Di awal pertemuan musim gugur. Musim yang identik dengan tumbuhan yang mulai layu dan rontok. Warna dadaunan yang menguning keemasan serta memerah semu orange menampilkan pemandangan khas pada bulan yang mengharuskan burung-burung untuk berimigrasi menuju tempat yang lebih hangat.
Udara dingin yang menembus dinding kamar membuat tubuh mungil tersebut semakin beringsut ke dalam selimut tebalnya. Kelopak yang masih menutup sepasang netranya seakan masih enggan untuk menerima biasan cahaya dari luar dan menuntun si gadis untuk melanjutkan kelananya di Negeri Kapuk.
Jarum mesin penunjuk waktu sudah singgah di angka empat pagi. Suara deringan jam werker terdengar nyaring memenuhi langit kamar. Sebelah tangan terlihat keluar dari balik selimut menekan tombol jam werker untuk menghilangkan suara bising yang memekikan telinga.
Apakah gadis itu melanjutkan tidurnya lagi? Jawabannya adalah tidak. Tidak ada waktu baginya untuk bermalas-malasan. Dia tidak akan melewati kegiatan wajib paginya untuk memulai hari-harinya.
Nyawanya dirasa sudah berkumpul semua, dia pun beranjak dari ranjang kesayangannya menuju kamar mandi. Setelah selesai menggosok gigi, cuci muka dan membuang sisa pembuangan dari dalam tubuh, gadis berambut blonde tersebut memakai mantel coklatnya, melilitkan syal tebal pada lehernya yang hampir menutup setengah wajahnya, serta membungkus kepalanya dengan topi rajut berbahan benang wol. Gadis itu terlihat sudah siap melawan dinginnya udara pagi di musim gugur dan mulai mengayuh sepeda lamanya menembus kabut putih yang menyelimuti kota London.
Dia memulai aktivitas paginya dengan bekerja sebagai pengantar koran sebelum berangkat sekolah. Dengan semangat dan tanpa keluh dia memasukkan koran ke dalam kotak pos di setiap rumah pelanggan.
"Tuan Felix, saya sudah mengirim semua korannya," lapor si gadis kepada pemilik gudang koran.
"Kamu sudah bekerja keras, ini bayaran dari hasil kerja kerasmu," Tuan Felix menyodorkan amplop yang berisi beberapa lembar uang bergambar Ratu Elizabeth.
"Terimakasih Tuan, saya akan bekerja lebih giat lagi," ucap si gadis yang diiringi senyum yang mengulas lebar dan binar mata senangnya.
"Tapi, bukankah ini terlalu banyak Tuan?" sambungnya lagi, merasa ada yang salah dengan jumlah bayarannya.
"Aku hanya sedikit menambahnya karena kamu terlihat paling rajin di antara yang lainnya," jawab Tuan Felix.
"Saya sangat berterimakasih Tuan," senyumannya mengembang sempurna di muka Jenny.
"Sama-sama. Ya sudah, sebaiknya kamu segera pulang dan bersiap-siaplah untuk sekolah," saran Tuan Felix.
Jenny, itulah nama panggilannya. Kepergian sang Papa, membuat dia harus menjalani hidup lebih keras karena selalu mendapatkan perilaku buruk dari Ibu dan saundara tiri perempuannya.
Emy Mama kandung Jenny yang tinggal di kota Cambridge sudah beberapa kali meminta Jenny untuk tinggal bersamanya semenjak sang Papa meninggal. Namun permintaan itu selalu ditolak secara halus oleh Jenny dengan alasan ingin menyelesaikan pendidikan SMAnya di London terlebih dahulu. Padahal sebenarnya dia hanya tidak ingin menambah beban sang Mama yang dimana sudah hidup dengan ekonomi yang sulit. Ditambah lagi, suami baru sang Mama lebih sering menghabiskan uangnya untuk bermabuk dan berjudi ria. Hal itu membuat Mama Emy harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Saat ini bisa lulus sekolah adalah tujuan utamanya. Dengan berbekal sedikit tabungan uang saku yang didapatkan dari Papanya semasa masih hidup dan hasil dari kerja part time sebagai pengantar koran setiap pagi, Jenny membiayai sekolahnya.
Jenny si gadis cantik dan bertubuh menarik juga harus merubah penampilannya agar tidak terlihat mencolok. Menghindari make up dan selalu menggunakan setelan baju kedodoran sehingga membuat dirinya tampak tidak menarik di mata lawan jenis adalah salah satu upayanya agar kejadian yang mengerikan 1 tahun yang lalu tidak terulang kembali. Iya, Jenny hampir pernah menjadi korban pelecehan seksual ketika dalam perjalanan pulang dari sekolahnya.
