Namaku Navier Alister Putra Adinata, hari ini aku di nobatkan
sebagai presdir Young Group. Aku adalah putra kedua dari Arsean William, dia
adalah papaku sebelum negara api menyerang. Sekarang ini aku sedikit kesal dengannya,
bagaimana tidak? Dia menginjak sepatu pantofel ku yang terbuat dari kulit buaya
yang di kikir, yang diimport dari Australia, yang terindah serta yang ada satu-satunya di dunia ini.
“Pah?” ucapku yang berdiri di samping papa.
Papa tidak mendengarku, aku berpikir dengan serius bagaimana papa bisa menengokkan kepalanya 45 derajat ke arahku. Aha.... Aku ada ide, bagaimana jika aku bergantian menginjak kaki papa? Wah... Ide yang bagus.
Dengan tersenyum menyeringai, aku bergantian menginjak kaki papa.
Duaaaaak....
“Sialan! Anak kurang ajar kau,” ucap Papa Sean.
Aku hanya cengengesan lalu jemariku menunjuk kebawah, mata rabun papa melihat kakinya menginjak kakiku. Dia hanya berdecih.
“Tidak bilang dari tadi,” ucap papa langsung mengangkat kakinya.
Aku hanya tertawa tidak ikhlas, lalu mengelap sepatu yang mahal ini dengan tisu mahal.
POV Author.
Setelah berdiri kurang lebih 10 menit, MC memulai acara
penobatan ini. Dia memandu acara di depan gedung baru Young Group yang akan di
pimpin putra kedua dari Arsean William. Semua orang penting datang untuk
melihat langsung penobatan itu termasuk putra pertama Sean yaitu Daleon, karena
sang kakak tidak memungkinkan untuk menjadi seorang presdir maka Navier lah
yang akan memimpin perusahaan bersama sang asisten yaitu Ali.
“Puncak dari acara ini adalah pemotongan pita untuk mengesahkan jika gedung baru ini akan di pimpin oleh presdir kita yaitu Navier Alister Putra Adinata. Silahkan Tuan Muda Navier untuk maju ke depan!” ucap MC.
Navier segera maju, dia begitu sangat tampan dengan pakaian
jas lengkap dan tentu saja sangat mahal. Semua orang bertepuk tangan, Sean
begitu bangga dengan Navier. Setelah maju kedepan, Navier naik ke podium dan
memberi pidato sebelum memotong pita.
“Selamat pagi semuanya. Saya tidak mau berlama-lama untuk
menyampaikan pidato ini karena matahari semakin terik dan pastinya tidak bagus
untuk kesehatan kulit kita, saya hanya memberikan satu kata dua kata untuk
menyampaikan sesuatu, sesuatu yang sangat penting bagi perusahaan ini yaitu
bagaimana saya menyampaikan pidato ini jika para wartawan belum mengambil pose
tampan saya?” ucap Navier.
Semua orang hanya ternganga melihat calon presdir baru itu,
sedangkan Sean menatap Navier dengan rasa malu. Dokter Juna menyenggol tangan
Asisten Kim. “Titisan Sean kampret,” bisik Dokter Juna.
Navier menjentikkan jarinya dan menyuruh sang asisten
membawakan kacamata hitamnya dan setelah itu ia memakainya. Dia berpose dengan
percaya diri, para wartawan sedang asyik memotret dirinya yang sangat tampan.
Ali menatap jengah kepada adik sepupunya itu. Setelah itu ia melanjutkan
pidatonya.
“Dengan rasa hormat dan bangga, saya sebagai putra kedua dari Arsean William ingin menyampaikan rasa
terima kasih karena memberi kesempatan untuk berpidato. Saya tidak ingin berlama-lama, saya tidak ingin panjang lebar, intinya saya tidak ingin membuat kalian berdiri terlalu lama,” sambung Navier.
Sean semakin geram dengan putranya itu, Dokter Juna seolah
menahan tawa. Navier memang cerminan dari Sean yang dulu masih muda. Bahkan
Daleon tidak separah itu. Tangan Sean ditarik oleh anak kecil, Sean melihat
cucunya meminta gendong.
