Semarang sedang diselimuti awan hitam. Langit tak henti-hentinya menangis dari kemarin sore. Membuat hawa menjadi sejuk. Jalanan sepi tak ada yang mau terkena air hujan yang menyejukkan itu.
Sigit Nagendra Ardhitama, seorang polisi di kota Semarang. Usianya sekitar 27 tahun. Masih jomblo. Wajahnya sangat manis. Membuat para gadis yang melihatnya selalu terpesona. Tapi Sigit tak pernah menggubris semuanya. Dia hanya fokus untuk mengejar karirnya.
Malam itu dia baru saja pulang dari kerja. Melepas jas hujan dan menggantungnya di cantelan depan rumahnya. Sigit lebih senang memakai motor ketimbang naik mobil. Itu karena lalu lintas Semarang yang tak bisa ditebak kapan akan macet dan kapan akan lenggang.
Sigit membuka pintu rumahnya. "Baru pulang kamu Git?" tanya kakek Umang kepada cucunya. Ya, Sigit tinggal bersama kakek Umang. Papah dan mamah Sigit di Bandung. Adiknya, Maryam Ayu Ardhitama seorang kowad. Sedangkan mbah Ardhi dan mbah Rita sudah tiada.
"Iya kek. Tadi ada operasi patung, karena personilnya kurang Sigit ikut saja" jelas Sigit sambil menyalami kakeknya. Sigit adalah seorang atasan di bagian kriminal di tempatnya bekerja.
"Kamu sudah makan? Mau kakek hangatkan makanan?" Sigit tersenyum dan menggeleng. "Gak usah kek, Sigit mau langsung tidur saja. Capek"
Kakek Umang mengangguk. "Ya sudah istirahat saja. Sudah telpon mamahmu? Dia menanyakan anak kesayangannya terus tuh"
Sigit tersenyum kecut. "Pasti mamah tanya, Sigit sudah punya pacar belum, bla bla bla"
Kakek Umang tertawa melihat ocehan Sigit. "Pantas lah mamah kamu bertanya seperti itu. Usia kamu itu sudah pantas memiliki gandengan Git"
"Hmmm, kakek sama saja. Tidak membela cucunya. Sudah ah, Sigit mau tidur" Sigit meninggalkan kakeknya sendirian.
Dia melemparkan dirinya ke atas ranjangnya. Melihat ponselnya yang berdering. "Luna? Ngapain ini bocah?"
"Halo Assalamualaikum Lun"
"Waalaikum salam, Ijin Ndan! Kapolres menyuruh kita untuk melalukan operasi dadakan"
"Bisa gak sih bicaranya kayak biasa aja?" protes Sigit kepada Luna. Aluna Lestari seorang polwan usianya sama dengan Sigit 27 tahun, sama-sama masih jomblo. Anak Tari dan Tristan. Sepupu dari Sigit. Pangkat Luna masih dibawah Sigit, makanya dia memanggil Sigit dengan sebutan komandan.
"Ayo operasi pak bos! Di kafe dan bar X. Pakai kaos biru. Surat jalan sudah aku bawa. Mau dijemput atau gimana?"
"Hmm, lagi pengen rebahan. Jemput. Capek kalau pakai motor"
"Oke, tunggu di jalan depan" Luna segera mematikan panggilannya.
"Kebiasaan kalau nutup gak pake salam. Dasar Luna!" Sigit berganti baju dengan seragam yang dimaksud pleh Luna. Dia keluar kamar dan memakai sepatunya.
Kakek Umang yang dari kamar mandi bingung akan cucunya, sudah rapi lagi. "Kerja lagi?" Sigit mengangguk. "Bagaimana bisa dapat istri jika yang kamu urusi cuma pekerjaan"
"Itu lagi yang dibahas. Sudah lah kek, nanti kalau jodoh juga pasti datang sendiri. Sigit berangkat ya. Kakek jaga diri di rumah"
Umang memukul lengan Sigit. "Sebelum kamu jadi polisi, kakek terlebih dahulu menjadi TNI sampai jadi penjahat. Jadi jangan mengkhawatirkan kakek. Berani mendekat satu bola mata akan kakek cungkil"
"Hahaha, takuuuut" Menyalami kakeknya dan berlalu menuju jalan depan. Hujan sudah reda. Dia tak jadi memakai payungnya. Dia melihat sepasang muda mudi yang sedang mesra berjalan bergandengan tangan.