Sang Papa yang dulu selalu menjadi benteng perlidungannya telah tiada. Kalau bukan dirinya sendiri yang harus membentengi diri, lalu siapa lagi? Jenny gadis yang kuat, namun sebenarnya dia salah satu makhluk Tuhan yang sangat polos. Di usianya yang menginjak umur 17 tahun, dia belum mengerti apa itu perasaan suka kepada lelaki. Berpelukan, berciuman, apalagi berkencan belum pernah dilakukan. Bahkan hanya sekedar membayangkannya saja tidak pernah.
Jenny kembali mengayuh sepedahnya, menembus jalanan komplek yang menjadi jalurnya setiap hari.
Brakk!
Ketika sampai dipersimpangan jalan dekat rumahnya, sepeda yang dikendarai Jenny tiba-tiba oleng dan menjatuhkan tubuhnya di jalanan yang diikiuti suara nyaring decitan rem motor secara mendadak.
"Aw! ini sakit sekali," Jenny mengadu seraya mengusap bokongnya yang terasa sakit karena mendarat dengan keras.
"Woi! Apa kamu tidak punya mata?!" seru anak muda yang masih bisa menjaga keseimbangan motornya meski hampir menabrak Jenny.
"Apa katamu?! Kamu hampir membunuhku karena tidak mengendarai motormu dengan hati-hati!" Seru Jenny setelah bangkit dari aspal jalanan.
Jenny lalu melirik ke arah sepedahnya yang ternyata sudah dalam keadaan menyedihkan.
"Lihat! Karena ulahmu sepedahku jadi rusak. Kamu harus ganti rugi," tuntut si Jenny kepada pengendara motor sport yang masih mengenakan helm, sehingga membuatnya kesulitan untuk menangkap seperti apa bentuk muka pemuda tersebut.
"Ck! kenapa aku harus ganti rugi? Aku juga hampir terjatuh karena kamu yang mengayuh sepedah tidak pakai mata! Masih untung motorku tidak tergores. Kalau sedikit saja tergores, seratus buah sepedah bututmu itu tidak akan mampu menggantinya," cerca pemuda itu tidak mau kalah. Dari nada suaranya juga terdengar sangat kesal.
"Bodoh! Aku mengayuh sepeda pakai kaki, bukan pakai mata! Buruan ganti rugi!"
"Jangan bermimpi!" pemuda tersebut kembali melajukan motornya meninggalkan Jenny sendirian.
"Dasar makhluk menyebalkan! Jangan kira kamu akan hidup tenang setelah ini!" hardik Jenny kepada pengendara motor yang keberadaannya semakin menjauh dari tangkapan mata.
Dada Jenny terlihat naik turun karena emosi yang meletup-letup. Dengan gelagat kesalnya dia mendirikan sepedahnya yang masih tergeletak mengenaskan. Menuntunnya menuju rumahnya. Beruntung jarak rumahnya sudah tidak jauh. Sesekali dia terlihat meringis karena sensasi perih pada lututnya begitu terasa ketika dibuat berjalan.
Sedangkan di kediaman keluarga Allison. Remaja yang baru saja menjejakkan kakinya beberapa langkah dari pintu masuk tiba-tiba terhenti. Di hadapannya kini terlihat Mommy Briana berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang hampir menginjak setengah abad tersebut melempar tatapan menghakimi kepada putra bungsunya tersebut.
"Mommy? Ada apa pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu?" tanya si putra yang berlagak bodoh. Padahal dia sudah bisa menebaknya apa yang Mommynya pikirkan saat ini.
"Darimana kamu sayang? Semalaman kamu menginap dimana? Kenapa kamu tidak menjawab panggilan Mommy? Apa kamu tidak berpikir tindakanmu ini membuat Mommy dan Daddy cemas?" Briana membrondong beberapa pertanyaan sekaligus.
"Aku semalam habis bermain bersama Alvin dan Sammy, terus ketiduran di rumah Alvin Mom. Ayolah, jangan berlebihan. Bukankah biasanya aku juga sering menginap di rumah teman-temanku?"
"Apa semalam kamu habis ikut balap motor liar lagi? Mommy mohon berhentilah, itu sangat berbahaya sayang."
Alih-alih menjawab pertanyaan Briana, Jeffrey justru memilih kabur dari kewajibannya untuk menjawab.
