NovelToon NovelToon

Restless

Awal Pernikahan

Nina menatap kain putih di ruang jenazah. Hatinya merasa ragu, apakah ia harus menghampirinya atau tidak. Apakah ia harus menangis atau hanya menitikkan air mata saja? Yang jelas hatinya merasa bergetar saat pertama kali ia melihat kain putih menutupi jenazah itu. Seseorang yang selama ini telah hidup bersamanya selama beberapa tahun.

Perlahan, ia mendekati jenazah itu. Doni Suherman. Ya. Doni adalah mantan suami Nina. Nina mendapat telpon bahwa Doni mengalami kecelakaan di tengah jalan pagi ini. Nina sebenarnya tidak percaya dengan kematian Doni yang dirasa begitu tiba - tiba seperti ini. Tapi, ia juga tidak heran jika suatu hari nanti, hal ini terjadi pada Doni, mantan suaminya.

Akhirnya, Nina membuka kain putih yang menutupi wajah Doni. Melihat betapa rusaknya wajah Doni hingga luka yang ada di kepala. Menurut polisi, Doni sempat mengalami kebocoran di kepalanya.

Hati Nina terasa sesak. Ia ingin sekali menangis. Tapi entah mengapa, air matanya tidak bisa keluar sama sekali. Kerongkongannya juga tercekat dan pada akhirnya ia tetap tidak bisa mengeluarkan air matanya. Seulas senyum tipis muncul di wajah Nina. Melihat keadaan Doni saat ini, ia merasa beban berat yang telah mengisi jiwanya selama ini, terangkat sudah. Nina menghela napas lega. Dan keluar dari ruang jenazah.

"Bagaimana, Bu? Benar itu adalah Pak Doni yang Ibu kenal?" tanya seorang petugas polisi yang menunggunya di luar ruang jenazah.

Nina menghapus sedikit air mata yang telah tertahan di pelupuk matanya sejak tadi.

"Iya, Pak. Benar. Saya mengenalnya. Dia adalah mantan suami saya. Saya ingin tahu bagaimana dia bisa meninggal. Jika memang harus ada autopsi, lakukan saja." kata Nina.

"Ibu yakin? Lalu, kami harus mendapat persetujuan dari keluarganya terlebih dahulu."

"Iya, Pak. Bagaimana juga, keluarga harus tahu apa penyebab mantan suami saya meninggal." jawab Nina terdengar ringan.

"Baik, Bu. Akan saya ajukan segera permintaannya."

Nina mengangguk dan menunduk lemas. Ia berjalan perlahan. Memikirkan bagaimana sekarang? Apakah ia harus merasakan kesedihan? Sedangkan sudah terlalu banyak yang Doni lakukan hingga membuatnya sakit hati. Paling tidak, ia harus mengabari Sinta. Istri sah Doni sekarang. Ia mengeluarkan ponselnya. Dan menelpon keluarga Doni yang berada di luar kota. Ia mengabarkan bahwa Doni sudah tiada.

*****

Tahun - tahun sebelum Doni meninggal...

Nina merasa terganggu dengan ponsel Doni yang terus berbunyi. Pesan teks masuk dengan kata - kata mesra. Nina menatap layar ponsel Doni dengan geram.

"Mau apa dia telpon kamu sampai kirim SMS begini?" tanya Nina dengan kesal. Alih-alih menenangkan Nina, Doni menjawabnya dengan santai.

"Biarin aja. Nanti juga berhenti." jawab Doni sambil melihat beberapa kertas pekerjaannya.

"Aku pikir, setelah kita menikah, kamu bisa sedikit berubah dengan kebiasaanmu ini. Tapi sekarang, apa bedanya kamu? Kamu sama saja kayak dulu. Selalu tebar pesona, merasa sok ganteng sampe laki - laki yang udah menikah masih terus dihubungi seperti ini." Nina merasa kecewa dengan Doni yang tidak bisa menghargai dirinya sebagai istri.

Tidak sedikitpun ia merasa bahwa Nina, kini adalah istrinya yang berharga. Bahkan telpon dari wanita lain, diabaikan begitu saja yang membuat hati Nina kesal. Doni tidak menjawab. Ia hanya mendegar ucapan Nina. Nina melempar ponsel Doni ke atas kasur. Ia keluar dari kamarnya.

