik terdengar cukup jelas.

"Apa salah dia?" tanya Evans lembut kepada senior tahun ketiga itu tanpa melihat ke arah junior yang baru saja dimarahi tadi.

"Maaf, Kak. Tadi nggak sengaja. Soalnya dipanggil dari tadi dia nggak nyahut."

"Tapi kan kamu nggak perlu sampai mengucapkan kata kampung dan bodoh segala. Harusnya kita memberi contoh yang baik untuk para junior."

"Iya, Kak. Saya minta maaf," ucapnya dengan wajah menyesal.

"Minta maaflah padanya," ujar Evans lalu matanya teralih pada mahasiswi junior itu.

"Siapa namamu?" tanya Evans pada junior tersebut yang sedang menundukkan kepala.

"Saya Erika, Kak. Erika Zunatta," jawabnya sambil menengadahkan wajahnya ke arah Evans beberapa detik, lalu menunduk kembali. Mata Evans melebar melihat wajah gadis itu.

"Cantik," gumam Evans tanpa dia sadari meluncur begitu saja dari mulutnya.

Walaupun suaranya terasa pelan tetapi sepertinya semua yang ada di tempat itu, bisa mendengar apa yang Evans ucapkan.

"Apa, Kak?" tanya senior perempuan itu, memastikan apa yang dia dengar barusan.

"Saya bilang kamu minta maaf ke dia saja langsung," jawab Evans sedikit kikuk.

"I-iya, Kak Evans." Senior perempuan itu mengarahkan pandangannya pada Erika.

"Eum, Erika. Saya minta maaf karena tadi bersikap kasar padamu," ucapnya sungguh-sungguh.

"Iya, Kak." Erika menjawab singkat. Semua yang mendengar terdiam sejenak.

Melihat semua kembali normal, Evans langsung pergi meninggalkan sisi lapangan itu.

***

Drrrt drrttt ddrrrtttt

Ponsel Evans berbunyi. Dilihatnya siapa yang menelepon. Ekspresi wajah Evans menunjukkan rasa tidak suka. Tetapi tak urung dia tetap mengangkatnya.

Klik

"Halo Lisa," sapa Evans dengan tenang.

"Kak. Please. Itu tadi malam Kakak cuma salah paham saja. Aku bisa jelaskan semua pada Kakak tentang apa yang terjadi," ucap Lisa sambil menangis.

"Kamu sekamar dengan seorang pria tanpa memakai busana sambil terawa-tawa, apa itu salah paham namanya?" tanya Evans dengan suara datar.

"Kak.." Lisa menghela nafas dan mulai terisak. "Aku minta maaf. Kejadian itu tidak sengaja, Kak. Aku dalam pengaruh alkohol waktu itu. Aku sedikit lepas kontrol sewaktu minum. Aku pikir, aku tidak akan mabuk..."

"Sudahlah Lisa," potong Evans. "Aku maafkan semua kesalahanmu itu. Kita sudah berakhir dan jangan lagi hubungi aku."

Bip bip bip..

Evans memutuskan sambungan telepon. Dia menghela nafas berupaya sabar. Lalu kembali berjalan menuju ujung lapangan.

"Hei, siapa itu yang datang ya? Katanya nggak mau ikut. Hahahhah." Revin tertawa terbahak-bahak.

"Hahahhah." Beberapa anggota panitia Ospek juga ikut tertawa.

"Siapa juga yang mau ikutan? Sudah jam berapa ini? Kalian nggak kasihan sama anak- anak ini yang sudah pada kelaparan? Ayo semua bubar makan siang. Jam dua siang kumpul lagi di sini," ucap Evans membubarkan barisan.

Evans pergi disusul Revin. "Evans, kenapa masam banget tuh wajah?" tanya Revin sambil merangkul Evans.

"Biasa. Tadi ada salah satu anggota panitia Ospek yang bersikap arogan. Kamu kan tahu aku tidak suka hal semacam itu," jelas Evans.

