Masih dengan gaya yang sama, lelaki cool dengan perawakan tubuh tinggi kekar itu membuka kaca mata hitamnya yang sedari tadi bertengger di hidung mancung miliknya, saat turun dari motor.
Alando Mahesa Putra adalah seorang arsitek yang cukup handal dan ambisius untuk setiap target yang sudah di list dalam kehidupannya. Tapi, tidak dengan cintanya. Sejak perjodohan yang di sepakati keluarga Mahesa dengan keluarga Cokrohadinoto itu terjalin, Alan memilih untuk tidak memupuk perasaan cinta terhadap wanita manapun termasuk dengan Jingga Andini, perempuan yang sudah lama dijodohkan dengannya itu.
Lelaki berahang tegas itu masih menggendong tas ransel di sebelah bahu kirinya dan membawa beberapa lembar kertas lebar yang digulung saat memasuki rumah minimalis yang didesain desain dengan sangat apik.
"Ceklek... " Lengan kekar Alan yang dipenuhi rambut tipis itu membuka pintu kamar miliknya.
Langkah lelaki itu kini tertuju pada sofa yang terletak di sebelah tempat tidur. Dengan memijit pangkal hidungnya, dia duduk dan menyandarkan kepalanya di sofa. Pikirannya kini terbebani dengan panggilan pulang dari Eyang Putri untuk menjemput Jingga. Menjemput, berarti harus menikahi perempuan yang sudah dijodohkan dengannya saat mereka masih kecil. Perjodohan yang sangat tidak masuk akal. Tapi, itulah kenyataannya.
"Sial... kenapa mereka tak pernah mengerti? Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya. Lagian, kenapa mereka tidak memikirkannya lagi, jika kita terpaut umur yang cukup jauh. Sembilan tahun, itu hanya akan membuatku seperti mengasuh bocah remaja. Anak perempuan yang tomboy dan sangat menyebalkan." Kepalanya begitu pusing memikirkan alasan untuk menghindar dan mengakhiri perjodohan itu. Selama ini, Alan sudah berusaha menghindari perjodohan itu dengan meneruskan kuliahnya di Austria tepatnya di kota Wina. Tapi Indonesia tetap seperti magnet baginya, hingga dia pun harus kembali ke negeri ini.
Saat inilah, perjanjian dengan Eyang Rumana tidak bisa diingkarinya lagi. Kali ini, dia harus menepati perjanjian yang pernah dia buat dengan Eyangnya. Saat itu, dia boleh saja melanjutkan cita-citanya menjadi seorang arsitek, asalkan Alan tetap kembali dan akan menerima perjodohan dengan seorang anak gadis yang menjadi penerus keluarga Cokrohadinoto. Entah apa istimewanya gadis itu, hingga Eyang Putri tergila-gila dengan gadis bernama Jingga Andini.
"Drt... drt... drt... " Alan meraih tasnya untuk mengambil ponsel yang dia selipkan di saku ransel.
"Assalamualaikum Eyang... " ucapnya saat panggilan dengan nama 'Eyang Galakku' itu terpampang di layar.
"Waalaikum salam, kapan kamu sudah siap, Lan? Pulang secepatnya sebelum Eyangmu ini mati. " ucap suara tua itu dari seberang.
"Iya Eyang, proyek Alan di Bali baru saja selesai. Ini Alan baru sampai di rumah. Besok Alan akan pulang ke rumah Eyang. " jawab Alan dengan nada malas.
"Oke... Eyang tunggu dirimu menepati janji! " desak Eyang Rumana pada Alan.
"Baiklah, Assalamualaikum. " jawab Alan yang kemudian menggeletakkan begitu saja ponselnya di sofa.
Lelaki yang terlihat lelah itu kemudian beranjak pergi menuju kamar mandi untuk menyegarkan kembali tubuhnya di bawah kucuran air yang mengalir dari shower.
###
Jingga, anak perempuan yang beranjak dewasa, dia tumbuh dari gadis kecil yang tomboi kini menjelma menjadi perempuan cantik dengan kulit putih dan rambut panjang yang memberi kesan sedikit feminim.
Gadis berbibir mungil itu masih berada di dekat sebuah tebing di mana dia selalu melihat mentari yang sebentar lagi akan terbenam. Sebentar lagi, mungkin dia akan merindukan suasana yang seperti ini karena Mas Alan akan membawanya ke kota setelah pernikahan mereka di lakukan.
