NovelToon NovelToon

The Hellsword

Episode 1

  Seperti biasa, Axera melangkahkan kaki menyusuri koridor gelap dan kumuh. Tempat yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama 8 tahun berada di akademi terbesar, sekaligus terbaik di seluruh kerajaan. Akademi yang menurut orang-orang adalah akademi tempat para murid dapat belajar sekaligus bersenang-senang tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

  Axera terus melangkah pelan, tak ingin menghentakkan kaki terlalu keras di lantai kayu tua ini. Lantai kayu yang beberapa bagiannya telah menyatu bersama tanaman liar. Tak pernah terurus sekalipun, sebuah gedung terlupakan sama seperti dirinya yang terus berjalan dalam diam, melewati berbagai tumbuhan liar yang kini memenuhi tiap sisi koridor. Ia sama sekali tak terganggu dengan hal tersebut, karena tiap malam ia dapat menyaksikan berbagai bunga serta jamur di sini mengeluarkan cahaya indah sesuai warna mereka, berhias kunang-kunang dan nyanyian jangkrik. Pemandangan yang sudah menjadi penenang baginya setiap malam tiba.

  Ia dapat mendengar derap langkah serta sahutan berbagai murid, mulai dari kalangan bawah hingga atas, berada tepat di luar gedung tua ini. Tanpa perlu melihatnya, Axera sudah tahu apa yang sedang terjadi di bawah sana. Sudah menjadi rahasia akademi, jika para murid dari kalangan atas sering menyeret murid-murid kalangan bawah ke halaman gedung tua untuk dijadikan mainan, pelampiasan atau budak.

  Teriakan maupun jeritan rasa sakit mulai dapat terdengar. Axera mengepalkan tangan dengan kuat. Ia ingin melakukan sesuatu untuk menolong mereka, namun dirinya sendiri tahu ia tak dapat melakukan apa-apa. Jangankan melawan mereka, mengerjakan pekerjaan ringan saja sudah membuatnya sesak napas dan kehilangan tenaga. Sesuatu yang menjadi penghalang bagi Axera untuk dapat mempelajari kelas ksatria yang membutuhkan latihan keras, demi membentuk tubuh dan kemampuan berpedang.

  Ia juga tak memiliki sirkuit mana di dalam tubuhnya, sehingga tak dapat mempelajari sihir. Dengan kata lain, seseorang yang sama sekali tak berguna untuk berada di dunia yang penuh akan manusia berkekuatan besar dan mahluk-mahluk yang dapat menghancurkan satu kota dengan mudahnya.

  "Ahhhh! T-tolong berhenti!!"

  "K-kumohon jangan.."

  "Lepaskan dia- AAARGH!!"

  Tanpa disadari, Axera menggertakkan gigi, sesuatu yang jarang ia lakukan. Namun, ia menghela napas panjang, mencoba meredam emosi "Ayo Axera, kau pasti bisa. Tenang.. tenang.. " ia menghembuskan napas, kemudian memasang senyum yang sudah menjadi pelindung perasaannya.

  Tapi, begitu mencapai koridor perbatasan antara gedung tua dengan gedung akademi yang baru, tangannya sudah pasti akan gemetar, membayangkan hal-hal buruk apa saja yang akan terjadi hari ini. Tiada hari yang dapat ia lalui dengan tenang. Setidaknya dalam satu jam, ia sudah pasti menjadi sebuah alat bagi tiap murid. Buruknya lagi, tak hanya murid kalangan atas yang melakukannya, namun juga murid kalangan bawah yang melampiaskan semua amarah dan dendam mereka terhadap murid kalangan atas, mengingat Axera tak dapat melakukan apa-apa untuk melindungi diri, selain terus tersenyum seakan tak ada yang terjadi.

  Axera memberanikan diri, melangkah memasuki koridor tersebut. Ia berbelok dan benar saja, tiap pasang mata yang berada di sana, langsung menatap dirinya seakan dia adalah mangsa. Mereka sudah tahu kapan ia akan muncul dan mungkin saja sudah menyiapkan rencana untuk menjalani hari dengan Axera sebagai budak.