"Mom, aku akan bersiap-siap untuk berangkat sekolah," kilahnya mencoba kabur sebelum sang Mommy mengintrogasinya semakin jauh. Dia langsung berjalan menuju kamarnya.
Mommy Briana menghela napas kasar melihat kelakuan Jeffrey yang sangat sulit diatur.
Selang beberapa waktu, Jeffrey menuruni tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua. Dia sudah terlihat rapi dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya serta tas ransel yang menyentel di bahunya.
Jeff mendekati meja makan yang di mana Mommy Briana dan Daddy Darwin sudah berada di sana terlebih dahulu. Jeff hanya meneguk segelas susu hangat untuk mengisi perutnya.
"Jeff berangkat dulu Mom, Dad," pamit Jeff.
Briana dan Darwin tidak menjawab ucapan Jeff. Briana melirik ke arah Darwin yang masih menyantap bacon dan baked beans yang terlihat hampir habis. Mereka sedang menunggu kembalinya Jeff di ruang makan. Dan benar, selang tidak lama, Jeff kembali dengan membawa muka masamnya.
"Mom, Dad, apa kalian sengaja melakukannya?" tanya Jeff menyelidik. Mimik muka terlihat sangat tidak senang saat ini.
"Itu hukuman, karena kamu bandel," jawab Briana yang masih duduk di depan meja makan.
"Mom, bagaimana Jeff pergi ke sekolah kalau motorku di tahan seperti itu?" protes Jeff.
"Dan lagi, kenapa ke empat ban mobilku kempes semua?" sambungnya lagi.
Iya, beberapa waktu yang lalu, Darwin memang menyuruh satpam rumah untuk mengikat motor putranya menggunakan rantai besi serta membuang semua angin di dalam ban mobilnya hingga tak tersisa.
"Sementara Daddy akan menyita semua kendaraanmu, hingga kamu berhenti bermain balap motor liar," Darwin mulai bersuara.
"Kamu bisa naik bus untuk berangkat sekolah," tambahnya lagi.
"Aku lebih baik kembali ke kamarku daripada harus naik bus," ancam Jeff.
"Lakukanlah sesuai kemauanmu dan jangan protes jika kartu kreditmu juga Daddy blokir," ancam Darwin setelah mengelap sisa makanan yang menempel di mulutnya.
"Oke.. Oke, aku akan naik bus," Jeff akhirnya menyerah dan menjalani hukuman Darwin. Dia mulai berjalan menuju pintu keluar rumah dengan langkah malasnya.
"Sayang, bisakah kamu sedikit saja melemaskan otot-otot mukamu? Kenapa kamu selalu memasang muka jutek seperti itu?" Briana menambah volume suaranya ketika Jeff sudah berada di ambang pintu.
Suara Briana membuat Jeff berhenti dan memutar tubuhnya.
"Apa seperti ini?" ucap Jeff seraya menampilkan senyuman paksanya lalu malanjutkan langkahnya keluar rumah menuju halte bis yang kurang lebih berjarak 100 meter dari rumahnya.
"Aku heran dengan putramu itu. Apakah otot-otot mukanya sudah tidak berfungsi? Herannya lagi, dia masih saja terlihat tampan," gerutu Briana setengah memuji putranya.
"Karena ketampananku menurun ke putra kita," timpal Darwin yang mulai narsis. Padahal beberapa detik yang lalu, dia selalu memasang muka tegas di depan putranya.
"Hiis! Dasar. Aku berharap putra kita bisa berubah. Sifatnya itu sangat menyebalkan."
"Dia akan berubah setelah merasakan jatuh cinta kepada wanita yang baik."
"Apakah benar begitu?"
"Tentu saja, karena aku berkaca pada pengalamanku sendiri, di saat aku jatuh cinta kepadamu dulu. Semua kenakalanku hilang karena kamu melarangku melakukan kebiasaan burukku dan aku menurutinya," goda Darwin seraya mengerlingkan sebelah matanya.
Jeffrey memang berkepribadian jutek dan arogan. Terlahir dari keluarga kaya yang membuatnya selalu bertindak semena-mena. Namun dia akan bersikap sedikit baik kepada kekasihnya yang bernama Veronica. Iya, hanya sedikit, bahkan sikap baiknya kepada Veronica dapat dihitung dengan jari tangan dan selebihnya Jeffrey akan bersikap cuek dan dingin kepada kekasihnya tersebut.
Veronica pernah menyelamatkan nyawanya dengan mendonorkan darahnya ketika Jeffrey kebahabisan cairan darah karena insiden kecelakaan balap motor liar.