"Mas Alan, sudah hampir sepuluh tahun aku selalu menunggumu. Bahkan, aku tak pernah melihatmu selama itu. Seperti apa kamu sekarang? Apa kamu akan menolakku setelah mengetahui aku yang sekarang? " gumam Jingga dalam hati. Ada rasa cemas yang menelisik hatinya saat memikirkan perjodohan yang dilakukan saat usianya masih sembilan tahun, sedangkan Alan saat itu baru lulus SMA sebelum meneruskan kuliahnya di Austria. Gadis itu kemudian menatap kembali warna jingga yang menggantung di ufuk barat sebelum meninggalkan tempat itu.
Dengan sangat tergesa gadis berambut panjang yang diikat asal-asalan itu mengayuh pedal sepedanya dengan kuat, ibunya selalu memarahi Jingga karena dia selalu menghabiskan waktunya di kala senja di dekat tebing itu. Bagi Bu Sasmita, tabu bagi seorang gadis masih keluyuran di kala senja. Tapi Jingga yang bandel selalu membiarkan begitu saja ibunya mengomel setiap dia pulang menjelang petang.
"Ibu.. Jingga pulang! " ucap Jingga saat memasuki rumah tua yang terbuat dari papan kayu jati itu.
"Kamu ini anak gadis, sudah hampir petang kok malah baru pulang. Pamali, Ngga! " ucap Bu Sasmita dengan mengaduk teh panas di cangkir.
"Sebentar lagi kamu akan menikah, seharusnya kamu mulai menyiapkan diri menjadi seorang istri yang baik." jelas Bu Sasmita menghampiri anaknya yang sedang duduk meja makan.
"Bu, gimana kalo Mas Alan tidak mau menikah dengan Jingga? Gimana kalo Mas Alan sudah punya pacar? " ucap Jingga dengan pelan. Pandangannya menerawang menatap cangkir teh yang baru saja diletakkan ibunya di depannya.
"Mana mungkin, dia akan menolak gadis secantik anak Ibu? " jawab Sasmita dengan tersenyum ke arah anak gadisnya.
"Bu, Jingga cuma gadis kampung, Jingga juga belum kuliah. Sedangkan Mas Alan lulusan luar negeri, apa Mas Alan bisa menerima Jingga? " Gadis itu kembali terlihat cemas, membuat senyum mengembang di bibir wanita paruh baya itu.
"Kamu akan kuliah di sana. Eyang Rumana sudah menjelaskan semua pada Ibu. Jangan khawatirkan Alan, tidak ada yang bisa mengelak dari pesona anak gadis Ibu. " Bu Sasmita kembali membesarkan hati anaknya. Jingga pun kembali tersenyum ke arah wanita yang sebenarnya menjadi beban pikirannya. Lalu pada siapa ibunya akan tinggal? Jika dia pergi bersama Alan ke kota.
"Jangan mencemaskan ibu, masih ada Mbok Nah yang akan tinggal bersama Ibu." jelas Sasmita yang sudah bisa membaca kecemasan Jingga akan dirinya. Setelah kepergiaan Ayahnya dan Eyang Hadi, kakeknya Jingga, Sasmita dan Jingga terusir dari keluarga besar Cokrohadinoto.
Tapi tidak masalah bagi Sasmita dan Jingga. Hidup di pedesaan membuatnya jauh lebih tenang. Ayah Jingga, mempunyai beberapa hektar tanah yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali istrinya. Mereka hidup dari hasil pertanian dan peternakan di daerah pegunungan itu.
"Sudah sana, kamu mandi dulu! " usir Sasmita membuat Jingga pergi ke kamarnya. Bukannya mandi, gadis itu malah mematut diri di cermin membayangkan jika dia bertemu Alan.
Senyumnya mengembangkan membayangkan sosok Alan yang sekarang. Mungkin dia akan jauh lebih ganteng dan tetap menjadi seorang Alan yang pendiam. Membayangkan calon suaminya itu, membuat Jingga tersenyum sendiri di depan cermin. rasanya dia sudah tidak sabar untuk bertemu calon suaminya itu.
