🍀 PROLOG 🍀
Pagi itu, seorang wanita melangkahkan kaki dengan perlahan. Wanita itu menyusuri lantai rumah yang dingin dan kotor, keluar dari kamarnya. Seluruh badan terasa sakit dan remuk redam, Ningsih-namanya. Namun, aneh sekali, dia tidak melihat ada bekas luka apa pun. Samar-samar, wanita itu kembali mengingat kejadian semalam.
'Andai aku tidak mengikuti saran temanku itu.' batin Ningsih bergejolak. 'Ahh, semoga benar. Jin yang semalam menikah denganku, semoga bisa membawa kekayaan untukku. Aku sudah muak hidup bersama Mas Agus dengan segala kesusahannya." imbuhnya dalam hati.
Agus merupakan suami dari Ningsih. Mereka menikah sudah tiga tahun dan memiliki seorang putra berusia setahun, bernama Wahyu Putra Sadewa. Ningsih sengaja menyuruh Agus untuk mengajak Wahyu ke rumah neneknya-ibu dari Agus di desa sebelah agar dia bisa melakukan sebuah ritual.
Ritual - Menikah dengan Jin - yang diajarkan oleh teman Ningsih, bernama Ratih. Ratih sudah melakukannya selama beberapa tahun. Dia berhasil menjadi kaya raya setelah menikah tiga kali dan suaminya meninggal semua. Ratih mengajak Ningsih melakukan hal itu dengan ketentuan, jika menikah dengan Jin maka setiap suami meninggal akan digantikan dengan harta kekayaan yang akan semakin bertambah.
Hal ini memang sesat, mungkin pesugihan seperti inilah yang sering digunakan sebagai jalan pintas untuk mendapatkan harta secara gaib. Nyawa suami penganut pesugihan dijadikan sebagai pengganti harta yang Jin itu berikan. Tidak hanya itu, pelaku pesugihan akan menjadi budak napsu Jin dan dilakukan setelah ritual itu dimulai.
Himpitan ekonomi membuat Ningsih putus asa. Semalam, ritual itu sudah dilakukannya. Jin yang dinikahinya tak memperlihatkan wujud. Ningsih hanya bisa merasakan kehadiran dan sentuhan Jin tersebut, bahkan suaranya pun terdengar. Ningsih begitu menikmati permainan pertamanya dengan suami gaib, terasa sangat nyata!
Menurut perjanjian, pagi ini Ningsih akan menerima sejumlah uang dan emas di dalam tudung saji yang semalam berisi sesaji (bunga dan menyan). Dia tak mempunyai almari untuk meletakkan sesaji yang dimaksud, oleh karena itu Ningsih meletakkan di dalam tudung saji. Ningsih bergegas mengecek ke dapur setelah kesadarannya berangsur pulih.
'Awas saja kalau Ratih bohong padaku!' batinnya dengan sedikit ragu saat membuka tudung saji.
Betapa tidak Ningsih terkejut. Saat membuka tudung saji, dia melihat hal yang belum pernah dilihatnya selama ini. "Uang! Uang! Emas!" teriak Ningsih takjub.
Entah berapa lembar uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan berjejer bersama beberapa emas. Membuat Ningsih panik dan segera mengambil plastik hitam (kresek) serta memasukkan semua ke dalamnya. Ningsih takut Agus curiga. Setelah menyimpan kresek yang penuh uang dan emas tersebut, Ningsih pun dikagetkan dengan suara orang berteriak di depan rumah.
"Ningsih! Ningsih!" seru orang di luar rumah.
Rumah Ningsih masih semi kayu. Pintu pun sudah keropos. Hal itu yang membuat tamu enggan mengetuk pintu rumahnya. Takut jika malah merusak.
Ningsih bergegas keluar. Saat pintu dibuka ... banyak tetangga berdatangan membuat Ningsih bingung. Dari kejauhan, terlihat beberapa orang menggotong seorang yang dia kenal.
"Mas Agus!" seru Ningsih yang sangat kaget melihat sesosok orang yang digotong.