Sigit melihatnya dengan tatapan jijik. Tak enak dirasa. Sang gadis yang sadar akan tatapan itu menghentikan langkahnya. "Apa kamu lihat-lihat?! Punya masalah kamu sama kami??"
Sigit celingukan bingung dengan siapa gadis ini berbicara. "Aku?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Iya kamu! kenapa tatapannya begitu?? Ada yang salah??" Sang cowok menenangkan si cewek.
"Udah dong Muti sayang, gak usah dipermasalahkan. Maaf ya mas. Pacar saya sedang PMS"
Mutiara Insani, usianya sekitar 24 tahun. seorang PNS di kota Semarang. Sebenarnya dia minta pindah dari tempat kerjanya yang dahulu. Untuk melupakan seorang lelaki yang bernama Humam.
Ya dia pernah mencintai seorang laki-laki bernama Humam, tapi tak mendapatkan reatu dari sang Ayah yang merupakan seorang panglima TNI.
"Memang kenapa dengan tatapanku? Mengganggumu??" balas Sigit tak kalah sengit. Saat akan adu mulut ada seorang lelaki datang menghampiri Muti.
"Muti? Kamu lagi sama siapa? Kamu selingkuh dari aku?" tanya cowok yang satunya. Sigit melipat tangannya di depan dada. Memperhatikan dan menikmati pertunjukan malam itu.
Sigit berjongkok dan berpangku tangan melihat percekcokan yanh terjadi. "Kamu kan jadwalnya selasa dan rabu" ucap Muti.
Sigit mendelikkan matanya. Ciih, seorang playgirl ternyata.
"Aku mau putus dari kamu!" kata cowok yang mempergokinya.
"Oke, siapa takut! Kamu kira aku gak bisa dapatkan yang lain?? Kamu yang akan rugi karena memutuskan aku!!" Sahut Muti judas.
Mobil polisi datang. Membuat mereka membubarkan diri. Luna turun menghampiri Sigit yanh masih berjongkok.
"Ngapain Si? Beol? Atau apa?" tanya Luna tak sopan.
Sigit menjitak kepalanya. "Mau dihukum kamu? Itu tadi ada pertunjukan bagus! Kalian keburu datang sih!"
Luna berkacak pinggang. "Apanya yang bagus nonton orang adu mulut? Bising iya. Ayo lah. Nih surat jalannya" Luna menyodorkan secarik kertas kepada Sigit.
"Kafe dan bar X. Bakalan ketemu cowok yabg naksir kamu dong Lun! Pantesan semangat banget" Luna meninggalkan Sigit yang mencoba menggodanya.
.
Kafe dan Bar X
Para polisi itu langsung menutup akses keluar masuk bar itu. Sigit menemui manager pemilik tempat itu. Menjelaskan maksud dan tujuan mereka ada disana. Sedang para anggota yang lain langsung memeriksa satu per satu orang yang ada disana.
Banyak pelanggaran yang ditemukan disana. Ada 3 orang gadis belia yang ada di sana. Mereka ditemukan sedang mabuk dengan para om-om yang bersama mereka. Ada juga yang saat kejadian sedang having se*x.
Tes kencing salah seorang pengunjung adalah positif menggunakan narko*ba. Membuat Danang, manager sekaligus pemilik tempat itu harus memberikan kesaksian atas kejadian itu.
Saat itulah Danang bertemu dengan Luna. Dia sampai tak mengedipkan matanya melihat wanita cantik dihadapannya.
Luna memberikan jadwal kapan Danang harus datang memberikan kesaksian. "Anda dijadwalkan untuk datang memberikan kesaksian pada hari jum'at besok. Kami akan segera mengirimkan surat pemanggilan anda" Jelas Luna sambil masih sibuk menulis.
