Alkisah, pada zaman dahulu kala hiduplah seorang raja yang sangat dermawan, baik hati, merakyat, disegani oleh musuh-musuhnya dan di cintai oleh semua rakyatnya.
Ia menikah dengan seorang gadis yang amat cantik jelita. Ia sangat mencintai gadis tersebut meskipun berasal dari kalangan rakyat biasa.
Karena kecintaannya terhadap sang istri, ia mengangkat selir tersebut menjadi permaisuri. Namun tak di sangka-sangka, ternyata ketulusan sang raja mendapatkan pengkhianatan dari permaisuri barunya.
Sang permaisuri ketahuan berselingkuh dengan salah satu orang kepercayaan raja, panglima perang kerajaan. Hal ini membuat raja murka, ia pun menghukum sang panglima dengan mengeksekusinya di hadapan semua rakyat menggunakan hukum pancung.
Demi keadilan, ia pun rela melakukan hal yang sama pada sang permaisuri meskipun ia benar-benar mencintai permaisurinya. Ia menghukum pasung si permaisuri di tempat yang sama saat ia melakukan eksekusi pada panglima beberapa menit setelahnya.
Selepas kejadian tersebut, raja teramat berduka dan kembali mengangkat permaisuri yang sempat ia depak untuk kembali menyambangi tahtanya.
Raja tersebut di ketahui memiliki kerajaan terbesar dan terkuat pada eranya. Di takuti oleh beberapa dinasti lainnya dan....
Buku ku lantas tertutup tiba-tiba, dan aku mengernyit masam ke arah dua temanku yang melakukannya. Mereka menepuk jidatku sambil memberikanku beberapa bungkus roti isi coklat.
"Setiap hari elu bacain buku kisah sejarah cinta dari Raja Anggara, dan setiap hari juga elu ngehujat si Ratu yang gak di ketahui namanya. Gak capek apa tuh mata??" Keluh Nina sambil duduk di atas mejaku.
Aku menyipitkan mata menatapnya, kesal dengan perkataannya yang memang benar adanya. "Lagian ratunya gak tau diri!! Udah berasal dari kalangan rakyat jelata, selingkuh ama orang kepercayaan raja, nyakitin hati raja yang terkenal dermawan juga!! Siapa sih yang gak kesel!!" Keluhku hingga membuat dua temanku menepuk jidat mereka masing-masing.
"Gila ya!! Lu gak punya hujatan lain gitu? Tiap ngatain ratu, kata-katanya itu mulu!!" Cinta ikut mengomentari kebiasaan ku. "Lagian ya, Yu.. Lu itu udah kelas dua SMA, gak kepikiran apa buat nyari pacar?"
"No no no!!" Aku menggeleng mantap. "Cinta gue cuma buat lelaki yang mirip raja Anggara, gue gak mau lelaki zaman sekarang yang doyannya ngibul dan gak setia!!" Kepalaku langsung di jitak oleh Nina, dan rasanya sakit sekali.
"Aaw!!" Aku mengeluh sambil mengusap kepalaku.
"Tuh raja udah mati ratusan tahun lalu!! Gila ya lu!! Jomblo seumur hidup baru tau rasa lu!!" Bentak Nina hingga membuatku memanyunkan bibirku.
"Makan tuh roti!! Badan makin kurus aja, kerjaannya bacain novel sama berkhayal mulu sih!!"
Aku menyambar roti yang mereka berikan, dan Cinta hanya mengusap kepalaku yang baru saja di jitak oleh Nina.
Aku memandang ke arah luar jendela, karena aku duduk di ujung sisi kelas dekat jendela. Ini benar-benar tempat strategis agar aku bisa melihat langit dan berkhayal jika bosan dengan pelajaran yang ada.
Aku sedikit mengernyit, melihat seorang lelaki yang mengenakan jaket hingga menutupi lehernya. Ia di hampiri oleh beberapa guru dan sepertinya pak guru meminta agar dia membuka jaket yang ia kenakan. Di sekolah ini kan tidak boleh mengenakan jaket di jam pelajaran, apa sih sebenarnya yang ia pikirkan??
"Apa?? Ooh?!" Cinta menilik ke arah yang sama denganku. "Cowok yang di sana?? Lu ngeliatin cowok itu?" Tanyanya sambil menunjuk ke arah lelaki tersebut dengan mantap.
Aku seketika terkesiap mendengarnya. Aku menggeleng cepat sambil menyumpal mulutku dengan roti. Nina ikut memperhatikan lelaki tadi.
"Kakak kelas aneh yang pendiam. Gak ada yang mau ngobrol karena dia aneh!" Timpal Nina.
Aku lantas mengernyit dalam. "Aneh kenapa dia?"
"Dia tuh ya, kayak elu versi cowok. Suka banget baca buku, dan sering makan daun!!"
Aku langsung terkesiap mendengar ucapan Nina. "Yakali makan daun!! Gue tuh makanin daun-daun yang punya khasiat obat gitu, pernah gue baca dari buku. Jadi gue nyobain sendiri, rasa, tekstur sama khasiat dari tumbuhan yang pernah gue baca!! Ngaruh gak ke badan gue!!"
"Terus?! Gimana? Ngaruh gak?? Setau gue lu makin miring karena sering makanin rumput-rumput liar!!" Cinta lantas terbahak mendengar ucapan Nina.
"Enak aja lu!!" Desahku sambil menatap ke arah kakak kelas tadi. Mereka hanya terbahak, mereka suka sekali meledekku begitu.
Aku memperhatikan lelaki tadi dengan seksama. Sudah hampir dua tahun aku sekolah di SMA ini, tapi aku sama sekali tak mengetahui kalau ada lelaki yang mirip denganku. Kakak kelas?? Berarti, dia sudah kelas tiga??
Sepulang dari sekolah, aku di tinggalkan Nina dan Cinta begitu saja. Tiba-tiba aku sakit perut dan harus ke toilet. Apakah karena makan rumput liar pagi tadi?? Entahlah, yang pasti aku harus segera menyusul dua temanku itu sebelum mereka berjalan terlalu jauh.
Ketika melewati perbatasan toko bunga, aku mendengar seseorang mengucapkan sebuah kalimat di antara keramaian. "Pantai." Begitu katanya.
Aku lantas menoleh ke arahnya yang berjalan lurus dengan beberapa bunga melati di tangannya.
"Hm, tunggu!!" Aku berusaha menghentikannya. "Apa elu barusan menyebutkan sesuatu ke gue?" Ia menatap datar ke arahku, mata indahnya seolah tak mengizinkan aku untuk bertanya lebih dari itu.
"Ya." Singkatnya. "Ada yang tertinggal." Lanjutnya, ambigu.. hingga seorang lelaki tinggi datang dan menyusulnya.
"Assalamualaikum, maaf.. apa dia bilang sesuatu yang aneh?" Suara merdu lelaki tersebut benar-benar terngiang di telingaku. Aku ternganga, seperti pernah mendengarnya. Tapi di mana?? Mungkin ini yang di maksudkan oleh Nina dan Cinta, harusnya aku rajin membuka sosmed dan menonton tv. Mungkin saja dia ini selebriti.
"Ah, enggak." Dalihku.
"Maaf ya." Ia hanya tersenyum sambil meninggalkanku yang masih mematung.
"Gantengnya." Gumamku terpana.
.......
.......
.......
Aku terbangun dari tidur dalam keadaan tubuh yang basah karena berkeringat. Napasku tersengal dan aku benar-benar ketakutan. Aku mengusap kepala serta leherku, hingga menyadari ada sesuatu yang terjatuh dari kepalan tanganku.
Klotak!!
Aku terkesiap dengan kedua mata yang terbelalak dan mulut yang menganga lebar. Aku terdiam sesaat, mematung di tempat sambil menatap lekat ke sebuah paku yang terukir indah berwarna keemasan.
Napasku menderu, dan aku yakin kalau itu adalah paku yang tadi. Apa yang ku alami terlalu panjang jika di katakan suatu hal yang fana, namun hal sepanjang itu masih menyisakan beberapa ingatan yang tak ku lupakan meski aku telah dipaksa mati dalam ketidaksadaran ku.