####
Sudah hampir empat jam Alan mengemudikan mobil jeepnya menuju rumah Eyang Rumana yang ada di pegunungan. Jalan yang cukup terjal dan menanjak membuatnya lebih berhati-hati dengan medan jalan di pegunungan.
Pikirannya masih gelisah dengan perjodohannya itu. Mana bisa dia menikah dengan gadis yang tak pernah dilihatnya lagi. Bagaimana ...? Apa dia sudah berubah? Atau masih saja sama, tetap menjadi gadis tomboy dengan pipi gembulnya itu. Membayangkan Jingga kecil membuat Alan menggelengkan kepala karena merasa geli.
"Chiiiittt..... " Alan mendadak mengerem mobilnya.
"Bruuuughhh" seorang gadis terjatuh dari sepeda saat jalan menukik berbelok menurun membuatnya menabrak sebuah mobil yang sedang berjalan menanjak.
"Aduhhh.... hati hati dong kalo naik mobil! " teriak Jingga dengan memegangi kakinya dengan kulit yang sedikit terkelupas.
Alan turun dari mobil dan menghampiri gadis berambut panjang yang masih gelesotan di jalan.
"Kamu itu yang ngawur. Udah tau mau belok main kebut saja. " sinis Alan yang hanya berdiri di dekat Jingga.
"Ayo bangun...! " ujar Alan dengan mendirikan kembali sepada buntut milik Jingga.
Dengan tertatih gadis itu berdiri mengambil kembali sepedanya dengan menggerutu, "Kenapa yang di tolong sepadaku dulu, bukannya aku. " Meski terdengar lirih, namun masih sempat terdengar oleh lelaki yang punya tatapan elang itu.
"Apa? " tanya Alan dengan mengarahkan telinganya ke arah Jingga.
"Nggak....! " teriak Jingga dengan kembali mengayuh sepedanya.
Lelaki itu menggelengkan kepala dan menaiki mobilnya, rasanya dia ingin cepat sampai rumah Eyang Rumana dan segera beristirahat.
Visual Alan
Visual Jingga
Saat turun dari mobil, Alan menatap rumah yang sudah ditinggalkan sepuluh tahun lamanya. Semua masih sama, hanya beberapa bagian yang terlihat sudah diperbaharui. Rasanya baru seperti kemarin dia pergi. Langkah panjang membawanya masuk, mengetuk daun pintu yang kini sudah terbuka lebar.
"Alan... cucuku! " Seorang wanita tua yang terlihat keriput, kini mulai menciumi cucu kesayangannya secara bertubi-tubi untuk melepas rasa rindu yang sudah lama bersarang di hatinya. Bahkan, beliau tak mampu lagi menahan tetesan air mata yang saat ini menetes di kulit wajahnya yang sudah terlihat berkerut dan menggelambir.
"Ayo... masuk! Eyang sudah merindukanmu! Kau terlihat lebih ganteng dari pada di foto, Cah Bagus." Lelaki bertubuh kekar itu hanya terdiam saat Eyangnya menghujaninya dengan banyak pujian. Eyang yang galak sekaligus posesif kini terlihat tua, tapi kharismatiknya tidak termakan oleh usia.
Tangan tua itu, menarik Alan untuk mengikutinya menuju ruang belakang yang terbuka seperti aula keraton.
"Bagaimana kabarmu, Cah Bagus? Pulang dari Austria tidak mau mengunjungi Eyang! Apa kamu ingin wanita tua ini mati merana tanpa bertemu dengan cucunya lagi?" sindir Eyang Putri dengan nada sedikit kesal terhadap Alan. Sudah terlalu lama dia menyimpan rasa rindunya itu.
"Jangan bicara seperti itu, Eyang. Alan sayang Eyang, cuma kemarin Alan terlalu sibuk dengan proyek yang Alan tangani. " rayu Alan dengan kembali memeluk Eyangnya saat wajah tua itu terlihat kesal.
"Apa kabar dengan Papamu di Swiss? Setelah sepeninggalan Mamamu, Diego sudah tak pernah ke Indonesia lagi." ujar Eyang Putri dengan tatapan sedih, mengingat putri kesayangannya itu lebih dulu meninggalkannya.
"Aku punya adik laki-laki dari Mama tiriku namanya Albert. Mungkin saat ini usianya sekitar 15 tahunan. Mama tiriku juga perempuan Indonesia. " ujar Alan menceritakan ayahnya.