Danang hanya diam menikmati pemandangan di depannya hingga Luna menggebrak meja di depannya. "Hey!" panggil Luna kasar. Dia merasa tak nyaman Danang memandangnya begitu.
Sigit sampai menghampirinya. "Kenapa Lun?" Luna hanya menggeleng. "Gak papa" Sigit memperhatikan Danang dan tertawa melihatnya. "Pak Danang, apakah ada yang aneh dengan wajah wanita ini?"
Danang menggeleng. "Dia terlalu cantik untuk menjadi polwan. Harusnya dia tidak menjadi polwan"
Sigit dan Luna menautkan alis mereka. "Lalu jadi apa?" tanya Sigit.
"Jadi istri saya selamanya" ucap Danang dengan sadar. Sigit terbahak-bahak mendengarnya. Luna hendak meninggalkan meja itu. Tangannya dipegang oleh Danang, dan dengan refleks Luna menamparnya.
"Saya harap anda menjaga sikap anda" tegas Luna lalu pergi meninggalkan mereka. Sigit meringis melihat tamparan itu. Berbeda dengan Danang, dia malah tersenyum dan mengelus-elus pipinya.
.
.
.
Like
Vote
Komen
Tip
Setelah kepergian para polisi itu dari barnya, Danang memeriksa cctv yang ada. Dia kecolongan karena bisa ada gadis belia yang masuk ke barnya. Dia geram. Dia memanggil satpam dan orang kepercayaannya.
Danang marah kepada satpam itu. "Tapi pak, yang meloloskan bukan saya, para pengawal itu. Mereka memang memberikan identitas kepada saya, tapi saya rasa itu identitas palsu, makanya saya panggil pengawal itu dan mereka meloloskannya" jelas satpam itu.
"Panggil dua pengawal tadi yang berjaga" suruh Danang kepada satpam itu. Lalu meninggalkan ruangan Danang.
"Cari tahu tentang polwan yang tadi datang menemuiku. Dan caritahu orang ini" Danang menunjukkan cctv saat Luna bersama dirinya dan menunjukkan wajah orang yang datang bersama para gadis belia itu.
Wajahnya terlihat samar di cctv itu. Membuat orang kepercayaan Danang melakukan cek semua cctv. "Baik pak, akan saya laksanakan. Saya akan ke ruang kontrol cctv"
Danang mengangguk. "Berikan laporan sebelum jum'at pagi padaku". Orang itu mengangguk dan berlalu dari hadapan Danang.
"Benarkah itu kamu? Aluna Lestari?" kata Danang bergumam sambil duduk di kursinya.
.
Mereka yang digelandang ke polres kota langsung diproses. Para gadis belia itu takut dan menangis. Petugas menanyakan keluarga yang bisa dihubungi tapi mereka tak mau menjawab.
Setelah diperiksa, identitas yang mereka bawa adalah identitas palsu. Membuat petugas semakin yakin bahwa mereka sedang dijadikan alat untuk kasus prosti*tusi. Saat ditanya siapa yang membawa mereka, mereka hanya diam saja.
"Jika kalian diam seperti ini, hukuman kalian akan lebih berat nantinya" ucap Eka saat memeriksa mereka.
Luna menggeledah isi ponsel mereka satu per satu, masih ada chat yang tersimpan dari salah satu ponsel milik mereka. "Mereka dibawa oleh seseorang" kata Luna dan memperlihatkannya kepada Sigit.
"Minta rekaman cctv kepada pihak bar, kita butuh data itu" perintah Sigit. Luna berdecak. "Yang lain saja lah"
Sigit menautkan alisnya bingung. "Hahaha, kamu takut digodain lagi sama si Danang?" Seseorang datang mendekat kepada Luna. "Info pemilik bar itu adalah anak dari Ana dan Arka"
Luna mengangguk. "Terima kasih infonya, dan tolong mintakan rekaman cctv di bar X" orang itu mengangguk. Sigit geleng kepala melihat sepupunya. "Bos bodyguard! Kenapa nyari tahu tentang Danang?" tanya Sigit penasaran.
