Selamat Datang dan Selamat Membaca Karya Baruku. Semoga suka!!! 🥰🥰
***
Hari libur di manfaatkan Laura dengan amat baik untuk istirahat dengan malas-malasan, menonton drama sambil selonjoran kaki di temani camilan dan minuman segar. Benar-benar santai yang sesungguhnya setelah enam hari penuh berkutat dengan pekerjaan yang meskipun mulia dan menyenangkan baginya, tapi tetap saja melelahkan.
Menjadi seorang dokter bukanlah hal yang remeh seperti pandangan orang di luar sana, yang katanya, ‘enak ya jadi dokter cuma raba sana raba sini mendiagnosa pasien sakit ini sakit itu lalu dapat bayaran mahal.’ Di kira menjadi seorang dokter semudah itu! Meskipun, ya, terlihat ringan dan sepele, tapi banyak yang menjadi beban seorang dokter yang hanya dipahami sesama profesi itu.
Tanggung jawab yang besar dan tentunya makian kerap kali harus diterima saat pasien tidak kunjung sembuh atau justru tidak selamat. Dokter harus tetap sabar untuk itu walau hati ingin sekali melawan. Dan semua itu Laura dapatkan selama melakoni profesinya sebagai dokter selama tiga tahun ini, apalagi dirinya adalah seorang dokter anak dimana banyak orang tua rewel melebihi si anak yang sakit. Kerepotan dokter anak benar-benar double, karena si anak pun harus dirinya tenangkan saat akan dilakukan pemeriksaan terlebih jika sudah berurusan dengan jarum suntik.
Percayalah, menjadi dokter tidak semudah yang terlihat, tidak semenyenangkan menerima gaji tiap bulannya. Namun meski begitu Laura menyukai pekerjaannya dan ia bangga dengan profesinya. Tentu saja. Apalagi ketika berhasil membuat pasiennya sembuh, itu merupakan bahagia yang tidak dapat di utarakan, rasa bangga yang tidak dapat di uraikan, dan tentunya hal yang membuat Laura merasa berguna sebagai manusia.
Karena pekerjaannya itulah Laura tidak memiliki banyak waktu untuk sekedar bersantai. Hanya di hari minggu ia bisa melakukannya. Maka dari itu Laura tidak ingin menyia-nyiakan hari minggunya dengan hal-hal yang tidak berfaedah, seperti keliling mall misalnya. Oh no, Laura akan lebih memilih rebahan dari pada harus melakukan itu meskipun ia di bekali puluhan juta sekalipun oleh papinya.
“La, kamu punya pacar gak?”
Pertanyaan yang tiba-tiba diberikan wanita cantik paruh baya di sampingnya membuat Laura menoleh dan menaikan sebelah alisnya heran. Pasalnya wanita cantik yang biasa dipanggilnya bunda itu mengajukan pertanyaan yang tidak biasa. Selama Laura hidup di dunia, tidak pernah sekalipun sang bunda bertanya mengenai pacar padanya. Tapi hari ini …?
“Kenapa memangnya?” tanya Laura yang tidak sama sekali menyembunyikan keheranannya.
“Gak apa-apa,” jawab Lyra – sang bunda – seraya menggeleng kecil.
Laura mengangguk singkat, lalu kembali menatap layar di depannya yang masih menampilkan drama yang sejak tadi dia tonton untuk menemani hari liburnya. Memilih untuk tidak terlalu curiga dengan pertanyaan bundanya. Namun kalimat selanjutnya yang wanita paruh baya itu lontarkan sontak membuat Laura yang tengah meneguk jus jeruk dinginnya tersedak dengan tidak anggun. Untung hanya jus jeruk bukan jus cabe.
“Kalau minum itu hati-hati dong, La,” omel Lyra sambil menepuk-nepuk pelan punggung Laura.
“Ela terkejut, Bun,” ucap Laura jujur.
"Terkejut kenapa?” heran wanita paruh baya itu mengerutkan keningnya menatap sang putri polos.
“Gak usah pura-pura lupa deh,” Laura memutar bola matanya jengah. Sedangkan Lyra tertawa saat di detik selanjutnya menyadari alasan yang membuat anaknya itu tersedak dan sebal seperti sekarang ini.
