NovelToon NovelToon

SEPERTI QA'IS DAN LAILA

•> BAB 1 <•

"Dan, pemenang penyanyi pendatang baru terfavorit tahun ini diraih oleh, Dhira Syah ...."

Gemuruh tepuk tangan para penonton yang hadir, mengembangkan senyum bangga di bibir gadis berusia delapan belas tahun pemilik nama itu. Dengan balutan gaun malam yang menjuntai gadis itu naik ke atas panggung yang selama setahun ini telah membesarkan namanya.

Andhira Kirana Syahputri, yang lebih dikenal dengan Dhira Syah. Putri satu-satunya Alvina Devi dan Afrizal Syahputra. Gadis cantik yang semakin terlihat anggun dan berkharisma dengan balutan hijab menutupi mahkota perempuannya.

Berawal dari iseng karena ditantang teman sekelasnya, Dhira mengikuti audisi kontes menyanyi. Siapa sangka suara emas yang biasa dia tunjukkan di panggung pentas perpisahan sekolahnya sekarang banyak dinanti-nantikan oleh penggemarnya yang nggak hanya dari kalangan remaja, tapi juga ibu-ibu pemburu menantu. Anda juga Bu?

"Makasih ...." ucap Dhira disertai senyum manis setelah menerima tropi dan juga beberapa hadiah.

"Assalamualaikum warahmatullahi waa barakatuh ... Alhamdulillah, Dhira nggak nyangka akan mendapatkan predikat sebagai pemenang penyanyi pendatang baru terfavorit." Dhira berusaha menahan harunya.

"Terima kasih Allah, ini semua berkatMu. Makasih buat Mami, Bunda, dan Mama, Dhira mencintai kalian. Buat Mbak dan Mas Nau, Mbak Din sama Mas Dafa, Mas Malik juga Mbak Mala, Mbak Ipeh ini kemenangan kalian. Makasih buat support kalian. Juga buat para penggemar Dhira, makasih sudah dukung Dhira sampai disini. Sekali lagi makasih buat kalian semua yang nggak bisa Dhira sebutin satu-satu. Assalamualaikum ...." Dengan senyum Dhira mengakhiri ucapan terima kasihnya.

Raut bahagia terpancar dari wajahnya. Seolah tak lelah, senyum mengulum mewakili kebahagiaannya. Dia berjalan ke arah Nauval yang duduk di barisan kursi penonton. Beberapa artis terkenal juga teman sesama kontestannya dulu, memberi selamat.

"Selamat ya Dek. Mas ikut senang," ucap Nauval tanpa uluran tangan atau pelukan. Hanya senyum yang dia berikan untuk luapan kebahagiaan.

"Dhira seneng bangeeetttt Mas ... Dhira pengen peluk Mami, Bunda sama Mama. Juga pamerin kemenangan Dhira."

"Nanti biar Mas yang minta cuti beberapa hari ke pihak manajemen kamu." Dhira hanya membalas dengan anggukan.

Rentetan acara selesai. Ditemani Nauval, Dhira keluar. Nauval memastikan keamanan Dhira dari kejaran pemburu berita. Setelah beberapa menit memuaskan hasrat para wartawan dengan berfoto dan menjawab beberapa pertanyaan mereka, Dhira dan Nauval berjalan menuju parkiran.

Permintaan Nauval untuk menunggu di lobi tidak diindahkan Dhira dengan alasan takut sendiri. Dia takut kalau tiba-tiba ada fans fanatiknya yang menyerang, siapa yang mau melindunginya?

"Seneng banget Mi .... Dhira nggak sabar pengen peluk Mami. Mas Nau nanti yang izinin Dhira ke Mak Pit," jelas Dhira ke wanita di seberang yang sudah setahun tak dijumpainya.

Berjalan di belakang gadis manis itu, Nauval tersenyum melihat rona bahagia yang dari tadi Dhira pancarkan. Sungguh, tiada apapun yang berarti buat Nauval selain senyum Dhira.

"Awas!" teriak Nauval. Dengan cepat dia tarik tangan Dhira dan merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Sebuah mobil meluncur dan menikung tajam.

"Aduh!" pekik Dhira. Gerakan cepat Nauval membuat kaki Dhira yang memakai heel terkilir.