"Ayah juga selalu ngawasin aku kali Git. Pasti nanti ayah yang tahu lebih dulu soal Danang, dan selalu nanti aku dilarang beginj begitu" tutur Luna.
"Hmmm, pakdhe agak lebay"
"Kamu tahu tante Ana? Dia adalah musuh semasa kuliah emaknya kita. Dia pernah ngejar-ngejar papah kamu. Terus ngejar Ayah juga"
Sigit menautkan alisnya. "Kok kamu tahu sih?"
"Ibun yang cerita semuanya. Cerita tentang masa lalu" Sigit hanya mengangguk.
Penyelidikan dihentikan mengingat waktu terus berjalan. Akhirnya mereka kembali ke rumah masing-masing. Seperti biasa, Sigit akan mengantarkan Luna pulang jika sudah sangat larut. Karena ayahnya hanya percaya dengan Sigit.
"Mobilmu tak bawa ya" ucap Sigit. Luna mengangguk lalu segera masuk ke dalam rumahnya. Ayahnya masih menonton bola. Dia menyalami ayahnya dan segera masuk ke kamar.
Saat Luna memegang handel pintu, ayahnya bilang. "Jauhi lelaki yang kamu tampar" ucapnya. "Iya yah" sahut Luna.
Begitulah Tristan terhadap anak perempuannya. Luna melemparkan tubuhnya ke ranjang. "Sampai kapan ayah akan melarangku seperti itu? Danang, kamu apa kabar?"
Luna mengenal Danang, dia adalah teman satu SMA nya saat Luna pindah dari Kalimantan ke Semarang. Mereka satu kelas dan Danang adalah yang menjadi teman pertamanya.
Luna menepis pikiran itu lalu segera memejamkan matanya tanpa membersihkan diri terlebih dahulu.
.
Masa laluuuuuu, terpesonaaaa aku terpesonaaaa memandang memandang wajahmu yang maniiiis.
Alarm ponsel itu terdengar nyaring di telinga. Sang pemilik masih enggan membuka matanya. Hingga sang kakek membangunkannya.
"Subuh dulu" kata kakeknya. Sigit segera menuju kamar mandi dan berbegas untuk sholat subuh. Seperti biasa, dia akan jogging terlebih dahulu di sekitar area rumahnya. Banyak gadis-gadis yang mengidolakannya. Selalu melempar senyum tiap berpapasan dengannya.
"Hai pak pol" sapa salah seorang perempuan bernama Jihan. Seorang PNS muda di Samsat kota Semarang. Ya, dia adalah teman kerja Muti. Saat itu dia bersama dengan Muti, makanya berani untuk menyapa Sigit. Muti saat itu sedang menginap di rumah Jihan, karena harus mengerjakan laporan bersama.
Muti geleng kepala terhadap Jihan. Bisa-bisanya godain cowok saat jogging. Tiba-tiba kaki Muti kram. "Aduh duh duh, sakit kaki akuuuuuuu" ucap Muti sambil terduduk dan memegang kakinya yanh menjadi kaku.
Jihan panik dan refleks minta tolong. "Tolong.... tolongg....." Sigit yang tak jauh dari mereka menoleh ke belakang. Dilihatnya dua orang perempuan yang menggodanya tadi sedang dalam masalah dan butuh pertolongan.
"Kenapa?" tanya Sigit sambil berjongkok memastikan keadaan. "Kaki teman saya kram" jawab Jihan. Sigit segera meluruskan kaki Muti. Membuat Muti mengaduh kesakitan.
Muti refleks memukul-mukul lengan Sigit yang kekar. Setelah beberapa menit melakukan peregangan otot akhirnya kram itu hilang. Tapi membuat Muti menjadi agak susah berjalan.
"Besok lagi kalau mau olahraga pemanasan dulu. Biar gak kejadian begini lagi" nasehat Sigit kepada Muti. Muti melihat wajahnya. "Kamu cowok yang semalam kan??"
Sigit mengingat kejadian semalam sebelum dirinya dijemput oleh para kawanannya. "Ooo, kamu cewek playgirl semalam? Kena karma ya kakinya jadi kram. Makanya mbak, jangan suka mainin hati lelaki" ucap Sigit sambil berlalu meninggalkan mereka.
