NovelToon NovelToon

So In Love

EP. 1. On Your Wedding Day

Cerita ini adalah sequel dari cerita Biru dan Jingga STILL IN LOVE. Disarankan untuk membaca cerita sebelumnya sebelum membaca ini. 😉

********

Kesepian di tengah keramaian, itulah yang dirasakan Langit sekarang. Alunan musik yang terdengar begitu mendayu yang dimainkan instrumental musik untuk menambah kesan romantis resepsi pernikahan malam itu, justru malah membuat hati Langit semakin teriris. Alunan musik itu begitu menyayat hatinya, tidak terdengar indah sama sekali.

Dari kejauhan, ia tersenyum getir, menatap sepasang anak manusia yang tengah menjadi raja dan ratu sehari itu. Biru dan Jingga.

“Cantik.” Gumamnya dengan tatapan nanar. Ia pandangi sang mempelai pengantin wanita dengan gaun mewahnya itu tanpa kedip. Dia benar-benar seperti putri kerajaan. Namun, sayang sekali laki-laki yang berdiri di sampingnya bukanlah dia.

Gadis itu, Jingga. Gadis yang selalu bersamanya sejak kecil, hingga menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Jingga, si gadis kecil dan tengil yang selalu bersikap menyebalkan, serta selalu mengejeknya anak kurus krempeng dan bocah ingusan. Sial sekali, gadis itu malah tumbuh besar menjadi seorang gadis yang sangat cantik bahkan di luar fantasinya, hingga akhirnya si gadis cantik bak peri itu perlahan hadir memenuhi setiap mimpi-mimpinya.

Langit selalu bermimpi memiliki kisah yang indah bersama Jingga. Berdiri di pelaminan dengannya, lalu tersenyum bahagia bersama, kemudian memiliki anak yang lucu-lucu, and happily ever after.

Tapi sayang sekali, Tuhan membuat kisahnya dengan Jingga hanya terabadikan sebagai teman. Hanya teman, tidak akan pernah menjadi lebih. Mereka tidak dalam satu perasaan yang sama, sudah sangat jelas sejak awal irama jantungnya dengan Jingga berbeda.

Langit memang sudah merelakan Jingga, tapi bukan berarti gadis itu sudah hilang dari hatinya. Jika ditanya bagaimana perasaannya saat ini, maka jawabannya adalah bahagia dan sakit sekaligus.

Langit bahagia karena melihat Jingga tersenyum bahagia bersama pilihan hatinya, namun tak dapat dipungkiri bahwa hatinya juga sangat sakit karena orang yang bisa membuatnya tersenyum bahagia bukanlah dirinya.

“Ayo, mumpung antriannya lagi sepi.” Seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya, hingga ia yang tengah melamun nyaris saja menjatuhkan gelas berisi minuman yang dipegangnya.

“Sialan, lo ngagetin gue aja, Al.” Gerutunya kesal. Ia kemudian meletakkan gelas di tangannya ke atas meja.

“Lagian lo ngelamunin apaan, sih? Kesambet, baru tahu rasa lo.” Cibir orang yang tadi menepuk pundaknya, Albi.

“Kesambet-kesambet, setannya gak berani masuk kesini, mereka takut sama elo yang lebih nyeremin.” Ledek Langit tak mau kalah. Albi yang mendengarnya hanya mendengus. Laki-laki yang merupakan rekan kerja sesama dokternya itu lantas mengatakan untuk segera menyusul Bisma dan Bian, teman mereka yang sudah lebih dulu berjalan menghampiri pengantin untuk bersalaman.

Langit lalu menguatkan hatinya, menarik napas dalam-dalam, ia kemudian memasang wajah setenang mungkin agar terlihat baik-baik saja saat ia menyalami Jingga di sana.

“Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan . . . .” Langit yang berjalan di depan Albi seketika berbalik saat mendengar Albi meledeknya dengan sebuah lagu yang biasa dijadikan soundtrack untuk seseorang yang ditinggal menikah. Ahh, Langit ingin memukul orang yang sudah menciptakan lagu itu. Ia tak menyangka jika lagu ini akan menjadi soundtrack dalam salah satu episode hidupnya.

“Diem, atau gue jahit mulut lo!” Ancam Langit memasang raut wajah kesal, seketika Albi mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Namun, tatapannya tetap penuh dengan ledekan.

Langit merasakan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.

Jantungnya berdegup cepat begitu gilirannya dalam antrian kian mendekat. Ia kembali menarik napas dalam-dalam dan memasang senyum terbaiknya, ia harus tetap terlihat tampan walaupun hatinya sangat sedih.

“Ji . . . .” Langit melihat Jingga tersenyum senang ke arahnya begitu ia tiba untuk memberinya ucapan selamat.

“Langit . . . .” Serunya senang. Gadis itu kemudian berhambur memeluknya hingga ia sedikit terhuyung ke belakang. Tak peduli dengan Biru yang melihatnya dengan kesal, Langit membalas pelukan Jingga dengan erat. Sebentar saja, biarkan ia memeluk cinta pertamanya sebentar saja.

Ia sudah mengalah dan merelakan Jingga pada laki-laki itu, setidaknya biarkan ini menjadi imbalan dari Biru untuknya.

“Rasanya, baru kemarin kita main rumah-rumahan di playground, dan sekarang kamu melakukannya di dunia nyata. Aku ikut bahagia buat kamu, Ji. Congrats on your wedding day.” Ujar Langit yang terdengar penuh haru di telinga Jingga. Namun, yang terjadi sebenarnya adalah Langit tengah berusaha mati-matian untuk tidak menangis, hatinya begitu sakit saat mengucapkan kata demi kata dari kalimat ucapan selamat yang ia berikan untuk Jingga.

“Terima kasih. Terima kasih untuk selalu ada di sisiku selama ini, my best friend.” Langit merasakan Jingga semakin mengeratkan pelukannya. Mendengar itu, hatinya semakin sakit. Teman, Jingga menganggapnya sebagai teman sampai akhir.

Langit tersenyum miris, matanya mulai berkabut sekarang, namun ia dengan segera mengerjap-erjapkannya agar air mata yang hampir menggenang itu tidak jatuh.

“Temenan boleh, tapi peluk-peluk jangan.” Langit mendengus kesal saat Biru si mempelai pengantin laki-laki melepas paksa pelukannya dengan Jingga. Ia menatap laki-laki yang sekarang menjadi suami Jingga itu dengan kesal. Namun, sejurus kemudian seringai jahil menghiasi wajahnya. Walaupun hatinya sedih, tapi ia tidak tahan untuk tidak menjahili musuh yang sudah menjadi sahabatnya ini.

“Ji, kalau kamu lagi bosan dan butuh selingkuhan, panggil aku aja, ya.” Ujar Langit dengan usil, membuat Biru mendelik tajam padanya.

“Selamat, Bro. Jaga dan bahagiain dia dengan baik.” Ucap Langit tulus seraya menepuk lengan bahu Biru.