"Apanya yang sakit Dek?" tanya Nauval tanpa melepas pelukannya, nada kecemasan terdengar dari suaranya. Namun, Dhira sadar dengan status publik figur yang dia sandang. Pelan dia dorong tubuh Nauval untuk membebaskan tubuhnya dan kembali menjaga jarak.

Meskipun setiap hari mereka bersama, tapi mereka bukanlah muhrim. Nauval dan Dhira tahu batasan yang harus mereka jaga. Dhira juga nggak mau segala gerak geriknya memancing para pemburu berita mengeksposnya dan menjadikannya konsumsi publik. Ada harga diri yang harus dia jaga selain harga dirinya sendiri.

"Kayaknya kaki Dhira terkilir Mas ...." ucap Dhira menahan sakit.

"Yang mana?" seru Nauval. Dia tunjukkan kecemasannya dengan bertekuk lutut dan memastikan sakit yang Dhira keluhkan.

"Nggak usah sampai kayak gitu Mas." Dhira memundurkan tubuhnya. Sekali lagi, dia berusaha menjaga image nya sebagai seorang artis muda yang baru naik daun.

"Kamu tunggu sini aja, aku ambil mobilnya."

Nauval lajukan mobilnya di tengah lengangnya jalanan ibukota. Jam menunjukkan setengah satu dini hari. Namun, tak serta membuat kota ini tidur, hanya lengang bukan berarti tidur.

"Kamu sudah telpon Naura sama Dinda buat nyambut kamu di lobi?" Pertanyaan Nauval tak dihiraukan Dhira. Pemenang award penyanyi pendatang baru itu lebih memilih sibuk membalas setiap ucapan selamat di akun sosmednya. Nauval lebih memilih diam dan konsentrasi dengan setirnya.

Senyum itu masih belum pudar.

"Astaga, Mas! Kemal Abdullah mengirimkan ucapan selamat buat aku!" Dhira melonjak girang sambil memamerkan ponselnya ke Nauval. Nauval menoleh sekilas lalu tersenyum.

"Mas Nau tau kan siapa Kemal Abdullah? Pembalap terkenal dari Singapura. Dia asli Indonesia loh Mas, kabarnya kontraknya udah habis, dia mau pulang ke Indonesia. Sambil nunggu kejuaraan selanjutnya ... ... ..." cerocos Dhira. Dia adalah pengagum Kemal Abdullah.

'Lebih dari yang kamu tahu, aku tahu siapa dia,' batin Nauval.

"Semoga besok Dhira diberi kesempatan buat ketemu dan foto bareng sama dia," ujar Dhira penuh pengharapan.

'Andai kamu tahu siapa dia!' Nauval masih bicara dalam batinnya. Dia tidak mau, semua kebenaran yang dipendam selama belasan tahun terungkap dari mulutnya.

Memasuki area apartemen elite di Jakarta. Terlihat Naura dan Dinda berdiri di depan pintu masuk apartemen. Senyum bahagia mereka berdua, sudah tersungging saat melihat mobil yang mereka kenali. Dinda dengan setelan baju tidur panjang berbahan satin motif bunga sedang Naura dengan daster batik, keduanya juga memakai kerudung berwarna senada.

Nauval menghentikan mobilnya tepat di depan mereka. Tanpa menunggu aba-aba, dua gadis yang usianya hanya terpaut satu tahun itu membuka pintu sedan keluaran terbaru milik Nauval.

"Congratulation ...." pekik Dinda. Usianya baru sembilan belas tahun tapi bentuk tubuhnya seperti janda anak dua. Tubuh adik Dafa ini padat berisi. Montok bin bahenol.

"BarakAllah ...." pekik Naura dan Dhira bareng. Mereka mengoreksi ucapan selamat yang dilontarkan Dinda.

"Iya deh, maap. Ampun dah, kalau berurusan dengan mahasiswi sastra Arab. Kenapa nggak sekalian dulu kuliah di Kairo sono!" seru Dinda. Naura tersenyum manis, sindiran itu untuknya. Karena Dhira memilih untuk fokus berkarir.

"Uhuk uhuk. Kalian tiap hari ketemu, tiap hari bareng, tapi kalau udah ketemu masih saja kayak dunia milik kalian ya ... Mas disini kayak ...."

