****
Terima kasih untuk semua pembaca, maupun calon pembaca cerita ini, yang sudah mencapai jutaan view sampai hari ini. Karena dukungan kalian, akhirnya novel pertamaku "Misteri di Desa Tertinggal" bisa dipinang penerbit untuk dicetak menjadi sebuah buku. Yang pasti isinya lebih menarik, karena langsung ke inti ceritanya. Jadi, cussss..... Order buku cetaknya ke instagram penerbit @maple.media atau penulisnya @makmak871.
Lope-lope sekebon💕💕💕💕 buat semua dukungannya, baik dari like, vote, komentar, yang selalu memberi semangat untuk terus berkarya. Karena tanpa kalian, cerita ini akan sia-sia saja. Maaf kalau blm bisa membalas semua komentar dari kalian semua. Tapi akan diusahakan membaca setiap komentarnya.
Kiya Cahya always love you, all...... 😘😘😘😘
****
Pagi ini, aku baru sampai di salah satu kota, yang sangat jauh dari negara tempat tinggal keluargaku sebelumnya.
Tujuanku datang ke sini, selain untuk menimba ilmu ke jenjang lebih tinggi, juga ingin menjauhi bahaya yang sempat mengancamku.
Bahaya dari sekte sesat yang selalu mengejarku setiap saat, sebelum sekte itu bertindak nekat. Keberadaanku di sini juga tak diketahui orang lain, kecuali hanya kerabat dekat.
"Hai, Aish. Sudah lama nunggunya?" panggil seorang lelaki tampan mengagetkan lamunanku di kursi tunggu bandara.
"Eh... Kak Azzam, baru nyampe kok," jawabku sedikit gugup, dengan hati berdebar kencang.
"Ehmm..... Lama gak ketemu, tambah cantik ya kamu," goda kak Azzam tak berhenti menatapku, semakin membuatku tersipu malu.
"Sudah, gak usah gombal. Sekarang aku harus kemana dulu ini?"
"Beneran gak gombal, tapi kenyataan. Kita gak ketemu berapa lama ya?"
"Tiga tahun?"
"Ya, sekitar tiga tahun lalu. Dan kamu bisa berubah jadi bidadari setelah ku tinggal pergi. Jadi agak kecewa ini."
"Kecewa kenapa?"
"Kecewa gak temenin kamu saat metamorfosis jadi secantik ini. Eh, tapi gak ada yang godain kamu 'kan selama kita jauh?" tanya kak Azzam terus saja memandang lekat ke arahku.
"Apaan sih, lama gak ketemu jadi pinter ngrayu? Jangan-jangan, selama ini sudah latihan sama cewek-cewek di sini?"
"Ih, yang ada mereka yang godain aku. Lagian juga aku bisanya ngrayu cuma sama kamu, meskipun sebenarnya buat menutupi rasa malu hee....," cengirnya.
"Oh, berarti ngrayunya cuma karena malu aja?" balasku membuatnya ganti mati kutu.
"Ehmmm..... Tapi kamu memang tambah cantik kok. Jauh lebih cantik daripada saat kita telepon video," katanya memandangku dari ujung rambut sampai kaki, sambil terus mengamati.
"Ayo kita kemana dulu ini?" sahutku mengalihkan pembicaraannya, karena semakin lama semakin berdebar rasanya.
"Kita makan dulu saja, laper kan?" tanya kak Azzam merampas koperku, dan langsung menggeretnya menjauh dariku.
"Lhah, ditinggalin?"
"Eh iya, tangannya sampai lupa gak kebawa," balik kak Azzam menggandeng tanganku dengan tangan kirinya, sambil tertawa puas melihat wajahku geregetan pagi ini, setelah mulai keluar isengnya lagi.
"Kirain cuma inget sama kopernya aja. Habis gombalin, malah ninggal pergi gitu aja!" sahutku kesal.
"Ya enggak mungkin lah, kalau aku bisa melupakan keindahan ciptaan Allah. Ehmmm....meskipun lagi cemberut, tetap saja membuatku terlena saat melihatnya."
