"Yemma, ana pengen kuliah, gak mau mondok ma" rengek Mahda saat Haniyah mengutarakan kembali niat nya untuk memasukan Mahda ke pondok pesantren.
Haniyah sudah beberapa kali mengatakan pada Mahda akan memasukan nya ke pesantren. Ia hawatir dengan sikap barbar dan juga pergaulan di sekolah nya membuat Mahda terbawa dengan pergaulan yang tidak pantas.
Zein dan Haniyah selaku orang tua sering menasehati nya, namun Mahda tetaplah Mahda yang keras berbeda dengan Aly yang selalu manut bahkan ia sedari kecil sudah masuk pesantren.
"Kuliah bisa sambil mesantren Da. Banyak loh pondokan yang memfasilitasi pendidikan nya sampe kuliah. Kamu itu loh, ngeyel mulu, sekali ini coba nurut sama Yemma sama Yebba" tutur Haniyah.
Mahda mendengus kesal mendengar ucapan Haniyah yang tak bisa di ganggu gugat lagi. Kali ini ia hanya bisa pasrah dengan rencana ke dua orang tua nya.
***
Tiba hari itu dimana Mahda harus berangkat menuju pesantren, tempat di mana ia harus menimba ilmu saat ini.
Ia harus mengubur dalam-dalam cita-cita nya untuk menjadi seorang dokter demi memenuhi keinginan Yemma dan Yebba nya. Anggaplah untuk membahagiakan mereka yang selama ini sudah membahagiakan nya.
"Aku pengen uang bulanan nya segini, kalau engga aku gak mau mondok" ucap Mahda.
"Kalau kaya gitu kamu gak bakalan tahu rasa nya prihatin di pondok Da. Kamu itu harus belajar hemat, gak boleh boros. Yemma jatah kamu sama kaya abang kamu" jelas Haniyah.
"Yebba.." rengek Mahda.
"Beik, sini sayang" ucap Zein dan menepuk sofa di sebelah nya.
Mahda pun berjalan menuju Zein dan meringkuk di pangkuan Zein.
"Kata Yebba dulu Yemma tuh lembut, kenapa sekarang garang kaya gini?" adu Mahda pada Zein.
"Coba Mahda yang nurut sama Yemma, pasti Yemma lembut lagi kaya dulu" ucap Zein dan mengedipkan sebelah mata nya pada Haniyah.
Di usia nya yang sudah tidak muda lagi Zein masih tetap suka menggoda Haniyah bahkan meminta jatah. Zein pun berencana ingin menambah momongan kembali setelah Mahda berangkat ke pesantren, itu pun jika Haniyah mau.
"Aku mondok di pesantren Njid (kakek) aja ya Ba" rengek Mahda.
"Lah, kan sekarang emang Mahda ngaji di Njid. Kedepan nya Mahda harus punya guru" jelas Zein.
"Guru Mahda kan udah ada. Ada Yebba, Jiddah, Njid, Ustadz, Ustadzah di pondok dan juga Yemma" tutur Mahda dengan mendelikan mata nya ke arah Haniyah.
Sumpah
Haniyah geli melihat tingkah Mahda yang semakin kesini semakin mirip dengan Irfan. Kekonyolan nya, cara menentang nya, rese nya bak fotocopy-an Irfan.
Akhirnya dengan berat hati Mahda melangkahkan kaki nya mengikuti Yemma dan juga Yebba nya yang sudah terlebih dahulu berjalan keluar.
"Mahda, ayo baca dulu niat nya sebelum berangkat!" tutur Haniyah dan membalikan badan nya.
"Loh, Mahda? Mahda mana? Mahda?" teriak Haniyah.
Tanpa sepengetahuan Zein dan Haniyah, Mahda menyelinap kembali ke kamar nya karna tak ingin berangkat ke pesantren.
***
Di dalam kamar dengan nafas yang masih terengah-engah, Mahda bersembunyi di bawah tempat tidur nya yang begitu sempit dan pendek. Berharap Yemma nya takkan menemukan nya lalu memaksa nya berangkat ke pesantren.
"Mahda.. (dor dor dor) Buka pintu nya!" teriak Haniyah dari luar pintu.
Mahda tak bergeming, ia tetap diam tak menjawab. Dengan hati yang jengkel akhir nya Haniyah masuk ke dalam kamar anak gadis nya tersebut.