Ternyata orang itu benar suami Ningsih. Tetangga pun mencoba menghibur Ningsih. "Sabar, ya, Mbak. Mas Agus ketabrak mobil di persimpangan jalan."
Ningsih pun terkejut serta bertanya, "Lalu di mana Wahyu?"
Setelah seorang tetangga menjelaskan, ternyata Wahyu masih ditinggal di rumah orang tuanya Agus. Ningsih mengira Agus masih di sana beberapa hari. Ningsih pun menangis melihat kondisi Agus penuh darah.
"Sabar, ya, Ningsih. Ini semua kehendak Allah. Ikhlaskan suamimu," kata Pak RT yang menjelaskan jika Agus sudah meninggal.
Ningsih dibantu oleh warga sekitar menyiapkan semua persiapan untuk pemakaman Agus. Ningsih tak menyangka jika ritual itu sangat ampuh.
'Ternyata Ratih benar! Uang datang, suami melayang.' batin Ningsih yang entah harus senang atau sedih.
Ningsih tidak pernah menyangka jika hal Inilah yang menjadi awal mula kisah perjalanan Ningsih di dunia kelam. Terjerat semua gemerlap dunia dalam genggaman tangannya. Mengorbankan nyawa demi sebongkah harta kekayaan dan menjadi istri makhluk gaib yang belum pernah dilihatnya.
***
Seratus hari kemudian ....
Hari ini, tepat seratus hari meninggalnya Agus. Setelah kejadian mengerikan itu, Ibu mertua Ningsih sangat sedih hingga jatuh sakit. Meski hari ini Ningsih mengadakan acara seratus hari kepergian suaminya, keluarga dari pihak Agus tidak ada yang mau datang karena masih syok.
Ningsih tak pernah mempermasalahlan hal itu. Baginya, keluarga Agus tetap menjadi keluarganya. Bahkan, Ningsih memberikan uang layatan pada ibunya Agus untuk berobat. Tentu saja dengan tambahan uang hasil pesugihannya menikah dengan makhluk gaib.
Tanpa diketahui orang lain, Ningsih sudah membeli sebuah rumah di kawasan perumahan baru. Tepatnya, dekat dengan rumah Ratih. Ningsih juga sudah mencari Asisten Rumah Tangga untuk membantu serta menemaninya dan Wahyu di sana. Nama asistennya adalah Mak Sri, usia sekitar lima puluh tahun tetapi sangat cekatan dan dapat dipercaya.
Ningsih masih menunggu waktu dan alasan yang tepat untuk pindah. Dia harus memikirkan hal yang tepat agar tidak dicurigai oleh keluarga Agus atau keluarganya sendiri.
Ningsih kembali menatap foto pernikahannya, sambil mengelus wajah Agus di foto. "Maafkan Ningsih, ya, Mas. Ini semua demi masa depan Wahyu. Aku tidak mau hidup susah terus seperti itu. Maafkan Ningsih, ya, Mas dan terima kasih Mas sudah berkorban untuk kebahagiaan Ningsih dan Wahyu, anak semata wayang kita." lirih Ningsih setelah mengadakan acara seratus hari kepergian suaminya.
Ningsih sebenarnya ragu, entah hal ini salah atau benar. Namun, air mata Ningsih menetes, mengalir begitu saja. Menangisi suaminya yang selama ini telah menyusahkan tetapi saat ini bisa mendatangkan kekayaan untuknya.
***
Dua minggu berlalu dengan cepat ....
Pagi itu, Wahyu sedang belajar berjalan di rumah barunya. Ningsih sudah pindah ke rumah yang dia beli dengan hasil menumbalkan Agus.
"Wahyu sayang, jangan lari, ya. Nanti jatuh. Wahyu 'kan belum lancar yang jalan," ucap Ningsih yang khawatir melihat anaknya belajar berjalan.
Ningsih merasa sangat bahagia sudah pindah ke perumahan yang bagus nan mewah. Rumah Ratih hanya berjarak tiga rumah dari rumahnya. Dia merasa bahagia karena dengan uang yang dimilikinya, tak perlu meninggalkan puteranya lagi untuk bekerja kasar.