  Salah satunya langsung datang mendekat, seorang murid laki-laki berbadan kurus, wajah tak terawat dan seragam acak-acakan. Seseorang yang sudah pasti berasal dari kalangan bawah. Ia memasang raut wajah menyebalkan, mendekatkannya dengan wajah Axera tanpa memedulikan bau mulut yang hampir membuat Axera muntah di tempat "Berani juga dirimu muncul di hadapan murid sebanyak ini" katanya, menarik kerah bocah berumur 12 tahun di hadapan dia dan melempar bocah itu ke dinding "Apakah kau tak takut dengan kami? Hah!"

  Beberapa murid mulai datang mendekat, mereka semua laki-laki dan memiliki penampilan yang hampir sama dengan murid yang kini sedang menjadikan Axera sebagai samsak tinju. Begitu Axera dilempar ke tengah-tengah koridor, mereka mulai menginjak-injak dia di bawah hingga merasa puas dan pergi begitu saja tanpa memedulikan bocah yang sedang memuntahkan darah. Axera bangkit berdiri, menyeka ujung mulut dengan punggung tangan dan merapikan kembali seragamnya yang kini kotor berkat mereka, sesudah mencucinya semalam.

  Itu masihlah koridor pertama, dimana kumpulan budak murid kalangan atas berkumpul. Itulah alasan mereka memiliki penampilan jorok serta tak terurus, karena mereka sudah menjadi mainan bagi murid lainnya. Koridor berikut yang akan Axera lewati adalah koridor tempat dimana anak kalangan bawah yang cukup terpandang oleh murid kalangan atas berada. Murid yang terkadang mendapatkan pekerjaan dari kalangan atas, entah itu untuk mencuri sesuatu dari murid kalangan atas lainnya, menyiapkan perangkap ketika akan bertarung atau sekedar melakukan pekerjaan kotor.

  Belum sempat menginjakkan kaki di koridor tersebut, seseorang sudah menendang Axera dari belakang, membuat ia terpental ke dinding sekali lagi. Lalu, dirinya pun langsung diseret dan dibawa ke dalam salah satu kelas dimana banyak murid kalangan bawah berkumpul. Tampaknya mereka memiliki rencana yang berbeda kali ini. Kemarin ia diseret ke tengah lapangan dan dijadikan sasaran berlatih. Kali ini apa?

  "Hey Axera. Seperti biasa, mohon bantuannya, oke?" ucap salah seorang dari mereka, memiliki rambut landak merah dengan tubuh cukup berotot. Salah satu murid yang sering menjadi babu kalangan atas, dikenal sebagai 'Red' karena rambut merahnya.

  Tanpa menunggu balasan dari Axera, ia sudah melayangkan sebuah pukulan keras di perut hingga Axera terpental ke atas, kemudian ditendang ke bawah secara bersamaan oleh beberapa murid lain. Sepertinya hari ini sedikit sama seperti sebelumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kemarin ia menjadi sasaran sihir, sekarang ia cuma menjadi sebuah samsak tinju yang memiliki reaksi. Mungkin itulah yang membuat senyuman di wajah mereka menjadi semakin lebar.

  Salah seorang murid tanpa sengaja menendang Axera keluar jendela hingga terseret ke tengah lapangan. Tampaknya sesuatu telah terjadi pada murid tersebut, sebab Axera dapat merasakan adanya sedikit niat membunuh.

  Axera berusaha bangkit berdiri dan mematung di tempat ketika melihat para murid kalangan atas sedang menatap dirinya dengan tatapan marah bercampur jijik. Sekarang dia mengerti mengapa murid kalangan bawah tadi tak ingin menyeret dia ke sini, ternyata 'mereka' yang sedang menggunakannya. The Nines. Sembilan murid yang menjadi kebanggaan akademi tahun ini, yang nantinya akan berpartisipasi di turnamen antar kerajaan. Murid dengan kekuatan melebihi murid lainnya atau sering dikatakan sebagai 'The Gifted'.