"Syukurlah, Papamu lelaki yang baik. Semoga dia selalu bahagia. Tapi apa yang kamu bawa untuk Jingga? " tanya Eyang Rumana mencoba mengingatkan Alan jika pernikahannya dengan Jingga tinggal beberapa hari. Sebenarnya hanya sebatas basa-basi karena Eyang Putri sudah menyiapkan semuanya.
"Eyang..., bisakah kita membatalkan perjodohan itu? " Wanita tua dengan sanggul besar di kepalanya mendadak berdiri dengan berkacak pinggang.
"Apa kamu bilang? Jangan kurang ajar kamu, Cah Bagus! " amok Eyang Putri dengan menjewer telinga Alan.
"Wong lanang kui kudu punya rasa tanggung jawab yang besar, termasuk dengan ucapannya! " tegas Eyang Putri membuat Alan membisu. Kedisiplinan Eyang Putri memang menjadi panutan Alan selama ini.
"Wes -wes, saiki istirahato! Nanti malam kita akan ke rumah Jingga." Wanita berpakaian kebaya itu berjalan meninggalkan Alan yang merebahkan diri di kursi kayu panjang yang berlapis busa. Tubuhnya memang terasa lelah, tapi dia tak bisa memejamkan mata.
Dengan menatap langit-langit rumah, pikirannya menerawang memikirkan pernikahannya yang sebentar lagi. Sesuatu yang berat bagi Alan, selain dia tidak mengenal Jingga, dia masih menginginkan satu pencapaian lagi dalam karirnya. Membangun sebuah Karya indah untuk di nikmati banyak orang. Ambisi itulah yang membuat Alan enggan menjatuhkan hati pada wanita manapun setelah putus dari pacar pertamanya yang bernama Deandra.
###
Setelah Bu Sasmita mendapatkan telpon dari Eyang Rumana, wanita paruh baya itu menghampiri Jingga yang sedang menyiram tanaman di halaman rumah.
"Ngga, nanti malam keluarga Mahesa akan datang bersama Nak Alan. Apa kamu sudah siap? " ujar Bu Sasmita dengan mengambil alih gayung dan ember yang Jingga bawa.
"Bu, kenapa Ibu yakin Mas Alan lelaki yang baik. Sementara Ibu tidak pernah bertemu dengannya? " tanya Jingga yang penasaran dengan jalan pikiran ibunya.
Jingga tak pernah tau seperti apa power yang dimiliki keluarga Cokrohadinoto. Meskipun, Sasmita jauh dari jangkauan keluarga besarnya tapi masih ada beberapa orang yang masih punya loyalitas kepadanya termasuk Mbok Nah yang mau mengikuti ke manapun mereka pergi.
"Eh, jangan kamu pikir Ibu bodoh gara-gara tinggal di pedalaman ya? Ibu sudah menyelidiki semua tentang Alan, selain mendapat cerita dari Eyang Putri tentang cucu kesayangannya itu. Sudah sana, kamu bersiap dulu! " titah Bu Sasmita membuat Jingga segera beranjak masuk ke dalam. Memang benar, seseorang sudah memberikan info tentang Alan termasuk saat Alan menjalin hubungan dengan Deandra.
Sasmita hanya tersenyum menatap punggung Jingga yang semakin lama menghilang dari pandangannya. Anak gadisnya memang terlalu polos untuk dia lepas, untuk itu dia hanya percaya dengan Alan dan keluarga besar Mahesa.
Sejenak, Sasmita tertegun mengingat almarhum suaminya. Ada kerinduan yang selalu tersemat di hatinya. Seandainya suaminya masih hidup pasti akan sangat bahagia jika bisa melihat anak gadisnya menikah. Tangan kasar itu menyeka air mata yang menetes di pipinya.
###
Hari sudah berganti petang. Keluarga Mahesa kini sudah terlihat repot dengan barang bawaan yang sudah siap untuk diserahkan kepada bakal besannya. sementara Alan masih terlihat biasa saja, lelaki berwajah Indo itu memang tidak begitu antusias dengan perjodohannya.
"Loh-loh kenapa kamu malah pakai kaos dan celana jeans, Cah Bagus? " tanya Eyang Putri saat melihat Alan keluar dari kamarnya.