Wahyu pun semakin senang belajar berjalan dan berlari. Tentunya Mak Sri ikut mengawasi. Sebenarnya susah juga menemukan alasan untuk Ningsih pindah.
Akhirnya, Ningsih terpaksa berbohong kepada semua orang. Dia berpura - pura pergi bekerja di luar kota dan Wahyu ikut serta dibawa. Dia juga membuat alasan agar bisa melupakan trauma atas kepergian Agus. Hal itu bisa diterima oleh keluarga besar Ningsih dan Agus.
Ningsih sedikit tenang karena perumahan miliknya, cukup jauh dari desanya. Dia pun mencari tempat untuk berjualan, di pinggir jalan raya yang cukup strategis dengan harga sewa yang terjangkau.
Ningsih bertekad akan menggunakan uang itu sebaik mungkin. Saat itu, dia berpikir tidak perlu menikah lagi, tidak perlu mengorbankan orang lain lagi.
Bagi Ningsih, cukup Agus-suaminya yang menjadi korban untuk memulai hidup baru bersama putranya. Namun, Ningsih tak menyadari dirinya sudah masuk dalam JERAT IBLIS yang tidak semudah itu bisa lepas atau bebas.
***
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA. BACA JUGA JELMAAN SUAMIKU
🍀 Pemikiran yang Semu 🍀
Ningsih mememiliki suami gaib yang bernama Bima. Mereka masih sering berhubungan layaknya suami-istri. Meskipun Ningsih tak bisa melihat wujud Bima, dia tetap menikmati setiap rasa yang selalu berhasil membuatnya puas. Entah mengapa, Ningsih mulai terbuai dengan semua kemudahan itu.
Bima menjanjikan harta melimpah, entah emas atau uang setiap kali selesai mengunjungi Ningsih. Benar adanya, Bima menepati semua janji. Ningsih merasa puas dan senang dengan semua itu.
"Aku tidak perlu khawatir tentang keuangan. Lagi pula, usahaku sudah dibuka dan hasilnya lumayan. Walau hanya warung mie ayam jamur, tetapi hasilnya luar biasa laris. Ditambah semua uang dan emas hasil berhubungan dengan Bima! Tak perlu lagi susah payah seperti dahulu." gumam Ningsih pada dirinya sendiri sambil menatap cermin. Seperti biasa, sebelum mengunjungi tempat usaha, Ningsih selalu berdandan.
Makin hari, Ningsih terlihat semakin cantik. Terlebih ketiga pegawainya juga pintar bekerja. Ningsih tak perlu repot mengaturnya.
"Kalian bekerja dengan baik. Pertahankan dan tingkatkan, ya. Aku akan memberi kenaikan gaji jika bulan ini omset tercapai," ucap Ningsih dengan mantab.
"Siap, Bos!" jawab ketiga pegawai Ningsih bersamaan.
Dalam waktu yang cukup singkat, usaha Ningsih berkembang. Total pegawai yang Ningsih miliki tujuh orang dan tempat usaha Ningsih sudah lebih maju, dibentuk seperti restauran kekinian. Ningsih merasa bahagia dengan kemajuannya saat ini.
***
Dua tahun kemudian ....
Ningsih hidup sebagai istri Bima selama dua tahun ini. Semua berjalan lancar sampai Wahyu genap berusia tiga tahun. Ningsih berjumpa dengan seseorang lelaki yang mengusulkan untuk membuka cabang dan memperluas usaha mie ayamnya. Nama lelaki itu adalah Tomi.
Tomi berusia empat puluh tahun dan orangnya baik sekali. Dia duda dan belum punya anak, dia bercerai karena istrinya selingkuh. Tomi tidak bisa memiliki keturunan, oleh sebab itu dia senang bermain dengan Wahyu. Hal itu membuat Ningsih bersimpati dengan Tomi.
Ningsih menjalin kerja sama dengan Tomi. Oleh karena itu, mereka sering bertemu dan berinteraksi dengan baik. Hari-hari berlalu dengan cepat. Keakraban mereka semakin terasa. Hampir setiap hari Tomi mengunjungi Wahyu dan mengajak bermain. Hingga, suatu ketika dia mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan hatinya kepada Ningsih.