"Hihhh.... Biasa aja kenapa sih? Kok gombal terus dari tadi. Ku cuci nanti!"
"Apanya? Gombalnya? Mau ngelucu ya, tapi gak lucu hahahaaa.....," ejeknya semakin membuatku kesal saja, dan dia tertawa lepas menjauhi cubitan yang ku hujamkan di lengannya.
Sampai lelah rasanya mengejar kak Azzam, di sebuah parkiran luas, saat hendak mengambil sepeda motor yang kak Azzam titipkan.
" Sudah... Sudah...., capek kejar-kejarannya. Kayak film India aja. Yuk, aku antar ke kontrakan dulu," ajak kak Azzam.
"Kak Azzam sudah carikan aku kontrakan?"
"Ehmmm.... Belum sih! Maksudnya aku nunutin ke kontrakan milik temanku dulu, he....," cengirnya yang selalu bikin geregetan.
"Ya sudah, aku tunggu di bawah pohon ini," seruku menunjuk sebuah pohon rimbun yang paling dekat dengan tempatku berdiri.
Baru saja ku langkahkan kaki mendekat, suara wanita menangis sudah terdengar tak asing lagi.
"Hadeh.... Gak denger, gak denger," gumamku lirih sendiri di sini.
"Hik.... Hik... Tooloooongg..... Toloooong....," serunya semakin berbisik di telingaku.
Dengan susah payah masih tak ku hiraukan suara itu. Tapi sepertinya dia tahu kalau aku bisa merasakan keberadaannya di sini.
"Hikk..... Toloooongg....., aku tahu kamu anak baik. Aku tahu kamu bisa melihatku. Toloongg...., lihat aku!"
Masih berusaha ku tutup telinga dan mataku. Untuk tak menggubris makhluk itu.
"Fffuuuuuhhhh......"
Tiupan angin busuk mulai menerpa di hidungku. Aku sadar kalau ini pasti perbuatan makhluk itu. Yang hanya iseng mempermainkan aku.
"WOEEEYYY.... CUKUP!! BAU NAFASMU ITU LO," teriakku langsung membuka mata, meskipun awalnya aku tak mau berurusan dengan 'mereka' sementara ini.
"Maaf, Dek. Kalau saya ada salah. Saya cuma kelaparan, dan belum makan. Jangankan beli pasta gigi, beli nasi pun tak ada uang," ucap seorang ibu seumuran bunda dengan baju lusuhnya, baru saja lewat di depanku.
"Maaf, Bu. Maaf. Bukan ibu yang saya maksud tadi. Oh iya, tolong terima ini. Sedikit buat makan nasi," kataku mengambil beberapa lembar mata uang negara ini.
"Maaf, Dek. Tapi saya bukan ingin meminta nasi sama adek. Saya hanya mencari sisa botol di sekitar sini, barangkali bisa dijadikan makanan hari ini," kata ibu itu terlalu jujur bagiku.
"Ibu rumahnya mana? Dan siapa namanya?"
"Nama saya Dina, dan saya tinggal di perkampungan yang masih lumayan jauh dari sini. Ada apa, Dek?"
"Kalau boleh, saya ingin berkunjung lain waktu."
"Boleh," kata ibu itu langsung menyebutkan nama jalan tempat tinggalnya.
Setelah obrolan basa basi, ibu itu segera pamit pergi. Supaya anak-anaknya di rumah tak terlalu lama menunggunya nanti.
"Iya, Bu. Silahkan. Maaf menggangu waktunya tadi. Dan maaf atas semua kata-kata saya yang sebenarnya bukan saya maksudkan untuk ibu," kataku menunduk malu.
"Iya, gak apa-apa, Dek. Jangan melamun sendiri di bawah pohon ya, daripada ada yang menertawakan nanti," kata ibu itu beranjak pergi, sebelum sempat ku tanyakan lagi apa maksud perkataan terakhirnya ini.
"Hihihiiiiii.......hihiiii......., salah semprot ya!" ejek makhluk berdaster putih yang ternyata masih bertengger di salah satu dahan pohon, tepat di atas tempatku berdiri.