Nina menghabiskan malam itu dengan tidak berbicara. Maupun Doni. Nina tetap tidur satu ranjang dengan Doni tapi ia memunggungi wajah Doni. Ia tidak pernah habis pikir, di awal pernikahan mereka sudah begitu menyakitkan. Bagaimana dengan nanti? Harus bagaimana ia menghadapi Doni yang diluar jangkauannya ini?

*****

Sudah sebulan Nina resign dari pekerjaannya. Semenjak mengurus pernikahannya dengan Doni, ia terlalu banyak absen dan mendapat surat peringatan dari kantornya. Kini, ia hanya duduk diam di kontrakannya sambil mengganti chanel televisi.

Dulu, Nina berpikir kalau menunggu suami pulang dari bekerja adalah hal yang menarik dan menyenangkan. Tapi, lagi-lagi, semua itu hanya ada dalam imajinasi Nina saja.

Doni mematikan mesin motornya yang ia parkir di depan pintu kontrakannya. Ia membuka pintu dan melihat Nina menyambutnya. Ia menghela napas beratnya dan memberikan tas pada Nina.

"Ada makanan apa?" tanya Doni membuka kancing kemejanya.

"Aku buatkan sayur sop dan ayam goreng. Mau makan sekarang?" tanya Nina menaruh tas Doni di atas meja.

"Siapkan saja. Aku mau mandi dulu." jawab Doni mengambil handuk dan memasuki kamar mandi.

Nina hanya tersenyum getir melihat Doni yang tidak nelihat wajahnya sama sekali. Ia hanya menuruti kata Doni untuk menyiapkan makanannya. Baru terhitung sebulan menikah. Apakah Doni sudah merasa jenuh dengan pernikahannya?

Nina memang belum hamil juga. Tapi apakah karena itu Doni bersikap tidak perduli padanya?

Esoknya, Nina melepas penat dengan bertemu teman - temannya. Ia merasa semenjak menikah, Doni tidak lagi menampilkan kesan bahwa dirinya pribadi yang menyenangkan dan asik untuk diajak berbicara. Doni cenderung menutup dirinya. Apa karena wanita kemarin?

Nina menggelengkan kepalanya dan menghapus pikiran buruk itu.

Setelah bertemu dengan teman-temannya, kepala Nina terasa pusing. Badannya juga lelah. Ia ingin sekali istirahat dan merebahkan tubuhnya.

Doni baru saja selesai mandi dan mengeringkan badannya.

"Kamu kenapa?" tanya Doni melihat Nina yang tidak bersemangat.

"Aku pusing. Aku juga capek banget." jawab Nina.

"Masuk angin?" Doni merasa sedikit khawatir dengan Nina.

"Enggak tahu."

"Yaudah. Istirahat saja." jawab Doni yang kemudian kembali membuka laptopnya untuk melanjutkan pekerjaannya. Nina hanya tiduran dan sesekali mengoleskan minyak di keningnya. Memijit sedikit dan memejamkan matanya.

Paginya, Nina merasa perutnya mual. Ia memuntahkan cairan di kamar mandi. Bukan makanan ataupun asam lambungnya yang sedang naik. Tapi hanya berupa air yang ia muntahkan. Setelah muntah di kamar mandi, ia merasa lega, tetapi badannya masih terasa lelah dan kepalanya juga pusing.

Nina mencoba mengecek tanggalan haidnya. Ia belum haid juga selama sebulan lebih ini. Ia menelpon salah satu sahabat yang selama ini selalu ia percaya untuk menceritakan segala sesuatunya.

"Kar, kenapa ya kok aku selalu merasa pusing dan mual. Sudah beberapa hari ini. Dan tadi pagi aku muntah."

"Kamu masuk angin mungkin. Udah minum obat?" tanya Karina yang menyahut dari seberang telpon.

"Aku udah minum tolak angin dan pakai minyak kayu putih juga. Tapi masih mual aja gitu." jawab Nina.

"Kamu hamil, mungkin. Coba cek. Kapan terakhir kali kamu haid." kata Karina membuat Nina teringat kalau sudah sebulan ini ia tidak mendapat haid.

"Sudah sebulan lebih dua minggu aku nggak dapat haid, lho, Kar." jawab Nina.

"Kamu beli testpack, Na. Kamu cek besok subuh-subuh dari air mani kamu yang pertama. Jangan lupa ya. Sekarang kamu istirahat dulu aja. Gausah capek-capek."