"Dasar! Cowok sok kecakepan!" teriak Muti kepada Sigit tapi tak digubrisnya.
Jihan tertawa mendengar temannya dikatakan playgirl oleh seorang laki-laki. Karena sepengetahuan Jihan, cowok yang bertemu dengan Muti akan berakhir menjadi kekasih sementaranya saja.
"Jangan ketawa gak jelas kamu! Bantuin!" perintah Muti. "Siap anak panglima!" jawab Jihan sambil tersenyum.
.
Apel pagi seluruh jajaran kepolisian dilakukan di lapangan polres. Sekitar setengah jam lamanya apel itu berlangsung.
Sigit menuju ruangannya. Luna mengekor di belakangnya. "Pagi, Ndan!"
"Pagi Lun, gimana gadis belia itu? Sudah ada yang mau mengaku?" tanya Sigit.
"Semalam sih belum. Tapi pagi ini aku belum bertanya lagi. Kapolres mau ketemu kamu tuh"
Sigit menghentikan langkahnya membuat Luna menabrak tubuh Sigit. "Sisi nih kebiasaan kalau jalan tiba-tiba berhenti"
Sigit menjitak kepala Luna. "Sopan sama atasan. Bos besar ngapain minta aku le ruangannya?"
"Sepertinya operasi bar, tempat karaoke, dan kos-kosan jadwalnya dimajukan. Tahu lah, tanyakan sendiri saja" Luna meninggalkan Sigit dan berlalu kembali ke mejanya.
Yudi rekan kerja Luna membawa surat perintah untuk memintai Danang keterangan. Luna membacanya. "Kok aku yang jadi penyidik Yud. Pak Kamto kemana?"
"Pak Kamto nyelidiki kasus lain mbak Lun. Banyak copet di pasar X" kata Yudi. Luna menyandarkan kepalanya di mejanya.
"Bagaimana aku bisa menghindarinya jika terus dipertemukan seperti ini? Aaahhh, rasanya ingin cuti aku, Yud!"
Yudi menepuk bahu seniornya. "Semangat mbak Lun! Sambil menyelam minum air mbak Lun, sambil penyidikan sambil pedekate. Hehehe"
Luna melempar spidol ke arah Yudi yang sedang tertawa puas mengejeknya.
.
.
.
Like
Vote
Komen
Tip
.
Sigit masuk ke ruangan komandannya. Memberinya hormat dan dipersilahkan duduk oleh komandang Agung.
"Duduk, Git" kata Agung. Sigit duduk berhadapan dengan Agung. Agung memberikan berkas-berkas nikah kantor untuk Sigit. Membuat Sigit bingung dan menautkan alisnya.
"Apa ini Ndan?" Komandan Agung hanya tersenyum "Kamu bisa baca kan itu apa?"
Sigit mengangguk. "Berkas nikah kantor. Tapi untuk siapa?"
"Kamu lah!"
"Ha??" Sigit melotot dan menganga tak percaya. "Komandan pagi-pagi ngelawak nih" ucap Sigit bercanda. "Push up 10x"
Sigit segera melakukan perintah komandannya. Dia masih kebingungan mendapati berkas itu. "Cukup" kata Agung.
"Isi semuanya, dan segera kumpulkan ke saya biar kalian cepat sidang pra nikahnya" Sigit masih tak mengerti dengan yang dikatakan komandannya.
"Telpon mamah papahmu jika kamu masih bingung. Panglima TNI yang menyuruhku untuk memberikan berkas nikah itu untukmu. Selamat ya, ternyata jodohmu bukan sembarangan" ocehan Agung semakin membuat Sigit kebingungan.
"Baik Ndan, terima kasih. Saya permisi dulu" Agung mengangguk dan Sigit segera memberi hormat kepada komandannya. Lalu berlalu dari ruangan itu.
Dia segera kembali ke ruangannya. Disana sudah ada Luna yang membawa berkas untuk ia tanda tangani. Dia meletakkan meja itu di mejanya. Luna penasaran dan membukanya.