"Cambah pendek di rawon," sahut ketiganya kompak.

Kalian tahu cambah kan? Nah, toge! Cambah itu bahasa jawa. Kalau makan Rawon, pasti nemu toge pendek kan? Mereka bertiga nggak doyan, jadi nasib toge pendek di piring rawon mereka, ada di pinggiran yang mereka sisihkan.

Tawa mereka meledak.

Dhira turun dari mobil dengan tertatih-tatih menahan sakit di kakinya.

"Loh, kenapa kakimu Dek?" tanya Dinda dan Naura kompak.

"Sakit ... terkilir Mbak ...." ucap Dhira dengan nada manja. Dengan sigap Naura menunduk dan memastikan kondisi kaki Dhira. Dia lepas sepatu hak tinggi yang masih menempel di kaki Dhira. Tanpa menunggu perintah, Nauval menenteng sepatu Dhira.

"Besok ke Mbak Mala ya. Kayaknya sedikit bengkak," ujar Naura. Dhira menjawabnya dengan senyum manis.

"Ini sakit banget loh Mbak Din ... Dhira nggak bisa jalan selangkah pun." Dhira dengan memasang wajah memelas. Nauval tersenyum melihat tingkah manja Dhira.

Seolah mengerti, Dinda ikut jongkok sambil melipat tangan kirinya menggenggam lengan atasnya sendiri membentuk L, Naura pun melakukan hal yang sama. Lalu Dhira mengaitkan genggaman tangannya ke lengan Naura, begitu pun sebaliknya. Dan tanpa takut jatuh Dhira duduk di tengahnya dengan senyum mengembangkan pipinya. Sekali lagi tingkah konyol tiga gadis manis ini membuat Nauval tersenyum, kali ini sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Bagaimanapun, mereka adalah gadis kecil Nauval.

Naura adalah adik kandungnya, dia di besarkan dengan menganggap Bunda Lilin, Ibu yang melahirkannya. Dinda, adik satu-satunya Dafa, meskipun beda ayah, Dafa sangat menyayangi Dinda. Dafa mempercayakan adik semata wayangnya itu ke Nauval selama kuliah di Jakarta. Dan Dhira, Nauval juga menganggapnya adik, tapi dengan rasa yang berbeda.

"Nih, ongkosnya apaan?" seru Dinda.

"Kecupan basah dari seorang Dhira Syah, wakakakak ...." Dhira dengan tawa memecah di lobby apartemen.

"Dek, jangan lebar-lebar." Naura yang di sambut dengan bungkaman telapak tangan Dhira ke mulutnya.

"Awas jatuh!" seru Nauval yang sedari tadi berdiri di belakang Dhira, takutnya tuh gadis mungil terjungkal kebelakang. Sambil menenteng sepatu dan tas Dhira, Nauval menekan tombol akses ke apartemen mereka.

Canda dan tawa tergelak di antara mereka bertiga. Setelah memastikan mereka masuk ke dalam hunian yang ketiga adiknya tempati, Nauval kembali pulang ke rumah kecil yang Alvina belikan atas namanya.

Dia rebahkan tubuhnya di atas kasur king size di kamarnya. Lelah dia rasakan saat sendiri. Dia terpaksa melipat beasiswa S2 nya ke London secara diam-diam, demi menjadi pengawal pribadi Andhira Kirana Syahputri. Putri satu-satunya Alvina dan Rizal. Untuk sebuah kebahagiaan baginya saat melihat senyum manis gadis beda dua belas tahun dengannya itu merekah.

•> BAB 2 <•

"Maafkan mami, Sayang. Mami nggak bisa nemanin Kemal mengenal dunia lebih jauh. Mami bukan Ibu yang melahirkan Kemal, Ayah juga bukan pemilik darah yang mengalir di tubuh Kemal. Namun, percayalah Sayang, doa Mami selalu ada di setiap pijakan langkah Kemal. Mami juga yakin, ayah pun begitu. Berjanjilah sama Mami, jangan pernah mencari Mami, atau Kemal tidak akan pernah melihat Mami lagi."

"Please Mami, please! Jangan tinggalin Kemal! Kemal nggak bisa hidup tanpa Mami! Mami ... Mami ... Please! Mammiiiii ...."