Nina mengiyakan perkataan Karina. Setelah menutup telponnya, ia merebahkan tubuhnya dan memang benar. Ia merasa amat lelah, jadi ia ingin sekali memejamkan matanya yang mengantuk.

*****

Salah satu staff di kantor Doni, menaruh kotak makan di meja Doni. Doni melihat siapa yang memberikan kotak makan itu.

"Kamu nggak bawa bekal lagi, kan? Nih, aku bawakan bekal." kata seorang wanita yang sebenarnya sudah tidak asing bagi Doni.

"Kamu lagi." kata Doni melanjutkan pekerjaannya.

"Kenapa sih kamu tiap aku telpon nggak mau angkat? Ya terpaksa deh aku pura-pura anter makanan dan sekalian lihat kamu. Kalo nggak begitu, mana bisa lihat kamu." sahut wanita itu.

"Aku kan sudah bilang, itu istriku ngomel-ngomel kalau lihat kamu telpon." jawab Doni.

"Ya, kenapa harus marah? Lagipula setahuku kamu menikah sama dia karena kamu sudah pacaran lama sama dia. Belum tentu cinta itu masih ada dihati kamu." wanita itu masih berusaha agara Doni masih bisa melihat dirinya yang selalu ada untuknya.

"Cukup, Meri. Dia istriku. Tidak perlu bicara macam-macam." Doni memutus ucapan Meri yang dirasa sudah sangat mengganggunya.

"Oke. Oke. Anggap aja hari ini aku masih berusaha untuk dapatin hati kamu. Tapi suatu hari nanti, aku bisa dapatin hati kamu. Lihat saja." Meri berlalu dari hadapan Doni. Dan meninggalkan kotak makanan diatas mejanya.

Doni menghela napas pendek. Wanita itu, Meri, sangat rajin membawakan kotak makanan walaupun sudah berkali-kali ia tolak, bahka Doni tidak memakannya sama sekali. Tapi wanita itu tetap gigih membawakannya. Dalam hati kecil Doni, ia berharap suatu hari nanti Nina akan membawakan kotak bekal setiap harinya.

Saat sampai di kontrakkan, Doni melihat Nina lagi-lagi hanya merebahkan diri di atas kasurnya. Sebenarnya, Doni merasa jengkel karena sudah beberapa hari ini, Nina hanya tiduran saja diatas kasur.

"Kamu sakit lagi?" tanya Doni terdengar tidak hangat di telinga Nina.

"Iya." Nina hanya menjawab pendek pertanyaan Doni.

"Masih belum sembuh?"

Nina membalikkan badannya dan menatap Doni yang terasa asing bagi dirinya.

"Aku sudah telat haid. Besok aku mau minum pelancar haid." kata Nina kesal.

Namun, beda lagi reaksi Doni. Ia sedikit terkejut dengan apa yang baru saja Nina katakan.

"Jangan. Kalau kamu hamil, gimana?" tanya Doni.

"Ya nggak gimana-gimana. Kalau hamil ya hamil aja." jawab Nina sama cueknya dengan Doni tadi.

"Lho, kok ngomongnya begitu?"

"Emang kamu senang kalau aku hamil?" tanya Nina ingin tahu reaksi Doni yang selama ini sama sekali tidak mempedulikan keadaan dirinya.

"Lho, kok begitu? Kalau kamu nggak hamil, ya aku akan ninggalin kamu!" jawab Doni ketus.

Nina terdiam. Reaksi macam apa yang baru saja Doni katakan? Apakah seperti ini reaksi seorang suami ketika tahu istrinya akan segera hamil?

Imajinasi Nina tentang Doni yang bahagia dan akan memeluk dirinya saat tahu bahwa ia hamil pupus sudah. Jangankan reaksi semacam itu. Bahkan, kalau Nina tidak hamil, Doni akan meninggalkannya. Lelaki macam apa yang bisa punya pikiran seperti itu?

Nina semakin kesal. Dan membiarkan Doni membersihkan dirinya sendiri. Nina menenggelamkan wajahnya diantar bantal dan menitikkan air mata yang langsung membasahi bantal kecilnya. Sakit sekali hati Nina mendengar ucapan suaminya seperti itu. Ingin rasanya ia segera pulang ke rumah Ibunya dan memeluknya.

Baru kali ini, ia merasa menyesal dalam memilih jalan hidupnya. Jalan hidupnya yang ia pilih tidak selalu berakhir bahagia bagi dirinya.