“Grandpa, gendong.”
“Tampanku baru datang? Sini grandpa gendong!” ucap Sean.
Navier lalu melanjutkan pidatonya yang panjang lebar seperti pidato upacara bendera. Dia dengan semangat menyampaikan rasa sukanya bisa menjadi seorang presdir di usia muda. Semua orang kebingungan dengan pidato
Navier yang panjang lebar tidak jelas.
“Maaf jika saya banyak omong, intinya. Tetaplah di jalan
setan! Selamat Pagi, terima kasih telah mendengar ocehan saya,” ucap Navier.
Navier lalu maju ke depan pintu gedung itu dan seseorang
datang membawa baki yang berisi gunting, saat Navier akan mengambilnya. Dia
mengerutkan dahi dan melihat tidak ada gunting diatas gunting.
“Dimana guntingnya?” tanya Navier.
Orang yang membawa baki itu keheranan, ia yakin jika
guntingnya sudah ada diatas baki yang ia bawa. Asisten Ali tersenyum menyeringai, ia mengantongi gunting tersebut di kantong belakang celananya.
Mampuslah kau, Navier! Batin Asisten Ali.
“Cari gunting itu jika tidak maka akan ku potong gaji kalian,” ucap Navier.
Semua pegawai kocar kacir, ia mencari gunting itu siapa tahu
jatuh ditanah. Keluarga besar Sean hanya kebingungan melihat acara yang
seharusnya sakral ini justru malah berantakan. Navier dengan angkuhnya turun
dari podium dan menghampiri papanya.
“Papa yang menyembunyikan guntingnya ‘kan?” tanya Navier.
“Anak setan kau, kau pikir papa anak kecil menyembunyikan gunting?”
“Papa jelas-jelas sering menyembunyikan kolorku, bahkan kolor teddy bear ku sering papa pakai,” ucap Navier.
Sean sangat geram, ia hampir memukul bahu anaknya tetapi langsung saja dicegah sang mama yaitu Mauren.
“Sudah jangan bertengkar, Ali sudah mencari gantinya,” ucap Mauren.
Tiba-tiba sang kakak datang, siapa lagi jika bukan Seina. Dia kini menjadi seorang reporter yang sibuk dan banyak tugas bahkan kini ia memakai pakaian ala kadarnya.
“Selamat Navi, dulu bocah ingusan sekarang jadi presdir,” ucap Seina mengelus kepala Navier.
“Navi gitu loh,” jawab Navier dengan bangganya.
Seina melirik keponakan kecilnya yang digendong sang papa,
anak Daleon begitu menggemaskan sama persis dengan Daleon.
“Hai Darsen, sini tante gendong!” ucap Seina.
Seina menggendong keponakan kecilnya sementara Navier melirik
Daleon yang juga meliriknya, semenjak Navier pernah ditusuk dengan sang kakak
membuatnya sangat menjaga jarak dengan Daleon, dia masih trauma.
“Tuan muda, guntingnya sudah ada,” ucap Asisten Ali.
Navier membalikkan badan, ia terkejut bukannya Asisten Ali membawa
gunting kertas melainkan ia membawa gunting taman.
“Sialan kau! Ayo kita bertengkar! Kau menyuruhku untuk
menggunting pita menggunakan gunting taman?” tanya Navier marah.
“Apa susahnya? Sama-sama gunting.”
Navier mengelus dadanya, dia mengambil nafas dalam-dalam.
Karena hari semakin terik, Navier memutuskan untuk menggunakan gunting taman itu. Semua orang terheran-heran, Sean semakin malu dibuatnya.
Tanpa aba-aba, Navier dengan cepat menggunting pita itu lalu
meresmikan jika gedung baru ini akan menjadi perusahaan yang ia akan pimpim.
Semua orang bertepuk tangan tetapi tetap merasa geli karena baru kali ini
peresmian perusahaan besar menggunakan gunting taman.
Disisi lain,
Agatha Roseline tengah mendentingkan pianonya dengan indah
menggunakan jemarinya. Alunan demi
alunan ia bunyikan dengan sempurna, dia memang menyukai permainan musik
pianonya bahkan dia bercita-cita ingin menjadi pianis terkenal.