"Ih, awas ya. Gara-gara kamu, aku jadi malu. Padahal tadi aku sudah tak ingin melihatmu, sekarang jadi terpaksa kan lihat wajah pucatmu. Pakai tali pula di leher, heehhh......jadi tak tenang kan matimu!" seruku melepas nafas kasarku.
"Kamu pasti mengira, aku mengakhiri hidupku di pohon ini, bukan? Jangan mudah menyimpulkan dalam satu pandangan. Aku hanya korban penculikan, yang terpaksa dihabisi saat mencoba pergi."
"Astaghfirullah, maaf ya. Dan terima kasih atas nasehat yang sudah kamu bagikan. Lalu apa yang sedang kamu lakukan di sini?"
"Aku menunggu penculik itu kembali ke sini, setelah pergi meninggalkan mayatku yang tergantung di salah satu apartemen belakang bandara ini. Sampai membusuk baru ditemukan orang sekitarnya."
"Aish, ayo! Ngapain malah asik ngobrol sama dia, sampai tak dengar ku panggil dari tadi!" seru kak Azzam sudah berteriak tak jauh dari tempatku berdiri.
"Oke, semoga cepat ketemu sama penculikmu ya. Saya pamit dulu, dan semoga kamu bisa tenang menuju ke alammu."
"Ish.... Masih ngobrol aja. Ayo, keburu lapar!"
"Iya... Iya..., gak sabar banget sih sekarang?"
"Kalau sama kamu memang hawanya pengen buru-buru aja," cengirnya mulai iseng hendak menggombal lagi.
"Ayo, tak usah dilanjutkan bualannya. Setelah makan, tolong antar aku beli sembako dulu sebelumnya."
"Siap, Bidadariku baru turun dari pesawat terbang!"
"Ihhh.... Masih aja!"
Beberapa plastik sembako sudah kami dapatkan. Kulineran pagi ini juga sudah kami lakukan. Jadi saatnya menuju ke alamat tempat ibu yang ku temui tadi sebentar, sebelum menuju kontrakan.
"Bener alamatnya sekitar sini?" tanya kak Azzam saat kita berada di kawasan yang bisa dibilang sedikit kumuh dan tak beraturan.
"Aku gak tahu benar atau tidaknya, kan belum kenal daerah sini sama sekali. Pokoknya alamatnya sesuai yang ku katakan tadi," jelasku masih berkeliling mencari di atas sepeda motor yang penuh dengan sembako ini.
"Kalau yang tadi kamu katakan sih, bener daerahnya sekitar sini. Coba kita tanyakan ke salah satu warga. Apa ada yang mengenal ibu seperti yang kau ceritakan tadi," usul kak Azzam.
Mesin motor di hentikan, akupun turun dan mendatangi salah satu warung, yang didalamnya ada beberapa orang sedang mengobrol santai.
Ku sebutkan nama dan ciri-ciri fisik orang yang ku maksud tadi, tapi ternyata tak ada yang mengenali. Sampai ada seorang ibu pembeli yang baru datang, mulai mengamati pembicaraan kami.
"Apa yang adek maksud, bu Dina yang suka cari botol bekas?" tanyanya membuatku yakin, kalau beliau mengenalnya karena pekerjaan ibu Dina, tak ku sebutkan sama sekali di sini.
"Ibu kenal?"
"Iya, anaknya sering main ke tempat saya. Saya tetangganya. Memang ada perlu apa ya, Dek?"
"Oh, bisa tolong antar saya menemui bu Dina?"
"Wah, saya aja juga lagi cari dia. Anaknya sudah beberapa hari ini gak ada yang urusin, karena ibunya tak pulang sama sekali."
"Apa benar? Tapi tadi saya ketemu di bandara, dan beliau bilang kalau ingin cepat pulang. Katanya anaknya sedang lapar. Apa beliau belum mendapat uang untuk makan?" tebakku mengira-ngira sendiri.
"Bandara? Jauh amat sampai sana? Tapi sebelum saya ke sini ini, ibu Dina belum pulang sama sekali."
"Astaghfirullah, kemana ya bu Dina?"