Testpack

Nina melihat testpack yang sudah ia lakukan sejak subuh tadi. Ia melihat berulang-ulang tidak percaya. Ulasan senyum di wajahnya menggambarkan dengan jelas bahwa ia positif hamil. Garis dua yang ia lihat, membuat hatinya semakin berbunga. Matanya bersinar terang dan ia menutup mulutnya. Ia tidak bisa mengontrol dirinya dengan kebahagiaan ini.

Dielus perutnya. Entah mengapa semangatnya kembali membara. Mungkin karena ia tahu akan ada seorang malaikat kecil yang akan mengisi hari-harinya mulai saat ini.

Dilihatnya Doni masih tertidur. Ia akan membangunkannya lima belas menit lagi. Semenjak Doni berkata begitu kemarin, entah kenapa, hatinya merasa pedih. Belum merasa baikan hingga saat ini. Ia merasa gelisah dengan hari-hari pernikahan berikutnya. Bisakah Doni menyayangi calon jabang bayi dari dalam perutnya dan tidak merespon wanita-wanita itu lagi?

Keraguan menyelimuti hati Nina. Hingga akhirnya lima belas menit berlalu dan Nina masih tetap diam dengan kehamilannya. Ia membangunkan Doni seperti biasa, menyuruhnya mandi dan sarapan.

*****

"Jadi kamu positif?" tanya Karina dengan wajah yang sumringah. Mereka bertemu di downtown, tempat diluar ruangan dengan angin sepoi-sepoi yang sejuk.

"Iya, aku merasa hatiku berbeda. Aku merasa bahagia dan aku akan berhati-hati mulai saat ini." jawab Nina dengan senyum mengembang diwajahnya.

"Lalu, bagaimana Doni? Apa dia sudah tahu?" tanya Karina.

"Entahlah. Semenjak perkataannya yang kudengar sejak kemarin, selalu saja menyakiti hatiku. Aku jadi malas memberitahunya." jawab Nina mengalihkan pandangannya.

"Kalau kamu malas memberitahunya, kamu kirim pesan saja. Yang penting kamu memberitahu. Dan kamu masih berusaha menghargai dia." saran Karina menyodorkan ponsel Nina agar segera memberi kabar pada Doni.

Nina menghela napas panjang.

"Baiklah. Aku akan kirim pesan. Semoga saja dia mengharapkan keturunan juga." jawab Nina.

"Huss!"

*****

Doni masih berkutat dengan pekerjaannya di kantor. Sesekali ia juga meregangkan tubuhnya karena merasa lelah. Ponselnya berbunyi, ada pesan masuk. Diceknya ponsel miliknya dan ada pesan dari Nina.

Aku sudah testpack hari ini. Dan hasilnya positif :)

Doni tersenyum membaca pesan teks dari Nina. Hatinya merasakan kebahagiaan. Akhirnya Nina hamil. Ia sangat bahagia mendapat pesan dari Nina.

Alhamdulillah. Jangan capek-capek ya. Istirahat.

Balas Doni mengirimkan pesan itu. Ia segera meletakkan ponselnya dan semangat untuk bekerja kembali terisi seperti daya baterai.

Tek.

Meri kembali meletakkan kotak makanan di meja kerja Doni. Doni menatap Meri yang tersenyum dengan sangat cantik.

"Apa ini?" tanya Doni.

"Makan siang. Kamu pasti nggak bawa bekal lagi kan?" tanya Meri dengan wajah yang tersenyum cantik pada Doni.

Doni menghela napas dan menyandarkan badannya di kursi kerjanya.

"Sampai kapan kamu mau membawakan aku makanan seperti ini?" tanya Doni.

"Sampai kamu mau menerima aku." jawab Meri terdengar santai.

"Aku nggak bisa, Meri. Nina hamil dan aku bahagia mendengar kabar bahwa dia hamil." jawab Doni.

"Aku juga bisa hamil." kata Meri terdengar sengit di telinga Doni.

"Hentikan, Meri. Usahamu ini sia-sia." jawab Doni.