“Roseline, kau lihat jika kantor Young Group membuka cabang
baru dan teman papa bilang jika disana banyak membuka lowongan pekerjaan,” ucap Papa Roseline.
“Lalu?”
“Huh.. Ini kesempatanmu untuk melamar di perusahaan itu, untuk apa kau punya gelar sarjana
jika hanya menjadi pengangguran?” tanya Papa.
Roseline menghentikan permainan pianonya. Pengangguran? Bahkan
papanya pun tidak mengizinkannya untuk fokus didunia musik seperti
keinginannya. Sang papa menatap televisi yang menyiarkan peresmian itu, mata
Roseline tertuju pada seorang yang dikatakan sebagai presdir baru siapa lagi
jika bukan Navier Alister.
“Itu direkturnya, pah? Lihatlah dia sangat aneh! Peresmian
menggunakan gunting sebesar itu untuk memotong pita?” tanya Roseline.
“Mereka bilang jika ada insiden kecil makanya dengan terpaksa
mereka menggunakan gunting itu.”
“Aku tidak ingin tahu, aku tetap ingin menjadi pianis,” ujar
Roseline.
Setelah peresmian, Navier kini mulai bekerja di kantor baru. Kantor barunya ia desain khusus seperti keinginannya, terdapat teddy bear di sudut-sudut ruangan dan dinding kantornya ia cat warna coklat muda dan pink.
Asisten Ali hanya terheran-heran melihat adik sepupunya alias tuan mudanya bertingkah aneh.
“Kenapa kau masih berdiri disini? Cepat pergi! Hus... Hus...,” ucap Navier mengusir Asisten Ali.
Navier segera membuka pekerjaannya, karena dia sudah pandai menguasai materi sebab itulah dia tidak perlu di training lagi. Navier memang tampan tetapi otaknyasedikit gesrek.
“Ali. Ali,” teriak Navier.
Asisten Ali menghela nafas, ia langsung datang ke ruangan bosnya.
“Apa lagi?” tanya Asisten Ali.
“Tidak papa, hus.. hus... sana! Aku hanya mengetes telingamu.”
Ali mendengus kesal, ia mendekati Navier. Navier langsung berdiri dari kursi importnya. Kedua bos dan asisten itu beradu pandang.
“Aku senang sekali jika Dale bukan yang menjadi presdir tetapi kenapa kau yang harus menjadi presdir. Orang tidak waras sepertimu,” ucap Ali sambil menunjuk dada Navier dengan telunjuknya.
Navier merasa kesal, baru masuk di ruangan presdir sudah dibuat emosi oleh bawahannya. Dia mendorong Ali. Kedua pria aneh itu malah berdebat hal yang tidak berguna.
“Sialan kau! Aku bosmu, kau bawahanku beraninya seperti itu
denganku,” ucap Navier.
“Kau cuman adik sepupuku,” jawab Ali semakin menantang.
Disisi lain, Sean dan Kim yaitu papa dari Navier dan Ali tengah menuju ke ruangan presdir ingin melihat anak-anak mereka dihari pertama bekerja. Mereka yakin jika Navier dan Ali adalah pasangan kerja terhebat setelah mengetahui potensi mereka. Setelah didepan ruangan presdir, Kim membuka pintu dan menyuruh Sean masuk terlebih dahulu tetapi alangkah terkejutnya melihat Navier dan Ali bertengkar seperti anak kecil.
Navier dan Ali saling menjambak rambut dan mencabut bulu hidung satu sama lain dan tak hanya itu, mereka saling membuang sepatu satu sama lain dari balkon ruangan itu.
“Kim?” ucap Sean
“Iya, kak.”
“Yakin setelah ini aku terkena serangan jantung,” ucap Sean sambil memegangi dadanya.
Kim langsung melerai mereka, wajah dan rambut mereka acak-acakan. Kim segera membawa Ali keruangan sebelah sedangkan Sean menyuruh Navier duduk di sofa.
“Penobatanmu baru setengah jam yang lalu dan kau sudah membuat ulah. Bagaimana nasib perusahaan jika kau begini?” ucap Sean.