Aku membuka selimut yang menutupi sebagian tubuhku. Kakiku turun dan menapak di atas lantai. Ku gapai paku indah tersebut dan menatapnya di antara kedua telapak tanganku.
"Kalau benda ini ada, berarti.. tadi itu..."
Aku langsung melompat dari tempat tidur dan mengambil sebuah jaket tipis berwarna putih untuk menutupi piyama ku.
Aku berlari keluar kamar dan melewati ibu yang sedang menyeka debu yang tertempel di bingkai foto keluargaku. Ia nampak terkesiap karena aku berlari tiba-tiba.
"Ayuuu!! Mau kemana kamu?! Ini masih pagi, bantuin ibu mumpung hari Minggu!!" Bentaknya, namun aku mengabaikan sambil mengenakan sandal dan berlari keluar rumah.
"Seenggaknya jangan lari keluar rumah pakai piyama tipis dan celana pendek, Yu!!" Suara pekikannya masih terdengar meski aku sudah berlari lima langkah menjauhi rumah.
"Gue tau!! Kalau ini benar, ini nyata!!" Gumamku sambil berlari menuju ke pantai belakang rumah, yang jaraknya tak terlalu jauh.
Kakiku perlahan melemah. Aku tak jago dalam hal olahraga apapun karena aku sangat suka bermalas-malasan sambil membaca buku, jadi berlari seperti ini benar-benar menyiksa batin dan tubuhku.
Jalanan aspal yang bergerigi perlahan berubah menjadi pasir halus berwarna putih. Ia membuat langkahku semakin berat saja, dan lagi... Jaketku terlalu tipis untuk angin pantai sekencang ini.
Napasku tersengal dan aku yakin wajahku kian memucat karena kehabisan napas. Aku masih mengepal erat paku keemasan di telapak tanganku, berhenti dengan tubuh yang mematung lurus menghadap ke seorang lelaki yang sedang duduk berjongkok memunggungiku.
Ia menghadap ke arah laut. Rambut hitamnya berayun-ayun tertiup angin ribut. Ia nampak damai meski baju yang ia kenakan berkibar dengan gagahnya.
Dengan ragu aku menghampirinya, hingga kehadiranku pun di sadari olehnya. Ia menoleh meski tak serta-merta membuat seluruh tubuhnya menghadap ku.
Aku terdiam ketika kami saling bertemu pandang. Suasana kian canggung. Bertemu orang asing yang tak pernah ku jumpai sama sekali, dan posisi pantai sepagi ini masihlah sangat sepi.
Ia menggenggam sesuatu, dan itu justru membuatku terbelalak karenanya. Ia tak melepaskan pandangannya dariku, namun tubuhnya masih saja terus terduduk tanpa berniat untuk mengucapkan sepatah kalimat pun padaku.
"Aku..." Aku ketakutan, tanganku bergetar hebat. "Aku cinta kamu!!" Pekikku hingga membuatnya nampak terkejut. Di luar dugaan, ia malah terlihat bingung. Apakah dia tak mengenali ku??
"Aku cinta kamu!!" Pekikku lagi dengan sekuat tenaga. "Aku cinta kamu!!" Lanjutku sambil memejamkan mata. "Aku cinta kamu!! Aku cinta kamu!! Aku cinta kamu!!"
Perkataan itu terus ku lontarkan secara berulang-ulang, dan ia masih saja nampak memberikan reaksi serupa. Menganga.
Aku mulai meringis sambil menitikan air mata. Ku seka air mataku dengan kasar, namun ia malah mengabaikan dan berbalik memunggungiku lagi.
Ia terdengar mengucapkan sesuatu yang benar-benar tak tertangkap Indra pendengaran ku. Entah karena suaranya pelan atau karena angin di pantai ini terlalu kencang.
Kami berdua mematung dalam bisu, dan tak ada seorang pun yang mau mengatakan kalimat meski hanya sebuah huruf.
Dalam posisinya, ia mengangkat tangan dan menyodorkan sesuatu dari kepalan tangannya. Ku satukan benda yang berada di tanganku ke tangannya, hingga sebuah cahaya yang menyilaukan membuatku terpaksa menutup kedua mata.
Aku menggenggam tangannya dengan erat, ia masih tak menunjukkan wajahnya kala itu padaku. Hingga ketika aku membuka mata, tubuhku nampak terbaring di pasir pantai dengan ombak yang berusaha menarik kakiku.
Satu sandalku terlepas, dan satunya lagi menghilang entah kemana. Aku terkesiap kaget, menyadari kalau aku telah tertidur di tengah pantai. Cahaya matahari berada tepat di tengah dunia, menandakan kalau sekarang sudah sangat siang untuk tidur-tiduran di atas pasir pantai.
Ku kucek kedua mataku sambil beranjak dari atas pasir. Namun bersamaan dengan hal tersebut, sesuatu benda yang terasa panas nampak menyambar tepat di sisi sebelah kananku, hingga membuatku terperanjat takut.
"Anak panah berapi?" Gumamku sambil mengernyitkan dahi.
Suara teriakan terdengar menggema terbawa angin. Aku pun menengadahkan pandanganku dan menatap ke arah langit, hingga menyadari kalau puluhan benda berapi nampak melayang di atas sana.
Benda tersebut pun menyelusup bak hujan yang turun dengan lebat menimpa bumi, namun tubuhku lantas bergerak spontan untuk menghindari benda tersebut, meskipun beberapanya telah mendarat dengan sempurna di atas pasir pantai.
Itu adalah kumpulan anak panah berapi yang sengaja di tembakkan ke atas hingga menelusup ke sekitarku.
"Aaaaahk!! Bakalan mati gue kalau kena itu!!" Pekikku seraya berlari dan menutup kepalaku, seolah berlindung dari air hujan, padahal itu lebih menakutkan lagi karena tak cuma akan membasahi kepalaku, tapi akan menancap di sana juga.
Meski berusaha menghindar, hujaman anak panah salah satunya menancap ke kakiku. Aku terjatuh di atas pasir, dengan puluhan anak panah yang tertancap dan berada di sekelilingku. Aku terlalu takut dan kesakitan untuk berdiri, tapi kalau aku tak melakukannya, maka aku akan mati.
Aku mencabut tancapan anak panah tersebut dari kakiku. Lukanya dalam, sampai mengenai tulang dan juga membakar kulit serta dagingku yang mengucurkan darah.
"Sakit." Gumamku sambil meringis menahan tangis.
"To.. tolong..." Hanya itu yang mampu ku ucapkan. Aku kebingungan. Kenapa tiba-tiba di pantai ini ada puluhan anak panah yang sengaja di lepaskan? Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Ini seperti berada di Medan pertempuran dan aku adalah orang gila yang sedang tersesat.
Ketika sebuah anak panah lantas meluncur ke hadapan wajahku, seseorang datang menyergah dan menangkap anak panah tersebut dengan satu tangannya, membuat api yang membakar ujung anak panah padam oleh genggamannya.
Aku menengadah, menatap wajah dinginnya yang tak menampakkan ekspresi sama sekali, padahal aku yakin kalau itu rasanya sakit. Ia nampak mendecakkan lidah sambil menyeret tubuhku ke dalam pelukannya.
Ia berlari, membawaku dalam dekapannya.. Dalam kepanikan, aku masih bisa mendengar detak jantung dan gemuruh napasnya. Aku mengerutkan tubuhku, berlindung di balik pelukannya.
Ia pun membawaku, mungkin ke tempat yang aman dari anak panah, namun agaknya tempat berbahaya bagi seorang gadis yang tak mengetahui asal usul orang asing ini.
Wajah lelaki ini tampan, serius, dan aku yakin hidupnya sangat menderita hingga tak di tunjukkan sedikit senyuman pun di wajahnya. Ia pun mengenakan baju dari kulit kayu yang terlihat aneh bagiku.
Tanpa sadar, ia membawaku masuk ke sebuah tempat yang mirip pondok, dan di sana kami telah di sambut oleh seorang wanita paruh baya yang sedang menanak nasi.
Wanita itu benar-benar panik dan segera mendudukkan ku di atas kursi.
"Raka!! Kamu membawa calon istri??" Tanya wanita itu hingga membuatku berteriak.