Episode 2

  Salah satu dari The Nines, seorang laki-laki bertampang kasar dengan rambut pirang dan tatapan tajam, datang mendekat, memberi sebuah tendangan ke wajah Axera kemudian membuang ludah ke samping. Dengan nada mencemooh dia mengatakan "Pergi dari hadapan kami sebelum kami membuatmu jauh lebih tak berguna dibanding sekarang"

  Axera berusaha bangkit dengan cepat, namun rasa sakit di sekujur tubuh membuat ia merasa sulit bahkan hanya untuk berdiri. Seluruh tubuhnya gemetar, ia menggertakkan gigi untuk sesaat, mencoba menahan rasa nyeri yang kini datang menyerang sebelum akhirnya kembali tersenyum seperti biasa. Ia menundukkan badan pada murid pirang tersebut dan The Nines, lalu berjalan tertatih entah ke mana, intinya kabur dari tempat ini sebelum salah satu dari mereka berubah pikiran. Axera tak dapat membayangkan apa yang mungkin terjadi dengan tubuh lemahnya jika satu saja pukulan melayang dari The Nines. Untungnya murid pirang tadi tak menggunakan mana untuk menendang, jika tidak, mungkin sekarang kepala Axera tak lagi berbentuk.

  "Mengapa kau membiarkan dia pergi?" tanya seorang perempuan berambut merah bergelombang sambil meletakkan kedua tangan di pinggang.

  Murid pirang itu menggelengkan kepala, menolak untuk menjawab. Ia berusaha menyembunyikan kedua tangannya yang kini gemetaran. Ia benar-benar tak tahu apa yang terjadi tadinya, tapi ia yakin mata milik Axera sempat berubah sesaat. Sepasang mata biru lemah itu, seketika berubah merah menyala dengan sebuah lambang asing di permukaan bola mata. Entah mengapa, hanya dengan menatap sepasang mata tersebut, sudah membuat sekujur tubuh berkeringat dingin dengan jantung berdegup cepat, seakan predator sedang mengintai.

  Hanya beberapa anggota The Nines yang menyadari ada sesuatu yang aneh dengan murid pirang itu. Tetapi, mereka tak mempermasalahkannya lebih lanjut. Menurut mereka, dia hanya sedang sakit namun berusaha menyembunyikannya agar tak terlihat lemah, terlebih karena ketatnya persaingan The Nines untuk saling merebut tempat pertama. Tentu saja tak seorangpun ingin menyerahkan kedudukan tersebut, apalagi setelah akademi memberitahukan bahwa peringkat pertama mendapatkan berbagai akomodasi lebih dari akademi dan memiliki kemungkinan besar untuk bergabung dalam pasukan elite kerajaan.

  Axera terus berusaha melangkahkan kaki. Ia terus berjalan tanpa mengetahui arah mana dirinya tuju, tahu-tahu ia sudah sampai di sebuah taman. Axera belum pernah melihat tempat ini sebelumnya. Delapan tahun tinggal dalam akademi, ia tak pernah menemukan sebuah tempat seindah ini. Bunga bertebaran di mana-mana dalam berbagai warna. Kupu-kupu beterbangan dengan riang di atas bunga-bunga tersebut, menghisap madu dan membawanya pergi. Sebuah pohon terletak di tengah-tengah taman, pohon dengan warna daun keemasan serta batang yang sedikit kuning. Tepat di bawah pohon, terdapat sebuah kursi taman, berwarna putih. Dibentuk, kemudian dipahat secara indah dengan ukiran-ukiran rumit namun seperti menyimpan sebuah makna.

  Tanpa disadari, kakinya melangkah secara otomatis menuju kursi tersebut. Axera tak dapat menjelaskan perasaan hangat apa yang kini sedang dirasakan olehnya. Perasaan yang belum pernah ia rasakan, perasaan yang terasa begitu asing sekaligus familiar. Entah mengapa, perasaan ini membentuk sebuah senyum tulus di wajah polos dan kotor laki-laki itu.

  Axera duduk di atasnya, merasakan betapa halus permukaan dan sisi kursi tersebut. Dapat dirasakan jika kursi ini dibuat oleh seseorang yang ahli, yang jarang ditemukan, bahkan mungkin hanya ada satu. Namun siapa seseorang yang dapat membuat sebuah kursi taman biasa menjadi sebagus ini? Dengan penuh kesabaran dan ketelitian, ia membentuknya, mengukir kemudian mempolesnya menjadi sebuah seni.