“Tanpa lo suruh.” Jawab Biru ketus, sepertinya laki-laki itu masaih kesal karena Langit menggoda dan menjahilinya. Tak lama setelah itu, Langit beranjak dan pergi dengan hati yang begitu kosong.

********

“A . . . .” Ini adalah percobaan kesekian kalinya Langit mencoba berteriak. Ia memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Ia ingin meluapkan kesedihannya, namun setiap kali ia mencoba berteriak, suaranya tiba-tiba tercekat dan yang keluar malah air mata. Ahh, memalukan sekali. Untung di tempatnya berdiri saat ini tidak ada orang.

“Aaaaaaaaaah.” Teriak Langit akhirnya, menggema di ruang terbuka di atas bagian paling tinggi dari gedung hotel.

Sejurus kemudian, ia lalu menangis sejadi-jadinya. Seketika memorinya selama ia bersama Jingga berputar seperti sebuah roll film.

“Hei, bocah ingusan. Kalau kamu dipukul, kamu harus bisa mukul balik. Dasar lembek.” Langit tersenyum, itulah kali pertamanya ia bertemu Jingga. Gadis itu dengan berani memukul orang yang tengah merundungnya waktu itu, benar-benar seperti preman.

“Langit. Gimana penampilanku?” Itu adalah kenangan dimana Langit mulai melihat Jingga sebagai perempuan. Gadis itu berputar di hadapannya untuk memperlihatkan penampilan barunya yang mengenakan seragam SMA, cantik sekali.

Langit tertawa getir saat ingatan kebersamaannya dengan Jingga terus bermunculan. Tuhan sungguh tidak adil, kenapa Dia tidak menakdirkan Jingga menjadi saudaranya saja? Cintanya pada gadis itu terlalu besar, namun sia-sia saja karena itu tak terbalas. Ini terlalu menyakitkan, walaupun ia sudah berusaha berbesar hati merelakannya.

“Langit, gendong aku.”

“Langit, biarkan aku memelukmu seperti ini sebentar.”

“Langit, ayo kita main tenis sampai lenganku patah.”

“Langit, ayo naik gunung.”

“Langit, ayo pergi ke laut.”

“Langit, ajak kau ke tempat yang bagus.”

“Langit, traktir aku makan.”

Langit berdecih, ia menarik salah satu sudut bibirnya hingga membentuk senyuman kecut. Seketika ia ingin mengumpat pada Jingga yang hanya memanfaatkannya sebagai sandaran saat gadis itu sedih. Namun, itu tidak sungguh-sungguh. Ia hanya ingin meluapkan kesedihannya saja.

********

Semetara itu, di balik pintu yang menghubungkan rooftop gedung hotel. Seorang gadis dengan gaun pesta mengurungkan niatnya untuk melangkahkan kakinya memasuki atap gedung tatkala ia melihat seorang laki-laki berteriak-teriak tidak jelas.

Gadis itu mengintip dari balik pintu, mengawasi laki-laki yang tengah berteriak sambil berdiri di atas pembatas atap gedung hotel yang terbuat dari beton itu.

“Dia mau bunuh diri atau apa?” Tanyanya menerka-nerka, matanya terus mengawasi laki-laki itu, siapa tahu saja tiba-tiba melompat. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Laki-laki itu tidak boleh mati di depan matanya, ia tidak mau digentayangi hantunya.

“Sialan, aku susah payah bertahan hidup. Dia seenaknya mau bunuh diri.” Gerutunya kesal, ia lalu meraih ponsel dari tasnya untuk menghubungi seseorang.

“Tante . . . .” Serunya begitu sambungan telepon terhubung. Ia sedikit menghalangi mulutnya dengan telapak tangan untuk meredam suaranya agar tak terdengar orang di seberang sana yang sedang ia awasi saat ini. Padahal, jaraknya cukup jauh, namun gadis itu tetap saja takut jika saja laki-laki itu mendengar suaranya.

“Tolong panggil petugas keamanan ke atap gedung. Ada orang yang mau bunuh diri.” Ujarnya kemudian, ia lalu menutup sambungan teleponnya.

********

To be continued . . . . .

EP. 2. Patung Es

********

“Kalungku . . . .” Ucap seorang gadis kecil berusia sembilan tahun, wajahnya merengut karena baru saja ia menjatuhkan kalung kesayangannya ke dalam danau buatan.

“Tunggu sebentar, biar kakak yang ambil kalungnya . . . .” Ujar seorang anak laki-laki yang sontak membuat wajah si gadis kecil itu berbinar.

“Janji jangan menghilangkannya lagi kalau kakak udah menemukannya?” Si anak laki-laki mengacungkan jari kelingkingnya. Gadis kecil itu lantas mengangguk cepat sembari menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking si anak laki-laki.

Tak lama, si anak laki-laki menceburkan dirinya ke dalam danau buatan untuk mengambil kalung milik si gadis kecil itu.

Dengan setia si gadis kecil berdiri menunggunya di sisi danau, berharap si anak laki-laki itu menemukan kalungnya yang tak sengaja terjatuh ke dalam danau tersebut saat ia tengah bermain.

Si gadis kecil terus menunggu, namun sudah lebih dari satu jam anak laki-laki itu tak kunjung muncul ke permukaan.

“Mimpi buruk ini lagi . . . .”

“Lihat kakakmu, Shien. Papa sudah bilang kamu diam di rumah aja . . . .”

“Shawn . . . .” Seorang gadis cantik dengan wajah sepucat salju terbangun dari tidurnya dengan napas memburu, ia meremas baju di depan dadanya saat merasakan jantungnya berpacu dengan cepat.

Gadis itu lalu memejamkan mata seraya mengatur napas untuk membuat dirinya lebih tenang.

“Shien . . . .” Wanita paruh baya berambut ikal tiba-tiba masuk ke kamar gadis yang dipanggil Shien itu dengan langkah terburu-buru, kemudian menghampirinya dengan raut wajah khawatir.

“Kenapa, sayang? Mimpi buruk lagi?” Tanya wanita paruh baya bernama Hilda itu sembari mengusap keringat yang bercucuran di pelipis Shien.

“Enggak, Tante, aku cuma mimpiin orang jatuh dari atap gedung hotel aja.” Jawabnya berbohong sambil pura-pura meringis membayangkan orang terjatuh dari bagian teratas gedung hotel dengan patah tulang parah dan darah yang mengalir deras di kepalanya begitu orang tersebut menyentuh lantai dasar, kemudian arwahnya bergentayangan. Ahh, ia terlalu banyak menonton film horor rupanya.

“Gak usah ngebayangin sampai dihantui segala . . . .” Tante Hilda mengusap penuh wajah keponakannya dengan gemas.

“Tapi kalau sampai dia mati, hantunya gak bakal terlalu nyeremin, Shi.” Ucap Tante Hilda kemudian, membuat Shien mengerutkan dahinya tak mengerti. Di dunia ini, mana ada hantu yang tidak menyeramkan.