"Doni. Kamu pikir aku tidak tahu siapa kamu? Kamu itu dari keluarga broken home. Satu kasih sayang dari seorang wanita lain akan membuat kamu merasa diatas awan meskipun kamu sudah punya istri. Kamu merasa ada seseorang yang bisa memperhatikan kamu selain Nina. Aku pastikan, kalau Nina tidak hamil, sebentar lagi kamu jatuh ke pelukanku. Tapi, baiklah. Kali ini aku akan kembali memahami, Nina sedang hamil. Kamu sedang bahagia. Tapi ketika Nina sudah hamil besar dan sibuk dengan perubahan yang ada ditubuhnya, aku pastikan jiwa kamu yang haus akan kasih sayang akan kembali muncul." kata Meri menatap Doni dengan dalam.

Doni hanya mendengarkan ucapan Meri. Tidak sepenuhnya salah. Meri benarnya. Doni berasal dari keluarga broken home, dimana orangtuanya selalu mengutamakan kakaknya dibanding dirinya. Tapi Doni tidak ingin termakan dengan ucapan Meri yang bisa saja membuat pikirannya terganggu.

"Terima kasih atas perhatian kamu, Meri." jawab Doni dengan senyum. Meri tidak berkata apa-apa lagi. Ia segera meninggalkan meja kerja Doni. Tanpa ada pikiran apapun, Doni melanjutkan pekerjaannya lagi.

****

Nina mendengar suara motor Doni yang baru saja sampai di depan pintu kontrakannya. Baru saja nasi matang. Dan tumben-tumbennya Doni menyuruhnya agar tidak masak hari ini. Apakah karena tahu Nina hamil?

Nina mencoba menghapus perasaan sakitnya dengan perkataan Doni. Ia melihat Doni membawa sesuatu di tangan kirinya.

"Yuk, kita langsung makan." kata Doni memberikan bungkusan itu pada Nina.

"Tumben kamu jajan. Biasanya nggak mau." kata Nina memindahkan sate ayam yang ada di kertas ke atas piring.

"Ya, nggak apa-apa, lagi mau aja. Lagipula itu kan sate yang dulu biasa kita makan." jawab Doni.

Deg.

Ternyata Nina masih ingat dengan makanan favorit mereka saat pacaran dulu. Mungkin memang benar, bahwa perkataan Doni kemarin hanyalah sementara. Nina mencoba memaafkannya walau tidak ada satupun perkataan maaf dan menyesal dari Doni. Nina berusaha mengikhlaskan apa yang terjadi.

Nina menyiapkan nasi dan makan sate bareng suaminya, Doni. Nina berharap kebahagiaan kecil ini, tidak pernah sirna.

"Bagaimana Meri?" Nina mencoba membuka pembicaraan, sekaligus ingin tahu apakah dia masih berhubungan dengan Meri atau tidak.

"Nggak gimana-gimana." jawab Doni masih fokus dengan makanannya.

"Nggak gimana-gimana apa maksudnya?" Nina masih belum jelas dengan jawaban Doni.

"Ya dia kerja kayak biasa. Aku juga kerja. Begitu aja." jawab Doni terdengar santai.

"Kalian nggak makan bareng? Atau saling tanya pekerjaan?" Nina berusaha menstabilkan emosinya. Ia tidak ingin terdengar cemburu dimata Doni.

"Ya, tanya. Tapi kan cuma sebatas pekerjaan."

"Terus, gimana yang dia suka telpon-telpon dan kirim pesan itu?" Nina masih ingin mendapat penjelasan dari Doni.

"Aku nggak ada apa-apa kok sama dia. Lagipula sekarang mana? Dia nggak telpon lagi kan?" tanya Doni.

Nina diam saja. Karena memang benar sudah tidak ada telpon dari Meri lagi. Nina menganggap kalau Doni sudah memperingatinya agar tidak menganggunya lagi.

"Yaudah kalau begitu." jawab Nina. Ia melahap kembali sate yang dibelikan Doni. Ia mencoba berpikir positif dan tidak berburuk sangka pada Doni.

"Besok-besok bawa makanan lagi dong." kata Nina mengalihkan pembicaraan.

"Iya, boleh. Tapi jangan sering-sering ya. Sesekali nggak apa-apa." sahut Doni.

"Oke deh." Nina tersenyum melihat sikap Donu hari ini. Tidak membuatnya jengkel dan hatinya merasa bahagia. Nina berharap, kedepannya, Doni bisa seperti ini terus agar pernikahannya bahagia.