"Tinggal dirangkap blazer saja, Eyang! " Alan menunjukkan blazer hitam yang menggantung di lengan kokohnya.
"Seharusnya, wong jowo kui pakai batik! " cerca Eyang Putri dengan encepan di bibirnya membuat Alan hanya terkekeh.
"Ndoro... semua sudah siap! " ucap Santoso , sopir sekaligus asisten pribadi Eyang Putri, memberi tahu jika semua persiapan sudah selesai.
Wanita tua yang masih mempunyai pengaruh besar kini melenggang menuju mobil sedan yang sudah siap di halaman luas depan rumah bergaya joglo.
Alan melihat keluar jendela, suasana petang yang hanya mengandalkan lampu penerangan dari rumah penduduk, suasana yang sangat berbeda dengan yang sering dia lihat setiap harinya.
Sedan Civic keluaran terbaru itu akhirnya berhenti di depan rumah Sasmita. Eyang Putri dan Alan berjalan bersamaan diikuti oleh santoso dan Bi Murti menuju rumah yang pintunya sudah terbuka lebar.
Mereka di sambut ramah oleh tuan rumah. Tanpa basa-basi mereka memperbincangkan banyak hal, termasuk mempercepat pernikahan Alan dan Jingga. Alan terlihat seperti orang yang sedang menyerah, lelaki itu duduk terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Gadis itu.... " gumam Alan dalam hati saat melihat Jingga membawa nampan yang berisi teh hangat. Mata elangnya menatap dan memperhatikan calon istrinya tanpa berkedip. Sementara Jingga tidak berani menatap orang yang menjadikannya pusat perhatian.
"Ehm... Ehm... makanya kalo dibilangin orang tua itu manut !" sindir Eyang Putri membuyarkan lamunan Alan. Sementara Bu Sasmita hanya tersenyum tipis melirik calon menantunya.
"Ternyata pecicilannya masih sama, cuma memang terlihat jauh lebih cantik, sih! " Alan bermonolog dengan menundukkan wajahnya.
Jingga memilih kembali ke dapur setelah menyuguhkan teh hangat untuk para tamu. Sebelum dia menghilang dari balik pintu, matanya melihat sekilas lelaki yang menjadi calon suaminya.
Wajah Indo itu membuatnya kaget, ternyata lelaki yang kemarin dia tabrak adalah Mas Alan yang sekarang. Sosok yang selama ini dia tunggu kedatangannya.
tbc
Jangan lupa tinggalkan jejak ya... kasih vote dan like.... Terima kasih
Seharian penuh Mereka sudah disibukkan dengan acara inti dari perjodohan yaitu akad nikah. Alan meminta kepada Eyang Putrinya agar acara pernikahannya digelar sesimple mungkin. Setelah menyerahkan kunci mobil jeep milik Alan, Santoso (supir pribadi Eyang Putri) dan rombongan dari keluarga Mahesa pun beranjak meninggalkan rumah keluarga Bu Sasmita.
Jingga Andini, gadis berusia sembilan belas tahun itu sudah sah menjadi istri Alando Mahesa Putra. Meskipun begitu, mereka masih terlihat sangat canggung, bahkan belum ada sepatah kata yang keluar dari keduanya meski hanya untuk saling menyapa. Aneh atau bodoh, rasanya Alan ingin mengumpati dirinya sendiri. Lelaki yang saat ini duduk di ruang tengah rumah Sasmita sudah menampakkan wajah lelahnya.
"Jingga, antarkan Nak Alan ke kamarmu! " ucap Sasmita kepada Jingga saat mereka berada di dekat Alan.
"Mari Mas, istirahat dulu!" ucap Jingga yang akan mengangkat koper kecil milik Alan.
"Biar, aku saja yang bawa! " Alan menahan tangan mungil Jingga yang akan membawa kopernya. Baru dua kalimat itu menjadi prolog diantara mereka.
Alan berjalan mengekor, membuntuti ke mana Jingga melangkah. Jingga membuka pintu kamarnya, kemudian menoleh ke arah Alan dan mempersilahkan suaminya itu masuk.