"Memang anaknya sedang kelaparan saat ini, tapi saya hanya bisa memenuhi kebutuhan makannya sekali dalam satu hari. Saya sendiri tak ada banyak uang untuk merawat semua anaknya, meski sebenarnya kasihan juga. "
"Boleh saya tahu rumahnya?" tanyaku dengan menceritakan kisah pertemuanku tadi di tempat parkir bandara, sampai ku bawakan sembako karena bu Dina tak mau menerima bantuan uang dariku.
"Oh, baiklah. Akan saya antar ke sana, dan saya rasa mereka akan senang menerima bantuan sembako itu."
Ku ikuti langkah tetangga bu Dina dengan berjalan kaki. Sedangkan kak Azzam, menaiki pelan sepeda motornya karena sambil membonceng belanjaan sembakonya.
Sampai di sebuah rumah berdinding kayu yang nampak hampir saja tak kuat menahan atapnya, ibu itu mengetuk pintu.
"Cii... Cicii..., buka pintunya. Ini ada yang cari keluargamu," katanya masih menggedor pintunya pelan.
Tak lama, pintupun terbuka. Setelah ku beritahu maksud kedatanganku, anak yang dipanggil dengan nama Cici itu mempersilahkan kami masuk ke dalamnya. Kak Azzam juga langsung menurunkan barang yang kami bawa ke dalam rumahnya.
" Maaf, tapi apa kakak tadi benar-benar lihat ibu saya?" tanya Cici, anak yang paling besar dari ke semua anak yang ada di rumah ini.
"Iya, memang kenapa?"
"Saya mimpi buruk, kalau beliau berpamitan dan meminta saya menjaga adik-adik. Kalau memang kakak melihatnya, berarti ibu masih baik-baik saja."
'Deeeeghh....'
Ada rasa tak enak di hatiku tiba-tiba. Aku takut, kalau ternyata yang ku lihat tadi bukanlah manusia. Bukan takut sama sosoknya, tapi takut kalau hati anak-anak ini hancur saat yang ku lihat ternyata memang sesuai perkiraan anak ini sebelumnya.
"Kita doakan saja, semoga ibumu baik-baik saja," sahutku mencoba menenangkan mereka.
Sepanjang obrolan, ku dengar ada suara anak menangis dari ruangan lain di rumah ini.
"Adekmu rewel? Kenapa?" tanyaku pelan pada anak berumur sekitar dua belas tahunan itu.
"Iya, dia demam. Terus-terusan cari ibu," jelasnya.
"Boleh saya lihat?"
"Iya, sebentar saya panggilkan adik buat bawa ke sini saja. Soalnya kamarnya berantakan, he...," katanya polos merasa malu sendiri.
Tetangga bu Dina langsung tanggap, dan membawa adik bungsu Cici yang mungkin berumur sekitar dua tahun, menemuiku di ruang paling depan rumah ini. Diikuti adik Cici lainnya, yang dari tadi menemani di kamar sendiri.
"Eh, pantesan rewel. Panas banget lo. Sebaiknya segera kita bawa ke rumah sakit saja!" usulku.
"Tapi, Kak. Kitaa....," jawab Cici terpotong, sambil menundukkan kepala.
"Sudah, tak usah dipikirkan. Kita panggilkan taksi saja, biar lebih cepat sampai rumah sakit!"
Ku minta kak Azzam untuk menghubungi kendaraan di daerah sini. Diapun ijin keluar sebentar untuk mencari signal, dan tak lama justru ambulan yang malah datang.
"Kok ambulan?" tanyaku melongok ke depan, untuk memastikan.
"Biar cepat!" sahut kak Azzam singkat.
Kami terburu-buru membawa anak itu ke rumah sakit terdekat, yang sudah dihubungi kak Azzam tadi.
Sesampainya di tempat, anak itu juga segera ditangani. Sedangkan kak Azzam masih sibuk mengurus administrasi.
"Bu Dina?" gumamku sempat melihat sekilas seorang wanita mengintip kami yang masih menunggu di depan ruangan darurat ini.