“Dia siapa, Tante?” Tanya Shien. “Itu lho, cowok yang tadi malam kamu lihat mau bunuh diri. Ternyata dia orangnya ganteng lho, Shi.” Shien ber-ohh ria sambil manggut-manggut tak peduli saat mengingat orang yang ia lihat tadi malam hendak bunuh diri dari atap gedung hotel.

“Ya udah, kalau ganteng cepetan jadiin dia Om aku.” Ledek Shien pada tantenya yang memang perawan tua itu.

“Ehh, ini anak malah ngeledek orang tua.” Tante Hilda memukul pelan paha Shien, gadis itu hanya terkekeh seraya mengacungkan dua jarinya membentuk tanda V.

“Cepat mandi, kamu harus bertemu dokter barumu hari ini.” Tante Hilda menyerahkan kartu nama yang diambil dari saku celemeknya.

“Bukannya kita mau lihat kantor baru Snow Candy hari ini?” Tanya Shien heran, karena seingatnya hari ini ia bersama tante Hilda akan melihat kantor barunya yang mulai sekarang akan beroperasi di Indonesia. “Kamu bisa nyusul, kantornya dekat RH Hospital dimana dokter Nathan bekerja.” Jawab Tante Hilda seraya mengetuk-ngetuk kartu nama yang ada di tangan Shien.

“Okay. Aku mandi dulu sekarang.” Shien beranjak dari tempat tidurnya untuk segera membersihkan diri di kamar mandi.

Namun baru saja beberapa langkah ia berjalan, Tante Hilda kembali memanggil namanya hingga membuat Shien kembali membalikkan tubuhnya. “Kenapa, Tan?” Tanya Shien dengan alis bertaut. Tante Hilda menghela napasnya dalam, raut wajah wanita paruh baya itu tampak ragu untuk mengatakan sesuatu pada keponakannya.

“Eung . . . .” Tante Hilda sejenak terdiam, ia menatap Shien dengan ragu, untuk kemudian ia berujar. “Tadi Mama sama Papa kamu telepon Tan . . . .”

“Aku udah yatim piatu sejak 16 tahun yang lalu, kalau Tante lupa.” Sambar Shien yang tiba-tiba berubah dingin. Kedua tangannya terlihat mengepal, rahangnya mengeras, dan wajahnya memerah. Gadis itu seolah tengah menahan amarah.

Papa dan Mama. Jika Shien ditanya kata apa yang tidak disukainya, jawabannya adalah dua kata itu. Orang tua yang sudah mengabaikannya sejak ia kecil, bolehkan ia anggap tidak ada?

“Shien . . . .” Tegur Tante Hilda tak suka.

“Orang tua aku itu cuma Tante, gak ada yang lain.” Sambar Shien lagi, ia menatap Tante Hilda tanpa ekspresi. Baginya, orang tuanya adalah Tante Hilda yang telah merawat dan menyayanginya melebihi orang tuanya sendiri.

“Oke, lupakan pembicaraan tentang orang tua kamu. Tapi, setidaknya temui kakak kamu Shanna. Apa kamu gak kangen sama dia?” Tanya Tante Hilda mengalihkan pembicaraan mengenai orang tua Shien. Gadis itu terlalu sensitif jika disinggung tentang orang tuanya.

Sejenak, Shien terdiam saat mendengar nama kakaknya disebut. Dalam hatinya ia bertanya tanya, terselip rasa ingin tahu akan kabar kakaknya yang sudah enam belas tahun tidak ditemuinya itu. Bagaimana rupanya saat ini? Ahh, kalau itu pasti sama dengannya karena mereka anak kembar.

“Kalau itu aku tinggal berdiri di depan cermin aja, Tan.” Jawab Shien enteng seraya berlalu pergi dari hadapan Tante Hilda.

“Nanti Tante shareloc tempat kerjanya . . . .” Teriak Tante Hilda sebelum kemudian Shien menghilang di balik pintu kamar mandi.

********

Suasana teras balkon di sebuah caffe mendadak heboh dengan gelak tawa Albi, Bian, dan Bisma begitu Albi menceritakan kejadian yang menimpa Langit di malam resepsi Biru dan Jingga tadi malam.

Masih jelas dalam ingatan Langit, tadi malam ada seorang ibu-ibu berpenampilan gonjreng melebihi Princess Syahrini dengan dua orang petugas keamanan tiba-tiba menarik dirinya yang sedang berdiri di atas pembatas beton dari atap gedung hotel.

“Pak, ini apa-apaan?” Langit berusaha melepaskan dirinya yang dipegangi dua petugas keamanan seolah ia adalah seorang penjahat atau pasien dari rumah sakit jiwa yang kabur.

“Ini ih, Pak. Dia mau bunuh diri.” Ibu-ibu itu menunjuk-nunjuk Langit dengan kipas lipat yang dipegangnya. Sontak saja Langit melongo mendengar penuturan ibu-ibu itu.

“Anda kalau mau berbuat kerusuhan jangan disini, Pak.” Tukas salah satu petugas keamanan bertubuh tinggi besar dengan kumis tebal, terlihat cukup garang. Langit yakin, dia adalah mantan preman pasar.

“Tapi saya bukan mau bu . . . .”

“Kalau bukan mau bunuh diri, ngapain kamu berdiri di sana sambil teriak-teriak gak jelas? Kamu ini masih muda, masa depan kamu masih panjang, jangan putus asa kayak gini.” Sambar si ibu-ibu berceloteh panjang lebar sambil memukili Langit dengan kipas lipatnya.

“Tante, siapa yang mau bunuh di . . . .”

“Jangan mengelak. Bawa dia keluar, Pak. Jangan sampai dia mati di sini, terus arwahnya gentayangan menghantui kita.” Ibu-ibu itu kembali memotong ucapan Langit. Hingga tak butuh waktu lama, dua petugas keamanan itu menyeret Langit untuk keluar dari gedung hotel.

Di lobby hotel, Albi yang memang hendak pulang tak sengaja berpapasan dengan Langit yang baru keluar dari lift bersama dua petugas keamanan yang mengapitnya.

“Lepasin saya, Pak!” Langit meronta, tapi tenaga kedua petugas keamanan itu lebih besar darinya. Jangankan tenaga, tubuhnya saja sudah kalah saing. Langit sudah seperti miniatur action figure saat disandingkan dengan kedua petugas keamanan ini.

Albi yang melihat keributan itu lantas menghampirinya, ia bertanya dan petugas mengatakan kalau temannya ini hendak menjatuhkan dirinya dari atap gedung hotel.

Langit sudah berusaha menjelaskan, namun si petugas keamanan tak ingin mendengarkannya. Alhasil, dia dilempar keluar dari gedung hotel dengan harga dirinya yang berceceran. Bagaimana tidak? Di sana Langit menjadi pusat perhatian banyak orang yang menatapnya dengan berbagai ekspresi. Kasihan, anak muda stress, depresi, dan sebagainya. Mungkin itu yang dipikirkan orang-orang yang melihatnya.