"Masak sih gara-gara itu? Aku nggak percaya. Bagaimana kalau aku menghubungi Lisa, biar dia ikut ke kantin sekalian menghiburmu," bujuk Revin.

"Jangan. Aku sudah putus dari dia." Evans melepas rangkulan Revin.

"Hah? Seriusan itu?" tanya Revin seolah tak percaya.

"Iya," jawab Evans singkat.

"Kenapa?" tanya Revin tak sabar.

"Itu privasi," ucapnya seraya terus berjalan.

"Ahhh, kamu g*ila ya? Lisa cantik, seksi, pintar juga sederajat. Terus kenapa putus?" tanya Revin bingung. "Aah atau jangan-jangan kamu punya gebetan baru lagi ya?" tanyanya lagi mencoba menebak.

"Kok tahu sih? Kamu hebat sekali ya." Evans menepuk bahu Revin.

"Begitu ya kehidupanmu, Bro. Bebas sesuka hati ganti kekasih. Sudah berapa coba? Yang kutahu saja lumayan banyak. Cantik, seksi, elegan. Waw!" tukas Revin setengah mengejek.

"Kamu kan juga begitu! Sudahlah ayo pesan makanan. Aku sudah lapar," ucap Evans seraya duduk dan memesan makanan lalu tidak sengaja melihat seseorang yang sedang duduk sendirian.

"Jadi, siapa gebetanmu sekarang?" Revin bertanya sambil ikut duduk dan memesan makanan juga.

"Itu." Evans menunjuk ke salah satu meja di sudut ruangan. Revin seketika itu juga melihat ke arah yang ditunjuk. Dan seolah tidak percaya mulutnya sampai mengaga.

"Itu cewek zaman kapan? Itu seriusan gebetanmu?" tanya Revin bingung.

"Kenapa, Vin?" tanya Evans sambil melempar senyum ke gadis itu. Gadis itu tersenyum kecil lalu menunduk malu.

Revin memperhatikan apa yang barusan terjadi. "Beneran ya? Sejak kapan seleramu berubah?" tanya Revin sambil tersenyum.

"Memangnya kenapa?" tanya Evans masih melihat ke arah gadis itu.

"Polos banget. Hahhaha. Tapi manis sih," jawab Revin seraya ikut memperhatikan gadis itu.

"Iya. Cantik, kan? Beneran cantik," kata Evans tersenyum sambil memakan makanan yang baru saja dihidangkan.

"Iya manislah. Polos gitu kayaknya." Revin masih memperhatikan gadis itu. "Sendirian aja tuh dia. Coba sapa."

"Tidak. Nanti saja di waktu yang tepat. Mending makan dulu tuh makananmu," jawab Evans sambil tetap terus menghabiskan makanannya.

"Oh iya. Lupa." Lalu Revin mulai memakan pesanannya.

Tidak berapa lama kemudian.

"Kak." Evans memanggil pelayan kantin.

"Iya, kenapa, Evans? Mau tambah pesanan?" tanya kakak kantin yang memang sudah mengenal Evans sebagai langganan lamanya.

"Cewek cantik yang duduk sendirian itu. Pakai baju putih garis-garis." Evans menunjuk meja di sudut ruangan.

"Oh, kenapa dia?" tanya Kakak kantin.

"Mulai hari ini sampai seterusnya kalau dia makan di sini, saya yang bayar. Jadi, tagihannya kasih ke saya saja ya, Kak," ucap Evans sambil tersenyum sopan.

"Heheheh, oke deh." Kakak kantin itu mengacungkan jempol tanda setuju lalu pergi meladeni pelanggan lain.

"Hei, cara apaan kayak gitu?" tanya Revin merasa lucu.

"Itu namanya perhatian di muka." Evans tersenyum. Lalu terdiam sejenak sambil berpikir. Mulai sekarang dia tidak akan mengikuti syarat mama dan papanya lagi dalam mencari pasangan. Dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan.

Evans

***

Terimakasih atas Like, Comment dan Vote-nya ya, Kak! 😉

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!