Sebenarnya, Doni tidak sepenuhnya buruk dimata Nina. Hanya saja beberapa sifat Doni yang terkadang membuat mental Nina sedikit merasa down. Setelah menikah, Doni langsung mengajak Nina keluar dari rumah orangtua Nina. Sebenarnya sedikit jengkel, karena perjanjiannya tiga hari setelah menikah, baru mereka akan pindah ke kontrakkannya. Tapi, baru semalam saja, Doni sudah minta keluar dari rumah orang tua Nina.

*Sebelum menikah...

Selalu ada perdebatan antara orang tua dan anak mengenai calon pasangannya. Apalagi, Doni termasuk anak rantau dari luar kota yang jarang sekali ditemui Nina. Belum tentu sebulan sekali mereka bisa bertemu.

"Kenapa kamu harus sama dia?" tanya Mama terdengar kecewa.

"Dia baik, Ma. Dia juga dewasa."

"Kamu tahu darimana dia baik? Ketemu seminggu sekali juga engga." Mama masih berusaha membuka pikiran Nina agar bisa menerima apa yang Mama ucapkan.

"Memang kenapa, Ma? Mama nggak suka sama Doni?" tanya Nina mulai sedikit kesal dengan apa yang Mama bicarakan. Iya. Pada saat itu, Nina dibutakan cinta oleh Doni. Ia ingin sekali menikah dengan Doni karena tidak ingin lagi berpisah dengan jarak antar kota.

Doni akan melamarnya dan Mama semakin kacau. Pikirannya semakin takut, putri kecilnya akan menikah dengan orang yang jauh yang tidak terlalu dikenalnya. Hati Mama sedih. Sakit. Dan entah apa yang harus diucapkan lagi. Nina tidak mau menerima nasehat dari Mama. Ia sudah terlalu cinta dengan Donu yang ia pikir bisa membuatnya bahagia. Tapi ternyata, Nina memang benar-benar buta. Rasa sakit hatinya dulu meninggalkan pacarnya, tidak ingin terulang. Ia berusaha mempertahankannya apapun yang terjadi.

Tapi sayang. Nina benar-benar malang. Ia belum tahu seperti apa kejamnya dunia ketika ia pijaki. Usianya baru diawal dua puluhan ketika ia memutuskan menerima lamaran Doni. Itu berarti, Nina sudah harus siap membuang masa mudanya dengan hanya hidup bersama seorang lelaki.

Merelakan mimpi dan harapannya menjadi anak kuliah hingga mengenakan topi toga disaat wisuda. Mama menyayangkan, mengapa Nina berani mengambil resiki seperti ini. Pikiran Mama berkecamuk. Ia merasa menyesal karena dulu menentang habis-habisan hubungannya dengan Rico.

Seharusnya, Mama setujui saja hubungannya dengan Rico. Paling tidak, Rico sudah sangat tulus. Baik. Dan Mama bisa setiap hari melihat Rico bolak-balik ke rumahnya. Sedangkan Doni? Siapa Doni ini? Bagaimana keluarganya? Bagaimana kesehariannya? Mama tidak tahu. Mama hanya bisa menangis menyesali putrinya yang dibutakan cinta oleh lelaki entah darimana berasal.

Nina mengambil tasnya dan berpamitan pada Mama.

"Kamu mau kemana?" tanya Mama.

"Mau jemput Doni, Ma." jawab Nina santai.

"Jemput dimana?" Mama sudah mulai khawatir lagi.

"Ke stasiun. Doni hari ini mau datang ke Jakarta."

"Apa dia nggak bisa naik angkutan umum? Bis? Kenapa kamu harus jemput dia?"

"Dia kan dari luar kota. Nggak tahu jalan Jakarta." Nina berusaha memberikan penjelasan agar Mama bisa mengerti.

"Dia laki-laki. Kalau dia cinta sama kamu, dia bisa kok, tanya kesana kesini. Dan datang demi cintanya. Masa iya kamu jemput dia? Harga diri kamu sebagai perempuan dimana?"

Akhirnya Nina mengalah. Ia tidak jadi menjemput Doni. Doni merasa kesal Nina tidak bisa menjemputnya. Nina memberikan beberapa alasan karena tidak bisa menjemput Doni.

Ya. Sejak awal Mama sudah tidak setuju. Nina sudah tahu. Tapi Nina akan terus berusaha meyakinkan bahwa pilihannya tepat. Tidaklah salah. Tapi, Nina lupa satu hal. Ibu tetaplah Ibu. Bagaimanapun anaknya, kondisinya, sikapnya, Ibu akan tetap menyayangi Nina walau sudah menyakiti hatinya*.