“Sialan banget gak, tuh?” Langit meletakkan gelas berisi jus jeruk miliknya dengan sedikit sentakan. Ia kesal, siapa sih orang iseng yang memanggil petugas keamanan dan menuduhnya akan melakukan percobaan bunuh diri? Ia yakin pasti si ibu-ibu gonjreng itu yang menuduhnya, megingat ibu-ibu itu datang bersama petugas keamanan dan mengomelinya. Dasar ibu-ibu berpikiran dangkal.

“Haha, lagian lo ngapain pake berdiri di sana?” Tanya Bisma di sela-sela gelak tawanya.

“Apa emang ada niatan bunuh diri gara-gara ditinggal nikah?” Tambah Albi meledek. Langit yang mendengarnya hanya mendengus, senang sekali mereka membully orang.

“Oh, what a pity. Our litte boy.” Bian ikut meledek dengan memasang wajah penuh prihatin. “Sini Papa peluk . . . .” Lanjutnya seraya merentangkan tangannya.

“Aiish, sialan. Seneng banget kalian ngeledekin gue.” Langit mendorong tubuh Bian agar menjauh darinya. Ia kemudian melempar pandangannya, menatap lurus pada tulisan timbul Snow Candy pada sebuah bangunan minimalis yang ada di seberang caffe.

“Lain kali, kalau suka sama cewek tuh gercep, jangan dipendam lama-lama. Keduluan baru tahu rasa kan, lo?” Cebik Bian sok bijak. Langit hanya mengedikkan bahunya tak pedulli.

“Contoh nih si Bisma. Kalau lo udah suka, lo langsung hamilin, terus nikahin, kan beres.” Lanjut Bian enteng.

“Gak gitu konsepnya, kambing.” Albi lantas menoyor kepala Bian dengan keras hingga membuatnya sedikit meringis.

“Kampret emang, lo. Harusnya dijadiin pelajaran, malah dijadiin kiat cepat buat dapetin cewek.” Bisma mendengus sebal. Mulut temannya yang satu ini memang tidak memiliki filter.

“Duhh, yang udah jadi bapak-bapak mah beda. Dulu aja sering ngajakin maksiat, sekarang lebih suka ngasih nasihat.” Cibir Bian kemudian.

“Gak asyik lo sekarang, Bis. Si Biru juga nanti pasti kayak elo gini, nih. Berubah jadi kanebo kering.” Lanjutnya sembari menunjuk-nunjuk Bisma. Laki-laki itu sedikit mengeluh karena temannya jadi tak seasyik dulu.

“By the way, Prof. kita lagi ngapain ya? Udah siang, tapi dia gak ada nongol di grup chat. Sombong banget beliau, mentang-mentang udah nikah, kita dilupain.” Mendengar nama Biru disebut, Albi berujar seraya memeriksa grup chat di ponselnya.

“Ya elah, lo jangan pura-pura polos, Al. Gak bakalan dia buka grup chat, yang ada sekarang dia lagi sibuk buka baju, terus bikin si Jingga tertekan dengan berbagai macam gaya.” Bian kembali berceloteh diiringi dengan gelak tawa. Bahkan ayam goreng yang tengah dikunyahnya muncrat sebagian hingga membuat semua orang bergidik jijik.

“Teman siapa, sih?” Tanya Albi melirik Langit dan Bisma bergantian. “Bukan teman gue.” Sahut Langit cepat, ia menatap jijik tangannya yang terkena semburan ayam goreng dari mulut Bian.

“Kepala lo isinya kotor banget ya, Yan. Buru sana berendam di air kembang tujuh rupa biar setan mesum di otak lo kabur.” Kali ini tangan Bisma yang gemas menoyor kepala Bian.

“Duhh, yang otaknya udah suci jadi ceramah terus.” Bian kembali meledek. Bisma jadi geram sendiri. Kerasukan apa, sih, temannya ini?

“Padahal dulu koleksi blue filmnya paling banyak, terus suka ngajakin gue sama Biru nonton bareng. Ehh, tahunya lo praktik dulu . . . .emmb.”

“Dasar lo kambing, makan niiiiiih.” Bisma yang gregetan lantas menjejali Bian dengan semua kentang goreng yang tersisa di piringnya untuk membuat laki-laki itu berhenti mengoceh tak jelas.

Sontak saja hal ini membuat Albi dan Langit tertawa puas melihatnya. “Pantesan gesrek, tiap hari dia makanannya blue film.” Cibir Albi seraya berdecak geli.

********

Mobil Shien berhenti tepat di depan gerbang sebuah bangunan yang terbuka. Bangunan di depannya adalah tempat dimana kakaknya Shanna berkerja. Entah apa yang menariknya untuk pergi ke tempat ini. Seingatnya, tadi pagi ia sama sekali tidak peduli saat Tante Hilda mengirimnya alamat tempat ini.

“Little Brown.” Shien membaca tulisan yang dicetak timbul di atas sebuah gedung yang cukup mewah untuk sebuah tempat les. Jelas saja, Little Brown adalah tempat les bahasa khusus untuk anak-anak yang cukup bonafide.

“Kak Shanna guru les anak-anak?” Tanya Shien pada seorang wanita yang umurnya tak jauh berbeda dengannya, Fina. Fina yang sebenarnya asisten Tante Hilda, tapi tugasnya lebih sering menjadi sopir Shien dan menjaga Shien. Mungkin, tepatnya dia lebih pantas disebut pengasuh Shien. Padahal, impiannya adalah menjadi sekretaris yang keren seperti sekretaris Kim. Tapi impiannya seketika meluap saat ia dipertemukan dengan Shien.

“Bukan hanya itu, dia juga pemilik Little Brown, tempat les khusus untuk anak-anak dengan fasilitas yang fantastis. Ada lima bahasa yang menjadi pilihan, bahasa inggris, korea, china, jepang, dan . . . .”

“Aku tahu itu.” Sambar Shien cepat, menghentikan Fina yang sudah percaya diri akan menjelaskannya secara detail.

“Selalu saja bersikap sesuka hatinya.” Fina yang kesal karena ucapannya dipotong hanya bisa menggerutu dalam hati.

“Apa dia suka anak-anak?” Gumam Shien tanpa melepaskan pandangannya dari pintu masuk utama gedung itu.

“Di dunia ini hanya kamu yang aneh, Nona Shien. Penulis buku cerita anak-anak, tapi sama sekali tidak menyukai mereka.” Cibir Fina membuat Shien mendengus ke arahnya. Namun, tak berniat menanggapinya.

“Dimana kakaku? Kenapa dia gak keluar?” Shien menurunkan sedikit kacamata hitam yang dikenakannya. Fina yang duduk di sebelahnya mendelik, ingin memaki tapi takut dipecat.