Navier berdiri, ia tidak menjawab pertanyaan dari Sean, ia mengambil gagang telpon dan menyuruh resepsionis untuk mengambil sepatunya yang jatuh di halaman gedung itu. Sean mengamati setiap sudut ruangan putranya, ia menggeleng-gelengkan kepala. Pasalnya ketika dia dulu menjadi presdir tidak separah ini. Ruangan ini seperti
ruangan taman kanak-kanak dengan perpaduan dinding warna coklat dan pink cerah.
“Navi, kau dengar ucapan papa?” tanya Sean.
“Papa selalu memarahiku, saat Kak Dale membuat kesalahan papa selalu maklum, Sampai dia menghamili gadis dari hasil berzina papa menganggap enteng masalah itu,” ucap Navier.
“Papa sudah bilang kepadamu, Dale memiliki kepribadian yang berbeda. Jangan disamakan denganmu yang memiliki pikiran normal!”
Navier mendengus, ia mengusap wajahnya. Bahkan dia tidak peduli mau sang kakak waras atau tidak, yang jelas Daleon membuatnya sangat iri. Daleon diperlakukan layaknya raja. Dia pengangguran dan kerjanya hanya meminta uang kepada papa dan mamanya, apalagi dia sudah memiliki putra yang genap berusia 5 tahun.
Disisi lain, Kim sedang menceramahi putra satu-satunya. Ali memalingkan wajah. Dia sangat kesal dipasangkan dengan Navier.
“Ali, disini kau adalah seorang asisten. Kau harus lebih hormat kepada tuanmu, Tuan muda Navier,” ucap Kim.
“Ayah, dia hanya bocah tengil ingusan baru kemarin sore. Kenapa dia bisa menjadi presdir?”
Kim menatap tajam Ali, Ali ketakutan jika sang ayah memasang wajah menyeramkan itu.
“Ayah tidak mau tau, mungkin diluar perusahaan ini dia adik sepupumu tetapi saat diperusahaan ini dia adalah tuanmu yang harus kau hormati.”
Saat itu juga, Sean keluar dari ruangan Navier. Kim segera berdiri dan mengikuti kakak ipar. Navier mengantar papanya sampai keluar ruangan, ia melirik Ali dengan tatapan mengejek. Ali merasa geram tetapi masih
bisa menahannya. Setelah orang tua mereka keluar, resepsionis datang membawa sepatu mereka. Navier segera kembali ke ruangannya, Ali pun kembali melanjutkan pekerjaannya.
**
Agatha Roseline, tengah melayani pembeli disebuah minimarket.
Dia hanya bekerja paruh waktu dan sisanya bermain piano sepanjang hari. Roseline atau lebih dikenal Seline
membutuhkan uang untuk memenuhi kesehariannya. Walaupun dia mempunyai gelar sarjana tetapi entah kenapa dia tidak tertarik bekerja di kantor.
“K****m nya satu\,” ucap pembeli pria berjas rapi.
Roseline mengiyakan lalu sekilas melihat pria yang tak asing dilihatnya di televisi, Navier Alister?
Ternyata dia seorang player. Batin Seline.
“Hem.. yang isi berapa dan rasa apa?”
“Yang enak yang mana ya?” tanya Navier.
Cowok sinting, kenapa dia tidak malu bertanya seperti itu kepadaku?
“Maaf, saya kurang paham.”
“Dasar bodoh! Tidak usah jualan kau jika tidak tahu rasanya,” celetuk Navier.
Seline merasa geram, ia harus bersabar jika tidak pasti pria itu akan melapor kepada atasannya.
Seline mulai mengembangkan senyuman dan menjelaskan secara asal. Navier hanya manggut-manggut, lalu memilih yang rasa strawberry.
“Berapa?” tanya Navier.
“47 ribu.”
Navier mengeluarkan dompetnya lalu menyerahkan selembar seratus ribuan kepada Seline.
“Ini pak kembaliannya, 53 ribu.”
Navier mengerutkan dahi, ia menatap Seline dengan heran. “Apa kau bilang? Pak?” ucap Navier.