"Bahkan gue gak kenal dia!!" Pekikku, dan ulahku ini berhasil membuat kedua orang berpakaian aneh ini terdiam dan saling memandangi satu sama lain.
"Oh!! Maaf kalau saya pakai gue, jadi gak sopan ya??" Ujarku, benar-benar merasa bersalah dan merasa bodoh.
"Gue? Itu.. bahasa apa? Baru kali ini saya mendengarnya." Sahut wanita itu.
Aku menggarukkan kepalaku karena kebingungan. Mereka pun kini memandangi piyama tipis, celana pendek dan jaket yang ku kenakan.
"Ini bukan dari kulit pohon?? Apa ini sutra? Seperti yang di kenakan raja?" Lanjut si wanita sambil menyentuh baju yang ku kenakan dengan hati-hati.
"Raja? Maksud Tante?"
"Apa itu Tante?" Ia kembali kebingungan, namun aku juga merasakan kebingungan yang sama. "Di mana kamu mendapat gadis cantik ini?? Apa dia bangsawan kerajaan?" Tanyanya sambil menatap ke arah lelaki yang sejak tadi terdiam.
"Dia terluka di Medan perang." Sahutnya singkat. Wanita itu malah mengembangkan senyumannya.
"Kamu menyelamatkan seorang gadis?? Yang tidak kamu kenal??" Ia nampak takjub sambil berulang kali menatapku dan menatap lelaki yang ia panggil Raka tadi.
"Jangan terlalu berharap, Bu. Raka tidak akan pernah jatuh cinta." Singkatnya lagi sambil membuatku mengernyit.
"Sombong banget sih!! Lagian siapa juga yang mau jatuh cinta sama elu!!" Balasku hingga membuat wanita yang di panggil ibu ini nampak terkesiap. "Oh!! Maafkan saya, ibu!!" Ceplosku.
"Ibu?" Ia kembali takjub, dan ini tentu saja membuatku menjadi semakin panik.
"Aaaa!! Saya tidak bermaksud begitu, lagi pula panggilan apa yang harus saya gunakan pada ibu??" Sahutku panik, namun ia malah tersenyum.
"Ya, tidak apa-apa.. Panggil ibu saja." Jawabnya lembut. Aku jadi merasa gagal menjadi seorang wanita. Aku terlalu grasak-grusuk dan barbar, sementara ia sangat lembut.
"Kamu.. berasal dari mana? Ibu tak pernah melihatmu sebelumnya.. Rambutmu tak di ikat?? Bajumu dari kain sutra, dan kamu begitu cantik, tak pernah ibu lihat wanita secantik kamu dari rakyat di kerajaan ini." Aku kembali mengernyit.
Sejak tadi membahas tentang kerajaan. Dan lagi, pakaian mereka memang kuno. Ibu ini rambutnya di sanggul rapi, dan lelaki ini.. rambut depannya pendek dan sedikit berdiri seperti lelaki pada umumnya, namun belakang rambutnya berbuntut. Dia punya rambut panjang juga yang diikat.
Apa jangan-jangan, aku terdampar di kerajaan antah berantah setelah pingsan tadi?? Atau.. aku sudah mati dan berada di surga?? Atau jangan-jangan, aku berada di dimensi yang berbeda??
"Aaaaaa!! Ini pasti mimpi!!!" Pekikku sambil mengacak-acak rambutku, membuat ibu ini mengernyit dan menatap heran ke arahku.
"Raka, apa sewaktu menggendongnya, kamu membenturkan kepalanya ke pohon?" Tanya sang ibu polos.
"Kelihatannya dia sudah gila bahkan sebelum ku sentuh." Sahut Raka dingin.
"Tapi.. tapi, kalau ini kerajaan, berarti.. Siapa rajanya sekarang?? Saya di kerajaan apa?" Pekikku lagi, begitu frustasi. "Jangan-jangan ini kerajaan Firaun?"
"Kamu bahkan tak kenal rajamu sendiri? Apa kamu penyusup dari kerajaan lain? Kamu pastilah seorang putri bangsawan?" Tuduh si ibu lagi. "Apa Firaun itu adalah yang muliamu??" Tambahnya, membuatku menggeleng dengan cepat.
"Bukan begitu?! Saya ini terdampar, saya tidak tinggal di sini!! Saya dari dunia lain!! Tiba-tiba saat bangun, saya sudah ada di sini!! Bagaimana menjelaskannya ya?"
Ibu ini kembali tersenyum meski nampak sedikit bingung. "Yah, tak apa meski ibu tak tahu maksud dari perkataan mu. Mungkin kamu kelelahan."
Aku terdiam, tak seharusnya aku nampak begitu gila. Tapi memang benar begini adanya. Ini zaman kuno, bukan zamanku. Tapi, akan berbahaya kalau aku sampai tinggal disini tanpa mengetahui nama rajaku. Setidaknya aku harus improvisasi, berlagak jadi manusia di zaman ini agar tak terlihat aneh lalu di tangkap, di penjara dan di hukum mati. "Kalau begitu, apakah saya boleh mengetahui nama raja saya?" Tanyaku berhati-hati. "Kepala saya terbentur dan agaknya melupakan hal-hal yang penting." Dustaku.
"Tentu saja.. Raja kita adalah.." Wanita ini tersenyum sambil menatapku dengan lembut.
"Yang mulia Raja Anggara.. Ingatlah nama yang muliamu itu.."
Kedua mataku hampir keluar mendengarnya. "Ra.. Raja Anggara?! Apa aku memang sudah gila?!! Ini... tak masuk akal."
.......
.......
.......
.......
...Bersambung.......
Seketika aku melompat dari atas kursi yang ku duduki setelah mendengar kalau aku tengah berada di zaman raja Anggara, Raja yang benar-benar ku cintai.
Rasa sakit serta darah yang mengucur di kakiku tak ku hiraukan lagi. Atau bagaimana caranya aku masuk ke dunia ini pun sudah tak ku urusi. Aku terlalu senang berada di dalam sejarah yang ku baca setiap hari. Rasanya bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan.
"Salam hormat yang mulia raja!! Saya akan mengabdikan diri kepada yang mulia raja!!" Seruku semangat, hingga membuat ibu tersenyum senang.
"Kamu bahkan mengenal raja Anggara padahal tidak berada di bawah kepemimpinan kerajaannya? Ibu benar-benar yakin kamu tak berasal dari sini.. Sungguh, raja Anggara memang raja yang sesungguhnya." Sahutnya hingga membuatku tersenyum penuh arti.
"Mulai sekarang.. saya adalah rakyatnya yang paling setia!!" Ujarku mantap. "Tapi, bolehkan saya bertemu dengan raja Anggara sekarang?!" Pintaku, sedikit mendesak dan tiba-tiba.
"Kau kira kau siapa? Ingin bertemu dengan seorang raja?? Kita hanyalah rakyat jelata, masuk di halaman istana pun kau akan di panah sampai mati dengan panah beracun." Sahut Raka hingga membuatku terkesiap.
"Gila!! Perkataan elu itu mengerikan!!" Setelah sadar akan ucapanku, aku pun memperbaiki kalimatku. "Maksud saya, kamu berkata sesuatu yang mengerikan!!"
Ia menggelengkan kepalanya. Suasana nampak canggung setelahnya. Ibu-ibu ini lantas beranjak dan mengambil kain dan menyeka darah di kakiku. Perih dan sakit, kalau cuma di lap, darahnya tak akan berhenti.
"Mm.. ada baiknya kalau kita berkenalan." Ujarku ragu, sambil menatap Bu Sari yang merunduk di hadapanku.
"Nama saya Raka, dan ibu saya, Sari." Ia mulai memperkenalkan diri dengan sopan. Dan sepertinya lelaki ini nampak begitu kaku, apa karena aku orang asing??
"Saya Ayu." Singkatku.
"Ayu?? Nama yang cantik." Sambung ibu Sari hingga membuatku tersipu. "Kalau boleh tahu, kenapa kamu ingin bertemu dengan yang mulia raja?"
Aku menenggak ludah mendengar perkataannya. "Hmm, sebenarnya ini rahasia sih. Tapi saya tahu masa depan!! Saya lihat, mmm.." Aku mulai memasang lagak seperti seorang paranormal yang sedang membaca masa depan. "Raja harus berpisah dengan ratunya sekarang!!"