"Bunda ‘kan cuma tanya aja, La, kamu mau gak Bunda jodohin. Bunda gak akan maksa kalau kamu gak mau,” Lyra mengedikkan bahunya ringan tanda bahwa wanita paruh baya itu memang benar-benar tidak akan memaksa.
“Emang Bunda mau jodohin Ela sama siapa?”
"Anaknya teman Bunda,” jawabnya singkat, lalu kembali memfokuskan pandangan pada layar di depan seraya menikmati kripik jamur yang menjadi menu camilannya hari ini. Sementara Laura mengerutkan kening, berpikir. Berusaha mengingat siapa kiranya anak dari teman sang bunda yang berkemungkinan dijodohkan dengannya.
"Maksud Bunda, Devin?” tebak Laura ragu. Tapi memang hanya nama itu yang muncul di kepalanya, karena setahu Laura cuma Devin-lah anak laki-laki yang teman bundanya miliki.
Lyra malah justru mendelik mendengar tebakan putrinya itu. “Ck, bukan. Bunda mana rela jodohin kamu sama Devin yang kurang waras sama kayak Bapak-nya itu. Lagi pula Devin udah tunangan."
“Terus siapa dong? Aunty Amel perasaan gak punya anak laki-laki, apa lagi seusia Ela,” Laura mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu, bersikap seolah tengah berusaha mengingat.
“Besok malam kamu akan tahu sendiri,” ujar Lyra. “Gak perlu terlalu dipikirin, lagi pula Bunda gak akan maksa,” lanjutnya.
“Ya udahlah gimana besok aja,” Laura mengedikkan bahunya singkat lalu kembali pada tontonannya yang sudah cukup banyak terlewatkan akibat obrolannya dengan sang bunda.
Sebenarnya Lyra bukanlah orang tua Laura yang sesungguhnya, wanita paruh baya yang di panggilnya bunda itu merupakan sahabat dari orang tuanya yang asli, Luna -sang mami- yang sudah menghadap Tuhan enam belas tahun yang lalu, tepatnya saat Laura berusia sepuluh tahun, usia yang masih terlalu kecil untuk mengerti arti dari sebuah perpisahan yang abadi. Namun Laura tidak begitu, perempuan yang kini berusia dua puluh enam tahun itu nyatanya lebih tegar saat kepergian sang mami bertahun-tahun lalu. Malah justru sang kakak lah yang begitu hancur dan terpukul.
Bukan berarti Laura tidak bersedih, hanya saja dia sadar bahwa semua yang hidup akan mati, semua yang ada akan hilang dan semua yang datang akan pergi. Sama halnya dengan sang mami. Semua akan kembali pada Sang Pencipta. Jadi, tidak ada alasan untuk Laura terus terpuruk dalam kesedihan. Tapi meski begitu tidak lantas membuat Laura melupakan sosok bidadarinya.
Luna akan tetap menjadi mami-nya sampai kapanpun. Sedangkan Lyra tetap menjadi bundanya, orang tua keduanya. Karena selain sahabat dari kedua orang tuanya, Lyra juga merupakan mertua dari kakaknya. Semakin membuat erat hubungan persahabatan di antara keempatnya. Ya empat, Lyra, Pandu, Luna, dan Leo.
Mereka adalah sahabat sejak masa remaja dulu sebelum kemudian Lyra menikah dengan Pandu dan Leo menikahi Luna. Dan dua pasangan itu disatukan lewat perjodohan. Bersyukur karena mereka berakhir dengan bahagia hingga saat ini. Namun bisakah Laura bahagia seperti kedua orang tuanya? Entah. Jodohnya saja Laura belum tahu dan belum tentu juga ia menerima perjodohan itu.
***
Keesokan malamnya, seperti yang sudah bundanya katakan bahwa malam ini sahabatnya akan datang untuk makan malam sekaligus mempertemukan Laura dengan anak dari temannya itu. Sebenarnya Laura malas, tapi ia juga cukup penasaran seperti apa sosok yang akan sang bunda jodohkan dengannya. Baikkah? Tampankah? Kayakah? Idamankah? Atau malah sosok tak ramah menyebalkan yang tidak Laura suka. Tapi bukankah biasanya pilihan orang tua itu pasti baik? Lalu apa yang harus Laura takutkan? Toh sang bunda juga tidak memaksanya untuk menerima.