"Dek Ningsih, maukah Adek menjadi pendampingku? Sudikah Adek menjadi istriku? Serta Wahyu menjadi anakku?" ucap Tomi terlihat sangat mantab dan bersungguh-sungguh.
Belum sempat Ningsih menjawab, tiba-tiba terdengar suara Bima menggelegar.
"TERIMA SAJA NINGSIH. AKU BUTUH RAGANYA UNTUK BERSANDING DENGANMU."
Tentu saja hanya Ningsih yang bisa mendengar suara Bima. Ningsih pun sangat galau. Bingung karena Tomi sangat baik padanya dan wahyu. Namun, jika Ningsih menerimanya, sama saja dengan mengorbankan Tomi. Bukankah setiap lelaki yang menjadi suami Ningsih akan menjadi tumbal? Pasti Bima akan membuat Tomi celaka cepat atau lambat.
Namun, jika Ningsih menolaknya, kemungkinan Tomi akan patah hati. Dia terlalu baik dan Ningsih tak tega menyakiti hatinya. Kembali lagi, Ningsih tak berani membantah perkataan Bima, suami gaib yang membuatnya kaya raya.
"Mas Tomi, aku bersedia, Mas. Namun, Mas janji, ya, jika aku mengenalkan Mas ke keluarga, Mas bilang kalau semua usaha dan kesuksesan ini milik Mas. Mas bilang saja kalau aku ini dahulu menjadi pegawai Mas." jelas Ningsih sebagai permintaan.
Ningsih memanfaatkan situasi ini agar keluarganya di desa tidak curiga atas kekayaan yang dia dapat. Pastinya, syarat itu tidak sulit bagi Tomi.
"Baik, Dek. Apa pun permintaan Dek Ningsih, akan kukabulkan. Berarti, Adek mau 'kan menikah denganku?" Tomi kembali memastikan jawaban Ningsih.
Ningsih mengangguk dan tersipu malu. Tomi lekas memeluk dan mengecup kening Ningsih. Rasa hangat tubuh Tomi membuat sensasi yang berbeda dengan Bima yang tak beraga.
***
Dua Bulan kemudian ....
Pernikahan diadakan begitu meriah dan semua keluarga Ningsih kagum melihat keberuntungan yang digapainya. Suami penyayang dan kaya raya. Tentunya banyak orang di desa Ningsih mulai membicarakan hal itu.
Terlebih, keluarga Agus. Mereka terlihat tidak suka dengan pernikahan Ningsih dan Tomi. Mereka pun tidak menghadiri pernikahan itu meski sudah diundang dan dimintai restu. Bahkan, sempat mengumpat tentang kematian Agus. Mereka belum ikhlas melepas kepergian Agus yang terlalu cepat.
"Ahh, biarlah! Lagi pula aku sudah ke sana meminta restu dengan baik dan membawa sejumlah sembako serta uang untuk membantu pengobatan Ibunya Mas Agus. Mereka saja yang tak tahu berterima kasih!" gerutu Ningsih yang kesal dengan perlakuan keluarga besar Agus.
Mulai saat ini, Ningsih tidak mau terlalu pusing memikirkan keluarga dari Agus. Dia mempunyai kehidupan baru yang harus dijalani sebaik mungkin.
Malam pertama saat Ningsih dan Tomi hendak bercinta, ternyata Bima datang dan memasuki tubuh Tomi. Benar-benar Bima yang melakukannya. Ningsih bisa merasakan sentuhan dan sensasinya tetap sama seperti saat bergumul tanpa raga.
Ciuman yang ganas, sentuhan, serta permainan dan hentakan kuat yang membuat Ningsih mendesah dan meraih kenikmatan duniawi. Bima sangat pintar memperlakukan Ningsih hingga menjadi seperti budaknya.
"HA HA HA ... ISTRIKU SANGAT MENIKMATI INI. AKU AKAN MEMBERIMU LEBIH BANYAK HARTA, TETAPI INGAT SATU HAL, JANGAN SAMPAI KAMU MENCINTAI SUAMIMU!" tegas Bima yang merasuki tubuh Tomi.