  Kemudian Axera mencoba menghirup dalam-dalam udara yang terasa sejuk. Benar saja, hanya dalam sekali helaan, ia sudah dapat merasakan seluruh rasa sakit dan nyeri, perlahan berkurang. Tak hanya itu, bahkan perasaan dan amarah yang tadinya muncul, kini mulai mereda, tergantikan oleh rasa nyaman serta aman. Ia seperti ingin tinggal di tempat ini selamanya, tanpa perlu memikirkan berbagai siksaan dan hinaan yang harus ia jalani di luar sana. Kalau bisa, ia ingin bersatu dengan tempat ini, lalu mengundang siapapun yang juga merasakan hal yang sama sepertinya, memberitahu bahwa masih ada tempat hangat menanti di kejamnya hidup yang kelam.

  Namun, belum sempat menutup mata, Axera sudah kembali ditarik oleh kesadarannya. Sekujur tubuh kembali merasakan rasa sakit serta nyeri, membuat ia meringis, menggigit bibir untuk menahan. Ia melihat sekitar, menyadari dirinya berada di depan sebuah danau, sedang bersandar di bawah sebuah pohon.

  Axera bangkit berdiri, berjalan pelan menuju tepi danau dan memerhatikan pantulan dirinya. Di situ ia dapat melihat seorang bocah berumur 12 tahun yang tak dapat melakukan apa-apa, sebuah kegagalan, sebuah penyesalan dan seseorang yang tak pantas hidup.

  Senyum itu masih dapat terlihat, senyuman yang sudah menjadi topeng baginya. Senyuman yang selalu ia berikan pada orang lain dengan harapan seseorang akan tergerak ketika melihatnya, namun hingga sekarang, tak seorang pun bahkan ingin membela dirinya ketika ia kesulitan. Apakah seburuk itu diriku di mata kalian? Ucap Axera dalam hati.

  Setetes air mata, mengalir jatuh mengenai danau tersebut, menciptakan getaran kecil yang terus menyebar hingga ke seberang danau. Getaran kecil yang tak berarti apa-apa, namun menyimpan berbagai isi hati dan perasaan terdalam, sulit dijelaskan oleh sekedar kalimat biasa, namun dapat dirasakan hanya dalam sekali pandangan.

  Axera dapat melihat seorang bocah dengan rambut putih bersemu ungu di tiap ujungnya, sedang menatap dirinya sendiri, meneteskan air mata yang sama, melewati hidung mancung serta mulut mungil, jatuh membuyarkan pantulan diri tersebut hingga tiap tetesan kini menjadi semakin deras dan banyak.

  Ia tak lagi dapat melihat pantulannya di air danau. Yang dapat ia pikirkan sekarang hanyalah mengeluarkan seluruh perasaan yang sudah ia tahan semenjak tadi. Ia benar-benar tak mengerti mengapa dirinya dilahirkan jika tak memiliki bakat apapun? Bahkan untuk melindungi diri, ia pun tak bisa! Mengapa!?

  Air mata itu terus mengalir dan mengalir, hingga Axera disela-sela tangisnya, melihat sesuatu tampak berbeda di pantulan air. Ia dengan cepat menyeka air mata yang masih berusaha mengalir keluar, menghela napas panjang, menenangkan diri sebelum akhirnya kembali melihat pantulan diri. Ia benar-benar merasa kaget ketika menyaksikan kedua mata biru miliknya, kini berubah menjadi merah menyala dengan sebuah lambang tepat di bagian tengah. Ia berlutut di tepi danau, memerhatikannya lebih dekat dan bertanya-tanya, apa yang kini sedang terjadi?

  Saat itu juga ia dapat merasakan seluruh tubuhnya seperti terbakar oleh api yang sangat panas, kemudian berubah seperti tertusuk-tusuk oleh ribuan es tajam. Axera menjerit kesakitan. Seumur hidup menjadi samsak tinju, ia belum pernah merasakan sesuatu sesakit dan semenyiksa ini, hingga akhirnya ia jatuh pingsan karena tak dapat menahannya.

Episode 3

   Jauh dari kerajaan tempat Axera kini berada, beberapa orang sedang duduk mengitari api unggun, tampak seperti sedang menunggu sesuatu. Orang-orang dengan zirah berwarna hitam serta tatapan setajam silet, berhias warna mata hazel.

  Salah seorang dari mereka sedang memeriksa kerajaan besar menggunakan teropong dan berkat mereka berada di atas sebuah pegunungan, ia dapat melihat dengan jelas kerajaan tersebut sekaligus menghitung seberapa banyak pasukan yang sedang berjaga di atas tembok kerajaan.