Namun tetap saja Laura berdebar saat ini. Ia gugup dan juga takut. Lama tidak menjalin hubungan dengan yang namanya laki-laki membuat Laura was-was dan cemas berlebihan. Padahal yang akan di temuinya bukan anak Presiden. Ck, tapi siapa tahu bukan sang bunda berteman dengan orang penting di negeri ini? Laura mengedikkan bahunya singkat sebelum kemudian bangkit dari depan meja riasnya saat suara Lyra sudah terdengar memanggilnya untuk turun karena tamunya sudah datang.
Menarik dan membuang napasnya terlebih dulu, Laura kemudian melangkahkan kaki menuruni undakan tangga dengan anggun layaknya princess di negeri dongeng. Namun ini dilakukannya bukan untuk menarik perhatian calon laki-laki yang akan dijodohkan dengannya, melainkan untuk berusaha tetap terlihat tenang. Menyembunyikan kegugupannya agar keluarganya tidak mengira dirinya tertarik pada perjodohan ini. Ya, meskipun sebenarnya ia juga tidak terlalu tertarik.
Tapi mau bagaimana lagi, Laura juga bosan dengan status kesendiriannya. Dan saat sang bunda menawarkan perjodohan ini, ia berpikir bahwa mungkin inilah saatnya keluar dari zona menyedihkannya selama sepuluh tahun belakangan. Ini saatnya kembali bangkit dan melupakan masa kelam cinta masa remaja. Tidak salah menerima kembali kehadiran laki-laki untuk menemani hari-hari kelabunya. Toh tidak semua laki-laki sama seperti mantannya. Semoga.
"Selamat malam Om, Tante,” sapa Laura ramah saat tiba di ruang tamu yang sudah diisi oleh orang tuanya juga dari calon jodohnya.
“Ini calon mantu gue, Ra? Makin cantik aja,” puji pria paruh baya yang masih terlihat bugar dan tampan yang duduk di sofa tanggung bersama wanita yang tak kalah cantiknya dengan sang bunda. Laura hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus seperti apa menanggapinya karena jujur saja Laura bukanlah sosok yang narsis seperti kakak-kakaknya.
"Gak usah kegeeran dulu, anak gue belum tentu mau jadi mantu lo,” Lyra mendelik, membuat pria itu tertawa dari pada tersinggung. Tidak aneh lagi memang, sejauh ini Laura memang tahu bahwa teman-teman orang tuanya tidak ada yang normal. Pandu, sang ayah yang semula normal saja sedikit demi sedikit ikut-ikutan kurang waras karena terlalu lama hidup bersama Lyra.
“Anak gue ganteng, Ra, percis Bapaknya, mana mungkin Laura nolak. Iya gak, La?” sebuah kedipan menggoda pria paruh baya itu layangkan, membuat Laura menggaruk tengkuknya serba salah. Bingung harus merespons seperti apa, ia tidak pandai membalas gurauan orang asing.
“Oh iya, maaf anak Om belum sampai, dia tadi berangkat langsung dari restorannya,” sesal pria paruh baya yang mengaku ayah dari laki-laki yang hendak di jodohkan.
Laura hanya mengangguk singkat seraya tersenyum, sebelum kemudian bergabung duduk dengan bundanya yang diampit dua pria, sudah percis seperti Nyonya dengan dua suami. Tapi tentu saja itu tidak akan pernah terjadi sebab Pandu begitu posesif pada istrinya. Sementara laki-laki satunya yang kini duduk di samping kanan Laura memang memilih sendiri setelah sang istri meninggal dunia. Dia adalah Leo – papi Laura.
Para orang tua berbincang seru sambil menunggu kedatangan pemeran utama dalam acara makan malam ini. Sedangkan Laura memilih menyibukkan diri dengan ponselnya untuk mengalihkan rasa gugupnya, hingga tak lama kemudian suara deru mobil berhenti di depan disusul dengan bunyi klakson yang cukup nyaring menghentikan obrolan para orang tua.
“Itu pasti Kai,” kata wanita paruh baya yang Laura tahu bernama Indah dari perkenalan singkatnya beberapa menit lalu.
Jantung Laura berdetak cepat mengiringi langkah yang terdengar semakin dekat dan …
Deg.