Mengecek ke dalam kamar mandi, walk in closet dan juga lemari-lemari yang berjejer rapih di sana.
Nihil.
Mahda tak di temukan.
Chimm..
Samar tedengar seperti orang yang menahan bersin.
Yahdik, lagi kepepet gini malah bersin. Ini mbak jarang bersihin kolong ranjang tempat tidur gue kayak nya.
Sungut Mahda sebal di bawah kolong tempat tidur.
"Mahda, keluar!" ucap Haniyah lagi.
Haniyah mendengar gradak gruduk di bawah tempat tidur Mahda. Sejenak terdiam.
"Allah.. Ahh, tikus, tikus, ada tikus" teriak Haniyah dan berlagak melompat seperti benar-benar ketakutan padahal niat nya hanya ingin membuat Mahda keluar dari tempat persembunyian nya.
"Tikus? Tikus? Ahhh.." Mahda dari bawah tempat tidur akhir nya ikut berteriak.
Menggeser tubuh nya dengan cepat hingga terbentur kayu-kayu tempat tidur nya.
Dugh.. Aww..
Ringis Mahda.
"Yemma tolong, Mahda gak bisa keluar" rengek Mahda dengan menyembulkan sebelah wajah nya.
"Hah, anak nakal. Rasain" sungut Haniyah.
"Keluar sendiri lah, tadi nya juga masuk sendiri" ucap Haniyah.
"Ma, ini tubuh ku nyangkut" ucap Mahda lagi.
"Makan nya jangan nakal jadi anak" ucap Haniyah dan membantu Mahda keluar dari bawah tempat tidur nya.
"Karma itu tak semanis kurma apalagi membantah perintah orang tua" lanjut Haniyah.
"Iya ma" ucap Mahda pasrah.
Nah kan di ceramahin lagi.
Batin Mahda.
"Kamu tuh Yemma suruh masuk pesantren buat nyari ilmu, buat kamu juga. Biar kamu tahu mana haq dan yang bathil. Bukan nya yemma, yebba gak sayang, justru karna kami semua sayang sama Mahda" jelas Haniyah yang kini menjadi lembut.
"Mahda takut, nanti di sana gimana? Orang-orang nya, tempat nya" keluh Mahda dengan menundukan kepala nya.
"Kamu harus beradaptasi" timpal Haniyah lembut.
"Bismillah ya!" bujuk Haniyah lagi.
"Iya deh, bismillah" ucap Mahda kian pasrah.
Tak terasa, bulir-bulir bening dari mata nya mulai keluar begitu saja. Mahda tak bisa membayangkan hari-hari nya nanti di pesantren, jauh dari keluarga apalagi dari yebba nya yang begitu dekat dengan nya. Semua fasilitas mewah dan kesenangan nya, mungkin saat ini adalah waktu nya untuk mengucapkan selamat tinggal untuk sementara waktu pada semua nya.
*Selamat tinggal kasur yang empuk
Selamat tinggal baju-baju branded
Selamat tinggal tas dan sepatu cantik
Selamat tinggal karpet rasfur yang lembut tempat gue tiduran seharian
Selamat tinggal kamar yang luas
Selamat tinggal rumah yang penuh kenyamanan, dan selamat datang dunia baru yang penuh orang dengan berbagai sifat berbeda-beda di dalam nya*.
Di depan pintu rumah njid dan juga jiddah nya telah menunggu Mahda. Dengan senyum manis jiddah Ita merangkul dan memeluk Mahda.
"Udah siap kan?" tanya jiddah Ita.
"Udah jiddah" jawab Mahda.
"Ayo, niat dulu!" titah njid Mahbub.
Mahda pun di tuntun melafalkan niat mencari ilmu sebelum berangkat dan juga di do'akan oleh Zein sendiri.
Sepanjang perjalanan Mahda terus diam. Mungkin ia merasa sedih atau apa, entahlah.
"Kamu tahu sayang, dulu yemma mu juga susah masuk pondok, sedikit di paksa, eh pas udah di pondok malah keenakan, betah gak mau keluar" tutur jiddah Ita.
"Masa sih jiddah? Jiddah tau dari mana?" tanya Mahda tak percaya pada apa yang di ucapkan jiddah Ita.