Sekali lagi dan bahkan hampir tiap hari suara tangisan wanita yang paling dia cintai itu menjadi mimpi buruknya. Dengan kasar dia sapu wajahnya yang dibasahi keringat dan air mata. Tangisnya pecah saat rasa rindu itu datang.

Kemal Abdullah, nama itu yang dikenal seluruh dunia. Bukan lagi Kemal Baira Syahputra. Nama itu hanya ada di dokumen pentingnya. Dan semua orang, nggak butuh itu untuk mengenal idolanya.

"Rindu ini tak terbendung lagi Mi ...." gumam Kemal.

'Kring ... Kring ....'

Suara jam weker di nakas sebelah tempat tidurnya memekakkan telinga. Tanpa basa-basi, Kemal menghentikan bunyi weker itu dengan melemparkannya penuh emosi.

Pembalap muda yang di juluki 'The Flash' ini mengumumkan akan vakum sampai kejuaraan berikutnya. Lima tahun dia memuaskan hasratnya menantang maut dengan mengadu kecepatan di sirkuit. Demi mewujudkan impian sang Ayah.

Kemal tersenyum, dia masih ingat bagaimana dulu Ayahnya, Rizal, memangkunya dan mempercayakan kemudi padanya. Tanpa menghiraukan omelan kecil dari sang istri. Meskipun sudah delapan belas tahun, dia masih ingat, bagaimana sang Ayah sangat memanjakannya. Bahkan dekapan serta pelukan itu masih terasa.

'Kemal merindukanmu Yah ....' batinnya.

Mendadak senyum itu memudar. Saat dia teringat bagaimana hari itu dia bangun dan semuanya sudah berubah. Kemal tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelah dia tertidur di atas pangkuan Rizal malam itu, tapi dia masih ingat saat dia bangun semuanya sudah pergi menjauhinya.

Apa yang sebenarnya terjadi malam itu? Bagaimana kronologinya? Kemal menyesal kenapa malam itu dia terlalu pulas tidur di dekapan Ayahnya.

'Drrrttt ... drrrttt ....'

Suara getar ponsel mengembalikan dirinya dari angan masa lalu yang tak pernah bisa dia lupakan.

"Assalamu'alaikum Bae ..."

"Waalaikumsalam Bi. Kemal nggak suka dengan panggilan itu Bi ...." jawab Kemal malas. Dia tekan tombol loudspeaker di ponselnya, lalu membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja di atas ranjang king size nya. Sementara dia melakukan aktifitas mencari sedikit keringat sebelum mandi.

"Bukankah itu namamu juga Tuan Abdullah?"

"Itu nama yang Mami benci. Mami marah besar saat nama itu di sebut oleh mulut siapapun. Apalagi mulut Kemal." Kemal dengan nada penuh penekanan. Dia masih ingat bagaimana raut wajah wanita yang membesarkannya saat mendengar nama itu.

"Karena dia tidak bisa melupakan nama itu, Tuan Abdullah. Nama itu menguarkan rindu yang menjadi candu." Suara itu lirih, tapi Kemal masih bisa mendengarnya.

Betapa cinta itu masih ada. Delapan belas tahun, dan masih utuh bahkan tak pernah runtuh. Entah apa yang ada di pikiran wanita yang Kemal panggil Mami itu, dia lebih memilih tidak menerima keberadaan pria yang darahnya mengalir di tubuhnya. Dan memilih hidup sendiri dan mengasingkan diri.

"Lalu kenapa dia menolakmu, BiQi? Itu karena BiQi tak pantas di cintai." Kemal menjawab pertanyaannya sendiri. BiQi, Abi Baehaqqi, itu panggilan Kemal untuk pria yang sedang berbicara dengannya saat ini.

"Hhh, saat itu dia sedang mengandung. Dan aku terlalu terburu-buru menyerang emosinya. Apalagi dia masih baru menyandang status janda. Dengan PeDe nya aku melamarnya yang saat itu dia dalam masa Iddah." Pria di seberang sana dengan nada penuh penyesalan.

"Seandainya BiQi nggak melakukan itu dulu ...." Nada yang sama keluar dari mulut Kemal.

"Sudahlah Tuan Abdullah. Kamu sudah siap untuk melampiaskan kerinduanmu pada wanita itu?"

