NovelToon NovelToon

Langit Untuk Ara

Perkenalan

Namanya Salasika Arabella. Biasa disapa Ara, gadis manis yang senyumnya menduhkan siapa saja yang memandangnya. Dia gadis biasa, nyaris banyak luka di hatinya. Namun, kasih sayang orang tua angkatnya mampu membalut luka tak kasat mata itu.

Tumbuh dan besar bersama dua orang kakak laki-laki kembarnya membuat Ara diam-diam menyimpan rasa cinta bahkan memupuknya pada salah satu di antara keduanya. Namun, dengan alasan orang tua Ara yang memiliki masa lalu kelam, keluarga besar orang tua angkatnya tak setuju satupun di antara kedua kakak beradik itu bersanding dengan Ara.

Hingga akhirnya Ara dijodohkan dengan seorang pria yang sama sekali tak memiliki tempat di hatinya. Mampukah Ara menerima perjodohan itu? akankah dirinya mampu membunuh rasa cintanya terhadap salah satu kakaknya?

Kesalahan Saya

Maaf jika ada yang terlanjur membaca, tapi bab satu kita mulai dari bagian yang berjudul **Salasika Arabella.

Mohon maaf sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan ini. Entah mengapa bisa seperti ini. Selanjutnya semoga lebih berhati-hati dan terarah.

Mari kita mulai kisah Ara, Aro, Akhza dan Atar dalam goresan Aksara berjudul Langit untuk Ara ini**.

Salasika Arabella

"Maaf, Kak, saya nggak bisa jual pil KB ke sembarang orang. Apalagi Kakak masih usia sekolah," papar seorang Bidan berhijab putih pada seorang anak remaja yang masih mengenakan rok abu.

"Saya beli buat ibu saya kok, Mbak," sahut gadis remaja itu.

"Kalau memang beli buat ibunya, sini perlihatkan kartu berobatnya." Sang Bidan menengadahkan tangan kanannya pada sang gadis. Membuat gadis itu terdiam tak dapat menjawab.

"Ya udah, deh kalau nggak mau jual. Saya bisa membelinya di toko obat," ujar gadis itu memberengut kesal seraya berlalu.

Sang Bidan yang bernama Salasika Arabella mendesah pelan. Miris sekali dengan kelakuan gadis tersebut. Ara, begitu sang Bidan biasa disapa, beranjak dari duduknya lalu berjalan ke arah pintu keluar. Memperhatikan gadis tadi yang kini sedang naik ke atas sebuah motor Ninja. Rok selututnya naik hingga memamerkan paha mulus gadis itu.

"Astagfirullah," gumam Ara seraya mengusap wajahnya. Bukan sekali dua kali dirinya mendapati anak remaja yang ingin membeli pil KB. Jenis obat penunda kehamilan itu tentu hanya boleh dikonsumsi oleh wanita bersuami. Bukan anak gadis.

"Ada yang mau beli pil KB lagi, Ra?" tiba-tiba sebuah suara dari arah samping mengagetkan Ara.

"Ligaaaar, kebiasaan deh. Kalau ngomong kasih kode dulu dong," protes Ara.

"Maaf, abis kamu bengong aja, sih," sahut Ligar seraya terkekeh. Dibalas Ara dengan mencubit kedua pipi Ligar.

"Sakit, Ara ...." Ligar mengusap pipinya yang terasa panas.

"Biarin, siapa suruh bikin aku kaget," sanggah Ara menjulurkan lidahnya.

"Udah, deh sana pulang. Kamu 'kan hari ini mau dikhitbah seseorang," ucap Ligar mengingatkan Ara pada kenyataan yang membuatnya pilu itu.

"Kamu nggak apa-apa nih aku pulang sekarang?" tanya Ara merasa tak enak karena sebetulnya jam kerjanya masih ada 30 menit lagi.

"Nggak apa, lagian jam kerja kamu juga dikit lagi abis," jawab Ligar membuat Ara tersenyum senang.

Ara segera kembali ke mejanya. Memasukkan ponsel, pulpen serta buku kecil ke dalam tasnya. Dia menimang sesaat khawatir ada barang yang tertinggal. Namun, tak lama bibirnya tertarik ke atas saat seluruh barang yang diabsennya sudah ada di dalam tas kecilnya.

"Bener nih nggak apa-apa aku duluan?" selidik Ara menyelisik ke wajah Ligar.

"Nggak apa, Raaaa!" seru Ligar sedikit meninggikan intonasi suaranya membuat Ara mengusap telinganya.

"Nggak usah teriak juga atuhlah," protes Ara.

"Habisnya kamu bawel," balas Ligar tersenyum jahil.

"Ya udah, aku duluan yaa."

"Eeh, Ra ...," cegah Ligar.

Ara yang baru beberapa langkah bergerak sontak membalikan badan seraya memiringkan kepala menunggu Ligar bicara.

"Kasih satulah kakak kamu buat aku, atau adik kamu juga boleh."

"Kalau mereka mau, semuanya juga boleh buat kamu, Ligaaaar!" seru Ara merasa kesal sebab tidak penting sekali apa yang dikatakan temannya itu.

"Nah itu yang berat," sahut Ligar seraya terkekeh.

"Udah ah, aku pulang, ya."

Namun saat Ara hendak kembali melangkah, lagi-lagi panggilan Ligar menahannya. Kali ini Ara hanya menghentikan langkah tanpa berbalik ke arah Ligar. Menunggu Ligar bicara.

"Salam ya, Ra, buat Babang Sakaf. Kamu beruntung punya calon suami sesempurna itu."

Ara tersenyum kecut mendengar ucapan Ligar. Haruskah merasa beruntung? apakah pernikahan karena perjodohan akan saling melengkapi?