Setelah kejadian itu, hubungan mereka menjadi lebih dekat dan pada akhirnya Vero menyatakan perasaannya langsung di depan Jeffrey. Merasa memiliki hutang budi, akhirnya dengan perasaan yang tak lebih dari sekedar teman, cowok tampan itu menerima ungkapan cinta Veronica.
VISUAL TOKOH
Jenny Dawson
Sebelum merubah penampilannya, dia selalu tampak feminim nan anggun. Sepasang Almond Eyes dengan iris biru bening yang berbingkai bulu mata lentik dan tebal. Bentuk hidung kecil nan mancung serta bibir sexy yang selalu terlihat basah ikut serta menghiasi muka cantiknya.
Ini penampakan Jenny setelah merubah penampilannya.
Jeffrey Allison
Memiliki muka tampan khas orang Eropa. Dengan tatapan mata setajam Elang dan dilengkapi iris mata berwarna hijau terang cocok menggambarkan karakternya yang dingin dan keras, namun tidak mengurangi pesonanya di mata kaum wanita.
Image source : Google, Instagram, Pinterest
Terimakasih sudah mampir ke karyaku ya. Jangan lupa tekan gambar ♥️ agar masuk dalam rak buku kalian. Like, coment, vote, dan rate kalian sangat beharga bagi Author🤗
Semoga kalian bahagia selalu🙏
Jenny memarkirkan sepedanya yang rusak di perkarangan rumah. Dia berjalan sedikit tergesa - gesa hingga lupa akan rasa perih pada kaki dan lututnya. Jarum jam hampir mendekati angka delapan. Seharusnya jam segitu Jenny sudah selesai menyiapkan sarapan untuk ibu tiri dan saudara tirinya. Insiden terjatuh dari sepeda yang disebabkan oleh pengendara motor tadi membuat dia terlambat pulang dan menyita waktunya.
Baru beberapa langkah Jenn menjejakkan kakinya ke dalam rumah, namun dia sudah harus memaksa telinganya untuk mendengar hardikan Amber si Ibu tiri.
"Kemana saja kamu?! Jam segini belum juga menyiapkan sarapan!" seru Amber.
Tanpa menjawab seruan Amber, Jenn langsung berjalan melewatinya dengan raut muka jengah. Dengan cekatan Jenn memasukkan beberapa helai roti tawar yang sudah diolesi mentega ke dalam toaster. Kemudian mengambil beberapa butir telur untuk diolah.
"Dasar tidak punya sopan santun, aku bertanya seharusnya kamu menjawab!" seru Amber lagi.
Jenn seketika berhenti dari perkutatannya dengan alat dapur. Sekali lagi dia memasang muka jengah lalu memutar tubuhnya ke arah Amber yang tidak jauh dari meja makan.
"Aku tadi terjatuh waktu perjalanan pulang, sepedaku juga rusak, jadi aku sedikit terlambat," Jenn menjawab protes dari Ibu tirinya.
"Pintar sekali beralasan," cebik Amber seraya mendudukkan tubuhnya di bangku meja makan lalu mulai memainkan ponselnya.
Ella saudara tiri Jenny yang sudah terlihat rapi dengan seragam sekolahnya terlihat keluar dari kamar dan langsung bergabung dengan Mamanya.
"Mana sarapannya? Aku harus segera berangkat sekolah. lagi - lagi kamu membuatku kesal!" kini ganti Ella yang protes dengan nada kesalnya.
"Ini hampir selesai," saut Jenny santai.
Tidak butuh waktu lama, 2 porsi roti panggang dan omelet telur serta 2 gelas jus jeruk sudah tersaji di atas meja makan. Kenapa Jenny hanya membuat dua porsi? Alasannya adalah, dia terlalu malas makan bersama sepasang anak dan ibu yang selalu melontar kalimat pedas kepadanya tersebut. Jenny lebih memilih menyantap sarapan paginya disela perjalanannya menuju sekolah.
"Puih! kenapa rasanya sangat tidak enak?! Kau mau membunuhku?!" seru Ella seraya melepeh makanan dari dalam mulutnya.
"Sayang apa kamu tidak apa - apa?" tanya Amber ke Ella.
"Apa yang kamu lakukan? bisa masak atau tidak?!" bentak Amber kepafa Jenny.
Jenny menaruh kembali peralatan dapur kotor yang hendak dicuci. Rasanya dia sudah tidak tahan mendengar kedua orang yang berhubungan darah tersebut terus mengoceh sesuka hatinya.