"Ibu? Mana?" tanya Cici celingukan ke arah mataku tertuju.
"Tolong tunggu di sini, saya akan segera kembali!" kataku sedikit berlari, mengejar sosok yang sempat ku lihat tadi.
"Bu Dina, tunggu!" teriakku saat aku sudah melihat keberadaannya lagi.
Bu Dina nampak pergi dengan tergesa, tapi aku berhasil menangkap tangannya.
"Bu, anaknya sakit. Ibu mau kemana?" tanyaku tak dijawab apa-apa, justru hanya menunduk tak berani menatapku juga.
"Bu, apa ibu sakit? Tangannya dingin sekali. Apa yang ibu lakukan di sini? Apa dari tadi ibu mengikuti kami?" tanyaku bertubi-tubi, tapi tetap saja tak ada jawaban darinya.
"Lepaskan!" katanya singkat, sambil mengibaskan genggaman tanganku dari pergelangan tangannya.
"Maaf, saya hanya ingin mengatakan, kalau anak ibu butuh perlindungan."
"Kak," panggil Cici dari belakangku.
"Ci, ini ibu.....," belum sempat ku lanjutkan, bu Dina sudah menghilang.
Beliau tak ada lagi di tempatnya berdiri tadi. Membuatku jadi merasa khawatir, kalau tebakanku tentangnya tadi memang benar adanya. Bahwa dia sudah bukan manusia seperti kami.
"Kakak tadi ngomong sama siapa? Mana ibu, sudah ketemu belum?" tanya Cici membuatku semakin yakin saja.
"Ibumu... Ehmm... Entahlah, mungkin kakak cuma salah lihat saja. Yuk kembali ke ruangan tadi," ajakku merangkulnya.
Baru beberapa langkah berbalik arah, tak sengaja aku menabrak seorang wanita seusiaku juga, dengan laki-laki tinggi di sampingnya.
"Eh, maaf. Saya tak sengaja," kataku merasa bersalah.
"Saya yang harusnya minta maaf. Saya yang terburu-buru tadi."
"Hei, kalian kemana saja sih? Itu dokternya cari keluarga pasien, kok malah ditinggal ke sini?" seru kak Azzam dari belakang sepasang remaja di depanku.
"Azzam? Kamu di sini?" tanya remaja laki-lakinya.
"Rey, Yumna, kalian ngapain ke sini juga?" tanya kak Azzam.
"Biasa lagi selesaikan kasus yang tertunda. Kamu ngapain?" tanya si perempuan.
"Oh iya, kenalkan. Ini separuh jiwaku, namanya Aisyah. Dia baru datang ke sini pagi tadi."
"Saya Yumna, dan ini juga separuh jiwaku, namanya Rey," kata gadis itu tertawa menirukan perkataan kak Azzam sebelumnya.
"Aisyah, nama yang bagus. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya. Masih ada yang harus kami selesaikan di rumah sakit ini dulu," kata Yumna menjabat tanganku terlebih dahulu.
"Panggil Aish saja. Senang bisa kenalan sama kalian berdua," jawabku menyambutnya.
"Maaf, kami tak bisa lama. Sampai ketemu lagi ya!" ucap Yumna sebelum melangkah pergi menjauh dari kami.
"Iya, hati-hati!" sahut kak Azzam menjawabnya.
"Teman sekolah kakak?" tanyaku.
"Bukan, mereka dari sekolah yang berbeda. Tapi rencananya akan kuliah di kampus yang sama dengan kita," jawab kak Azzam menggandengku menuju ruang tempat adik Cici dirawat tadi.
Belum sempat ku tanyakan banyak hal tentang mereka, karena ku lihat ibu tetangga Cici nampak kebingungan sendiri dari kejauhan.
"Dek, ini anaknya sudah bisa masuk ke ruang rawat inap. Bagaimana, Dek?" tanya ibu tetangga Cici saat melihat kami berlari mendekat.
"Dipindahkan saja anaknya, sudah saya urus semua administrasinya," kata kak Azzam langsung membuat suster bergerak cepat, setelah menunjukkan pembayaran pelunasan biaya untuk menyiapkan ruangan perawatan.