Navier tersenyum kecut, ia menjentikkan tangannya. Dengan rasa malas Ali datang, Navier sudah mengatakan kepada Ali jika ia menjentikkan jemarinya maka Ali harus datang.
“Pinjam uangmu 50 ribu,” ucap Navier.
Ali menaikkan alisnya, padahal Navier memegang uang 50 ribuan.
“Untuk apa?” tanya Ali.
“Untuk menyuruh cewek ini ke dokter mata, aku tampan begini dipanggil pak.”
Ali menahan tawa, ia langsung menarik Navier keluar dari minimarket itu. Seline menghela nafas, ia bisa cepat mati jika harus berhadapan dengan tuan muda yang sombong itu. Sesampainya di mobil, Navier menepis tangan
Ali. Dia langsung mengelap tangannya dengan tisu basah.
“Untuk apa kau beli itu?” tanya Ali.
“Untuk menyogok papaku. Kau tau papaku sangat cerewet, dia pasti memarahiku di rumah setelah insiden di kantor tadi,” jawab Navier.
Ali menggeleng-gelengkan kepalanya, ia langsung membuka pintu mobil untuk dirinya sendiri.
“Eheeem... Aku ini tuanmu, seharusnya kau membukakan pintu terlebih dahulu untukku,” ucap Navier.
Ali berdecih lalu segera membukakan pintu untuk Navier. Navier masuk dengan angkuhnya sedangkan Seline melihat dari dalam minimarket dengan tatapan kesal.
Ada ya orang aneh seperti dia? Batin Seline.
Didalam perjalanan pulang, Navier hanya terdiam. Ali pun juga malas mengajaknya mengobol. Navier melamun tidak jelas dan Ali pun dengan iseng mengerem mobil secara mendadak.
Ciiiiiiiit....
“Sialan kau! Jika aku terbentur bagaimana?” umpat Navier.
“Maaf, tuan muda. Ada anjing menyebrang.”
“Cih...”
Navier memalingkan wajah dan memandang kaca mobil, malam ini kendaraan cukup sepi dan lampu jalan meremang. Ali dengan iseng mengerjai sang tuan dengan membalikkan katup matanya. Dia menghentikan mobilnya terlebih dahulu.
“Kenapa berhenti?” tanya Navier.
Ali menengok ke belakang dan Navier terkejut setengah mati melihat wajah Ali yang menyeramkan.
“Uaaaaaa.... Setan......,” teriak Navier.
Ali terbahak-bahak melihat ketakukan Navier.
“Bukan kau, bodoh! Tapi di depan mobil kita,” ucap Navier.
Ali menghadap ke depan dan terkejut setengah mati didepan mobilnya ada nenek-nenek yang tersenyum menyeringai. Ali segera membanting setir dan langsung menginjak gas lalu meninggalkan nenek-nenek tua itu.
“Anak muda jaman sekarang pada sombong, nenek mau numpang
malah kabur,” teriak nenek itu.
Navier membuka pintu apartemen, sang mama yaitu Mauren menyambutnya dengan hangat, ia melepaskan dasi dan jas putranya itu.
“Mandi dulu, sayang! Setelah ini makan malam,” ucap Mauren.
Navier menganggukkan kepala, ia langsung bergegas ke kamar dan langsung mandi menggunakan sabun import. Hari pertama bekerja cukup melelahkan, ia memilih berendam sebentar di bak mandi. Saat memejamkan mata, ia
malah teringat gadis supermarket yang melayaninya tadi. Navier langsung membuka mata dan menepuk-nepuk jidatnya.
“Kenapa cewek itu terbayang di pikiranku?” tanya Navier.
Navier langsung beranjak dari bak mandi dan menggunakan baju handuk. Dia keluar dari kamar mandi dan melihat mamanya menyiapkan pakaiannya. Navier segera memakai pakainnya.
“Kak Dale masih disini?” tanya Navier.
“Iya, mama suruh menginap disini.”