"Jangan memulainya lagi, aku yakin kalau aku sudah memasaknya dengan benar. Aku sangat tahu, ketika aku pergi kalian menghabiskan semua makanan yang sudah aku buat. Kenapa kalian masih selalu mencari alasan untuk memarahiku?" saut Jenny yang juga mulai dongkol, namun sebisa mungkin dia tahan emosinya agar tidak melampaui skala kesabarannya. Untuk saat ini, dia masih sangat membutuhkan tempat tinggal untuk melanjutkan sekolahnya.
"Kamu mulai berani menjawab hah?!" seru Amber.
Jenny menghela napas panjang.
"Kenapa kalian selalu bersikap buruk kepadaku? pernahkah kalian berpikir? mungkin kalau orang lain yang menggantikan posisiku saat ini, sudah pasti makanan kalian sudah dicampur racun karena sikap kalian yang menyebalkan itu," timpal Jenny dengan muka datarnya dan nada bicara yang terdengar tenang.
Ella tiba - tiba menggebrak meja kemudian beranjak dari duduk. Dengan emosi yang mulai tersulut.
"Kamu?! kalau bukan kami sedang berbaik hati, kamu sudah kami usir dari rumah ini," geram Ella seraya menunjuk tepat di depan muka Jenny.
"Ayolah, kenapa kamu mudah sekali tersulut emosi? lagian ini rumah peninggalan papa kandungku, bukan papa tiri, jadi tidak ada yang berhak mengusirku," tandas Jenn yang diselingi sindiran kepada Ella.
"Kamu itu hanya anak tiri Papaku. Apa pantas kamu mengusirku yang merupakan anak kandungnya? Sebenarnya kemana letak urat malumu itu?" batin Jenn berkata.
Ella tidak terima dengan perkataan Jenn. Sedari tadi dia sudah mengepal kedua tangannya yang kini sudah mulai terasa panas. Dengan secepat kilat Ella melayangkan tangannya ke arah muka Jenn, namun tindakannya terhenti karena pemilik muka yang bakal jadi sasaran tamparannya menangkap tangannya dengan tepat waktu.
"Sayangilah tanganmu Ella. Kenapa kamu suka sekali memukul orang?" ucap Jenn santai dengan posisi tangannya masih mencengkram pergelangan tangan Ella.
Ella langsung menarik tangannya.
"Mama, kenapa kamu hanya diam saja? Bantu aku kasih pelajaran ke cewek burik sialan ini," Ella mencoba mencari dukungan dari Amber.
"Sudah..sudah. Cukup berdebatnya," Amber mencoba menengahi.
"Kamu, bukannya juga akan pergi ke sekolah?" Amber mengingatkan Jenny.
Jenny melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Matanya sedikit membulat setelah menyadari jam masuk sekolah tinggal beberapa menit lagi. Tanpa menghiraukan Amber dan Ella, gadis itu langsung bergegas menuju kamarnya untuk bersiap - siap.
"Kenapa Mama tadi tidak membelaku? Anak itu akan semakin besar kepala kalau kita terlalu lembek kepadanya Ma," protes ella kepada Amber setelah Jenny sudah menghilang dari hadapannya.
"Sayang, kamu tenanglah. Sebentar lagi kamu akan mengadakan acara ulang tahun," ucap Amber dengan raut muka penuh makna.
"Terus apa hubungannya dengan anak burik itu Ma?"
"Kita masih membutuhkan tenaganya sayang, kalau ada dia pengeluaran kita lebih hemat," jawab Amber.
"Mama juga nggak perlu membayar pembantu untuk melakukan pekerjaan rumah," tambahnya lagi.
"Ella lebih suka kalau Mama mengambil pembantu dari pada harus serumah dengannya. Lagian Ma, bukankah pemasukan uang dari toko ritel suamimu yang telah meninggal itu bisa untuk membayar pembantu?" ucap Ella dengan raut muka cemberut.
"Apa kamu lupa? Kebiasaanmu yang suka berfoya - foya dan menghamburkan banyak uang buat Mama memikirkan ulang untuk mengambil pembantu," cibir Amber.
"Bukankah Mama juga sama sepertiku?" cebik Ella tidak mau kalah.
"Kamu bersabarlah, nanti akan ada saatnya dia kita tendang dari rumah ini," Amber berusaha menyenangkan hati putrinya.
"Benarkah? Aku sangat senang Ma. Aku sudah nggak sabar ingin melihat Jenny menangis seraya memohon kepada kita agar tidak di usir," ucap Ella dengan senyum menyeringai.