  Seorang laki-laki berambut hitam, tulang pipi tinggi dan kulit pucat, sedang mengorek-ngorek api unggun menggunakan sebuah ranting. Matanya tertuju pada api yang sedang menari-nari mengikuti arah tiupan angin, namun kesadarannya sedang melayang di antara memori-memori penting mengenai misi kali ini.

  Tepat saat itu juga, masing-masing telapak tangan kanan mereka mengeluarkan sinar redup keemasan. Mereka saling bertatapan, mengangguk paham dan tanpa memerlukan sebuah aba-aba, mereka sudah bergerak dengan cepat, menghapus jejak, kemudian menuju kerajaan tersebut. Tanpa seorang pun tahu, kehancuran akan datang.

  Axera membuka mata, mendapati dirinya sedang menatap langit malam berhias bintang-bintang gemerlapan. Ia berusaha bangkit berdiri dan terkejut ketika mengetahui rasa sakit serta nyeri sebelumnya, kini benar-benar telah menghilang, seolah tubuhnya tak pernah diserang sama sekali. Bahkan, ia merasa jauh lebih berenergi dan kuat dibanding sebelum dirinya pingsan.

  Ia kemudian melangkah ke tepi danau, mencoba mengecek apakah kali ini ada yang berbeda dari dirinya. Benar saja, sepasang mata indah berwarna biru itu, kini tergantikan sepasang mata merah tajam yang membuat sekujur tubuhnya merinding. Jujur saja, sepasang mata barunya itu membuat ia merasa takut, seakan sedang diintai oleh predator dan siap untuk menerkam kapan saja.

  Lalu, sebuah pertanyaan muncul. Sudah berapa lama semenjak ia pingsan? Sehari? Dua hari? Ataukah seminggu? Tapi, juga ia sudah menghilang selama itu, bukankah seharusnya ada yang mencar- menemukannya di sini? Namun, karena tak ada yang menemukannya, kemungkinan paling besar adalah ia baru pingsan sekitar beberapa jam dan ini masihlah hari yang sama.

  Axera memerhatikan bagian tubuh yang lain, mencoba mencari apakah mungkin ada sebuah perubahan selain warna mata miliknya. Sayangnya, ia tak dapat menemukan satupun yang berubah kecuali sebuah lambang asing muncul di punggung tangan kanan, lambang berwarna merah dengan tekstur warna seperti sebuah magma panas bercahaya redup.

  Seumur hidup ia mempelajari lambang sihir, lambang kerajaan serta lambang setiap ras, tak pernah dirinya mendapati sebuah lambang rumit dan aneh seperti ini. Tampak seperti sebuah pedang menusuk sesuatu yang mirip seperti batu, namun bukan batu. Axera memerhatikan lebih detail lagi, menebak-nebak bentuk apakah itu. Ia lalu mengambil sebuah ide dari pola garis yang menyerupai pedang tersebut, sedang menusuk sesuatu, mungkin saja yang ditusuk tersebut adalah mahluk hidup. Axera mulai menyamakan berbagai hewan dan monster dengan bentuk abstrak di punggung tangannya ini.

  "Ogre.. bukan, Wyvern.. bukan, naga.. tunggu sebentar"

  Axera kini memfokuskan bayangan kepala seekor naga yang pernah dilihatnya dalam buku pelajaran dengan lambang abstrak tersebut dan menemukan sebuah kemiripan. Lambang itu memang menyerupai kepala seekor naga, namun ada sesuatu yang berbeda dengan naga ini dibanding naga-naga yang pernah ia lihat dalam buku. Naga ini terlihat jauh lebih menakutkan dan tampak buas, dilihat dari bentuk matanya yang tajam, berbeda dengan naga biasa yang terlihat seperti seekor anak anjing jika dibandingkan dengannya, padahal naga itu sendiri sudah tampak menakutkan jika dilihat secara nyata. Bagaimana dengan yang satu ini? Bagaimana jika sosok naga ini muncul? Hanya dengan melihat lambang kepalanya saja sudah mengirim rasa dingin ke sekujur tubuh, membuat Axera merinding dan terpaksa memeriksa apakah di belakangnya ada seseorang atau tidak.