"Beneran. Kata almarhum njid kamu. Nih ya, saking betah nya yemma di pondok dulu, pas udah nikah masih tetep pengen tinggal di pondok, kalau anak yang lain sih jarang kaya gitu" jelas jiddah Ita lagi.
"Beneran tuh yemma?" kini Mahda berbalik tanya pada Haniyah yang duduk di belakang nya.
"Iya" jawab Haniyah.
"Tuh kan. Jadi sekarang kamu yang bener ya di pondok. Belajar yang rajin, jangan ngelanggar peraturan, yang patuh, sopan sama orang lain apalagi sama yang lebih tua" jiddah Ita memberi wejangan pada Mahda.
"Iya deh jiddah, in syaa Allah" ucap Mahda.
***
Saat Zein dan keluarga tiba di pesantren, mereka langsung di sambut hangat oleh pengurus. Mengapa tidak, Zein sudah sering datang kesana karna Aly pun juga menempuh pendidikan di pesantren tersebut.
Haniyah di berikan formulir pendaftaran juga rincian biaya untuk Mahda selama di pesantren. Saat ini, pesantren dan sekolah sama-sama mengelurkan biaya yang cukup besar, satu kitab pun tak jarang harga nya berharga ratusan ribu.
Setelah mengikuti beberapa test, akhir nya Mahda bisa masuk ke pesantren tersebut dengan beberapa peraturan yang berlaku.
"Yemma tega ninggalin aku di sini?" rengek Mahda dengan sendu sambil terus memeluk Haniyah.
"Kata nya siap, ko melow gini? Di sini banyak orang loh, Da. Kamu gak sendiri. Tuh, abang kamu juga ada di sini" tutur Haniyah.
"Kalau Mahda gak betah gimana?" tanya Mahda.
"Harus betah dong! Nanti yemma kasih hadiah kalau kamu betah, rajin, pinter, lancar hafalan nya" tutur Haniyah menyemangati Mahda.
"Sawa' (beneran)?" tanya Mahda meyakinkan.
"In syaa Allah" jawab Haniyah dengan di hiasi senyum manis dari bibir nya.
***
Haniyah dan jiddah Ita terlebih dahulu soan (silaturahmi) kepada pemilik pondok sebelum mengantarkan Mahda ke asrama.
Zein dan Haniyah sengaja tak memasukan ke dua anak nya ke pesantren tempat dahulu mereka menimba ilmu, alasan nya agar mereka tak manja. Karna mereka yakin jika Aly dan Mahda di tempatkan di sana akan di fasilitasi dengan sangat nyaman dan cukup di hormati. Mereka ingin Aly dan Mahda menjadi santri sebagai mana mesti nya, merasakan hidup dalam kesederhanaan tanpa melihat kasta dan juga tahta.
Selesai berbincang Haniyah dan jiddah Ita juga Mahda pamit menuju asrama. Asrama yang cukup luas dengan 2 lantai, taman yang cukup luas juga menambah asri dan mempercantik area asrama tersebut.
Dengan di antar oleh seorang pengurus, Mahda dan Haniyah di antar ke kamar asrama. Sementara jiddah Ita, ia pamit keluar.
Menempati ghurfah Az-zahra di lantai 2, Mahda menelisik setiap sudut tempat tersebut.
Lumayan nyaman, gak parah-parah banget. Udara juga dingin gak perlu ac, hammam (kamar mandi) juga banyak, taman luas, ah betah nih kayak nya.
Gumam Mahda.
Mahda segera memasukan satu per satu baju nya ke dalam lemari yang telah di sediakan. Banyak pasang mata santri yang terus menatap ke arah nya.
Maklum lah, santri baru.
Fikir nya lagi.
"Ma, lemari nya gak muat" keluh Mahda.
"Lah, emang kamu bawa baju berapa Da?" tanya Haniyah heran.
"Baju tidur 5, abaya 7, gamis biasa 5, handuk 2, mukena 3, kerudung 10, daleman, udah segitu doang" jelas Mahda tanpa merasa bersalah.
"Astaghfirulloh Mahda, kebanyakan. Kalau di pesantren baju tuh di jatah, ini-ya Allah, sini yemma pilihin" gerutu Haniyah.
Sementara pengurus yang tadi mengantar nya hanya tersenyum.
"Nah, segini cukup, iya kan mbak?" tanya Haniyah pada pengurus tadi.
"Iya bu" jawab nya sopan.