Navier memasang muka sebal dan Mauren langsung menyisir rambut putranya yang basah. Navier memang begitu manja dan Mauren seolah tidak mempermasalahkan hal itu. Semenjak Seina dan Daleon tidak tinggal di apartemen
ini membuat Mauren menumpahkan kasih sayangnya dengan Navier.
“Ayo kita makan! Mereka sudah menunggu,” ajak Mauren.
Navier dengan rasa malas menuju ke ruang makan, ia melihat sang papa, Seina, Daleon dan Darsen sudah duduk didepan meja makan.
“Sudah lama kita tidak makan malam bersama,” ucap Mauren.
Seina menganggukkan kepala, dia kini sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya dan memilih untuk tinggal dekat stasiun televisi tempat dirinya bekerja.
“Besok pagi-pagi aku sudah berangkat lagi, mah. Aku cuti cuman sehari,” ucap Seina.
Raut wajah Mauren seketika menjadi sedih. Seina menggenggam erat tangan sang mama. “Aku janji, minggu depan aku akan kesini lagi,” sambung Seina.
Mauren tersenyum, ia langsung menyuruh suami dan anak-anaknya makan, tidak lupa ia menyuapi cucunya. Sedangkan Navier memainkan makanannya, ia sangat malas satu meja makan dengan Daleon. Navier berdiri, ia meminta izin untuk kembali ke kamar dan membawa makanannya ke kamar.
“Duduk saja! Aku akan pulang,” ucap Daleon yang mengerti adiknya tidak nyaman dengan kehadirannya. “Ayo Darsen, kita pulang!” sambung Daleon menggandeng anaknya.
Sean mencegahnya, ia kasian dengan cucunya yang harus pulang malam-malam. Navier berdecih dan langsung kembali ke kamar. Sean langsung menuju ke kamar Navier, ia melihat Navier menyalakan tv dan menonton kartun upin dan ipin kesayangannya sambil makan diatas ranjang.
“Navi, kau tidak boleh seperti itu dengan kakakmu!”
“Emangnya aku melakukan apa? Aku biasa saja, dia saja yang kebaperan,” jawab Navier.
“Jika kau egois dengan kakakmu setidaknya pikirkan anaknya, anaknya sudah tidak punya ibu dan kau tau sendiri ‘kan jika kakakmu bukan seperti orang pada umumnya?”
“Emang gue pikirin?” ejek Navier.
Sean mengambil guling lalu memukulkan ke badan Navier, piring yang dibawa Navier jatuh ke lantai.
“Ohhhhh No..... My Food. Papa tega sekali menyia-nyiakan makanan ini. Nasi ini menangis pah jika dibuang-buang. Kau tau, pah? Petani padi sampai kehujanan menanam padi ini,” ucap Navier.
Sean semakin geram, ia mendekati Navier tetapi bocah itu melarikan diri. Mauren datang dan menyuruh Sean untuk keluar sebelum Sean mendadak serangan jantung. Navier langsung menutup pintu kamarnya, ia malas
berdebat dengan sang papa. Tubuhnya sudah lelah dan ingin segera beristirahat.
15 menit kemudian
Tok... tok... tok...
“Navi, setelah ini datang ke kamar papa! Bawa juga hasil pekerjaanmu hari ini!” teriak Sean.
Navier mendesah kesal, ia membanting selimutnya dan membawa laptop lalu langsung menuju kamar papanya. Dia masuk ke kamar orang tuanya tanpa mengetuk pintu, ia melihat sang mama tengah di depan kaca rias sedangkan
papanya duduk disofa.
“Besok saja bisa ‘kan, pah? Aku lelah,” ucap Navier.
“Sekarang!”
Navier memutar bola matanya dengan jengah, ia langsung masuk menyerahkan laptopnya kepada sang papa. Sean membuka pekerjaan milik Navier yang dikerjakan hari ini tetapi matanya kabur dan harus menggunakan kacamata.
“Navi, Navi? Tolong ambilkan kaca mata papa di ruang kerja papa!” pinta Sean.
Navier tidak menjawab membuat Sean mengerutkan dahi, “ Navi?” panggil Sean tetapi Navier tetap tidak menyahut.