"Lebih dari BiQi, aku sangat merindukannya!" tukas Kemal.

"Ketemu di Bandara. Assalamualaikum." Pria yang dipanggil BiQi mengakhiri panggilannya bahkan sebelum Kemal menjawabnya.

Setelah merasa cukup banyak mengeluarkan keringat, Kemal berdiri di balkon apartemennya dan membiarkan keringat itu hilang sebelum dia teruskan dengan membersihkan tubuhnya. Kembali dia teringat akan masa lalunya. Masa lalu yang membawanya sampai disini.

Demi mengabulkan permintaan sang Mami yang memintanya untuk tidak menemuinya, selama delapan belas tahun Kemal turuti semua perintah pria yang sudah merebutnya dari wanita yang dia panggil Mami. Kecuali menjadi pembalap formula yang membawa namanya menjadi idola. Setiap gerak geriknya menjadi sorotan, bukan hanya dari mata para pemburu berita, tapi juga para penggemarnya. Demi apapun, sungguh sebenarnya Kemal juga tidak suka dengan keadaan seperti ini. Namun, Kemal tahu hidup adalah pilihan.

*****

Bandara Juanda tidak seperti biasanya. Semua wartawan lokal dan mancanegara berderet, bahkan rela berdesakan demi mendapatkan berita kepulangan Kemal Abdullah dan Dhira Syah ke tanah kelahirannya.

"Mas Nau, Kemal Abdullah juga orang Surabaya ya?" tanya Dhira sambil menatap lekat ke ponselnya. Dia baca postingan kepulangan Kemal dari akun sosmednya.

"Hem." Nauval singkat.

"Loh, Mas Nau tau?" tanya Dhira penuh selidik dengan 'hem' yang dilontarkan Nauval.

"Ayo, bersiaplah mengahadapi serangan pertanyaan wartawan!" seru Nauval lari dari pertanyaan Dhira.

Dhira menuruti perintah pria yang sudah ditunjuk sang Mami untuk menjadi pengawal pribadinya itu.

Bersama Nauval, Dhira berjalan. Dia bersyukur nggak banyak wartawan yang menunggunya. Karena mungkin berita kedatangan Kemal Abdullah lebih menarik. Dia sempat mengedarkan pandangannya mencari sosok pembalap idolanya itu, tapi Nauval menyadarkannya untuk fokus menjawab pertanyaan wartawan dan segera pergi dari sana.

Setelah puas dengan jawaban yang diberikan Dhira, semua wartawan pergi dengan tertib. Saat itulah Dhira bisa melihat wajah ayu dan senyum penuh ketulusan milik wanita yang melahirkannya. Berdiri dengan pasmina panjang yang dia kaitkan menggunakan pin berbentuk kepala Doraemon menutupi dadanya. Dan kacamata yang dia tenggerkan di atas kepalanya.

"Mamiiiiii ...." pekiknya sambil berlari kecil dengan tangan terlentang dan rindu yang terbentang siap merentang rasa menerobos segala rintang yang menantang.

Pelukan erat mendarat di tubuh yang tetap sama meskipun sudah tak lagi muda. Kecupan Dhira berikan pada wanita yang sangat dia cintai tanpa melepaskan pelukannya. Satu tahun demi mengejar impiannya, dia tinggalkan orang tua tunggalnya itu.

"Mami merindukanmu, Sayang." Suaranya masih sama. Suara yang menjadi candu buat seseorang, bahkan sampai sekarang.

Dhira memejamkan matanya dan memonyongkan bibirnya, ekspresi manjanya dia tunjukkan saat tangan wanita yang melahirkannya menangkup wajahnya. Kecupan di mata, hidung, pipi dan terakhir bibir membuat kebahagiaan tersendiri buat Dhira.

"Apalagi Dhira Mi ... Andai jantung ini bukan ciptaan Allah, mungkin sudah meledak dan berhambur semua rindu yang Dhira tahan selama ini," ucap Dhira.

"Mana Nauval, Yang?" tanya wanita yang dipanggil Mami oleh Dhira.

"Nau di sini Tante Alvi!" pekik Nauval. Pekikannya itu juga sampai ke telinga seseorang.

"Alvi?"

•> BAB 3 <•

"Alvi?" gumamnya.