Perkataanku lantas membuat ibu dan anak ini terkesiap kaget. "Apa?!" Sergah Raka, nampak sedikit dalam suaranya.
"Soalnya, ratunya itu brengs*k, dia selingkuh dengan panglima raja!! Dan itu sangat menyakiti hati raja Angg-" Aku terdiam ketika sepasang mata menyeramkan memandangiku dengan lekat dan sadis. Ia membungkam mulutku dengan tangannya yang terluka.
"Perkataan hina!!" Ujarnya hingga membuatku terbelalak. "Jangan pernah katakan hal itu lagi di depan siapapun, kalau kau masih ingin hidup di dunia ini!!" Lanjutnya, terdengar begitu serius hingga membuatku bergidik ngeri.
"Mengerti?!" Lanjutnya lagi, dan aku langsung mengangguk. Ia melepaskan bekapan tangannya dari mulutku sambil menatap ibunya yang sedang melirik ke arah pintu dan jendela pondok.
"Syukurlah, tidak ada orang di luar." Lanjutnya.
"Dengar ya!! Raja itu sangat mulia, begitu pula dengan ratunya. Berbicara begitu dengan derajat kita seperti ini hanya akan membuatmu mati dengan terhina. Bahkan mayatmu tak akan di lihat oleh sesiapapun selepas kematianmu!! Camkan itu, bod*h!!" Bentak Raka di hadapan wajahku.
Dia kasar dan dingin sekali. Apakah dia tak bisa memperlakukan orang yang baru ia temui dengan baik??
"Tapi.. aku memang melihat yang seperti itu di masa de-" Aku terbungkam ketika Raka menatapku dengan tajam. Lagi.
Aku meringis, bukan karena tatapannya yang menyakitiku, tapi karena kakiku yang terus mengucurkan darah mulai terasa berdenyut dan nyeri.
"Oh! Ayu, darahmu tak berhenti!" Ujar ibu Sari, begitu panik.
Raka langsung merunduk di hadapanku, memeriksa kedalam luka di kakiku serta luka bakar yang mengikutinya di sekitar kulitku. Kalau ini mimpi, seharusnya aku tak akan pernah merasakan sakit.
Tapi hal bod*h apa lagi yang dapat menjelaskan kalau ini hanyalah mimpi, bukan kenyataan.
"Ini dalam. Kamu mencabuti anak panah itu sendiri?" Ia bertanya, dan aku hanya perlu mengangguk untuk membenarkan.
"Kita butuh obat di pasar, biar ibu yang pergi ke sana." Ujar Bu Sari panik, sambil bersiap mengambil tas kecil dari kulit kayu yang ia selempangkan di tubuhnya.
"Bu.. tak perlu!!" Ia terhenti. "Di sepanjang perjalanan ke sini, aku melihat ada beberapa tumbuhan yang bisa di gunakan untuk menyembuhkan luka dan menghentikan pendarahan." Mereka berdua mengernyit.
"Benarkah??" Aku mengangguk. "Kalau begitu, sebutkan ciri-cirinya. Biar aku yang mencarinya." Lanjut Raka hingga membuatku meringis masam.
"Itu sulit untuk orang awam!!" Ceplosku.
"Kau meremehkan ku?!" Raka terdengar tersinggung.
"Eh!! Bu.. bukan begitu. Tapi memang sulit sekali untuk menemukannya. Kau harus membawaku juga. Biar aku yang memilihnya." Ia terdiam sambil memandangiku.
"Kau bisa berjalan sendiri ke sana?" Aku hanya tersenyum, seolah mengisyaratkan betapa bodoh pertanyaannya.
.........
"Yang mana??" Tanyanya sambil meremas-remas beberapa dedaunan di dekatnya, ketika kami telah berada di sekitar hutan lebat.
"Jangan di begitu kan b*doh!! Nanti daunnya hancur!!" Keluhku sambil memeriksa beberapa daun dan memberikan contoh kepadanya.
"Lihat ini!!" Aku menunjukkan sebuah daun hijau ke hadapannya. "Daun ini namanya daun binahong. Daun ini memiliki sifat antiseptik yang membantu mempercepat proses penyembuhan luka. Caranya juga mudah, tinggal di tumbuk beberapa daunnya, dan tempelkan pada bagian yang terluka." Terangku sambil memetik beberapa daun lagi untuk mengobati lukanya juga.
Ia hanya terdiam sambil memandangiku. Tak bisa ku artikan tatapannya itu, hanya saja.. aku merasakan kalau itu adalah sebuah tatapan kekaguman.
"Ku rasa semua bentuk daunnya sama. Ku kira ini adalah rumput." Ujarnya sambil mengalihkan pandangannya dariku.
"Perkataan bod*h macam apa itu?! Mengingatkanku pada Nina dan Cin..." Aku lantas terdiam memandangnya.
Kini malah aku yang gantian terpesona menatap wajah lembutnya yang berbaur di antara rerumputan segar yang hijau. Kulit sawo matangnya nampak mengkilap, dan ia sama sekali tak memberikan ekspresi apapun pada tiap tatapan matanya.
"Apa aku benar?" Ia mengangkat beberapa daun dan menunjukkannya padaku. Aku sedikit terkesiap, namun buru-buru aku menghilangkan rasa aneh di dadaku.
"Ah! Benar!! Itu benar!!" Sahutku cepat.
"Sebaiknya kita cepat mengambil beberapa daun dan kembali. Aku tak mau ada yang menyadari kedatanganmu." Perkataannya lantas membuatku kebingungan.
"Hah? Kenapa?"
"Kau memakai pakaian yang berbeda dengan kami. Rambutmu tergerai, dan wajahmu sedikit berbeda pula dengan rakyat di sini. Kau akan menarik perhatian siapa saja yang melihatmu."
Aku tersenyum jahil melihatnya. "Heeeh, jadi kau juga tertarik padaku? Makanya waktu itu tiba-tiba saja kau datang dan menolongku??" Ledekku hingga membuatnya mendecakkan lidah. Lagi-lagi tatapannya kembali dingin.
"Aku datang karena melihatmu tiba-tiba jatuh dari atas langit. Apakah kamu sejenis Dewi?? Atau semacamnya?"
Aku tertegun mendengarnya. "Apa itu sebuah candaan?"
Ia nampak mengernyit. "Kalau begitu, anggap saja itu candaan. Dan jangan salah paham ketika aku menyelamatkanmu. Aku hanya sedang belajar untuk mencapai cita-cita ku." Lanjutnya sambil beranjak dan menghampiriku.
Ia memberikan punggungnya, untuk ku naiki seperti saat pergi ke tempat ini. Aku pun memeluknya, membiarkannya membawaku kembali ke rumahnya.
"Kalau kau sudah sembuh, silakan pergi dari rumahku." Lanjutnya hingga membuatku tersedak. Ingin sekali aku memukul kepalanya dari belakang, tapi kalau ku lakukan.. aku pun akan jatuh dari gendongannya.
"Aku tahu." Singkatku.
Lagi pula aku akan kembali ke pantai dan mencari tahu bagaimana caranya agar aku bisa kembali ke rumahku. Sebelumnya aku harus bertemu raja Anggara ku terlebih dahulu. Mengacaukan hubungan raja dan istrinya, serta menggerebek perselingkuhan si istri dengan panglima.
"Uuuu.. nanti pasti namaku akan terukir di sejarah, sebagai pahlawan yang mulia Raja Anggara." Gumamku sambil menggeliat di punggung Raka.
"Tenanglah sedikit!! Kau seperti cacing kepanasan! Mau ku lempar ke dalam lembah sana?" Ancamnya hingga membuatku terdiam.
Sesampainya di rumah, aku meminta alat penumbuk pada Bu Sari. Ku tumbuk beberapa helai daun hingga hancur dan menempelkannya pada bagian luka di kakiku.
"Benarkah bisa menyembuhkan luka? Itu terlihat seperti rumput?" Gumam Bu Sari ketika melihatku berani menempelkan luka dengan daun yang ia sebut sebagai rumput.
"Tentu bisa, ini namanya daun binahong." Sahutku.
"Kamu tahu dari mana kalau itu memang bisa menyembuhkan luka?"