"Nikah kantor? Sama siapa Si?"
"Push up 20x" ucapnya kepada Luna. Luna lupa jika dia sedang berhadapan dengan atasannya. Segera dia push up sesuai keinginan Sigit.
Luna benar-benar kepo. Saat ingin menginterogasi Sigit yanh sedang menandatangi berkas Yudi masuk. "Ndan, bajunya calon ibu" ucapnya.
Yudi ikut duduk di samping Luna. Sigit menatap mereka. "Apa?" tanyanya.
"Komandan mau nikah sama siapa?" tanya Luna sangat penasaran. Sigit hanya mengangkat bahunya tanda tak tahu. "Lhaaah, gimana sih?" sahut Yudi.
Sigit memberikan berkas itu kepada Luna. "Aku mau telpon mamah sama papah dulu nanti. Aku juga bingung. Kapolres memberiku ini membuatku semakin bingung. Aaarrrhhgggg, kenapa siiiiih??" ucapnya kesal.
Yudi dan Luna tertawa. "Haduuuhh, sepertinya aku harus cari gandengan. Karena komandan dan mbak Luna sudah punya masing-masing"
Sigit kaget saat Yudi menyebut Luna sudah memiliki gandengan. "Ha? Sama siapa Lun?"
Yudi segera kabur saat Luna sudah alan menghukumnya. "Woy" kata Sigit.
"Apa sih?"
"Sama siapa?"
"Lhah, omongan Yudi mbok percaya. Oh iya, bisa bantu aku gak menyidik Danang? Pak Kamto gak bis tuh"
Sigit menautkan alisnya. "Surat perintahnya ke siapa? Kamu?" Luna mengangguk. Sigit tertawa. "Hadapi bos! Semangaaaaat"
"Aaahh, Si. Beneran deh, aku mending gak ketemu sama dia. Aku malas mendengar permintaan ayah begina begini"
"Kamu sama Danang kenal dimana sih Lun?" tanya Sigit masih penasaran mengapa sepupunya itu bisa kenal lelaki selain dari jajaran kepolisian. Teman SMA Luna kebanyakan perempuan, Sigit tak tahu jika Danang dulu adalah teman pertamanya.
"Panjang ceritanya, ayolah bantu aku" Sigit menggeleng. "Kamu itu orang yang profesional. Gak bakalan mungkin kamu melibatkan perasaan terhadap pekerjaan. Semangat! Kamu pasti bisa! Jatuh cinta gak salah kok Lun"
Luna berdiri. "Kayak situ pernah jatuh cinta saja" lalu berlari kecil meninggalkan ruangan itu sebelum Sigit menghukumnya lagi.
Sigit segera menyelesaikan pekerjaannya. Berkutat dengan laptop yang dengan setia ikut menatapnya juga.
Fikirannya tak fokus melihat berkas nikah dan seragam bhayangkari itu. Dia membukanya lagi dan menutupnya kembali.
"Apa-apaan papah sama mamah ini? Kenapa bisa begini sih? Aku mau dinikahkan dengan siapa? Hadoooh, kalau aku telpon sekarang mereka pasti sedang sama-sama kerja. Nanti saja lah" Akhirnya Sigit menyingkirkan berkas nikah dan seragam itunke laci mejanya.
Yudi datang lagi dan memberikan surat perintah operasi nanti malam. "Kos melati dan karaoke A" ucap Sigit.
"Iya Ndan"
"Okeh, aku ikut" Yudi duduk di kursi itu lagi. "Calon komandan anak panglima ya?" Sigit menautkan alisnya bingung.
"Darimana kamu tahu?" padahal ia sendiri tak tahu itu betul atau tidak.
"Dari bu Marni, tadi pas ngambil seragam calon bu komandan. Gak nyangka saya, komandan pilihannya yang seksih-seksih begitu. Saya kira pilihannya yang kayak mamah Anin"
Sigit tersenyum kecut. Jiwa jahilnya keluar. "Push up 30 kali karena menghina calon ibu komandan"
Yudi pasrah. Dia melakukan push up 30 kali sesuai keinginan komandannya. Selesai itu dia segera pamit undur diri dari ruangan komandannya.