"Yemma, mana cukup. Nanti kalau baju aku kotor atau masih basah gimana?" rengek Mahda.
"Ya kamu harus rajin lah, kalau udah di pake langsung cuci biar cepet kering! Bisa di pake lagi" jelas Haniyah.
"Cuci kering pake dong? Mana bisa sih yemma, nyuci sama laundry langsung di anterin lagi" ucap Mahda masih merajuk.
"Siapa yang bilang nyuci nya sama laundry, cuci sendiri Mahda" timpal Haniyah.
"Haaahhhh, yemma"
Mahda kembali berdrama. Ia merajuk pada pengurus agar di perbolehkan membawa baju banyak dan mencuci ke laundry, namun sayang pengurus pun tak memberikan nya izin sekalipun Mahda anak seorang yang dekat dengan pemilik pondok.
***
Kini saat nya Mahda berpisah dengan keluarga nya. Memulai hidup baru di pesantren dengan teman-teman yang baru ia kenal beberapa waktu lalu.
Mulai mencari ilmu agama, menggali lebih dalam lagi tentang agama. Lebih mengenal lagi tentang sang Pencipta, juga bagaimana cara mendapat syafaat dan keridhoan-Nya.
"Jiddah, do'ain Mahda ya" pinta Mahda sembari memeluk jiddah Ita.
"Tentu, jiddah akan selalu mendo'akan cucu jiddah yang paling jiddah sayangi ini" timpal jiddah Ita haru.
"Yebba, sering-sering tengokin Mahda ya" pinta Mahda.
"In syaa Allah" jawab Zein tenang padahal jauh di lubuk hati nya ia begitu sedih harus melepaskan putri kesayangan nya di pesantren.
Namun ini semua juga demi kebaikan nya Mahda. Ia tak ingin menjadi orang tua yang lalai dengan pendidikan agama anak nya.
Meskipun Mahda belajar di pesantren milik abi nya, ia tetap memutuskan untuk memasukan nya ke pesantren agar wawasan nya lebih luas juga ia bisa merasakan indah nya hidup di pesantren.
"Sholehah nya yemma" ucap Haniyah sendu seraya memeluk anak gadis nya.
"Yang betah ya sayang. Semoga mendapat ilmu yang barokah dan bermanfa'at" lanjut Haniyah dan sedikit menyeka air mata nya.
Tak dapat di pungkiri, meskipun ia sering bertengkar dengar anak gadis nya ini namun melepas nya kini membuat nya menitihkan air mata juga.
"Yemma" hanya rengekan yang keluar dari mulut manis Mahda.
Ia menangis tersedu di pelukan wanita yang telah melahirkan dan membesarkan nya sampai saat ini.
"Udah gih balek ke dalem. Yemma pulang dulu ya. Nanti yemma jenguk lagi. Kalau butuh apa-apa, minta mbak hubungi yemma!" titah Haniyah.
Mahda pun mengangguki ucapan Haniyah. Menyalami satu persatu keluarga nya. Sayang nya ami dan amati nya tak ikut, ya Irfan dan Lulu. Mereka berhalangan mengantarkan Mahda ke pesantren karna tengah pulang ke kampung halaman Irfan.
Dengan berderai air mata Mahda melepaskan semua keluarga nya kembali pulang. Meninggalkan diri nya sendiri di sini.
"Udah, jangan drama. Masuk sana!" ucap Aly yang berdiri di samping Mahda.
"Cih, jadi abang gak ada empati nya sama sekali. Peluk, tenangin adek nya kek, gimana gitu" decih Mahda.
"Mau di kira pacaran?" tanya Aly menantang.
"Masa iya pacaran sama abang sendiri, jangan nagco deh" kekeh Mahda.
"Ya udah, sana masuk! Sebelum pintu gerbang nya di kunci" titah Aly tegas.
"Nggeh, abang" timpal Mahda dan berlalu dari hadapan Aly.
Tadi aja ada yebba, yemma, diem aja, kalem. Cuma nggeh, nggeh, baru pergi udah ngatur.
Gerutu Mahda sambil berjalan ke arah asrama.
Malam pertama di pesantren di lalui Mahda dengan gelisah. Bagaimana tidak? Ini kali pertama nya ia jauh dari keluarga nya, biasa nya mentok-mentok ia jauh jika menginap di rumah jiddah Ita.