"Hmm.. aku pernah belajar sains di SMA, daun ini memang bekhasiat untuk menyembuhkan luka, Bu." Terangku.
"SMA?? Sains?? Benda apa itu?" Aku lantas tersedak mendengar perkataan Bu Sari. Sementara Raka hanya menatap dingin padaku sambil melipat kedua tangan ke dadanya.
"Oh, kamu juga terluka kan? Berikan tanganmu padaku!!" Pintaku sambil menengadahkan tanganku ke arahnya, sekalian mengalihkan pembicaraan Bu Sari.
"Nanti kalau aku mati bagaimana? Kamu bukan tabib, jadi untuk apa di percaya!! Lagi pula sebaiknya mandi dan ganti baju anehmu itu!! Jangan menarik perhatian orang lain." Sahutnya dingin, sambil berlalu dari hadapan kami.
"Kalau bakalan mati, aku tak akan berani mengobati diriku sendiri dengan ini." Gerutu ku sambil menatapnya membanting pintu. Apa dia mau pondok reyot ini roboh?
Aku hanya terdiam memperhatikan tingkah anehnya. Apa dia membenciku? Sejak awal kedatangan, sifatnya dingin begitu? Bahkan dia jelas-jelas sudah mengusirku.
"Oh, iya Ayu. Ayo ibu temani mandi. Di belakang rumah ada danau yang tertutup daun lebat. Jarang di pakai untuk umum karena banyak yang tak mengetahui keberadaannya. Kamu masih bisa berjalan sendiri? Atau mau di gendong Raka seperti tad-"
"Ah! Jangan!!" Sergahku cepat. "Masa' dia menemani seorang gadis mandi?" Keluhku hingga membuat Bu Sari tertawa.
"Dia anak baik. Tak akan melakukan hal yang macam-macam." Singkatnya. "Kalau begitu, ibu dorong kamu pakai gerobak saja."
"Hah?! Ge.. gerobak?!"
..........
Aku membasuh tubuhku dengan sebuah gayung tradisional yang terbuat dari batok kelapa dan sebuah kayu yang mengaitnya. Aku menyirami tubuhku tanpa mengenai bagian kaki yang terluka.
Sabunnya aneh, seperti lemak hewan namun sedikit licin dan berbusa. Sikatnya dari sabut kelapa, baunya aneh.. tidak wangi, tapi bisa membuat kulit bersih setelahnya.
Sambil menyikat tubuhku, ibu Sari mengoleskan sesuatu ke rambut ku. Apakah ini yang dinamakan sabun dan sampo zaman dulu??
"Rambutmu indah dan panjang, tapi kenapa warnanya sedikit kusam? Apa kamu dari kerajaan asing berhidung panjang?" Aku segera menggeleng mendengarnya.
"Bukan.. bukan hidung panjang asing!!" Sahutku panik, membuat ibu Sari kembali tertawa.
"Apa kakimu masih sakit?"
"Sedikit." Jawabku. "Tapi, luka Raka sedikit dalam dan lebar. Ada luka bakarnya juga, apa dia tak apa-apa?" Lanjutku, bertanya dengan begitu hati-hati.
"Luka?" Ibu Sari malah mengulangi kalimatku. Aku sedikit berbalik untuk melihat wajahnya itu. "Dia sudah biasa terluka, bahkan hal itulah yang merenggut senyuman dari wajahnya." Aku terkesiap mendengarnya.
"Jadi.. karena itu dia jarang tersenyum?" Ibu Sari hanya mengangguk.
"Lukanya terlalu lebar. Jadi luka yang kamu lihat tak akan ada apa-apa baginya." Terangnya, membuatku menunduk lirih.
"Sesakit apa luka yang ia rasakan, dan apa penyebab yang melatarbelakanginya?" Pertanyaanku lantas tak mendapatkan jawaban darinya. "Maaf, pertanyaan saya terlalu dalam ya?" Lanjutku, merasa kurang enak.
"Sebenarnya.. Raka sering melihat rakyat yang terluka karena korban dari peperangan antar kerajaan dalam memperebutkan daerah kekuasaan. Hanya saja, baru kali ini ia membawa pulang seseorang yang terluka." Ia menceritakannya sambil tersenyum, dengan jemari yang terus mengusap rambutku.
"Kenapa dia datang ke tempat peperangan? Itukan bahaya?!"
Bu Sari kembali tersenyum dengan lembut. "Karena dia begitu mencintai rajanya, dia juga mencintai seluruh rakyat rajanya. Dan memiliki impian untuk menjadi seorang prajurit yang membela kerajaan. Itulah impiannya."
"Mungkin saja kata mati sudah tak menakutkan lagi baginya, makanya dia begitu berani untuk menjadi seorang prajurit di umur semuda itu. Ia sering berlatih, memanah, mengayunkan pedang, menunggangi kuda, dan ia akan mengikuti pelatihan kerajaan beberapa hari lagi. Ia semangat sekali." Terangnya.
Tak takut mati?? Padahal dia tadi tak mau ku obati karena takut mati. Aku lantas mengerutkan dahi. "Pelatihan kerajaan? Apa itu?"
"Hm? Kamu tidak tahu itu??" Aku terdiam dengan wajah ambigu. "Itu pelatihan yang digunakan untuk merekrut siapa saja yang hendak mengabdikan dirinya pada raja berserta rakyat. Mereka yang paling kuat akan di pilih dan di latih oleh panglima kerajaan langsung-"
"Panglima!!" Aku setengah berteriak mendengarnya, dan tentu saja Bu Sari terkesiap.
"Ada apa?"
Aku segera menggeleng. Tak mungkin kan kalau aku bilang, si panglima itu yang berselingkuh dengan sang ratu. Bisa-bisa aku mati di zaman ini, padahal belum sempat kembali ke duniaku. Aku benar-benar menganggap serius perkataan Raka kepadaku.
"Apakah aku bisa datang untuk melihat Raka latihan?" Tanyaku. Sebenarnya aku hanya bermaksud untuk melihat wajah si panglima gila itu. Siapa tahu aku bisa bertemu dengannya di situ.
"Kalau belum sampai ke kerajaan, kamu bisa melihatnya berlatih. Karena camp pelatihan jaraknya memang tak jauh dari sini. Kamu bisa memberikannya makanan, dia pasti senang." Aku mengangguk dengan semangat.
Maaf ya Raka, aku hanya ingin bertemu dengan orang-orang yang pernah ku baca di buku sejarah. Jadi, karena kau memberikanku jalan, aku akan sedikit memperalatmu. Hehe, terdengar jahat tapi sangat menyenangkan.
Sampai di rumah selepas mandi, aku di kenakan pakaian yang sama dengan yang di pakai oleh Bu Sari. Dari kulit kayu, apakah ini akan terlepas dan menelanj*ngiku nanti???
"Apakah ini akan terbuka?" Tanyaku.
"Ini kuat. Apa kamu belum pernah memakainya?" Aku menggeleng. "Rambutmu harus diikat, tidak boleh di urai. Karena yang boleh mengurai rambut hanyalah kaum bangsawan dan putri kerajaan yang masih gadis dan belum menikah." Aku langsung menatap sengit ke arah ibu Sari.
"Bukankah itu diskriminasi? Mereka seolah ingin terlihat cantik sendiri. Aku kan cantik kalau di urai, kalau rambutku diikat?? Seperti ibu-ibu kan?" Aku kembali mengeluh, dan dengan sabar ibu Sari hanya tertawa mendengar ocehanku. Ia benar-benar jauh dari sifat ibuku yang menurunkan sifat bar-bar nya padaku. Bu Sari sangat keibuan. Beruntungnya Raka.
"Memang tak boleh ada yang terlihat cantik, ataupun berpakaian menarik. Kecemburuan mereka tak berdasar, kamu bisa-bisa di penjara hanya karena terlalu cantik atau berpakain berbeda dari yang lain." Aku langsung bergidik. Separah itu?? Aku tak pernah membaca hal ini di buku sejarah manapun.
"Sudah selesai. Kamu sudah rapi dan sederhana." Gumamnya, sambil berbalik ke hadapanku selepas menguncir rambutku dan menyanggulnya.
"Apa aku tak boleh bercermin??"