Kami masih menemani mereka sejenak selesai pemindahan adik Cici. Dan setelah adzan dhuhur berbunyi, kami segera pamit undur diri.
" Maaf, kami ijin pulang dulu. Besok akan kami usahakan menjenguk lagi ke sini. Ehm.. Apakah Cici punya kerabat yang bisa dihubungi?" tanyaku setelah mengatakan hendak pamit pulang.
"Orang tuanya merupakan perantauan, yang hidup menyendiri di kampung kami. Rumah yang mereka tempati juga sebenarnya bukan rumah mereka, tapi rumah kosong yang diikhlaskan warga karena sudah tak ada ahli warisnya."
"Lalu, kalau ibu Dina tak ada kabar lagi, bagaimana nasib anak-anak ini?"
"Saya sendiri juga belum tahu, karena saya juga tak punya banyak biaya untuk mengurusi mereka semua dengan layak."
"Besok saya akan usahakan mencari panti asuhan terpercaya. Supaya anak-anak ini bisa terawat selayaknya anak seusianya," usul kak Azzam langsung kami setujui bersama.
"Tapi kalau kami pindah dari rumah itu, bagaimana jika ibu datang dan mencari kami?" tanya Cici menunduk sedih.
"Kamu tak usah khawatir, ibu masih tinggal di situ. Ibu yang akan mengatakannya kalau memang ibumu mencari kalian nanti," jawab tetangga Cici tersenyum iba menatap anak-anak ini.
"Baiklah kalau itu keputusannya. Kami pamit dulu, dan ini ada sebagian rejeki untuk kebutuhan anak-anak ini sementara waktu. Insyaa Allah, besok kami datang ke sini lagi," kataku menyerahkan beberapa lembar uang yang hendak ku berikan pada bu Dina tadi pagi.
" Terima kasih banyak atas kebaikan kalian, diantara orang-orang yang tak terlalu memperdulikan nasib anak-anak ini," ucap ibu itu sampai meneteskan air matanya.
" Sama-sama. Semoga besok kami bisa cepat mendapatkan tempat untuk mereka."
"Terima kasih, Kak. Semoga kebaikan kakak terbalas dengan kebaikan juga, yang datang untuk kalian berdua suatu saat nanti," doa Cici pada kami.
"Aamiin," jawabku dan kak Azzam bersama, lalu melangkah keluar dari ruang perawatan ini setelah mengucap salam.
Kami keluar dari ruangan, dan mengatur rencana tempat tinggalku sambil berjalan ke parkiran.
"Sekarang kita cari kontrakan dekat kampus langsung aja ya. Sungkan kalau barangku di apartemenmu lama-lama. Aku juga gak mau kalau dititipin ke temanmu meski cuma sementara," pintaku.
"Iya-iya..., padahal sebenarnya gak masalah kalau barangmu ada di apartemen sewaanku. Toh aku cuma tinggal sendiri aja, paling juga Rey nanti yang tanya. Karena cuma dia yang keluar masuk di sana buat main game," jawab kak Azzam gampang.
"Rey,.... Pacarnya Yumna?"
"Iya, Rey yang tadi itu tetangga apartemen. Sebenarnya dia punya keluarga di luar kota, tapi memutuskan pindah ke sini karena ikut pacarnya yang pindah rumah juga dua tahun yang lalu."
"Berarti mereka berdua juga bukan asli orang dari kota ini?"
"Bukan, neneknya minta pindah setelah mengalami trauma. Diculik oleh sekte sesat dari kotanya."
"Astaghfirullah, kok kisahnya Yumna hampir sama ya kayak aku?"
"Hampir, tapi masih jauh berbeda. Karena anggota sekte yang ngejar kamu lebih banyak dan kita belum tahu pasti, apa tujuan dibentuknya sekte mereka. Selain untuk mengabdi pada iblis sembahannya, dengan menuruti aturan aneh mereka."
"Memang kalau kisah Yumna seperti apa? Dan kenapa neneknya yang disandera?"