Interview

Semakin hari, kehamilan Nina semakin terasa. Perutnya semakin mengeras dan ia melahap beberapa camilan dalam sehari. Doni pun terlihat biasa saja dengan kehamilan Nina. Tidak seperti pria pada umumnya yang sangat menantikan kehadiran sang buah hati suatu hari nanti.

Nina merasa di kehamilan pertama ini merasakan lelah. Ia juga kadang suka merasa pusing dan mual. Maka dari itu, ia beraktivitas seperlunya saja.

"Kamu masak lagi nggak hari ini?" tanya Doni suatu ketika.

"Aku baru mau beli bahan." jawab Nina.

"Yaudah, kita ke pasar bareng aja." jawab Doni.

Entah ada angin apa, Doni mengajaknya ke pasar. Nina merasa ada yang ajaib dari diri Doni.

"Kok tumben. Kenapa?" tanya Nina.

"Nggak apa-apa. Lagi pengen aja. Siapa tahu kan, ada yang mau aku beli." jawab Doni sambil menyalakan mesin motornya.

Nina merasa bahagia. Ia senang jika suaminya ingin ikut campur dalam hal memasak. Sebentar saja, Nina ingin melupakan perkataan Doni yang pahit. Ia ingin menikmati waktu bersama suaminya.

Nina mengambil cardigan dari lemarinya dan mengenakannya agar tidak kena angin.

Sesampainya di pasar, Doni memilih beberapa jenis ikan segar. Walau terkadang Nina merasa sedikit mual ketika melihatnya. Setelah membeli beberapa ikan air tawar, mereka menuju tempat sayur. Nina memilih sayur yang bisa langsung dimasak dan sayur yang bisa untuk stok keesokan harinya.

"Bagaimana aku membersihkan ikan itu? Mencium baunya saja aku sudah mau muntah." tanya Nina saat akan berjalan pulang.

"Aku saja yang bersihkan." jawab Doni santai. Nina tersenyum. Ini adalah momen yang langka. Dimana Doni mau membantu pekerjaan istrinya.

Sejujurnya, Nina senang dengan Doni yang seperti ini. Yang bisa mengerti keadaan seperti ini. Pasalnya, mereka hidup hanya berdua. Sudah seharusnya saling membantu bukan?

Doni membersihkan ikan, sementara Nina memotong sayuran. Mereka bekerja sama untuk memasak sehingga kebersamaan mereka tidak bisa dilupakan oleh Nina.

*****

Doni pamit pada Nina berangkat kerja seperti biasa. Nina masih berdiam diri di rumah dengan kehamilan yang belum besar. Ponsel Nina berdering. Dan ia mendapat telpon dari entah siapa.

"Selamat pagi dengan Ibu Nina." sapa seorang diujung telpon.

"Iya, saya." jawab Nina sedikit bingung.

"Pada waktu lalu Anda melamar pekerjaan di Perusahaan Sentra Asia. Anda bisa datang untuk wawancara berikutnya?" tanya orang di seberang sana.

Hati Nina merasa berdebar. Ia bahagia. Akhirnya pekerjaan yang ia lamar membuahkan hasil.

"Iya, baik. Saya akan datang."

"Kami tunggu esok hari di kantor ya, Ibu Nina. Terima kasih."

Setelah menutup telponnya, Nina bahagia dan ingin segera memberitahu Doni tentang ini. Tapi ia menunggu berbicara langsung saja nanti ketika Doni pulang bekerja.

Sesampainya di kantor, Doni mengambil minuman di pantry. Yang ternyata sudah ada Meri disana. Mau tidak mau, Doni menyapa Meri, berusaha tidak ada yang terjadi diantara mereka.

"Gimana kehamilan istrimu? Lancar?" tanya Meri.

"Memang kamu berharap tidak lancar?" tanya Doni sedikit sebal dengan ucapan Meri.

"Ya, enggak. Tapi kalau suatu hari nanti istrimu sudah tidak lagi jadi seperti yang kamu inginkan, datang saja padaku." kata Meri yang kemudian pergi dari pantry.

Meri sedikit menyenggol Doni. Membuat Doni sedikit menghela napasnya.