Ibu Sari hanya mengangguk. "Bercerminlah dalam pantulan air jernih. Kamu akan melihat wajahmu di sana. Cermin hanyalah untuk kaum bangsawan, dan tak ada seorang gadis pun yang boleh memilikinya meskipun berukuran sebesar kuku jari."
Aku menenggak ludah. Aku juga tak pernah membaca peraturan seperti ini dalam sejarah. Apakah memang seperti ini???
"Bu, aku.."
Aku dan Bu Sari lantas menoleh ke arah pintu kayu yang tiba-tiba saja berderit dan terbuka, menampakkan Raka yang terdiam sambil menatap ke arahku dengan wajah datar.
"Aku lapar." Singkatnya sambil mengabaikanku.
"Raka, lihat.. dia masih cantik bahkan dengan baju sederhananya." Ujar ibu Sari, nampak begitu khawatir.
"Jika tak ada pihak kerajaan yang melihatnya, itu tak masalah. Selepas kakinya sembuh, usir dia dari rumah kita." Lagi-lagi ia mengatakan kalimat sedingin itu.
"Raka..." Ibu Sari terlihat tak nyaman dengan perkataan anaknya.
"Aku tahu! Jadi jangan bicara seperti itu berkali-kali!! Aku sadar diri kok! Aku akan pergi kalau sudah sembuh, dan aku tak mau melihat wajahmu lagi setelah itu!!" Balasku penuh keegoisan.
"Bagus!" Ia malah terdengar lega sambil duduk di atas meja kayu berbentuk bulat, yang letaknya berada di tengah-tengah tenda. Tenda ini bentuknya pun bulat. Hanya ada dua tempat tidur, dua meja, dan satu lemari pakaian. Selebihnya seperti peralatan dapur yang di gantung di dekat dinding tenda atau di luar pondok ini.
"Ayu, kita makan sama-sama." Ajak ibu Sari sambil menuntunku ke meja makan.
Aku dan Raka saling berhadapan dalam diam ketika Bu Sari mempersiapkan hidangan ke atas meja. Meski diam, tatapan kami begitu sengit seperti sedang saling berkelahi satu sama lain.
"Berikan tanganmu!!" Pintaku ketus. Ia hanya diam dan mengabaikan.
"Berikan!!" Aku langsung mengambil dan membukanya, melihat lukanya masih basah dan nampak terus mengeluarkan darah.
"Apa yang kau lakukan dengan tanganmu?!" Perkataanku lantas membuat Bu Sari menilik ke arah kami. "Kamu melakukan sesuatu yang membuatnya semakin parah?!"
"Jangan ikut campur!!"
"Kamu juga jangan bod*h dan keras kepala!! Ini harus di obati." Aku mengambil beberapa daun yang telah ku tumbuk di atas meja dan menempelkan ke tangannya.
Meski ketus, tapi ia membiarkan aku melakukannya. "Kalau terluka, harus di obati.. bukan di biarkan."
"Di obati atau di biarkan, dia tetap akan sembuh juga." Aku langsung meringis menatapnya.
"Akan terlihat berbeda. Jika dia sembuh dengan di obati, maka lukanya akan cepat kering dan bekasnya tak akan kentara. Tapi kalau tak di obati, selain sakit, bekasnya pun akan terlihat jelas meski lukanya sudah tak berdarah lagi!!" Ia langsung terkesiap, seolah tersengat sesuatu.
Tangannya sedikit bergetar ketika mendengar ucapanku. "Jangan sok tahu mengenai luka jika kau tak benar-benar mengalaminya dengan serius."
"Meski tak mengalaminya, aku punya kemampuan untuk merasakan sakitnya meski hanya sekedar melihatnya. Dan sepertinya... kau memaksakan diri dengan membiarkan lukamu terus menganga. Kalau begitu, sampai kapanpun kau tak akan benar-benar sembuh dari rasa sakitmu." Tuturku, namun sepertinya itu membuatnya sangat marah dan tersinggung.
Ia lantas menampik tanganku dengan kasar ketika mendengar ocehanku. Aku begitu kaget karena ia benar-benar memukul tanganku dengan tenaganya. Ia keluar dari rumah tanpa mengatakan sepatah kalimat pun.
"Raka, makanannya baru saja siap!" Ucap Bu Sari ketika baru saja masuk ke dalam tenda dari pintu yang ada di belakang. "Kenapa dia keluar? Apa kalian bertengkar?" Tanya Bu Sari hingga membuatku merasa bersalah dan tidak nyaman.
"Aku hanya menceramahi tentang luka, tapi dia terlihat begitu marah." Sahutku pelan dan entah kenapa, aku merasa begitu khawatir selepas kepergiannya.
Entah aku salah lihat atau tidak, tapi.. aku sempat melihat air matanya yang jatuh, meski ia telah memunggungiku dengan cepat.
Sebenarnya, luka seperti apa yang telah menyayatnya? Aku tak melihat luka berarti di tubuhnya..
Atau jangan-jangan, luka itu...
Ada di dalam hatinya??
.......
.......
.......
.......
...Bersambung......
Malam harinya, aku tidur di samping ibu Sari. Tempat tidur ini sejujurnya hanya cukup untuk satu orang saja, tapi ibu Sari sangat baik sehingga mau berbagi tempat tidur ini bersamaku.
Aku berada di sisi ujung, sedikit tidur menyamping begitu pula dengan ibu Sari. Aku tak bisa tidur malam ini. Rasanya gelisah, tak nyaman, takut dan perasaan aneh lainnya yang berkecamuk di dalam hatiku. Apakah setelah tidur, aku akan terbangun di dalam rumahku?? Apakah aku akan kembali lagi ke rumah?? Atau bagaimana??
Aku harus memulihkan diri dan kembali ke tempat asalku, dan bukan disini. Satu hari saja rasanya cukup aneh dan membuat hatiku kian terselimut kabut hitam.
Krieeet..
Dalam lamunanku, tiba-tiba pintu pondok terbuka. Aku tahu, itu pasti Raka yang baru saja kembali dari luar selepas berdebat dengan ku tadi. Aku langsung memejamkan mata dan berpura-pura tidur.
Pencahayaan di rumah ini hanya mengenakan lampu yang mirip lentera. Dalam gelapnya pejaman mataku, aku tak mendengar suara yang diciptakan oleh Raka. Sebenarnya aku penasaran dan ingin mengintip apa yang sedang ia lakukan.
Tapi aku mengurungkan niatku ketika langkah kakinya perlahan mendekat ke arahku. Jangtungku bergumuruh, apa yang ingin ia lakukan padaku??
Perlahan tubuhku terangkat ke pelukannya, ia seperti membawaku beranjak dari atas tempat tidur Bu Sari. Jantungku berdegup kencang dan aku ketakutan sekali. Mau di apakan aku??? Apa dia benar-benar mau membuangku ke dalam lembah seperti ancamannya waktu itu?
Namun ketakutanku lantas sirna ketika tubuhku terasa terbaring di atas tempat tidur. Ia melepaskan ku di sana dan beralih. Setelah itu aku mendengar suara kursi yang berderit.
Ku jeda waktunya sekitar beberapa puluh menit untuk mengintip. Ternyata ia memindahkan ku di tempat tidurnya agar tak berdesakan dengan sang ibu, sementara ia.. dia memilih tidur terduduk di atas kursi di meja makan.
Dia seperhatian itu??
Aku tersenyum sambil beranjak dari atas tempat tidurku dalam keadaan tertatih. Ku berikan selimut yang berada di ujung kaki ku untuknya. Setidaknya ia tak kedinginan meskipun harus tidur dalam posisi seperti itu.
..........
Aku terbangun setelah mendengar suara aktivitas yang di lakukan oleh Bu Sari. Ternyata hari sudah pagi, dan matahari mulai menguning. Ia terlihat memilah potongan kayu, dan menggunakannya dalam pembakaran yang ia manfaatkan untuk memasak makanan di luar pondok.
Aku beranjak perlahan, mengucek mataku sesaat dan mengumpulkan nyawa, lalu berdiri menghampirinya. Ia menatapku sambil tersenyum setelah menyadari kehadiranku.
"Ayu? Sudah bangun?" Tanyanya lembut.