  Kemudian, sebuah pertanyaan lain muncul di benaknya. Mengapa lambang ini terdapat pada dirinya? Dan mengapa sebuah pedang menusuk masuk kepala milik naga tersebut, meskipun bentuknya sedikit acak dan rumit jika tak diperhatikan dengan baik, tapi siapa yang berhasil mengalahkan naga itu? Mungkinkah ada kaitannya dengan kedua orang tua Axera?

  Berbagai pertanyaan lain mulai bermunculan dalam kepala mungil bocah berumur 12 tahun tersebut. Namun, hanya ada satu pertanyaan yang sudah tertanam dan jauh lebih penting keberadaannya dibanding pertanyaan lain. Mungkinkah ini adalah petunjuk mengenai hilangnya kedua orang tua Axera?

  Seketika sepasang bola mata merah itu kembali bersinar, seperti mendapatkan sebuah harapan baru di hidup yang sudah seperti neraka ini. Axera tersenyum senang, mengepalkan tangan dengan kuat dan berjanji akan mencari tahu mengenai  lambang yang terdapat pada punggung tangan kanannya. Jika memang benar, ini ada kaitan dengan menghilangnya ayah dan ibu Axera, apapun yang akan terjadi berikutnya, ia sudah harus siap dengan konsekuensi, baik itu ringan maupun berat. Demi mencari keberadaan kedua orang tuanya, ia siap melakukan apapun untuk mencapai keinginan tersebut. Tentu saja sambil mempertahankan rasa kemanusiaan serta kebaikan yang masih ia miliki.

  Keesokan paginya, Axera sudah siap untuk menjalani sekolah dan memutuskan untuk berangkat sekolah lebih awal agar dapat masuk ke dalam perpustakaan tanpa harus bertemu dengan para pembully. Ia tak ingin waktu berharganya dihabiskan begitu saja oleh manusia-manusia bodoh yang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa pernah memikirkan perasaan orang lain.

  Di dalam perpustakaan tak ada siapa-siapa, melainkan seorang laki-laki berumur 40an yang sudah membersihkan sekolah entah semenjak kapan. Ia sedang membersihkan tiap debu di sebuah rak buku menggunakan kemoceng. Ia menoleh pada seorang bocah dengan rambut seputih salju, memberikan senyum padanya dan lanjut membersihkan sambil bersenandung pelan.

  Axera terkejut, tak pernah seumur hidupnya ia mendapatkan senyuman tulus dari orang lain. Ia hanya selalu mendapatkan senyuman sombong, mencemooh serta palsu yang kini sudah dapat ia bedakan tanpa perlu melihatnya dua kali.

  Ia menggelengkan kepala pelan, mengusir rasa kesal yang mulai datang. Saat ini ia hanya perlu fokus terhadap pencariannya. Waktu yang ia miliki tidaklah banyak, ia hanya punya waktu hingga jam 8 pagi, ketika para murid mulai berdatangan ke sekolah. Dengan kata lain, hanya ada batas maksimal dua jam sebelum waktunya terganggu. Axera setidaknya harus sudah menghabiskan membaca sebuah buku dan mengingat hal-hal yang penting di dalamnya. Salah satu bakat tersembunyi milik Axera yang masih belum ia sadari hingga sekarang, karena menurutnya murid-murid lain dapat membaca buku jauh lebih cepat hanya dalam beberapa detik kemudian selesai dan mendapatkan nilai baik dalam tes, padahal kebenarannya ialah mereka curang terhadap tes tersebut.

  Axera memulai pencariannya di rak bertuliskan 'Lambang'. Ia mengambil buku paling ujung dan mengambil sebuah tempat di lantai tiga, di mana jarang murid muncul ke tempat tersebut karena memiliki rumor menyeramkan yang menurut mereka seseorang melihat seorang gadis menyeramkan terkadang duduk di meja sambil tertawa-tawa kecil dan tiba-tiba menangis sendiri tanpa ada sebab. Axera sama sekali tak memedulikan rumor itu, mengingat dirinya tinggal di gedung tua akademi yang sudah memiliki rumor menyeramkan tersendiri, padahal begitu dirinya mencari tahu penyebab dari rumor-rumor itu adalah hal yang begitu imut dan menggemaskan.

  Ia mulai membaca dengan tenang sebelum terdengar sebuah isak tangis tak jauh dari tempatnya berada.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!