Doni menyibukkan diri di meja kerjanya. Ia tidak mau menampakkan pada siapapun kalau dia merasa kesal dengan ucapan Meri.

Kalau boleh Doni jujur pada diri sendiri, Meri memang cantik dan selalu menggoda Doni. Tapi Doni merasa tidak pantas melakukan hal itu pada Meri mengingat kondisi Nina yang juga sedang hamil. Ia tidak ingin seperti lelaki lain yang mudah tergoda. Tapi bisakah Doni seperti itu? Mungkinkah Doni benar-benar tidak akan tergoda oleh wanita lain selain istrinya sendiri?

*****

Nina sudah selesai membuat sambal. Ia juga sudah selesai menyajikan sayur dan ikan goreng. Sekarang, ia hanya menunggu Doni pulang dari pekerjaannya.

Setelah Doni pulang dengam wajah lelah, ia langsung disambut dengan makanan yang ada di depan matanya. Ia tersenyum dan langsung menyendok nasi dan mengambil ikan.

"Enak banget, Nina. Atau mungkin aku lapar ya."

kata Doni. Nina hanya tertawa melihat Doni yang makan dengan lahap.

"Makan deh yang banyak." ucap Nina sambil tersenyum.

"Oh ya. Hari ini aku di telpon dari perusahaan yang kemarin aku lamar. Besok aku mau datang kesana." kata Nina. Berharap Doni menyetujuinya.

"Memang boleh kalau wanita hamil bekerja?" tanya Doni.

"Memang kenapa nggak boleh kerja?" tanya Nina merasa bingung.

"Ya, nanti kan pasti nanti ada cuti melahirkannya juga."

"Ya, nggak ada salahnya kan dicoba dulu? Daripada di rumah begini, aku bosan." jawab Nina.

"Yaudah, dicoba aja dulu. Kalau kondisi kamu memungkinkan nggak apa-apa."

Nina tersenyum bahagia. Akhirnya ia mulai bisa bekerja seperti dulu lagi.

Keesokan harinya, Nina masih bisa memakai baju biasa dan flat shoes. Ia juga sedikit berdandan untuk datang wawancara hari ini. Doni kembali mengagumi kecantikan Nina seperti ini. Nina terlihat lebih segar daripada ketika berada di rumah tanpa make up.

"Yuk, berangkat." kata Nina membuyarkan lamunan Doni.

Doni menyalakan mesin motornya dan segera berangkat dari rumah kontrakannya.

Nina merasa jantungnya berdebar. Ia kembali menghadapi wawancara setelah sekian lama ia tidak wawancara lagi. Tapi Nina yakin, apa yang Nina lakukan dengan percaya diri walau sudah berstatus menikah dan berbadan dua, ia bisa melewati semua ini dengan lancar.

"Lagi nunggu interview juga?" tanya seorang lelaki yang duduk di sebelah Nina.

"Iya, Mas." jawab Nina tersenyum dan memgangguk.

"Datang darimana?" tanyanya lagi. Mungkin ia bosan sudah sejak tadi menunggu dan tidak ada yang bisa ia lakukan.

"Saya dekat dari sini kok. 10 menit naik motor juga sampai." jawab Nina.

"Saya lumayan jauh. Saya datang terlalu cepat. Jadi saya agak bosan menunggunya."

"Kalau boleh tahu, wawancara ini nanti ditempatkan bekerja disini kan ya?" tanya Nina penasaran.

"Iya disini. Tapi masih belum tahu bagian apa."

"Oh ya. begitu."

"Naik apa kesini?" tanya lelaki itu lagi.

"Saya diantar suami saya." jawab Nina mengulas senyum diwajahnya.

"Oh masih muda sudah menikah ya. Mbaknya kelihatan sekali masih muda lho."

Nina hanya tersenyum renyah.

"Oh ya, saya Fabio. Kalau kita sudah bisa mulai bekerja disini, mungkin bisa bekerja sama." kata lelaki itu mengenalkan dirinya.

"Iya, Mas. Saya Nina." Nina membalas mengenalkan dirinya. Kemudian tidak lama, nama Fabio pun dipanggil dan ia segera masuk ke dalam ruang wawancara.

Nina semakin gugup. Ia merasa senang akhirnya setelah menikah ia tidak hanya menjadi ibu rumah tangga biasa. Ia juga bisa bekerja. Dan ia tidak perlu menggantungkan hidupnya pada suaminya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!