Aku hanya menggarukkan kepalaku. "Ah, ibu.. apa.. ada yang bisa aku bantu?" Tanyaku. Bukan sekedar berbasa-basi, tapi aku memang ingin membantunya.
"Ibu sedang menyalakan api untuk menanak nasi. Tadi Raka sudah mencari beberapa kayu bakar untuk di gunakan. Kalau Ayu mau mandi, ibu sudah mempersiapkan alat mandinya. Danaunya yang kemarin, apa mau di temani?"
Aku segera menggeleng. "Wah! Tak usah Bu. Aku bisa sendiri. Aku juga sudah hafal jalannya." Sahutku canggung sambil bersegera mengambil sebuah tempat yang mirip ember untuk di bawa ke danau kemarin.
"Berhati-hati lah. Jika kakimu terasa nyeri, beristirahat lah terlebih dahulu." Ia mengingatkanku karena khawatir.
Selepas mandi, aku kembali dengan hidangan yang telah matang. Lauknya ikan sungai, sepertinya hasil tangkapan Raka atau membeli dari pasar??
"Kemarin sewaktu Raka keluar, dia menangkap ikan dengan tombak. Jadi kita bisa makan tanpa perlu mengeluarkan uang untuk membeli lauk di pasar." Terangnya sambil duduk di dekatku.
Aku tertunduk menatap hidangan yang masih mengepulkan asap di hadapanku. "Bu.. Sebenarnya, Raka itu orang yang seperti apa?"
Pertanyaanku lantas membuat ekspresi Bu Sari berubah. "Oh!! Jangan salah paham Bu, aku.. cuma penasaran. Karena dia itu dingin dan sepertinya merasakan luka yang tak bisa di lihat orang lain." Ucapku, berusaha memperjelas maksud.
Bu Sari hanya menghela napas panjang. "Bagaimana ya.. dia itu, terus-menerus kehilangan orang yang ia cintai.." Aku mengernyit.
"Ayahnya, kakak lelakinya, kakak perempuannya, pamannya, dan juga perempuan yang ia cintai."
Bak tersambar petir, hatiku seketika kalut dan mendung mendengarnya. "Sebanyak itu?? Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Inilah salah satu alasan kenapa Raka ingin menjadi prajurit kerajaan dan melindungi yang mulia raja. Ia sudah muak dengan para perompak dan juga prajurit perang dari kerajaan lain yang berusaha merebut kekuasaan di daerah kami."
"Daerah ini terletak paling ujung dari istana kerajaan. Tempatnya tak strategis, tertinggal, terbelakang, dan tak memiliki hasil alam yang dapat di manfaatkan. Bisa di bilang, tempat ini adalah anak tiri kerajaan. Hanya saja, ia masih masuk ke batas wilayah kerajaan Aridul."
"Karena terlalu di kesampingkan pihak kerajaan, banyak sekali rakyat yang mati akibat dari peperangan kedua kubu kerajaan. Daerah kecil memang selalu menjadi tempat atau Medan peperangan kerajaan-kerajaan besar, dan dampak dari hal itu.. banyak sekali korban yang berjatuhan."
"Raka berniat untuk menjadi prajurit terhebat suatu saat nanti. Ia ingin melindungi desa ini dan juga orang-orang yang ada di dalamnya. Ia tak takut mati, bahkan sepertinya ia lebih suka mati dan menantang malaikat pencabut nyawa."
"Dia berjuang sangat keras untuk menjadi yang terkuat." Suara Bu Sari perlahan lirih. "Makanlah ikan bakar dan nasi ini selagi hangat. Nanti tidak enak lagi kalau sudah dingin." Lanjutnya sambil mulai mencomot nasi dengan tangannya.
"Bu, apakah ibu bisa menunjukkan di mana camp pelatihan Raka?"
Bu Sari terdiam, nampak bingung. "Kenapa?"
"Makanlah ini selagi hangat kan, kalau sudah dingin.. nanti tak enak lagi kalau di makan Raka." Sahutku hingga membuat Bu Sari tersenyum.
..........
Aku menggaruk-garuk kakiku yang terkena ilalang sambil berjalan terpincang-pincang. Tempat nasinya sedikit aneh, terbuat dari seng atau apalah ini. Cara membawanya dengan di bungkus kain dan diikat kuat seperti tali pocong di atasnya.
Aku berjalan sesuai dengan arahan Bu Sari, di ujung jalan aku bisa melihat banyak camp dan para pemuda yang berkumpul memenuhi lapangan yang cukup luas.
Mereka seperti sedang melaksanakan pelatihan militer. Berlari sambil menyeret benda besar yang terikat di pinggul. Melewati beberapa lumpur, tali, pelatihan pedang, berlatih kuda sambil mengayunkan senjata, memanjat kayu-kayu dan lain sebagainya.
Suaranya riuh, namun tempat tersebut di batasi oleh tali-tali yang mengelilinginya. Intinya kami tak boleh masuk dan melewati tali itu.
Aku berjalan tertatih di sisi tali, melihat beberapa orang berdiri dan menunggu di perbatasan. Mereka memegang benda yang sama seperti yang tengah aku bawa.
Kedatanganku menarik perhatian mereka, salah satunya menoleh dengan kernyitan dahi di wajahnya, menatapku dengan pandangan heran. Mungkin karena baru pertama kali melihatku. Aku yakin masing-masing dari mereka sudah saling kenal, mengingat desa yang mereka tinggali begitu kecil.
"Kalian sedang menunggu seseorang untuk memberikan sesuatu?" Tanyaku, dan agaknya mereka sedikit memberi jarak karena tak mengenaliku.
"Ya." Sahutnya.
"Aku juga." Balasku. Sok kenal dan sok dekat adalah keahlian ku.
"Kamu cantik sekali, apakah sedang menunggu kekasih??" Perkataanku lantas membuat wajah salah seorang gadis yang berdiri di sampingku lantas memerah.
"Benarkah? Sepertinya kamu lebih cantik, dan juga.. kamu berasal dari mana? Tak pernah ku lihat sebelumnya?" Tanyanya, mulai bersahabat.
"Ah, aku jarang keluar rumah." Dalihku.
Ia tersenyum sambil mulai menimpali ku. "Aku kesini menunggu kakak laki-laki ku. Dia ingin menjadi prajurit dan bercita-cita menjadi panglima kerajaan-"
"JANGAN!!" Pekikku, membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. Aku ternganga beberapa saat sebelum berkata.. "Maaf." Singkatku malu, sampai mereka mengabaikanku.
Gadis tadi kembali menatapku ketika orang-orang tak melihat kami lagi. "Kenapa? Itu adalah cita-cita setiap pemuda yang mengabdikan diri pada raja sebagai prajurit. Itu adalah jabatan mulia."
Aku menenggak ludah. Aku selalu takut dan was-was kalau mendengar kata panglima. Karena yang ku tahu, jabatan itu suatu saat nanti akan mengkhianati raja dengan merebut ratunya. Bukan kah itu menyeramkan?
"Lalu kamu ingin menemui siapa di sini?" Ia kembali bertanya.
"Aku ingin memberi makanan pada Raka." Seketika itu juga, raut wajah gadis ini berubah. "Ah! Apa dia pacarmu?? Atau kau menyukainya? Atau bahkan, kalian saling suka??" Sergahku panik, membuatnya sedikit malu. Rona wajahnya kembali memerah.
"Aku suka dia." Tukasnya mantap.
"Heeeeh?!" Aku menyeru panik. Kalau ada Nina, mungkin dia akan memukuli kepalaku karena aku memberikan efek wajah yang jelek.
"Tidak mengherankan, hampir semua wanita di desa ini jatuh hati padanya. Aku cuma salah satunya. Lalu, apa hubunganmu dengannya?"
Aku mengernyit. "Aku di pungut! Bukan siapa-siapa, jadi tenang saja."
"Kalau suka pun tak masalah, karena dia selalu menolak siapa saja yang menyukainya." Lanjutnya.
Aku hanya terkesiap heran. "Termasuk kamu?!" Ia mengangguk. "Hei!! Dia itu memang lelaki gila! Dingin, dia juga mengusirku. Dan ini sangat parah!! Dia menolak gadis secantikmu?!"
Gadis ini kembali tersipu. "Sudahlah. Jangan panggil aku cantik. Itu membuatku malu."