Mahda menatap sekitar nya, semua sudah tertidur pulas, mengarungi lautan mimpi nya masing-masing. Ruangan gelap menambah kegelisahan Mahda malam ini.
"Duh, pengen pipis lagi" gumam Mahda.
"Keluar gelap, gak keluar kebelet" gumam nya lagi.
Akhir nya dengan memberanikan diri, Mahda berjinjit keluar menuju kamar mandi yang terletak tepat di depan ruang lemari.
Sepi, sunyi, dingin, mencekam.
Kata yang pantas untuk saat ini.
Selain karna pesantren tersebut berada di dataran tinggi, suasana malam menjadi pendukung keadaan semakin dingin.
Kriieett
Terdengar suara pintu terbuka.
"Siapa yang di belakang ana?" tanya Mahda pelan.
Diam
Tak ada jawaban dari arah belakang nya.
"Hey, siapa di sono? Ana nanya" tanya Mahda lagi.
Masih tetap tak ada jawaban.
Pelan tapi pasti Mahda membalikan badan nya memastikan ada seseorang atau tidak di belakang nya.
Astaghfirulloh-hal 'adzim
Ucap Mahda dan seorang wanita di hadapan nya. Ke dua nya sama-sama terkejut, di tambah kondisi wanita di hadapan nya baru bangun tidur.
"Hey, siapa kamu?" tanya Mahda menelisik.
"Ana Maira, kamu santri baru kan?" tanya balik Maira.
"Ya" jawab Mahda.
"Oh, saya duluan ya udah kebelet" pamit nya dengan langkah cepat menuju kamar mandi.
"Lah, ko malah dia yang duluan, kan gue yang tadi kebelet" gerutu nya.
***
Akhir nya setelah menuntaskan hajat nya ia bisa tertidur setelah berusaha keras dengan membaca berbagai macam sholawat juga surah-surah Al Qur'an agar ia bisa tertidur.
Tepat pukul 03.00 Mahda kembali terbangun. Mahda pun memutuskan untuk melaksanakan sholat qiyamul-lail.
Berdo'a dan membaca beberapa ayat suci Al Qur'an sebelum kembali tertidur.
***
"Shit, gue kesiangan" sungut Mahda menyadari diri nya hampir saja ketinggalan sholat subuh berjamaah di hari pertama nya di pesantren karna tak ada yang membangunkan nya.
"Gak lagi-lagi deh tidur abis tahajjud, hampir ketinggalan kan" gerutu nya lagi.
Mahda memilih tempat di pojokan sebagai tempat sholat nya, agar ia bisa bersandar pada tembok jika nanti membaca wirid selepas sholat subuh.
Sekuat tenaga Mahda menahan kantuk nya saat tengah berwirid. Rasa nya masih gengsi untuk bersikap leha-leha di saat status nya masih menjadi status baru, harus di siplin. Eh, meski pun udah lama harus terus di siplin dong.
Di hari pertama nya, Mahda di tugaskan untuk menyapu halaman depan asrama sebagai jadwal piket nya.
"Makan yuk!" ajak Sofia.
"Hayuk, lapar juga" timpal Mahda.
Tepak bulat dengan 3 sekat menjadi tempat makan Mahda saat ini, bukan piring besar yang selalu tertata rapih di meja makan nya.
Nasi goreng jawa dan seiris tempe menjadi menu makan nya pagi ini. Nasi yang di jatah dan juga lauk pauk nya, bukan nasi yang sesuka hati ia tambah tatkala masih kurang.
Yemma, Mahda kangen masakan yemma.
Batin Mahda saat berhasil menyuapkan nasi goreng tersebut ke dalam mulut nya.
Selesai makan Mahda harus mencuci tepak nya sendiri, berbeda ketika di rumah, setelah makan ia langsung meninggalkan piring bekas nya. Jarang sekali ia menyentuh piring bekas makan nya lalu mencuci nya sendiri.
***
Hari pertama nya, Mahda dan juga santri yang lain di kumpulkan di sebuah bangunan luas seperti aula.
Bu Nyai, sebagai pemilik pondok memberikan sambutan juga wejangan kepada semua santri baru.
Di sini, tidak ada si miskin dan si kaya. Semua nya sama, di perlakukan dengan sama.
Jelas Bu Nyai.