"Ngomong - ngomong sudah jam segini pacarmu kok belum datang menjemputmu?" tanya Amber ke Ella.
Tin. Tin. Tiba - tiba terdengar suara klakson mobil dari luar rumah.
"Itu dia Ma, Diven sudah datang," ucap Ella setelah mengintip luar rumah dari jendela.
"Ya sudah aku berangkat sekolah dulu Ma,"
Ketika Ella hendak menuju pintu keluar ternyata Jenny sudah membuka daun pintu duluam. Dia juga sudah terlihat rapi dengan seragam sekolahnya.
"Selamat pagi Jenn," sapa Diven kepada Jenny dari dalam mobil.
Tanpa menjawab sapaan Diven, Jenny berlalu begitu saja. Selama ini Jenny selalu merasa risih jika Diven datang ke rumah. Cowok itu sering sekali menggodanya tanpa sepengetahuan Ella.
"Jenn kenapa kamu tidak berangkat bersama kami saja?" teriak Diven yang mengeluarkan setengah badannya dari jendela mobil. Namun Jenny tak bergeming.
"Kenapa kamu selalu bersikap baik dengannya Honey?" tanya Ella yang sudah masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku penumpang sebelah Diven. Ella terlihat tidak senang dengan raut muka Diven yang terlihat senang jika bertemu dengan saudara tirinya itu.
"Memang apa salahnya jika aku bersikap baik dengannya sweety? bukankah dia saudara tirimu?" jawab Diven santai seraya menghidupkan starter mobil dan melajukannya dengan kecepatan sedang.
"Jalan terus saja, jangan menawarkan tumpangan ke dia," sungut Ella kepada Diven ketika jarak mobil yang mereka tumpangi sudah tidak jauh dengan Jenny yang sedang berjalan kaki.
Menanggapi pinta Ella, Devin hanya menghela napas seraya menggeleng kecil kepalanya.
"Sial! Padahal tujuan utamaku berpacaran dengannya agar aku bisa mendekati Jenny. Aku tahu di balik penampilannya yang berantakan Jenny adalah cewek cantik. Aku juga bisa membayangkan bentuk tubuhnya yang sangat sexy," batin Devin yang penuh maksut.
Jenny melirik ke arah mobil yang ditumpangi Ella dan Devin saat melewatinya.
"Hish! aku sangat tidak suka dengan cowok itu," gerutu Jenny, lalu dia melirik ka arah jam tangan yang meliliti tangan kirinya.
"Astaga sudah jam segini, aku harus berlari supaya tidak ketinggalan bus,"
Jenny pun berlari menuju halte bus. Dari jauh terlihat transportasi umum tersebut sudah berhenti di depan halte. Beberapa orang tampak masuk ke dalam bus. Jenny semakin menambah kecepatan langkahnya sebelum sopir melajukan kembali bus bawaannya.
Napasnya masih tersengal - sengal ketika dia hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam bus. Namun tiba - tiba badannya terhentak ke samping dengan sedikit kasar karena ada seorang cowok menyelonong masuk ke dalam bus begitu saja.
Ella, saudara tiri Jenny.
Diven, pacar Ella yang sebenarnya ada ketertarikan dengan Jenny.
Image source : Pinterest, Instagram
Terimakasih sudah mampir ke karyaku ya. Jangan lupa tekan gambar ♥️ agar masuk dalam rak buku kalian. Like, coment, vote, dan rate kalian sangat beharga bagi Author🤗
Semoga kalian bahagia selalu🙏
Jenny meringis karena merasa ngilu pada lengan sebelah kanannya akibat seorang cowok yang memasuki bus tanpa berhati - hati. Orang itu menyenggol tubuhnya hingga membentur pintu bus.
"Hei! bisakah kau lebih berhati - hati?" ucap Jenn kepada cowok yang sepertinya tak ada niat sedikitpun untuk meminta maaf. Jangankan ucapan maaf, cowok itu bahkan menoleh untuk sekedar mengetahui keadaan orang yang telah ditabraknya. Saat ini Jenny hanya dapat melihat punggung si cowok menyebalkan itu.
"Hah! Kenapa hari ini aku terus bertemu dengan cowok menyebalkan? tadi pagi hampir ditabrak motor, bahkan sekarang aku ditabrak lagi ketika mau masuk ke dalam bus," gerutu Jenny seraya mengusap pelan lengannya.