Pria usia lima puluhan dengan kacamata hitam menutupi garis kerut di pelipis matanya itu kembali keluar dari mobilnya.

"Ada apa Bi?" tanya Kemal heran dari dalam mobil.

Seperti seorang pemburu mencari rusa di tengah hutan, pria yang Kemal panggil BiQi itu mengedarkan pandangan mencari sosok pemilik nama yang mampu membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.

"Apa dia juga disini Jun?" tanyanya pada mantan sopir pribadinya yang sekarang menjadi sahabat karibnya.

"Lilin nggak ngomong apa-apa, cuman katanya hari ini putri semata wayang Alvi pulang dari Jakarta, Bae." Jun gagap.

"Kamu nggak sedang nyembunyiin sesuatu kan?" selidik Bae dengan nada penuh penekanan.

Seolah mengerti siapa yang sedang dibicarakan oleh BiQi dan Om Jun nya, Kemal juga ikut keluar dari mobil.

"****! Jadi benar wanita berkerudung yang sedang berpelukan dengan putrinya tadi itu Mami!" umpatnya. Meninggalkan raut wajah heran dari Bae, Kemal berlari menghampiri tempat tadi di mana dia melihat wanita yang dia maksud.

Nihil. Terlambat. Kemal mengusap wajahnya kasar. Dia geram, bagaimana dia bisa melupakan wajah wanita yang selama ini datang dalam mimpinya, hanya karena penampilannya berubah?

"Apa kamu yakin itu dia?" tanya Bae dengan nafas tersengal karena berusaha mengejar putranya.

"Aku yakin itu Mami, Bi." ucap Kemal geram. Dia tinjukan kepalan tangannya ke udara, dan menghentakkan kakinya kesal.

"Ayolah naik! Sebelum ada yang mengenal siapa kalian." Jun dari dalam mobil. Tanpa berdebat, Ayah dan anak itu menuruti perintah Jun.

"Minumlah Bi! Di usia BiQi sekarang, udah nggak bagus lagi buat lari mengejar masa lalu." Kemal menyodorkan botol air minum Hidrogen yang ada di samping ranselnya.

Bae meneguk air yang disodorkan Kemal sambil tersenyum kecut. "Dia nggak pernah jadi masa laluku. Sampai kapanpun dialah masa depanku." Bae mantap. Mata di balik kacamata hitam itu menerawang jauh, sejauh angannya yang mungkin selamanya hanya menjadi bayangan.

...*****...

"Aku mencintaimu sayang ...." lirih suaranya di sela desah kenikmatan. Dia telusuri setiap inci dari tubuh halal yang dia miliki dengan bibirnya.

"Alvi tau itu Mas ...." ucapnya dengan menahan erangan dari sentuhan yang membuatnya ketagihan. Liukan tubuh yang menjadi luapan rasa kenikmatan yang dia rasakan, semakin membuat pria yang dia panggil Mas itu bersemangat. Gesekan hangat ini selalu dia nantikan.

"Jangan pernah takut sendiri sayang. Kamu kuat, ada atau tiada diriku." Dia rebahkan tubuhnya di samping tubuh wanita halal yang sudah dia nikahi selama tujuh tahun, setelah mengecup kening sang istri sebagai ucapan terima kasih karena telah memberikan haknya.

Tubuh mungil itu meringsek dalam pelukan tubuh kekar sang suami. Menjadikan lengan kekar itu bantal penyangga lelahnya. Melingkarkan satu tangannya memeluk tubuh yang selalu memberinya cinta.

"Alvi mohon, jangan pernah tinggalkan Alvi. Terus cintai Alvi seperti ini Mas ...." pintanya dengan nada manja. Dia pejamkan matanya saat sekali lagi kecupan hangat itu mendarat di keningnya.

'Tok tok tok tok'

Suara ketukan pintu itu membangunkannya. Membuyarkan semua mimpi bersama kekasih halalnya. Alvina masih enggan membuka mata, bahkan dia takut untuk itu. Dia takut dunia akan menertawakannya.

Sudah delapan belas tahun rasa cinta yang hadir setelah ditinggalkan itu masih ada. Bahkan semakin membuncah. Tak terbendung oleh jiwa karena raga selalu mendamba. Setiap sentuhan cinta penuh kehangatan yang pernah dia dapatkan.