Alan mengedarkan pandangannya menatap seluruh ruangan yang dikatakan cukup luas untuk ukuran kamar. Tatapannya saat ini tertuju pada sebuah jajaran foto yang sudah tertata di dinding. Senyum tipis tersamar di bibir tipis itu, saat melihat gadis kecil dengan tubuh gembul yang dulu di jodohkan dengannya. Kenapa dia dulu mau saja dijodohkan? Rasanya dia ingin menertawakan dirinya sendiri. Sesaat pandangannya tertuju pada Jingga yang berjalan ke arah lemari, " Tapi kenapa bisa berubah menjadi secantik itu? " gumam Alan dalam hati.
"Mas Alan, ini handuknya! " Jingga membuyarkan lamunan Alan, lelaki itu hanya mengambilkan sebuah handuk yang masih terlipat dari tangan Jingga.
"Kamar mandinya di sana! " Jingga menunjukan ruangan kecil yang ada di sudut kamarnya, membuat Alan dengan cepat melangkah menuju kamar mandi. Dari tadi tubuhnya memang sudah terasa lengket.
Jingga mendudukkan tubuhnya di sofa dengan menghela nafas panjang dan membuangnya berlahan. Dia sedikit kecewa, saat melihat Alan yang seperti enggan menjalani pernikahan ini. Menurutnya, Alan yang dulu memang pendiam, tapi Alan yang sekarang lebih terkesan Angkuh.
Jingga merebahkan tubuhnya di sofa, kepalanya bertumpu pada tangan sofa. Tubuhnya terasa sangat lelah hingga hanya beberapa menit saja, dia sudah bisa terpulas.
Alan menggosok gosok rambut basahnya dengan handuk saat keluar dari kamar mandi. Matanya tertuju pada Jingga yang sudah tertidur pulas di sofa. Alan berjalan mendekati Jingga dan mengangkat kaki Jingga yang menggantung untuk disejajarkan dengan tubuhnya di atas sofa.
flash back
Sebelum keberangkatan menuju rumah Jingga untuk lamaran. Alan masih masih mencoba bernegosiasi dengan Eyang Putri.
"Eyang, kenapa Alan harus dijodohkan dengan Jingga? Kenapa tidak dengan gadis lain?"
"Karena Eyang sudah faham bibit, bebet dan bobotnya. " jawab Eyang Putri masih dengan menikmati kopinya.
"Itu prinsip jadul, Eyang! " dengus Alan yang duduk di sebelah Eyangnya.
"Apa kamu kira Eyang orang jadul? Asal kamu tau cah bagus, kalo Eyang kolot mana mungkin Eyang jodohin kamu dengan gadis cantik seperti Jingga. Lagian memandang bibitnya itu perlu, bukan masalah bibit itu ukuran paten kebaikan seseorang. Tapi kebiasaan dan tradisi, sopan santun dan unggah-ungguh itu susah jika di ajarkan secara instan. Makanya, bagi Eyang bibit itu penting! Meskipun ada yang berasal dari bibit biasa saja tapi bisa menjadi varietas unggul. Tapi, kita perlu kerja keras untuk menghasilkan seperti itu. " Eyang Putri sudah tersulut emosi setelah dikatakan manusia jadul. Melihat reaksi Eyangnya yang berlebihan, membuat Alan kembali terdiam dan memeluk wanita sepuh itu, "Sudah jangan emosian, nanti cepat tua lo! " ledek Alan yang hanya di lirik dan di encepi Eyangnya. Alan memang dari dulu adalah seorang pendiam. Tapi diamnya itu terkadang susah dimengerti orang lain.
Flash On
Alan berjalan keluar kamar, pandangannya meneliti setiap detail rumah bergaya klasik. Ada satu objek yang membuat matanya betah berlama-lama menatap, yaitu sebuah lukisan seorang laki laki yang memakai baju blangkon. Meskipun hanya melihat di dalam foto, tapi auranya terpancar begitu kuat.
"Itu Eyang Hadi, kakek Jingga!" suara itu membuat Alan menoleh. Kini, Bu Sasmita sudah berdiri tidak jauh di belakang Alan.
"Ohhhh... " cuma itu yang keluar dari mulut Alan yang notabene di kenal sebagi sosok pendiam.
"Ayo, minum teh dulu! " ajak Sasmita membuat Alan mengikuti wanita setengah baya itu untuk duduk di ruang makan.
"Sebentar lagi kalian pergi, Ibu titip Jingga! " suaranya terdengar parau. Ada guratan kesedihan di wajahnya saat akan melepas dan menitipkan anak gadis satu-satunya.