“Mana aku tahu. Kalau penasaran, masuk dan tanyakan pada staff front office di sana.” Fina yang sifat dasarnya cerewet dan suka mengumpat akhirnya tak tahan untuk mengoceh pada keponakan dari atasannya itu.

“Kalau kamu terus diam di dalam mobil seperti ini, sampai matipun kamu tidak akan pernah bertemu dengannya.” Lanjut Fina sersungut-sungut.

“Aiish, shut up! Jangan bahas kematian. Kalau malaikat maut datang, baru tahu rasa kamu.” Seru Shien yang berhasil membuat Fina menutup rapat mulutnya. Sial sekali, apa Shien baru saja mendoakannya mati secara tidak langsung?

Suasana hening, tak ada percakapan lagi setelah itu. Baik Shien atau Fina, mata mereka mengawasi pintu masuk utama tanpa kedip, berharap kakak dari Shien yang bernama Shanna itu keluar.

Yang diawasi tak kunjung muncul, Shien yang merasa tenggorokannya kering lantas meraih botol air mineral dari dashboard, lalu meneguknya dengan pandangan yang tetap menatap lurus ke depan.

BUUUUURS

Tiba-tiba air yang tengah diminumnya menyembur dan sebagian masuk ke hidungnya saat ia melihat seseorang berwajah mirip dirinya berjalan keluar dari dalam gedung tempat les tersebut.

“Are you okay?” Tanya Fina khawatir saat melihat Shien terbatuk-batuk sembari menyerahkan kotak tissue pada gadis itu. Namun, Shien mengabaikannya.

“Beraninya dia . . . .” Shien mendengus sembari memperhatikan penampilan Shanna yang tidak mencerminkan seperti seorang guru sama sekali. Rambut panjang sepunggung yang diombre dengan perpaduan warna coklat, orange, dan pink, nyaris seperti lolipop. Ditambah gaya berpakaiannya yang swag dengan hanya mengenakan school girl skirt dan kaus polos warna merah ketat hingga memperlihatkan pusarnya, serta anting-anting dengan warna mencolok. Di mata Shien, itu terlihat . . . . kampungan.

“Beraninya dia dengan wajahku . . . .” Dia menunjuk Shanna yang tengah berjalan keluar gedung sambil bergelayutan di lengan seorang pria bule dengan tatapan geram.

“Dia idola K-Pop atau apa?” Fina malah berdecak kagum. Ia bisa menilai jika orang di seberang sana lebih seru dibandingkan dengan orang yang ada di sebelahnya saat ini yang tidak ada seru-serunya sama sekali. Shien adalah patung es tak berperasaan.

“Idola matamu. I think, she has some bugs in the brain.” Cibir Shien yang mengatakan kakak kembarnya sendiri sudah gila. Fina yang mendengarnya hanya mendengus, padahal ia suka dengan penampilan Shanna yang terlihat lebih berani daripada Shien. Gadis itu hanya memilih warna-warna monokrom untuk outfit yang dikenakannya.

“Ayo pergi ke salon, Fina.” Perintah Shien kemudian. Ia memiliki wajah yang sama dengan kakaknya, tapi ia tak akan membiarkan rambutnya sama-sama panjang. Sejak dulu ia tidak pernah menyukai sesuatu yang sama dengan kembarannya itu, baik barang ataupun penampilannya. Semua harus berbeda.

“Mau apa ke sana?” Tanya Fina. Shien yang mendengarnya hanya memutar bola matanya malas, sebelum kemudian ia berujar. “Nyari tuyul.” Shien menatap Fina dengan tatapan tajam hingga membuatnya sedikit ketakutan.

“Okay. Kita ke sana sekarang.” Lebih baik Fina menurut dan tak banyak bicara daripada kena amukan dari Shien.

********

To be continued . . . .

EP. 3. Big LOVE

********

Beberapa minggu berlalu, Langit benar-benar menerima kenyataan bahwa Jingga si cinta pertamanya sudah menjadi milik orang lain sepenuhnya.

Tidak ada yang berubah setelah gadis itu menikah, ia tetap berteman dengan akrab seperti biasanya. Mengobrol bersama di waktu luang, makan siang bersama, dan melakukan hal-hal menyenangkan lainnya bersama gadis itu. Tidak ada yang berubah sama sekali. Ahh, mungkin yang sedikit berubah adalah suami Jingga yang terkadang hadir di tengah-tengah mereka. Dan kalau sudah ada Biru, bisa dipastikan ia akan menjadi kambing congek. Dan itu sedikit . . . ., menyebalkan.

Pagi itu, Langit berjalan di koridor rumah sakit menuju ruang NICU. Langit tak berhenti tersenyum, entah kenapa pagi ini ia merasa lebih bersemangat dan hatinya sangat senang. Ahh, mungkin karena tadi malam ia mendapatkan jam tangan branded incarannya.

Langit berjalan sambil melempar-tangkap koin perak Australia berlambang koala, kemarin seorang pasien anak laki-laki memberikannya sebagai imbalan karena Langit sudah berhasil mengoperasi lambungnya. Katanya itu koin adalah keberuntungan, padahal itu koin perak biasa. Langit tersenyum geli sambil geleng-geleng kepala mengingatnya.

“Mana ada koin keberuntungan, dasar bocah.” Gumamnya seraya berdecak geli.

Benar saja, alih-alih keberuntungan, justru kesialan yang menghampirinya pagi ini. Langit yang sedang berjalan dengan santai tiba-tiba jatuh tersungkur saat seseorang menabrak punggungnya dengan keras. Sialan, ingin sekali Langit mengumpat pada orang yang sudah merusak pagi indahnya. Apa orang itu tidak punya mata sampai dirinya ditabrak seperti ini?

“Koinku . . . .” Langit memekik begitu koin keberuntungannya terlepas dari genggamannya dan menggelinding begitu saja.

“Langit.” Mendengar seseorang meneriakan namanya, Langit lalu menoleh. Didapatinya Jingga yang memasang wajah terkejut dan lega sekaligus, ekspresi yang aneh. Ia tebak, pasti gadis itu sedang terburu-buru hingga menabraknya seperti ini.

“Ji, kamu punya mata, tapi kok gak dipake?” Dan Langit langsung saja mengomeli Jingga dengan penuh kekesalan. Sudah sejak tadi ia ingin menegur orang yang menabraknya.

“Duhh, Lang. Aku lagi buru-buru, nih. kamu bisa bangun sendiri, kan?” Gadis itu berujar tanpa merasa bersalah sedikitpun. Jingga malah sibuk melihat jam di pergelangan tangannya, lalu pergi begitu saja tanpa berniat membantunya untuk beranjak.

“Ji, bantuin aku dulu.” Langit kembali berteriak kesal. Sudah ditabrak, ehh yang nabrak tidak bertanggung jawab pula.

“Aku minta maaf.” Sahut Jingga ikut berteriak, namun tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.