Sean mengarahkan pandangannya kepada Navier yang sudah rebahan bersama sang mama di ranjangnya. Navier rupanya sudah terlelap seakan tidak berdosa. Sean sangat geram memiliki putra yang aneh seperti Navier.
“Mama, *****,” ucap Navier.
Mulut Sean seakan berkedut, ia menjewer telinga Navier dengan keras. Navier berteriak keras dan meminta ampun kepada papanya.
“Sakit, pah.”
“Kau sudah besar, Navi. Kau harus bisa lebih sopan dengan orang tua. Sana tidur di kamarmu!” ucap Sean.
Navier langsung berlari menuju kamarnya meninggalkan laptopnya. Dia merasa kesal karena serba salah di mata papanya.
Disisi lain, Daleon masuk ke kamar Seina sesudah putranya tertidur. Seina sedang menonton sinetron di TV.
“Darsen sudah tidur?” tanya Seina.
Daleon langsung melepas bajunya dan memagut bibir Seina. Mereka berpacaran diam-diam. Seina menyadari jika ia memang suka dengan Daleon tetapi Sean tidak menyetujui jika mereka ada hubungan lebih.
“Atau kita menikah diam-diam saja?” tanya Daleon.
“Menikah bukan hal mudah bahkan ayah kandungku belum ketemu, siapa yang mau menjadi waliku jika ayahku belum ketemu?” ucap Seina.
Daleon melepas baju Seina lalu melemparnya ke lantai. Dia menciumi tubuh polos Seina tetapi tiba-tiba Darsen datang membuka pintu sambil mengucek matanya. “Daddy?” ucap Darsen.
Seina langsung menarik selimut, ia segera menutupi tubuhnya dengan selimut itu. Daleon segera memakai bajunya dan menggendong Darsen.
“Mommy dan Daddy lagi apa?” tanya Darsen.
Seina langsung memakai baju dan menggendong putranya. Dia menitikkan air mata karena tidak bisa menemani putranya karena terhalang restu dari Sean. Selama ini mereka menjalin hubungan sejak mereka tidak sengaja
bertemu di kota sebelah. Saat itu Seina sedang menjalankan tugas untuk meliput berita dikota itu lalu bertemu dengan Daleon. Mereka memutuskan tinggal serumahm dan lahirlah Darsen tanpa sepengetahuan Sean dan Mauren.
Daleon pulang ke apartemennya dengan membawa bayi, papa dan mamanya terkejut mendengar pengakuan dari Daleon yang mengaku menghamili seseorang tetapi gadis itu langsung meninggal setelah melahirkan. Papa dan
mamanya tidak curiga mengingat Seina berada di kota lain dan sedang bekerja. Sejak saat itu, Mauren membantu mengurus bayi tampan itu. Sampai Darsen berumur 3 tahun, Daleon memilih untuk tinggal sendiri bersama putranya.
Keesokan harinya,
Navier bangun pagi-pagi langsung mandi dengan sabun importnya. Dia mandi sambil bernyanyi setelah selesai mandi, dia segera keluar dari kamar mandi dan melihat mamanya menyiapkan jas untuknya.
“Cepat sekali mandinya?” tanya Mauren.
“Iya, ngapain lama-lama di kamar mandi?”
Mauren segera keluar lalu menuju ruang makan, keluarganya sudah duduk didepan meja makan. Berselang menit kemudian, Navier datang sambil menenteng dasinya.
“Pakaikan, mah!” pinta Navier.
Mauren segera memakaikan dasi untuk putranya, Navier memang sangat manja. Setelah selesai memakai dasi. Navier segera duduk dan ikut sarapan. Mereka makan dengan tenang dan menikmati makanan masing-masing sampai Darsen tidak sengaja menyenggol gelas lalu jatuh dann pecah seketika.
Pyaaaaaar.....
“Hancurkan! Hancurkan! Banting semua!” teriak Navier heboh sendiri.
Darsen langsung menangis, Daleon segera menenangkannya.
“Mulutmu tidak bisa diam, ya?” ucap Sean geram.
Navier langsung menutup mulutnya dan menyantapm makanan tanpa berdosa membuat keponakannya menangis pagi-pagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!