"Nona, sampai kapan kamu akan tetap berdiri disana? Busnya akan segera jalan," ucap si sopir bus.
"Ah, maaf tuan. Saya akan segera masuk," jawab Jenny.
Jenny mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan bus untuk mencari bangku kosong. Tapi sepertinya pagi di awal weekend ini warga London lebih berantusias dalam memulai aktivitas paginya di luar rumah. Penumpang bus terlihat penuh sehingga tidak menyisakan tempat duduk baginya. Akhirnya Jenn memilih untuk berdiri.
Tidak lupa dia mengaitkan jari - jari tangannya kepada handlegrib yang disediakan bagi penumpang yang tidak kebagian bangku agar tetap bisa menjaga keseimbangannya pada goncangan bus.
Sekali lagi, Jenn mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan bus. Gadis itu ingin sekali melihat muka orang yang sudah menabraknya tadi. Meski tadi dia tidak sempat melihat mukanya tapi dia hafal dengan warna Tas ransel yang bertengger di pundaknya.
"Hish! tanganku masih terasa sakit. Siapa sih orang tadi? Sedikitpun tidak punya etikad baik untuk minta maaf. Aku harus tahu bentuk mukanya seperti apa," gerutu Jenny di dalam hati.
"Dimana cowok menyebalkan itu duduk? tadi aku melihat dia memakai tas bewarna biru," monolognya di dalam hati masih berlanjut.
Jenny melirik kepada setiap penumpang di dalam bus. Dari yang paling ujung belakang hingga yang di ujung depan. Sesaat matanya berhenti tas ransel berwarna biru yang sedang berada di pangkuan seorang penumpang. Jenn mencoba menggiring pupilnya kepada pemilik tas tersebut. Namun sepertinya dia masih belum menemukan jawaban.
"Emm, aku rasa bukan dia yang menabrakku tadi. Dia terlihat sangat tua. Sedangkan aku yakin yang menabrakku tadi masih muda,"
"Ah! Aku ingat, cowok tadi mengenakan mantel bewarna coklat,"
Jenn masih terus mencari keberadaan cowok tersebut. Rasa penasaran dan kesal bercampur jadi satu saat ini. Dia tidak akan bisa tenang jika belum menemukan cowok tadi. Lidahnya sudah gatal ingin menyembur beberapa kalimat tuntutan emosi kepada orang tersebut.
Jenny sesaat menghentikan pencariannya ketika si supir menghentikan lajuan bus untuk mengangkut penumpang di halte berikutnya kemudian lanjut melajukan busnya kembali.
Perhatian gadis berambut blonde itu kini beralih ke arah wanita tua yang terlihat berjalan menggunakan tongkat satu kakinya. Nenek tersebut berdiri tepat di samping Jenny. Dari raut mukanya, terlihat kalau si Nenek sedang kelelahan karena harus berdiri.
Jenny menggiring sepasang iris matanya ke arah penumpang yang sedang duduk tepat di depan wanita tua tersebut. Jenny yang semula hanya berinisiatif ingin mencarikan tempat duduk seketika memasang muka yang seakan mendapat jawaban dari pencarian cowok menyebalkan yang sempat tertunda tadi.
"Tas ransel berwarna biru dan mantel berwarna coklat, akhirnya aku menemukannya. Kenapa aku baru menyadari bahwa orang yang aku cari sedari tadi duduk berada di dekatku?" batin Jenny.
"Hei, kau yang sedang duduk," panggil Jenn dengan raut muka sedikit jengkel.
Namun cowok itu terlihat cuek. Dia malah mengambil ponselnya di balik mantel musim dinginnya dan memainkannya.
"Ow, ternyata namanya Jeffrey," batin Jenny saat matanya sempat membaca sebuah nama di sebuah nametag yang terpasang pada seragamnya ketika cowok itu sedikit membuka mantelnya untuk merogoh ponsel di saku dalamnya. Jenny pun tidak kehilangan akal.
"Hei, kamu yang bernama Jeffrey," panggil Jenny lagi.
Panggilan kali ke dua Jenny membuahkan hasil. Akhirnya Jeffrey merespon suara gadis itu. Jeffrey memalingkan muka masamnya ke arah Jenny. Dia menatap muka Jenny dengan alis yang hampir menyatu karena merasa tergganggu. Pasalnya dia masih dalam perasaan badmood karena hukuman yang diberikan orangtuanya terhadapnya.