“Selamat malam Om, Tante, maaf saya terlambat,” laki-laki tampan dalam balutan kemeja maroon yang lengannya di lipat sampai siku itu meringis tak enak hati. Lalu mengedarkan pandangan ke arah lain hingga netranya bertemu pandang dengan sosok cantik yang terlihat menegang di tempatnya. Sama hal dengannya yang juga terkejut mendapati perempuan itu duduk di sana.
"Gak apa-apa Kai. Ayo sini masuk, gak baik bengong di ambang pintu,” suara ramah Lyra lah yang menyadarkan Laura juga laki-laki bernama Kai itu dari aksi saling tatapnya.
“Iya Tante.” Kai kemudian melangkah masuk dan mengambil duduk di sofa yang tersisa. Sebuah sofa single berwarna darkbrown yang empuk dan nyaman. Sesekali Kai mencuri lihat ke arah gadis yang duduk di kursi panjang bersama orang tuanya. Sedangkan Laura berusaha terlihat santai meskipun Kai dapat melihat ketidaknyamanan dari cara duduknya. Diam-diam Kai mengelum senyumnya.
“Kamu kenal Kai ‘kan La?” Pandu bertanya membuat Laura menoleh dan mengerutkan kening dalam lalu menggelengkan kepala. Itu sontak saja membuat Kai mengaga tak percaya, sebelum kemudian mendesah kecewa. Sedangkan Lyra berdecak pelan melirik putrinya itu.
“Kalian pernah satu sekolah waktu SMA, loh,” Lyra mengingatkan.
“Meskipun satu sekolah bukan berarti saling kenal ‘kan?” jawab Laura ringan. Lalu kembali memalingkan wajah ke mana saja asal tidak bersitatap dengan laki-laki yang baru datang itu.
"Tapi waktu itu kalian pernah ketemu, saat perpisahan itu loh, La” Lyra berusaha mengingatkan.
"Maaf bunda, Ela gak ingat.” Lebih tepatnya pura-pura gak ingat. Lanjut Laura membatin.
“Dasar anak muda zaman now, masih muda udah pikun!” cibir Leo yang sedetik kemudian mendapat cubitan panas di pinggangnya. Jangan tanya siapa pelakunya, karena itu sudah jelas sosok cantik di sampingnya yang kini menampilkan wajah cemberut.
“Gak ada waktu untuk aku mengingat hal-hal yang tidak penting,” ujar Laura seraya melayangkan delikan pada laki-laki yang duduk sendiri di sofa single. Raut wajahnya terlihat kecewa, tapi Laura sama sekali tidak peduli.
"Nice, Tante setuju sama kamu,” dukung Indah dengan acungan ibu jarinya. Wanita paruh baya itu tidak tersinggung sama sekali dengan kalimat Laura yang terkesan tidak sopan.
"Kamu kurang popular berarti, Kai,” kata Leo sedikit mencibir.
“Sepertinya iya, Om,” timpal Kai, kemudian gelak tawa terdengar akrab, kecuali Laura yang tetap memasang wajah datarnya.
Acara malam ini tidak seserius perjodohan-perjodohan lainnya karena yang ada malah seperti ajang reuni. Ya, setidaknya untuk para orang tua. Sementara Laura sudah merasa tidak nyaman karena Kai berkali-kali meliriknya. Inginnya Laura permisi dari ruang tamu itu, tapi ia yakin orang tuanya tidak akan mengizinkan.
"Apa tidak sebaiknya kalian kenalan lagi? Biar lebih enak gitu kedepannya,” usul Indah, menatap Laura dan Kai bergantian. Laura hendak menolak, tapi Kai sudah lebih dulu mengulurkan tangannya.
“Kaivan Putra Wirasman,” ucapnya dengan seulas senyum di bibir. Dengan terpaksa Laura menerima uluran itu.
"Laura Priela Arsyatami,” balasnya malas. Setelahnya Laura menarik tangannya cepat, enggan berlama-lama berjabat tangan dengan laki-laki yang sejak tadi mengumbar senyum seolah mencari perhatian Laura.
"Udah ingat, La?” tanya Angga – Papa Kaivan penuh harap.