“Sialan.” Umpat Langit benar-benar merasa kesal, gadis itu sudah merusak semangat paginya. Sial sekali, ia juga kehilangan koinnya. Dimana koin pembawa sial itu?

Sementara itu tepat di seberang Langit terjatuh, Shien yang hendak keluar dari gedung rumah sakit setelah beberapa saat lalu menemui dokternya untuk mengambil obatnya yang tertinggal seketika menghentikan langkahnya saat sebuah koin menggelinding dan berhenti tepat di kakinya.

Pandangan Shien mengikuti arah kedatangan koin tersebut. Ia sedikit meringis saat melihat seseorang yang tentunya itu Langit tersungkur dengan cara aesthetic, itu pasti sakit sekali. Beruntung gadis yang menabrak tidak menimpanya.

Namun, Shien dibuat heran. Alih-alih merasa sakit karena terjatuh, laki-laki itu malah mengkhawatirkan koinnya.

“Lumayan, lah. Dijual dapat dua juta.” Gumam Shien saat ia menyelisik logam mulia silver koin koala Australia itu. Shien mengira, pantas saja laki-laki itu lebih mengkhawatirkan koinnya, koin ini ternyata ada harganya kalau dijual pada kolektor. Cukup untuk membeli beberapa pack plester untuk mengobati lutut dan sikut laki-laki itu yang mungkin hanya lecet sedikit.

Melihat laki-laki itu yang masih anteng dalam posisi tersungkurnya, Shien lantas menghampiri laki-laki itu dan berdiri tepat di hadapannya.

“Tenang aja, aku juga gak tertarik sama koin jelek ini.” Shien mendengus dalam hati saat ia melihat laki-laki itu mengulurkan tangannya seolah meminta Shien untuk segera mengembalikan koinnya.

Lalu tanpa berbicara sepatah katapun, Shien menyerahkan koin itu tepat ke telapak tangan laki-laki itu untuk kemudian ia berlalu pergi dengan acuh.

“Unbelievable.” Langit terbengong-bengong, gadis itu buta atau apa? Ia terperangah, tak percaya bahwa gadis yang baru saja berlalu itu tak menerima uluran tangannya. Gadis itu baru saja mengabaikan orang ganteng. Ahh, ini seperi sebuah penghinaan baginya. Tunggu, apa sekarang ia kurang ganteng sampai-sampai gadis itu mengabaikannya?

“Kalau gak tertarik, setidaknya dia bantuin gue berdiri kek, dasar gak peka.” Langit menggerutu seraya berusaha untuk berdiri. Ia kesal saat mengingat tatapan gadis itu yang sama sekali tidak menunjukan ketertarikan padanya, tapi ia lebih kesal lagi karena gadis itu tidak menolongnya. Padahal, tadi ia mengulurkan tangannya untuk meminta gadis itu membantunya beranjak, bukan meminta koinnya untuk dikembalikan.

********

Sementara itu, Shien yang baru kembali dari rumah sakit turun dari taksi dengan langkah terburu-buru.

Dengan langkah tergesa, ia berjalan memasuki bangunan kantor minimalis yang cukup homey itu. Ya, suasana kantor penerbitan ini dibuat sesantai mungkin agar orang-orang yang bekerja di sini tidak merasa bosan. Mereka bahkan tidak perlu menggunakan baju formal dan bisa berbicara sesantai mungkin baik antara atasan maupun bawahan, asalkan masih tahu batasan sopan santun.

Snow Candy, sebuah perusahaan penerbitan buku anak-anak yang didirikan tante Hilda 20 tahun lalu. Track record perusahaan ini sangat bagus, sehingga sangat dihormati, terlebih di Amerika dan Asia.

Perusahaan ini menerbitkan sekitar 135 buku anak-anak setiap tahunnya. Selain anak-anak, lingkup target penerbit ini meliputi pembaca muda dan juga dewasa. Banyak penulis yang digaet untuk bekerja sama dengan penerbit ini. Termasuk Shien yang setiap tahunnya tidak ketinggalan memborong beberapa medali penghargaan untuk karyanya.

Perusahaan penerbitan Snow Candy sebelumnya beroperasi di Amerika. Namun karena beberapa alasan, tante Hilda memindahkan kantor pusatnya ke Indonesia.

Sejak usianya memasuki 20 tahun, Shien sudah bergabung di perusahaan ini sebagai penulis sastra anak-anak dengan tante Hilda yang turun langsung sebagai editor cerita dongeng yang ditulis Shien. Wanita itu tidak keberatan menjalankan tugasnya sebagai CEO yang merangkap dengan editor, hal itu semata-mata ia lakukan untuk membantu keponakannya mengembangkan kemampuan menulisnya. Dan tak disangka, Shien meraih pencapaian besar bahkan sejak awal kemunculannya.

“Shien, kenapa kamu terburu-buru?” Tanya Fina yang mengekori Shien masuk ke ruangannya.

“Aku belum siap-siap. Hari ini ada meeting sama tim editor, kan?” Tanya Shien mengingat ia sedang menggarap buku barunya. Ia kemudian mengeluarkan tablet dari laci meja kerjanya dengan tak sabaran.

“Besok, tuh.” Sahut Fina santai.

“Ck, orang yang terbaring di ranjang pasien selama tiga hari, kalau tahu hari ini tanggal berapa baru aneh namanya.” Gumam Fina santai menatap Shien tak heran. Tidak heran kalau gadis itu lupa jadwalnya hari ini sampai panik seperti itu, karena Shien baru saja bangun dari pembaringannya.

“So, sekarang aku free?” Tanya Shien seraya mendudukkan diri di kursi kerjanya.

“Yes. Dan jangan lupa besok lusa kamu ada wawancara untuk penulis berbakat tahun ini di restoran Perancis.” Ujar Fina mengingatkan. Shien hanya mengangkat tangan membentuk tanda oke menggunakan telunjuk dan ibu jarinya.

“Satu lagi, jangan kecapekan kayak kemarin. Aku gak mau kamu pingsan lagi, itu merepotkanku. Jaga kesehatanmu, Shien.” Fina kemudian memperingati agar Shien tidak memforsir dirinya untuk bekerja terlalu keras.

“Cerewet! Udah sana pergi.” Fina mendengus saat melihat Shien malah mengusirnya seperti seekor ayam.

“Terakhir, Bu Hilda bilang kamu jangan baca dongeng putri duyung lagi.” Fina kembali memperingati begitu ia melihat Shien mengeluarkan buku cerita bergambar berjudul The Little Mermaid dari laci mejanya. Ia tahu betul gadis itu akan menangis dalam tidurnya setelah membaca cerita itu. Entah kenapa, ia juga tidak tahu.

“Terserah aku mau baca apapun.” Seru Shien tak peduli. Ia lalu membuka buku cerita bergambar yang sudah cukup usang itu dan mulai membacanya.

“Aneh banget. Cerita itu sudah kamu baca ribuan kali, apa kamu gak bosan?” Tanya Fina penasaran, dan alih-alih pergi dari ruangan Shien, ia malah duduk di hadapannya.