Namun tautan alis tebalnya terlihat sedikit mengendur karena dia ingat bahwa gadis yang sangat mengganggunya saat ini adalah gadis yang hampir dia tabrak di persimpangan jalan tadi pagi. Mengetahui hal itu semakin membuat Jeffrey jengah. Sedangkan Jenny tentu belum menyadari bahwa cowok yang ada di dekatnya sekarang adalah pengendara motor yang hampir menabraknya di saat pulang mengantar koran tadi. Jeffrey yang mengenakan helm, membuat Jenny tidak mengenalinya.
"Hei, kamu yang tadi menyenggolku dengan keras hingga tanganku terasa sakit, apa kamu tidak merasa bersalah?" tanya Jenny.
"Itu karena kamu menghalangi jalanku," ketus Jeffrey.
Jenny memejamkan matanya sesaat. Mengambil napas dalam - dalam lalu membuangnya. Sebisa mungkin menetralisir tingkat emosinya yang mulai tersulut.
"Sepertinya mengharapakan ucapan maaf dari ini orang adalah hal sia - sia," gerutu Jenny di dalam hati dan mulai mengesampingnya tuntutan permintaan maaf dari Jeffrey.
"Apa kamu bisa memberikan tempat dudukmu kepada Nenek ini?" pinta Jenny kepada Jeffrey yang sedari tadi terlihat cuek.
"Kenapa aku harus memberikan tempat duduk kepadanya? Aku yang mendapatkan tempat duduk ini duluan," tolak Jeffrey.
"Nenek ini terlihat kelelahan, lagian kamu yang lebih muda harusnya lebih kuat berdiri,"
"Aku tidak mau karena kakiku bisa pegal kalau lama berdiri," tolak Jeffrey lagi seraya memalingkan mukanya ke arah jendela bus.
"Hish! Sungguh cowok menyebalkan," desis Jenny.
"Sudah Nak, Aku tidak apa - apa, jangan berdebat lagi ya," sela Nenek yang merasa tidak enak.
"Nenek sungguh tidak apa - apa? Tapi kamu terlihat kelelahan," ucap Jenny yang penuh rasa simpati.
"Nenek masih kuat berdiri, kamu tenang saja. Kamu memang gadis yang baik," balas si Nenek penuh pujian diiringi ulasan senyuman hangat di muka keriputnya.
Jenny tersenyum ramah.
"Dasar manusia tidak punya hati! Badannya saja terlihat gagah tapi ternyata lemah, berdiri saja tidak kuat. Sungguh memalukan!" cebik Jenny yang tentu saja langsung mendapatkan tatapan tajam Jeffrey.
"Kamu siapa sehingga berani menghinaku? hah?!" seru Jeffrey tidak terima yang langsung berdiri mendekati Jenny.
Melihat Jeffrey beranjak dari duduknya, Jenny segera memanfaatkan kesempatan itu untuk mempersilahkan wanita tua tersebut menempati bangku kosong tersebut terlebih dahulu sebelum menanggapi Jeffrey yang sudah berdiri di depannya saat ini.
"Nenek, kamu segeralah duduk. Kamu pasti sangat lelah," ucap Jenny tersenyum lalu dia menggiring mukanya ke arah Jeffrey.
"Aku tidak menghinamu tapi aku hanya berbicara apa adanya?" sanggah Jenny.
Jeffrey memcoba mengamati penampilan Jenny dari bawah hingga atas. Seketika satu sudut bibir Jeffrey menyungging ke atas dengan mimik muka mengejek.
"Dasar kucing kumuh! Sebaiknya perhatikan penampilanmu terlebih dahulu sebelum menghina orang lain," mulut pedas Jeffrey mulai beraksi.
"Rambutmu ini, apa kamu tidak pernah menyisirnya?" hina Jeffrey seraya mencapit beberapa helai rambut Jenny dengan mimik muka jijik.
"Itu bukan urusanmu," balas Jenny kesal seraya menghempas tangan Jeffrey yang tiada sopan tersebut.
Tiba - tiba tubuh Jenny dan Jeffrey terhempas lumayan keras. Bus yang mereka tumpangi berhenti secara mendadak.
"Hei! Lebih berhati - hatilah kalau menyeberang jalan, itu sangat berbahaya," terdengar seruan si supir kepada seorang pengguna jalan kaki yang kurang berhati - hati saat akan menyeberang jalan.
Bersambung~~
Terimakasih sudah mampir ke karyaku ya. Jangan lupa tekan gambar ♥️ agar masuk dalam rak buku kalian. Like, coment, vote, dan rate kalian sangat beharga bagi Author🤗
Semoga kalian bahagia selalu🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!