Walau di tubuh Tomi, suara Bima tetap sama mengelegar dan membuat Ningsih merinding. Ningsih pun mengiyakan perkataan Bima. Dia tidak memiliki pilihan lain, bukan?
Keesokan paginya, Ningsih menemukan beberapa emas di bawah bantalnya. Ningsih mengecup kening Tomi. "terima kasih Bima, terima kasih Mas Tomi. Hidupku sangat sempurna." batinnya.
"Ahh, sudah bangun, Dek?" ucap Tomi terbangun dari tidurnya.
"Hmm, sudah, Mas. Aku buatin minum dulu, ya." Ningsih bangkit dari ranjangnya dan bergegas ke dapur. Hampir saja ketahuan ketika memegang emas di bawah bantalnya. Ningsih harus lebih berhati-hati lagi.
Setiap harinya, Wahyu selalu bersama Mak Sri. Mereka bagaikan nenek dan cucu, sangat lengket. Mungkin karena Ningsih sibuk bekerja dan mengelola beberapa cabang restaurannya, jadi dia kurang memperhatikan Wahyu.
Namun, Ningsih sangat salut dengan Tomi. Dia selalu menyempatkan diri untuk bermain dengan Wahyu sebelum dan sesudah berangkat kerja. Mungkin karena Tomi sangat rindu kehadiran buah hati.
"Ahh, rasanya sedih jika ingat Bima bisa sewaktu-waktu mengambil Mas Tomi dari sisiku, dari sisi Wahyu." gumam Ningsih sambil menatap kebersamaan Tomi dan Wahyu.
Ningsih menjalani hari-hari sebagaimana keluarga utuh semestinya. Namun, hampir setiap malam Bima datang dan membuat Tomi kehilangan kesadaran. Mengambil alih tubuhnya untuk menyentuh Ningsih. Bagaimana Ningsih bisa menolak? Semua kenikmatan duniawi disuguhkan untuknya. Kepuasan sek*ual dan harta yang hentinya mengalir untuk Ningsih.
"Dek, apakah Adek bahagia menikah denganku?" tanya Tomi pada suatu pagi.
"Tentu, Mas. Tumben Mas tanya begitu." Ningsih tersenyum manja menatap suaminya.
"Mas hanya takut kalau Adek tidak bahagia. Mungkin rasa trauma akan kejadian dahulu belum pudar. Apalagi, Adek cantik sekali. Pasti banyak lelaki yang menggoda."
Tak disangka, Tomi masih trauma akibat kegagalannya dahulu. Ningsih pun memeluk tubuh suaminya dengan lembut dan manja.
"Mas, tidak akan terjadi hal itu. Ningsih sayang Mas Tomi. Mas percaya 'kan pada Ningsih?"
Tomi pun mengusap lembut rambut istrinya, "Mas percaya padamu, Dek. Semoga kita bisa bersama sampai menua nanti."
Ningsih terdiam mendengar ucapan Tomi. Jelas itu hal yang mustahil untuk diwujudkan. Ningsih hanya bisa bersama Bima. Tomi hanyalah suami di dunia untuk sesaat. Ningsih meneteskan air mata dalam hening. Lelaki baik seperti Tomi pun akhirnya akan terlepas dari pelukkannya.
🍀 KHAWATIR 🍀
Hari berganti hari ... kehidupan rumah tangga Ningsih dan Tomi berjalan lancar. Namun, Tomi mulai menaruh curiga atau tepatnya merasa ada yang aneh. Mungkin karena setiap bercinta, Bima yang mengambil alih tubuhnya.
"Dek Ningsih, kok aku heran, ya. Sejak awal kita menikah, aku selalu ketiduran kalau malam. Mas belum jadi menjamahmu. Maaf ya, Dek." ucap Tomi yang merasa bersalah.
Perkataan Tomi itu justru membuat Ningsih deg-degan. Ningsih takut kalau Tomi sadar tentang adanya Bima. Wanita itu mencoba mencari alasan. Takut jika pertanyaan Tomi semakin meluas.