“Kamu aja makan tiap hari, apa gak bosan?” Sahut Shien ketus tanpa mengalihkan perhatian dari bukunya.

Fina yang mendengar itu hanya bisa menggerutu tanpa suara dengan mulut komat-kamit seolah sedang menumpahkan segala umpatan kasar untuk gadis yang ada di hadapannya.

“Siapa tokoh dongeng yang paling kamu sukai, Fina?” Tanya Shien tiba-tiba, sehingga membuat Fina keheranan. Tak biasanya gadis di hadapannya ini menanyakan sesuatu yang tidak penting seperti ini.

“Emm. . . ., aku suka Alice.” Jawab Fina setelah beberapa saat berpikir.

“Karena itulah, waktu kecil aku suka kabur dari rumah untuk mencari kelinci putih.” Lanjut Fina seraya mengingat masa kecil yang sering dimarahi ibunya karena ia sering kabur untuk mencari kelinci putih seperti dalam kisah Alice in Wonderland.

“Dasar bodoh.” Cibir Shien yang kembali pada bacaannya. Fina hanya mendengus kesal mendengar Shien mencibirnya. Bukankah tadi dia bertanya? Dasar menyebalkan.

“Tapi itu hal yang paling berkesan di masa kecilku.” Timpal Fina yang tak terima dirinya dikatai Shien bodoh.

“Shien, hal apa yang paling berkesan di masa kecilmu?” Tanya Fina kemudian, hingga membuat Shien yang mendengarnya tertegun.

“Berkesan?” Gumam Shien dalam hati, salah satu sudut bibirya lantas tertarik membentuk sebuah senyuman kecut.

Tidak ada yang berkesan di masa kecil Shien. Terkurung di kamar setiap hari dengan setumpuk buku, tidak boleh melihat dunia, ia bahkan tidak memiliki teman selain kakaknya Shanna dan Shawn. Itu pun jarang sekali Shien bermain bersama mereka karena Shanna dan Shawn sibuk dengan kegiatannya di luar.

Berbeda dengan dirinya yang home schooling, kedua saudaranya bebas bersekolah biasa dan menjalani kehidupannya dengan normal.

Bukannya Shien tidak bisa bersekkolah biasa, hanya saja Shien divonis memiliki riwayat penyakit jantung bawaan sejak lahir. Hal inilah yang menyebabkan orang tua Shien memperlakukannya sedikit berbeda dengan kedua saudaranya.

Selama sembilan tahun hidupnya, Shien tidak memiliki kebebasan layaknya Shanna dan Shawn, orang tuanya meminta Shien untuk melakukan semua kegiatannya di rumah termasuk sekolah. Walaupun Shien diberikan fasilitas lengkap tanpa kekurangan suatu apapun, namun ia sangat kesepian. Ini lebih seperti sebuah kekangan untuknya.

Shien yang sakit dan selalu di rumah, tidak berarti ia mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari kedua orang tuanya. Justru karena Shien sakit, orang tuanya lebih fokus memperhatikan Shanna dan Shawn yang lebih sehat.

Terkadang Shien iri saat setiap pagi ia melihat ibunya menyiapkan segala keperluan Shanna dan Shawn yang hendak berangkat sekolah, ia iri melihat ibunya memandikan mereka dan mendandaninya dengan rapi, ia iri melihat ibunya menyuapi Shanna dan Shawn saat sarapan, dan ia juga iri melihat ibunya membacakan dongeng sebelum tidur pada mereka. Sementara Shien, ibunya jarang sekali melakukan itu padanya. Sangat jarang, bahkan bisa dihitung dengan jari. Setiap hari yang merawatnya adalah suster dan bibi pengasuh.

Shien di masa kecil seperti putri duyung yang tidak boleh menampakkan dirinya ke permukaan karena ia memiliki tubuh yang sangat lemah. Ayahnya mengatakan karena Shien sakit, maka ia tidak boleh keluar dari rumah karena akan merepotkan orang di sekitarnya, terlebih jika saja penyakit jantungnya kambuh sewaktu-waktu.

Shien jadi berpikir, mungkin karena itulah ayahnya sama sekali tidak pernah ingin mengajaknya jalan-jalan saat liburan sekolah tiba. Karena Shien sangat merepotkan, ayahnya hanya mengajak Shanna dan Shawn saja.

Selalu seperti itu saat liburan tiba. Shien selalu tertinggal. Ia hanya bisa menatap nanar kepergian orang tua dan saudaranya yang hendak pergi berlibur dari balkon kamarnya.

Shien tidak tahu seperti apa keadaan kebun binatang, ia tidak tahu seperti apa itu Dufan, dan tempat hiburan lainnya, Shien tidak tahu karena tidak pernah pergi ke sana. Beruntung Shanna selalu bisa menceritakannya secara detail, Shien jadi bisa sedikit membayangkan seperti apa serunya jika ia ada di sana.

“Shi, kok bengong?” Shien terkejut saat tiba-tiba Fina menyentuh lengannya.

“Ohh . . . .” Shien dengan cepat mengusap sudut matanya yang tahu-tahu menjatuhkan air mata begitu saja. Padahal, ia tidak pernah ingin menangis. Terlebih jika itu karena ia mengingat kenangan masa kecilnya yang sama sekali tidak menyenangkan.

“Kamu nanya apa tadi?” Fina mendengus sebal. Apa pertanyaannya tadi hanya angin lalu bagi Shien sampai-sampai ia menanyakannya lagi?

“Ahh, sudahlah. Kamu emang gak asyik diajak ngobrol.” Fina yang suasana hatinya hari ini sedang sensitif memilih untuk beranjak dari hadapan Shien. Namun, Shien sama sekali tidak peduli melihat Fina yang kesal padanya.

“Jangan balik lagi.” Teriak Shien begitu Fina sampai di ambang pintu. Fina seklilas berbalik, menatap Shien dengan tatapan kesal sebelum kemudian ia menghentakkan kakinya dan berlalu keluar dari ruangan Shien.

********

Langit baru saja menutup sambungan telepon dari kakaknya Senja yang meminta untuk mengantarnya ke restoran Perancis nanti siang.

“Hiish . . . .” Ia berguling-guling di kasurnya sambil menggerutu. Sebenarnya ia sangat malas harus menemani kakaknya yang sedang mengandung itu, pasti wanita hamil itu akan sangat merepotkannya dengan segala macam keinginan dan permintaan yang aneh-aneh.

Menghela napas dalam-dalam, ia kemudian menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Sebenarnya ia hanya ingin tidur seharian di hari liburnya ini, tapi kakak perempuannya itu berhasil mengacaukan rencananya dalam sekejap mata. Ingin menolak, tapi Senja pasti menggunakan keponakannya yang masih ada di dalam kandungan untuk mengancamnya.

“Kamu mau keponakanmu ileran?” Langit mengacak-acak rambutnya frustrasi saat kata-kata ancaman itu terngiang-ngiang di kepalanya.