"Aku cuma bicara apa adanya. Oh iya, namaku Ayu. Namamu?"
"Aku Nur." Aku mengangguk paham, hingga sebuah tarikan tangan menghentikan percakapan kami.
"Kenapa kamu di sini?!"
Aku terkesiap, ketika melihat Raka yang tiba-tiba saja datang dan menarikku menjauhi Nur. "Nur, nanti kita bicara lagi!!" Pekikku seraya berjalan terseret mengikuti Raka, ia membawaku pada sebuah pohon dengan rerumputan pendek di bawahnya. Cocok sekali untuk berkemah.
"Oh, Raka!! Aku membawamu makanan. Makanlah, ini ikan tangkapan mu kan?" Ujarku sambil menyodorkan makanan tersebut padanya.
"Jangan datang ke sini lagi!!" Ia sedikit membentak, namun aku tak akan kaget hanya dengan teriakan seperti itu.
"Memangnya kenapa?"
"Aku sudah mengatakan padamu untuk tak terlihat atau keluar dari rumah kan?"
"Kamu berisik, cepat makan saja!! Aku sudah membawanya ke sini." Ujarku, sambil membuka makanan yang ku bawa dan duduk di atas rerumputan.
Awalnya ia terdiam, namun sepertinya Raka adalah anak yang patuh dan penurut. Ia langsung duduk berhadapan denganku dan menungguku membuka kain pembungkus makanannya.
"Kita makan sama-sama, aku tadi belum sempat makan dan langsung membawa makanan ini ke sini selagi hangat."
Ia hanya terdiam, dan agaknya menatapku dengan dalam. Ku balas tatapan matanya, namun ia sama sekali tak mengalihkan pandangan atau bertingkah kaku.
"Kenapa kamu lakukan itu?" Suaranya nampak serak.
"Karena kamu harus kuat. Malam tadi kamu tak makan karena berkelahi denganku kan perihal luka. Jadi aku merasa bersalah padamu." Tuturku sambil menyodorkannya sewadah nasi dengan satu ikan bakar.
"Bodoh!" Ia mengumpat ku, namun tangannya tetap menerima makanan yang ku beri.
Kami makan bersama di bawah pohon rindang yang jaraknya cukup jauh dari camp pelatihan. Entah kenapa, dia selalu memintaku untuk menjauh dari kerumunan dan orang-orang. Ku rasa aku tak bermaksud untuk menarik perhatian dan aku yakin aku memang tak menarik.
Tapi.. kenapa dia bersikeras untuk mengurungku di rumah saja?? Apa jangan-jangan...
"Hoooh!!" Aku menyergah, membuatnya sedikit terkesiap karena kaget. Ia menatap heran ke arahku, dengan daging ikan yang masih berada di antara tangan dan mulutnya.
"Jadi menurutmu aku ini menarik? Benarkan?" Ia nampak meringis.
"Bod*hnya. Kenapa tiba-tiba kamu berpikir begitu?" Keluhnya.
"Ya jelas!! Kamu memintaku untuk tak keluar rumah, tak bertemu orang-orang, dan tak menarik perhatian.. menurutku aku tak akan melakukan semua itu, kecuali itu semua adalah pendapatmu sendiri mengenai diriku." Ia menelengkan kepalanya, nampak bingung.
"Artinya.. kau menganggapmu menarik kan?? Makanya tadi dengan cepat kamu bisa menemukanku di antara keramaian orang-orang di perbatasan camp!! Benar kan?? Dan lagi, saat di pantai.. kau juga menemukanku dengan cepat. Pasti aku menarik sekali bagimu. Haha" Aku terbahak sambil memukul lengannya.
Ia langsung tersedak mendengar ucapan ku. Wajahnya memerah, bukan karena malu tapi lebih ke kesal sepertinya.
"Aku tak pernah memukul wanita, jadi jangan buat aku melakukan itu padamu!!" Bentaknya kesal, namun aku merasa ekspresi itu cukup lucu baginya. "Kenapa kau tertawa? Kau pikir ini lucu?!" Bentaknya lagi.
"Habisnya, kamu selalu berwajah datar dan dingin. Jadi, wajah kesalmu baru pertama kali ku lihat. Aku suka melihat wajah mu yang berekspresi, kau jadi terlihat lebih manusiawi." Ia hanya mendecakkan lidahnya mendengar ucapanku.
"Berhentilah bicara konyol." Ekspresinya kembali datar dan dingin, aku langsung menghapus senyuman dari bibirku.
"Padahal baru saja melihatmu berekspresi, kenapa sekarang dingin lagi?? Kau tahu, aku ini gampang masuk angin.. jadi jangan bertingkah dingin begitu." Keluhku hingga membuat sepasang mata tajam menilik lekat ke arahku. "Hei!! Itu tatapan mata pembunuh!!" Pekikku ketakutan.
"Berhentilah begitu!! Aku tak pernah kesal pada orang asing sebelumnya." Suaranya terdengar datar. Ia kembali mengabaikanku dan memakan bekal yang ku bawa.
"Oh ya, ku dengar kau menolak gadis cantik bernama Nur."
"Para gadis memang suka berbicara hal yang tak perlu." Singkatnya, sadis.
"Bukannya dia cantik?" Sambungku.
"Lalu?"
"Harusnya kau menyukainya kan?"
"Tidak."
"Bukannya Bu Sari bilang, kamu pernah jatuh cinta?" Lagi-lagi ia tersedak atas perkataanku.
"Benar-benar! Kenapa wanita selalu berbicara sesuatu yang tak perlu?!" Keluhnya.
"Wanita itu ibumu!!" Bentakku kesal. "Benar kan? Kau pernah jatuh cinta kan?"
Ia kembali terdiam. "Tidak akan lagi." Singkatnya.
"Kenapa?"
"Cinta itu tidak ada!" Sahutnya.
"Ada kok! Cinta itu ada!!" Aku mulai mendebatinya. Aku benar-benar kesal melihat orang bod*h yang kekeuh dengan pendirian konyolnya.
"Kalau pun dia ada, dia tak pernah di ciptakan untukku." Suaranya terdengar getir.
Aku terdiam beberapa saat, memilah-milah perkataan yang akan ku ucapkan padanya. "Kau terlihat b*doh kalau putus asa."
Ia kembali menatapku dengan tajam. "Aku tak suka di cemooh!!"
"Memangnya aku perduli, aku bukan mencomooh, tapi itulah faktanya!!"
Ia menarik napas panjang. "Berhentilah memancing ku untuk berbicara konyol. Dan lagi aku tak tertarik padamu atau apapun yang kau sebutkan itu. Aku memintamu untuk tak keluar rumah hanya karena tak ingin luka di kakiku bertambah parah."
"Woh!! Perhatian itu tanda cinta loh!" Balasku cepat.
"Itu bukanlah perhatian, hanya saja.. jika kakimu cepat sembuh, kau akan cepat keluar dari rumahku. Kalau kau terus bergerak, kapan lukanya akan mengering dan sembuh!" Tuturnya. "Berhentilah salah paham begitu." Aku meringis masam mendengarnya.
"Kau lah yang berhenti bicara berhenti!! Kau pikir kau itu rambu-rambu, harus menyuruhku berhenti terus?!" Balasku kesal.
Ia mengabaikanku sambil kembali memakan makanannya. "Kalau kau bilang cinta itu tidak ada, maka aku akan membuktikannya." Ia mematung tanpa menatapku.
"Aku.. akan membuatmu jatuh cinta padaku.. sebelum kakiku sembuh!" Tukasku mantap.
Ia mulai mengangkat kepala dan menatapku. "Sampai kau mati di tanganku pun aku tak akan pernah mencintai mu." Balasnya, penuh keyakinan.
"Kalau begitu, semisal aku tak berhasil membuatmu mencintaiku setelah lukaku benar-benar sembuh dan berbekas."
"Kau boleh, membunuhku dengan kedua tanganmu.."
"Tapi kalau aku bisa.." Ia mulai menilik penuh arti kepadaku.
"Berjanjilah untuk tersenyum dan menyembuhkan lukamu itu." Kedua matanya terbelalak dan kami hanya saling tatap dalam diam.
.......
.......
.......
.......
...Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!