Waktu sholat dzuhur tiba. Sigit segera mengambil sajadah dan pecinya dan berlalu ke mushola polres. Selesai itu dia segera kembali ke ruangannya. Luna masuk membawakan makan siang untuknya.
"Kunci pintunya Lun" perintah Sigit.
"He? Aku ning jero lho iki. Ngko dikiro ono opo-opo (He? aku di dalam lho ini. Nanti dikira ada apa-apa)"
Sigit berdecak. "Aku mau telpon mamah sama papah. Minta penjelasan kepada mereka tentang berkas dan baju itu"
"Hmm, okelah, aku makan di luar saja" Luna hendak meninggalkan ruangan Sigit.
"Disini saja, dengarkan ucapan mamah dan papah. Bantu aku nantinya"
"Bantu? Bantu apa maksudmu?" tanya Luna lagi.
"Bantu kabur kalau jadi dinikahkan"
"Emoh! Om Bagas dan papah akan menghajarku habis-habisan kalau tahu ide gilamu itu" Luna menolak ide Sigit itu. Para orang tua mereka lebih handal dalam hal strategi. Bila dibandingkam dengan dirinya dan Sigit ia tak ada apa-apanya. Mereka bagai anak ingusan yang masih amatiran.
"Makan dulu lah" ucap Sigit akhirnya. Mereka berdua makan dalam keheningan. Selesai makan, Sigit segera meraih ponselnya dan menghubungi papahnya. Tak diangkat.
Dia mencoba kembali menghubungi mamahnya dan diangkat. "Assalamualaikum mah"
"Waalaikum salam, anaknya mamah akhirnta nelpon juga. Kenapa sayang?"
"Mah, ini kepada Sigit diberi beekas nikah kantor dan seragam bhayangkari. Untuk siapa?" tanyanya mencoba mengorek informasi dari mamahnya dengan tenang.
"Untuk kamu dan Muti" jawab mamahnya singkat.
"Muti? Muti siapa? Mamah jangan bercanda deh. Kenal yang namanya Muti saja gak, ini disuruh nikah. Ini ide siapa sih mah? Ha? Sigit beneran bingung nih?"
"Hahaha, gak usah bingung. Besok jum'at mamah dan papah ke Semarang. Papah akan menjelaskan semuanya"
Sigit mulai gusar. Dia berdecak karena mamahnya hanya memberikan sedikit informasi kepadanya. "Mamah nih, ah, Sigit gak mau nikah sama orang yang gak Sigit kenal apalagi gak Sigit cinta. Sigit tahu mamah sudah ingin punya mantu. Tapi nanti mah, kalau Sigit sudah mendapatkan orang yang tepat"
"Iya Muti orangnya. Pernikahan ini akan membawa kalian menuju cinta karena mandat nak"
"A-apa tadi? Cinta karena mandat? Mandat dari siapa sih mah? Mamah bikin alu pusing deh. Jangan berbelit-belit deh mah"
"Mandat dari seorang ayah yang ingin anaknya dijaga oleh orang yang tepat. Sudah dulu ya, mamah belum sholat nih. Assalamualaikum sayang"
"Tapi mah....." panggilan terputus. "Waalaikum salam" Sigit duduk dengan lesunya.
"Lun, suruh orang kamu nyari info gadis bernama Muti, anak panglima TNI"
"Uhuk uhuk uhuk" Luna tersedak air minumnya sendiri. "Ehm, anak panglima? Maaakkk.... Minpi apa kamu bisa berjodoh dengan anak panglima Git?"
Sigit semakin sebal karena Luna malah menggodanya. "Lakuin aja kenapa sih?"
"Iya-iya. Muti, anak panglima. Dia di Semarang atau dimana?"
"Sepertinya Semarang" Luna ingin protes kok sepertinya. Tapi ia urungkan niatnya mengingat suasana hati Sigit yang tak karuan adanya
.
.
.
Like
Vote
Komen
Tip
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!