"Mas Tomi 'kan capek bekerja. Lagi pula, Mas selalu memanjakan aku dan Wahyu. Mas jangan berfikir aneh-aneh, ya. Adek cinta Mas Tomi," jawab Ningsih dengan manja sambil bersender di pundak Tomi. Berharap lelaki yang menjadi suaminya itu luluh dan tidak curiga.
"Adek perhatian sekali. Mas jadi makin sayang. Tapi sungguh, aku ingin sekali memanjakanmu. Nanti, kuusahakan akan pulang awal dan tidak kecapekan, ya," bisik Tomi sambil mengusap kening istrinya.
Ningsih hanya tersenyum manja menanggapi hal itu. Meskipun Tomi tidak lelah, jika Bima tidak mengijinkannya menyetubuhi Ningsih, tentu tidak akan terjadi. Tomi seakan tak lagi menaruh curiga, mungkin dia menyadari tentang faktor usianya.
Beda halnya Mak Sri yang tak sengaja mendengar perkataan Tomi. Raut wajah Mak Sri sedikit berubah antara kaget dan bingung. Apakah mungkin Mak Sri mengamati Ningsih dan Tomi? Atau Mak Sri tahu jika setiap hari Ningsih bercinta dengan raga Tomi?
Walau pernikahan Ningsih sudah tiga bulan, hal tentang Bima tetap dia sembunyikan rapat. Ningsih berharap bisa bersama Tomi lebih lama lagi. Keromantisan, kebaikan, perhatian, dan kasih sayangnya ke Wahyu membuat Ningsih sangat kagum.
'Semoga hal ini bisa berjalan lebih lama, ya Mas. Mas Tomi memang suami idaman.' batin Ningsih yang menatap Tomi berangkat kerja terlebih dahulu.
Ningsih tak sadar, jika Bima tahu semua isi hati dan pikirannya.
"NINGSIH OH NINGSIH! KAU SANGAT EGOIS DAN SERAKAH! AKU ADALAH SUAMIMU YANG SEBENARNYA! MENGAPA KAU MEMIKIRKAN MANUSIA ITU?"
Suara Bima mengglegar membuat lamunan Ningsih ambyar dan ketakutan. Merinding sekali mendengar Bima cemburu. Dia pun lekas meminta maaf dalam hati.
'M-maaf Bima. Aku tidak bermaksud seperti itu. Maafkan aku.'
Ningsih sadar suaminya hanyalah Bima. Agus maupun Tomi bukan suaminya lagi. Mereka hanyalah batu loncatan untuk Ningsih mendapatkan harta dari Bima. Layaknya sesaji yang akan diambil jika waktu yang ditentukan tiba.
'Aku tidak boleh terhanyut oleh perasaanku terhadap Mas Tomi. Aku takut. Sangat takut! Takut Bima membuatku miskin lagi seperti dulu!' batin Ningsih di dalam hati.
Trauma akan hidup susah membuat Ningsih gelap mata. Bahkan, seorang sebaik Tomi pun tak mampu mengubah kata hatinya. Ningsih tetap dalam pendiriannya bersama Bima. Dia paham, cepat atau lambat hal itu pasti terjadi. Sesuai perjanjiannya dengan Bima, lelaki yang menjadi suami Ningsih dan telah melakukan hubungan badan, pasti menjadi sesaji untuk Bima.
***
Beberapa hari kemudian ....
Pagi itu, Ningsih merasa resah karena semalam Tomi bercinta dengannya. Bima tidak datang mengambil alih tubuh Tomi seperti biasanya. Meskipun rasanya berbeda, tetapi perasaan Tomi yang mendalam membuat Ningsih terhanyut dalam setiap sentuhan.
Entah mengapa, perasaan Ningsih berkata akan ada hal buruk. Terlebih Tomi sudah melakukan hubungan dengannya tanpa Bima menggunakan raga lelaki itu. Apakah Bima merencanakan sesuatu? Kembali teringat ucapan Bima beberapa hari yang lalu. Mungkinkah Bima cemburu, lalu segera mengambil Tomi dari sisi Ningsih?