Ara menghela nafas dalam seraya mengusap dadanya. Ada sesak yang memupuk di sana. Ingin berontak, tapi apa daya. Ara tak ingin membuat kedua orang tua angkatnya kecewa. Sebagai anak yang dibesarkan penuh kasih sayang oleh mereka. Ara hanya ingin berbakti. Dan, mungkin menerima perjodohan ini adalah bentuk baktinya yang nyata.

"Ra, kok malah diem?"

"Oke, nanti aku salamin. Aku bilang ada bidan cantik yang titip salam, siapa tahu Kak Sakaf punya temen cowok yang masih single. Gitu, 'kan maksudnya?" Ara bicara tanpa menoleh pada Ligar. Ada tumpukan cair bening kristal di kedua pelupuk matanya. Ara tak ingin Ligar melihat kesedihannya.

"Pinter kamu, Ra. Pantesan dipilih Kak Sakaf."

Ara tak menjawab, ia melambaikan tangan seraya beranjak tanpa menoleh kembali pada Ligar. Ara mendorong pintu kaca dan mulai mengedarkan pandangan. Warung bakso menjadi pemandangan pertama yang ia lihat saat keluar dari gedung klinik bersalin milik Bidan Army itu.

Baru dua bulan terakhir Ara bekerja di klinik tersebut. Letaknya yang tak jauh dari kediaman orang tua angkatnya menjadi alasan Ara tetap nyaman bekerja walau tak mendapatkan gaji besar.

Ara melangkah perlahan menyusuri pinggiran jalan aspal yang mulai rusak sana sini. Pandangannya lurus ke depan, tak tahu bila ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Pria yang lebih tinggi darinya, walau masih mengenkan seragam SMA itu mempercepat langkah agar dapat menyusul Ara.

"Teteh ....!"

Reflek Ara menghentikan langkah saat suara seseorang yang begitu familiar di telinganya. Ara berbalik dan mendapati adiknya sudah berdiri di sampingnya.

"Kamu ngapain, dek?" tanya Ara keheranan.

"Aku cuma mau mastiin kalau Teteh beneran mau dijodohin sama kak Sakaf?" selidik adiknya itu.

"Atar, udah berapa kali aku bilang, aku nggak mau ngomongin ini."

"Teteh nggak mikirin perasaan Abang?" tuding adik lelakinya yang bernama Atar itu.

Ara menghela nafas, sesak. Kisah cintanya bersama Akhza kakaknya, memanglah rumit. 'Tak pernah mendapatkan titik terang. Bagaimana tidak, anak sulung orang tuanya itu jatuh cinta sejak lama padanya. Namun, hal tersebut ditentang oleh seluruh keluarga besar orang tua angkatnya.

"Aku harus gimana, Dek?" tanya Ara putus asa.

"Teteh bujuk bunda dan ayah, dong," saran Atar.

"Sambil jalan aja, yuk!" ajak Ara seraya mulai melangkah kembali. Akhza berjalan di sisinya, keduanya melangkah seirama.

"Aku bantu ngomong, ya ke bunda?" Atar meminta pendapat Ara.

"Jangan, dek. Udah telat juga," tolak Ara tersenyum kecut.

Percuma bila protes saat ini. Semua sudah terancang sempurna. Malam ini, ba'da isya keluarga Sakaf yang tak lain adalah putra dari sahabat Ayah angkatnya akan datang melamar secara resmi.

"Atau Teteh mau kabur aja?"

"Jangan aneh-aneh, dek. Aku nggak mau bikin ayah sama bunda kecewa."

Atar kehabisan kata, dia hanya memandang sedih kakaknya itu. Bagi Atar, Ara adalah kakak terbaiknya. Meski tak dilahirkan dari rahim yang sama, tapi dia sangat menyayangi Ara.

Keduanya sudah tiba di depan kafe milik orang tua mereka. Sudah terparkir dengan rapi sedan hitam yang sudah sangat Ara dan Atar kenali siapa pemiliknya.

"Abang udah pulang, Teh?"

"Iya kayaknya, Dek."

Ara dan Atar bergegas masuk menuju rumah lewat jalan pinggir di sebelah kafe. Keadaan kafe yang ramai sore itu menjadi pemandangan indah bagi Ara. Terselip syukur dalam hatinya karena usaha orang tuanya semakin hari semakin sukses.

Patah-patah langkah Ara dan Atar saat akan memasuki pintu utama yang tak tertutup. Dari dalam sudah terdengar suara obrolan serta gelak tawa yang bersahutan.

Ara dan Atar kenal betul dengan suara-suara itu. Keduanya saling berpandangan dan tersenyum bahagia. Jelas, sudah lama rasanya tak berjumpa dengan kedua saudara kembar mereka yang memiliki sikap bertolak belakang.

"Assalamu'allaikum ...." kompak keduanya mengucap salam.

Bumi, sang Bunda adalah yang paling sumringah menyambut keduanya.

"Eh, kok bisa barengan gini?" tanya Bumi yang tangannya sedang dicium oleh Atar dan Ara bergantian.

"Nggak sengaja ketemu di jalan tadi, Bun," jawab Ara. Ia beralih menyalami Akash, ayahnya yang meski sudah berusia lanjut namun, tetap terlihat gagah.

"Telat lima belas menit nih kamu, ngapain dulu?" tanya Akash. Dirinya memang sangat ketat menjaga Ara.

"Tadi ngobrol bentar sama adek, Yah." Atar menyahuti kekhawatiran ayahnya.

Kini pandangan Ara beralih pada kedua kakaknya. Ada Akhza dan Aro yang juga sedang memandangnya. Keduanya duduk bersisian. Dilihat sekilas memang sangat mirip meski dengan dandanan dan gaya pakaian yang berbeda.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!