"Panjang ceritanya. Tapi kisahnya sudah berakhir, dan tak ada lagi pengikut sekte mereka. Setelah rumah yang dijadikan ritual hancur tak tersisa."
"Yang pasti, mereka hendak menculik Yumna. Karena selain dia dan Rey memiliki 'mata kedua', juga karena Rey masih ada hubungan saudara dengan pengikutnya. Dan semua ritual dilakukan murni untuk pesugihan mereka," lanjut kak Azzam menjelaskan.
"Oh, kayaknya asik juga pengalaman mereka. Mungkin aku bisa nyaman kalau berteman sama Yumna," pikirku mulai tertarik untuk mendapatkan teman baru, yang hampir bernasib sama sepertiku.
"Ehmm... Kalau dipikir-pikir, memang sebaiknya kamu coba tinggal sama Yumna. Dia tinggal sendiri, di rumah yang kebetulan tak jauh dari calon kampus kita nanti. Kalau cocok, kan bisa langsung ngontrak di rumahnya. Biar kamu dan dia bisa sama-sama ada temannya."
"Eits... Kalau cocok sebaiknya langsung tinggal saja. Aku tak menyewakan kamarnya, tapi pintu rumahku selalu terbuka lebar untukmu," celetuk seorang wanita dari belakang kami.
"Yumna? Panjang umur mereka, baru juga diomongin. Sudah muncul aja di sini."
"Boleh kita lihat dulu?" tanyaku.
"Boleh, kita juga mau pulang kok. Semoga aja cocok, dan betah biar aku gak ditemani terus sama Susi. Ngeselin kalau malam, suka godain yang lewat depan."
"Susi?"
"Iya, penunggu pohon di rumah lamaku. Sengaja ku ajak agar bisa temani nenek kalau aku tinggal pergi. Tapi.... Nenek sudah tak ada setahun yang lalu. Jadi tugasnya hanya nongkrong di pohon depan saja."
"Innalillahi wa innaillaihi roji'un. Maaf, kalau ucapan kita mengingatkan kamu pada nenekmu."
"Tak apa, nenek juga sudah tenang di sisi-Nya. Sekarang kami akan melanjutkan hidup ini tanpa beliau, dan berjanji untuk membuatnya bangga melihat kesuksesan kami berdua suatu saat nanti," jelasnya menghapus cepat air mata yang hampir menetes di pipi.
"Sabar ya, boleh kita berangkat sekarang saja? Tapi sebelumnya kita mampir ibadah sebentar, karena adzan sudah berkumandang," usulku dijawab anggukan semuanya.
"Ayo!" jawab Yumna mulai penuh semangat lagi, berjalan mendahului, meski masih terlihat kesedihan ada di dalam hati.
Aku dan kak Azzam menaiki sepeda motor sejenis Honda Gold Wing berwarna merah tua dan hitam. Sedangkan Rey mengajak Yumna menaiki mobil mewahnya, yang aku tahu harganya sangat fantastis sekali untuk orang biasa seperti kami.
Menyusuri jalanan yang sedang terik, kami menyempatkan istirahat sejenak untuk menunaikan ibadah wajib sesuai rencana tadi. Kemudian lanjut makan siang sebentar, dan berangkat ke rumah Yumna lagi, yang harus ditempuh dalam waktu satu jam dari rumah sakit tadi.
Sampai akhirnya, mobil Rey berhenti di sebuah rumah minimalis, yang tertata rapi dengan bunga - bunga kecil memutari halamannya.
"Ini rumahku, hasil nyicil kerja sama dia. Meski kecil, yah lumayan syukuri saja. Yang penting tak kehujanan dan kepanasan," senyum ramah Yumna mulai terkembang lagi.
"Kamu kerja sama Rey?"
"Iya, dia memang kerja sama aku. Sekarang, dia sudah buka usahanya sendiri. Buka counter pulsa di depan, yang ditungguin sama tetangganya. Jadi dia tinggal terima duwitnya," jelas Rey yang baru bicara setelah pertemuan kami hari ini, sambil menunjuk ke arah sebuah stand yang didirikan di sebagian halaman rumah ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!