Hari ini, Tomi tidak pergi bekerja. Ada saudara Tomi yang sakit dan dirawat di ICU. Oleh sebab itu, Tomi izin pergi ke Klaten menengok saudaranya. Dia diantar oleh sopir pribadinya, bernama Pak Ridwan.
Sebelum pergi, Mas Tomi memeluk Ningsih dan mengecup keningnya, "Mas sangat beruntung memilikimu, Dek."
"Iya, Mas. Ningsih juga beruntung memilikimu, Mas." jawab Ningsih yang menatap kepergianTomi.
Tomi pun berlalu dengan mobilnya. Ningsih hanya bisa terharu dan merasa takut melepasnya pergi karena Bima berkata,
"SUDAH SAATNYA AKU MENGAMBIL SESAJIKU! NINGSIH, KAU HANYA MILIKKU!"
Kalimat itu jelas menggambarkan ketakutan Ningsih selama ini. Akankah Tomi berakhir tragis seperti kecelakaan yang terjadi pada Agus? Ningsih sangat takut dan khawatir.
"Bagaimana perjalanmu, Mas? Meski pergi dengan Pak Ridwan-sopir pribadimu, aku tetap cemas memikirkanmu." gumam Ningsih yang berjalan tak tentu arah di dalam rumahnya.
Mak Sri yang melihat Ningsih mondar mandir di ruang tamu pun menepuk pundak Ningsih dari belakang, hingga Ningsih kaget.
"Ada apa, Bu? Kok, terlihat cemas dari tadi?"
"Anu, Mak. Duh, kaget aku. Aku tidak apa-apa. Hanya perasaanku saja. Kurang enak badan, mungkin masuk angin. Wahyu sudah tidur siang, Mak?" jawab Ningsih sembari mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Sudah, Bu. Apa mau dikerokin, Bu?"
"Nggak usah, Mak Sri. Aku istirahat saja hari ini, tidak pergi ke mana-mana." kata Ningsih sambil bergegas masuk ke kamar untuk menghindari pertanyaan Mak Sri lagi.
Warung-warung mie ayam Ningsih memang bertambah banyak. Sebenarnya, bangunan dan style sudah berubah lebih kekinian. Orang zaman sekarang menamai dengan istilah restauran atau cafe. Namun, bagi Ningsih itu hanya warung-warung saja. Sebagai manusia biasa, dia mempunyai impian dan cita-cita yang lebih tinggi. Tidak hanya berhenti di warung mie ayam & jamur.
Meskipun Tomi juga kaya raya, tetapi sejak awal Ningsih tidak ingin pindah rumah karena lebih nyaman di rumah yang dia beli sendiri. Oleh karena itu, Tomi tidak mempersalahkan untuk tinggal di rumah Ningsih. Tomi sudah menjatuhkan ahli warisnya kepada Wahyu, walaupun hanya anak tiri, bagi Tomi tetaplah anak kandung. Mungkin hal itu karena Tomi tidak bisa memiliki keturunan.
"Semoga semua baik-baik saja ya, Mas Tomi. Aku merindukanmu, sungguh." Ningsih memandangi foto pernikahannya di dalam kamar. Terpampang rapi di dinding.
Hawa panas yang Ningsih rasakan membuatnya semakin gerah. Dia putuskan untuk mandi sejenak, menghilangkan kegelisahan dan kegerahan. Menyalakan shower dengan air segar yang mengucur ke tubuh indahnya. Menggosok setiap inci tubuh mulusnya. Ningsih hanya berharap semua akan baik-baik saja.
Selesai mandi, Ningsih bergegas memakai pakaian lalu sejenak rebahan di ranjang. Diambilnya gawai yang berada di sudut meja. Ternyata, ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomer tidak dikenal. Perasaan Ningsih semakin tidak karuan. Ningsih segera menelepon balik, berharap bukan hal yang buruk.
'Siapa yang menelepon berkali-kali? Pasti bukan Mas Tomi. Dia hanya memiliki satu nomer ponsel.' batin Ningsih sambil menunggu teleponnya diangkat oleh orang tersebut.
Tut ... tut ... tut ....
"Hallo?"
Telepon itu pun tersambung. Suara seorang lelaki terdengar membuat Ningsih khawatir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!