Alvina wanita normal, dia bukan pelacur hanya karena dia selalu mendamba ******* dalam sentuhan di setiap malamnya. Dia bisa mendapatkannya dengan memilih pria lain menjadi pemuas nafsunya, tapi sekali lagi perasaan ini bukan ******. Namun, rasa cinta berbalut kerinduan.

Kenapa dia terlambat menyadari perasaan ini? Rasa cinta yang sesungguhnya, yang tak dia dapatkan sebelumnya. Cinta penuh keikhlasan dan ketulusan serta kenyamanan. Baru sekejap dia mendapatkannya dan mulai ingin membalasnya, tapi yang mencintai meninggalkannya.

'Tok tok tok tok'

"Mami ... Mami masih tidur? Ada Bunda Lilin di bawah."

Alvina membuka matanya. Dia raih rompi panjang untuk menutupi tubuhnya. Sekali lagi dia meraup wajahnya, mengembalikan kesadaran yang masih tertinggal di alam bawah sadarnya.

"Kenapa Lilin seperti orang lain saja?" ucap Alvina. Saat dia membuka pintu, Dhira langsung menyerangnya dengan pelukan dan ciuman di pipi.

"Pagi Mami ...."

"Pagi sayang." Alvina membalas ciuman Dhira. "Semalam di minta nemenin Mami tidur, nggak mau. Sekarang tingkahmu kayak anak kucing minta nen*n."

Dhira mencabikkan bibirnya. "Habis sarapan, jalan-jalan yuk Mi ...." pinta anak gadis Alvina itu.

"Mami mandi dulu sayang. Temenin Bunda ya ...." Sekali lagi kecupan Alvina berikan di kening putri semata wayangnya itu. Dhira mengangguk, setelah mendapatkan kecupan hangat itu, dia pergi melaksanakan perintah wanita yang melahirkannya.

Alvina menikmati guyuran air dari shower yang jatuh membasahi tubuhnya. Dia biarkan tetesannya seolah memijat kepala dan tubuhnya. Berharap setiap alirannya meluruhkan semua lelah yang dia rasa.

Delapan belas tahun status janda dia sandang. Berusaha tersenyum dengan segala cibiran yang datang. Namun, bukan Alvina jika dia mudah memalingkan rasa. Mungkin mudah membuatnya jatuh cinta, tapi saat cinta itu tertancap di dada, akan butuh waktu untuk menumpuk apalagi menggantikannya.

Alvina sudahi kegiatan membersihkan dirinya. Menggunakan bathrobe berwarna biru, dan handuk di kepala dia keluar dari kamar mandi.

"Mas Jun bilang ...."

"Astaghfirullah!" Tubuh Alvina berjingkat. "Kamu membuatku kaget, Lin. Usiaku udah nggak muda lagi, kalau aku jantungan gimana?" seru Alvina dengan memegang dadanya.

Dia lepas handuk di kepalanya lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan membiarkan rambutnya terjuntai ke bawah. Caranya mengeringkan rambutnya masih sama. Lilin datang mendekati teman rasa saudaranya itu, dia gantung handuk yang di buang sembarang tempat lalu duduk bersila memangku bantal.

"Mas Jun bilang ...."

"Aku sudah tahu," sela Alvina cepat. "Bilang ke Mas Jun, biar kita ketemu karena Allah yang mempertemukan."

"Maksud kamu?" Lilin menggabungkan alisnya.

"Delapan belas tahun, aku menyembunyikan diriku dari dunia bahkan dari diriku sendiri. Dan dengan delapan belas menit jika Bae memanggilku, aku harus datang? Nggak capek apa kalian minta ini ke aku berulang-ulang? Belum ada yang bisa gantiin Mas Rizal di sini." Alvina menunjuk ke arah dadanya.

"Kamu ngomong apa sih? Dengerin dulu aku ngomong!"

Alvina melirik ke Lilin.

"Mas Jun bilang, Bae kemarin pulang bareng Kemal."

Mendengar nama putra yang pernah dia besarkan selama tujuh tahun, spontan Alvina terduduk. Betapa sosok pemilik nama itu masih dia rindukan.

"Kemal? Kamu serius?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!