Dengan malas, Langit kemudian beranjak dari tempat tidurnya untuk membersihkan diri di kamar mandi.

Setelah selesai membersihkan dirinya, Langit lantas melangkah keluar dari kamarnya, lalu berjalan ke ruang makan mengambil sarapan, untuk kemudian menghampiri ayahnya yang sedang menonton berita pagi di ruang keluarga.

Ya, Langit ada di rumah orang tuanya karena hari ini hari libur. Sebenarnya ayah Langit memintanya untuk tinggal bersamanya daripada di apartemen, namun jarak rumah dengan rumah sakit tempatnya bekerja yang terbilang cukup jauh memaksanya untuk tinggal terpisah dari orang tuanya yang tinggal sebelah itu.

“Pa . . . .” Sapa Langit yang langsung mendudukkan dirinya di sebelah Papa.

“Tumben udah bangun.” Ledek Papa tanpa mengalihkan perhatiannya dari televisi. Beliau tahu betul anaknya hanya akan hibernasi di kamarnya sepanjang hari libur.

“Kak Senja pagi-pagi udah gangguin, minta diantar ke restoran Perancis.” Adunya seraya memasukkan sosis goreng ke dalam mulutnya.

“Udah gak usah ngeluh, turutin aja apa mau kakak kamu. Itung-itung belajar, jadi nanti kalau istri kamu hamil dan ngidam kamu udah biasa ngadepinnya.” Tutur Papa yang sontak membuat Langit menelan sosisnya bulat-bulat, hingga membuat dadanya terasa sakit. Buru-buru ia meneguk airnya untuk mendorong sosis itu masuk ke saluran pencernaannya.

“Kenapa? Terkejut sampai kamu tersedak begitu?” Cebik Papa sama sekali tak peduli dengan putranya yang kini tampak kesulitan mendorong makanannya.

“Papa gak salah ngomong, kok. Suatu saat kamu bakal nikah, kan?” Imbuh Papa santai.

“Gak salah sih, Pa. Tapi Papa tiba-tiba ngomongin istri aku hamil. Ya terkejut aku, nikah aja belum, udah ngomongin hamil aja.” Balas Langit dengan sedikit dengusan sebal.

“Makannya kamu cepetan nikah dong, Lang. Itu Jingga udah nikah, masa kamu belum.” Keluh Papa akhirnya. Ia khawatir karena usia anaknya yang sudah terbilang tidak muda lagi, tapi tak kunjung menikah juga.

“Iya deh, nanti.” Sahut Langit santai, lalu kembali melanjutkan memakan sosisnya.

“Nanti tuh kapan, Lang? Nunggu Papa mati?” Papa mendelik sewot ke arah Langit.

“Papa ngomong apaan, sih? Santai aja kenapa, sih? Papa juga masih muda, kok.” Sambar Langit yang tak suka mendengar Papa mengatakan kata mati, walaupun ia tahu Papa hanya becanda. Mamanya sudah meninggalkannya lebih dulu, rasanya ia tak akan sanggup jika harus ditinggal pergi lagi oleh Papa yang saat ini menjadi orang tua satu-satunya untuk Langit.

“Aku tuh lagi nyari yang pas aja.” Lanjut Langit memberi alasan.

“Kalau udah ada yang kamu suka, langsung gercep. Jangan sampai diembat orang lagi kayak Jingga.” Langit yang mendengar penuturan Papa kembali dibuat tersedak, ia kemudian menoleh ke arah Papa dengan pandangan melongo sambil mengerjap-erjapkan matanya tak percaya. Darimana Papa tahu hal ini? Seingatnya, ia tidak pernah menceritakan apapun tentang ini pada Papa.

“Kamu itu anak Papa. Ya Papa tahu, lah.” Ujar Papa seolah tahu apa yang sedang dipikirkan anaknya sambil memukul paha Langit dengan gemas.

Ya, sebagai seorang ayah, Papa tahu kalau putra satu-satunya itu menyimpan perasaan pada temannya, Jingga. Walaupun Langit tidak pernah bercerita, tapi Papa bisa melihatnya dari sorot mata Langit yang selalu berbinar saat anak lelakinya itu bercerita tentang kebersamaannya bersama Jingga yang selalu dilakukan baik di sekolah, tempat kerja, ataupun di luar itu.

“Kalau aja kamu gak pengecut, mungkin sekarang Jingga udah jadi menantu Papa.” Cibir Papa kemudian membuat Langit mendelik sebal.

Tak ingin menanggapi cibiran Papa, Langit memilih untuk diam dan melanjutkan sarapannya. Kalau diladeni, Papa Langit itu bisa meledeknya habis-habisan.

“Ohh, iya. Sabtu depan kamu ikut Papa makan malam sama teman Papa, ya?” Pinta Papa setelah beberapa saat terdiam dan hanya suara dari televisi yang terdengar.

“Ngapain? Gak ahh, males. Gabut aku nanti dengerin kalian bahas masa lalu.” Langit menolak permintaan Papa mentah-mentah. Karena dari pengalamannya, ia hanya akan diam sampai terkantuk-kantuk saat menemani Papa bertemu dengan temannya. Atau yang paling membuatnya sangat malas adalah ketika mereka berusaha mempromosikan anak gadisnya padanya.

“Tenang, kamu gak bakal gabut kali ini. Teman Papa nanti juga bawa anaknya, kamu bisa ngobrol sama dia.” Ujar Papa menenangkan. Namun, Langit malah menatapnya penuh curiga.

“Papa gak lagi mau jodohin aku sama anak teman Papa itu, kan?” Tanya Langit curiga. Ia mulai menatap Papa dengan pandangan tak suka.

“Ya enggak, lah. Papa yakin kamu masih laku, ngapain Papa main jodoh-jodohin segala?” Jawab Papa jenaka.

Sejak dulu, Papa Langit bukanlah orang yang akan mencampuri urusan anak-anaknya. Baik cita-cita atau cinta mereka, Papa hanya cukup mendukung keputusan anak-anaknya.

“Beneran?” Tanya Langit memastikan, tatapannya terlihat mengancam. Papa yang melihat itu hanya mendengus geli seraya menganggukkan kepalanya yakin.

“Uhh, big LOVE buat Papa.” Langit mengangkat sebelah tangannya membentuk mini love menggunakan ibu jari dan telunjuknya yang berlumuran saus. Ia senang memiliki seorang ayah yang tidak pernah meuntut apapun darinya.

“Jadi?” Tanya Papa penuh harap.

“Ikut, doong. Tapi, beliin mobil baru. Nanti aku share katalognya.” Jawab Langit seraya beranjak dari duduknya untuk menyimpan piring yang sudah kosong ke dapur.

“Anak itu . . . .” Gumam Papa sambil berdecak geli. Putra semata wayangnya itu selalu saja bisa memanfaatkan situasi.

********

To be continued . . . .

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!