"Dia memang banyak bicara, bahkan sering mengajukan protes. Dia juga sedikit bandel. " Sasmita tak mampu menahan air matanya. Air mata yang sudah menganak sungai itu pun meluncur begitu saja.
"Iya Bu, jangan khawatir! Dia istriku, tentu saja sudah tanggung jawab Alan menjaganya. " Kalimatnya begitu fasih meluncur, seperti saat dia mengucapkan kalimat ijab kabul ketika pernikahan. Entah itu kalimat jujur dari hatinya atau hanya sekedar menenangkan perasaan seorang ibu yang sedang menangis di depannya, kalimat itu tanpa dia sadari sudah memberi banyak harapan pada mertuanya.
"Jingga ke mana? " tanya Sasmita.
"Dia sudah tidur, sepertinya Jingga kelelahan! " jawab Alan setelah meneguk teh hangatnya.
"Oh ya, ibu minta sembunyikan nama belakang Jingga. Ibu tidak ingin ada yang mengenali Jingga sebagai Putri dari keluarga Hadinoto." ucap Sasmita agar Alan lebih hati-hati dengan identitas Jingga yang sebenarnya.
"Iya, Bu... ! " jawab Alan dengan singkat, meski otaknya kini berfikir lebih panjang tentang background keluarga Cokrohadinoto.
"Ibu akan istirahat dulu! " ucap Bu Sasmita sebelum mengakhiri percakapan mereka dan meninggalkan Alan dengan sejuta pertanyaan.
Setelah menghabiskan tehnya, Alan kembali masuk ke kamar. Memang terasa aneh, saat dia harus satu kamar dengan seorang perempuan. Tapi, itu menyadarkannya jika statusnya kini sudah menikah.
Saat melewati sofa, Alan melirik kembali gadis yang terpulas di sana. perasaannya kembali tak tega saat melihat gadis mungil itu harus meringkuk di sofa. Dia berjalan mendekati sofa, di angkatnya tubuh Jingga untuk dipindahkan ke tempat tidur.
Kali ini Alan yang bingung, di mana dia akan mengistirahatkan tubuhnya? jika pun di sofa, itu pastilah akan membuat badannya seperti tertekuk-tekuk karena ukuran sofa yang terlalu pendek. Lelaki bertubuh 187 cm itu tertegun sejenak, tapi kemudian memutuskan untuk tidur di sebelah Jingga.
Jingga mengerjapkan matanya saat mentari menembus di sela-sela tirai kamar. Betapa terkejutnya saat dia bangun kesiangan, gegas dia melangkah menuju kamar mandi. Setelah membuka kamar mandi, Jingga langsung menuju wastafel untuk mencuci mukanya terlebih dahulu. Beberapa kali dia membasuh wajahnya hingga akhirnya dia berhenti dan menatap cermin.
Deg... jantungnya serasa copot saat sosok bertubuh tinggi itu sudah berada di belakangnya dengan tangan bertumpu pada dinding wastafel.
"Kalo masuk ruangan tertutup, ketok dulu! Jangan asal nyelonong! " bisik Alan membuat Jingga reflek membalikkan tubuhnya, menghadap tubuh kekar yang hanya memakai handuk sebatas pinggang.
Jingga menelan saliva dengan kasar, jantungnya berdetak tak beraturan saat tubuh mereka hanya berjarak beberapa senti saja.
"Kenapa pintunya nggak dikunci?" bantah Jingga yang akan segera pergi. Tapi, lengannya ditahan oleh Alan.
"Aku kira istriku ngerti sopan santun. Eh, nggak taunya tukang nyelonong. " mendengar jawaban Jingga membuat Alan kesal. Jingga memang tukang protes seperti apa kata mertuanya semalam.
"Kenapa nggak dibangunin? " tanya Jingga dengan melirik jemari Alan yang mengerat di lengannya, membuat Alan melepaskan cengkeramannya.
"Bukanya kebalik? "
"Ya nggaklah, Mas. Kan istri tanggung jawab suami." masih saja menjawab omongan Alan, membuat lelaki itu bertambah kesal.
"Sudah sana, keluar! Atau mau melihatku berganti baju? " usir Alan saat melihat Jingga akan kembali membantah. Perempuan itu dengan tergesa meninggalkan kamar mandi.
tbc
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!