Selanjutnya, semua santri baru di persilahkan untuk memperkenalkan diri nya masing-masing di hadapan semua santri.
"Itu adek nya bang Aly ya?" bisik salah satu santriyah yang masih bisa terdengar oleh Mahda.
Mahda menoleh dan tersenyum pada orang yang tadi berbisik. Menampilkan senyum manis nya kepada santriyah yang tengah berbisik-bisik tersebut. Ke dua orang tersebut nampak grogi saat Mahda menoleh dan tersenyum ke arah nya.
"Kedengeran kan" ke dua orang tersebut saling menyalahkan dengan tangan menyikut satu sama lain.
Selesai acara perkenalan semua santriyah kembali ke asrama, tak terkecuali Mahda. Ia memilih duduk di bangku dekat taman.
Menatap langit terang berwarna biru yang menghampar luas tepat berada di kepala nya. Panas nya sinar matahari menyelusup masuk ke celah-celah serat kerudung nya, menyisihkan rasa panas yang mulai meresap ke dalam kulit.
Mahda masih tak menyangka sekarang ia berada di sini, di tempat yang jauh dari keluarga nya terkecuali hanya abang nya dan tentu nya jauh dari kesan mewah.
Mahda menangis dalam diam, merenungi diri nya kini yang entah harus mulai dari mana untuk beradaptasi dengan semua ini.
"Kenapa nangis?" tanya Maira, orang yang semalam bertemu dengan nya saat hendak ke kamar mandi.
"Eh, gak papa" jawab Mahda lalu menghapus air mata nya kasar.
"Hemm, keluarin aja, wajar ko, ana fahim (ngerti)" tutur Maira.
Mahda hanya terdiam tak menanggapi ucapan Maira yang kini duduk di sebelah nya.
"Ana dulu juga kaya gitu ko, ngerasa kesel, serasa di buang di tempat ini, nangis tiap hari di pojokan atau di hammam (kamar mandi), tapi ya, seiring waktu kita akan terbiasa. Percaya deh, kita berada di tempat yang tepat" jelas Maira.
"Syukron" ucap Mahda di hiasi senyum manis nya.
Ke dua nya saling berjabat tangan. Tanda pertemanan juga kekeluargaan mereka di mulai. Bukankah semua yang ada di sini itu adalah sebuah keluarga meskipun terlahir dari rahim yang berbeda?
***
Matahari mulai beranjak ke peraduan nya, membawa cahaya terang, meredupkan alam semesta, menggiring setiap insan untuk menghentikan sejenak aktivitas duniawi nya.
Sebelum waktu maghrib tiba, semua santri berkumpul di mushola untuk membaca Basyairul khoirot.
Hati Mahda sedikit tenang saat membaca lantunan menyejukan hati nya tersebut. Melupakan kesedihan nya menjadi santri baru yang kerjaan nya saat ini hanya menangis merindukan rumah dan segala tentang nya.
Masih gak nyangka hidup berubah dalam sekejap. Tanpa hp, tanpa semua nya.
Ucap Mahda dalam hati.
***
Hari silih berganti. Kini Mahda sudah benar-benar nyaman berada di pesantren. Bahkan sifat asli nya mulai bermunculan, dari mulai jahil hingga konyol.
"Da, ada yang bistel" teriak Zilva dari luar kamar mandi.
"Siapa?" balik teriak Mahda.
"Gak tahu" jawab Zilva.
Dengan jubah yang sedikit basah, Mahda berjalan menuju saung di samping sekolah RA, tempat di mana para santri bisa bertemu dengan keluarga yang mengunjungi nya.
Mahda mematung menatap siapa yang datang menyambangi nya kali ini. Orang tersebut terus membelakangi Mahda hingga membuat nya penasaran.
Postur tubuh nya mirip seseorang, seseorang yang ia rindukan selama ini.
Kaya Haidar.
Batin Mahda.
Ya, seseorang yang sudah hampir 2 tahun mengisi hari-hari nya. Sebuah nama indah yang telah ia patri di relung hati nya. Seseorang yang amat ia cintai namun harus terpisah jarak dan waktu.
Tapi gak mungkin deh dia kemari. Mana bisa? Yang ada jadi masalah.
Gumam Mahda.
"Siapa ya?" tanya Mahda memastikan sebelum seseorang tersebut membalikan badan nya se-persekian detik kemudian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!