“Ela gak berusaha mengingat, Om. Maaf,” jawab Laura meringis kecil, tapi tidak sama sekali ia merasa bersalah.
"Ck, sial!” decak Kai amat pelan. Namun tatapan tajamnya tertuju tepat ke arah Laura, yang tak lain adalah mantan pacarnya ketika SMA dulu. Kai yakin bahwa perempuan itu hanya pura-pura tidak mengingatnya. “Awas kamu, La!” batinnya bergumam.
Btw gimana tanggapan kalian dengan mengenai cerita baruku ini? Jangan lupa ungkapkan di kolom komentar 😘
Setelah berbasa-basi cukup lama yang semula berlangsung di ruang tamu kini berpindah ke ruang makan, karena jam sudah menunjukkan pukul delapan, itu artinya makan malam sudah sedikit terlambat. Dan kini obrolan kembali di sambung sambil menikmati hidangan yang tersaji. Percakapan ringan seputar aktivitas harian Kai yang sebagai bos di sebuah restoran bintang lima dengan cabang yang sudah tersebar di mana-mana, juga mengenai pekerjaan Laura di rumah sakit sampai pada akhirnya sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Angga yang membuat Laura hampir saja tersedak.
“Jadi bagaimana, apa kalian menerima perjodohan ini?”
“Tidak!”
“Ya,”
Laura dan Kai menjawab bersamaan dan setelahnya kedua orang itu saling melempar tatapan. Laura dengan sorot tajam sarat akan protesan sedangkan Kai dengan senyum manisnya. Ya, karena pria itulah yang menjawab ‘ya’ untuk perjodohan ini.
“Baiklah, karena jawaban kalian berbeda, maka kami putuskan untuk kalian berkenalan lebih dulu, saling mendekatkan diri. Setelah itu baru kalian boleh putuskan akan melanjutkannya atau tidak. Keputusan ada di tangan kalian sepenuhnya. Kami para orang tua tidak akan memaksa.” Pandu memutuskan dengan bijak, dan itu mendapat anggukan setuju dari para paruh baya lainnya.
Tapi tetap saja Laura tidak setuju, bukan ini yang diinginkannya. Laura ingin sebuah akhir. Ia ingin perjodohan ini tidak berlanjut dengan atau tanpa melakukan pendekatan. Laura tidak mau bertemu dengan pria itu lagi. Sungguh. Meskipun dulu Kaivan pernah menjadi sosok yang membuatnya bahagia, tidak membuat Laura ingin mengulang kisah itu lagi. Sudah cukup sekali, dulu.
***
Harapan tidak lagi ingin bertemu nyatanya tidak terkabul karena justru setelah malam itu Laura malah semakin terjebak. Kai benar-benar keras kepala dan tidak tahu malu. Penolakan Laura diacuhkannya, dan pria itu malah makin getol menemui Laura, entah itu di rumah datang menawarkan tumpangan berangkat kerja atau ke rumah sakit untuk mengajaknya makan siang dan menjemputnya pulang. Dan hari ini sudah tepat satu minggu Kai menjadi supir pribadi Laura yang amat tidak diharapkan.
“Lo bisa berhenti gak sih, Kai? Gue gak butuh lo antar jemput kayak gini karena gue masih mampu nyetir sendiri,” keluh Laura saat lagi dan lagi mendapati laki-laki itu sudah nangkring di depan lobi rumah sakit tempatnya bekerja.
“Aku tahu, tapi aku gak akan biarin calon istriku nyetir sendiri,” jawabnya membuat Laura memutar bola mata jengah.
“Stop bermimpi Kai, karena sampai kapanpun gue gak akan sudi jadi istri lo!”
“Kita lihat saja nanti,” cuek Kaivan seraya mengedikkan bahunya. Tidak sama sekali merasa tersinggung dengan kalimat kasar Laura. “Yuk pulang, bentar lagi hujan pasti turun,” lanjut laki-laki tampan itu setelah melihat awan mendung yang menghiasi langit sore ini.
Laura mendesah lelah, lalu melangkah dan masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah Kaivan bukakan. Duduk dengan terpaksa di bangku penumpang depan karena untuk hari ini Laura malas jika harus kembali berdebat seperti hari-hari sebelumnya dengan pria itu, karena pada akhirnya Kaivan selalu saja bisa memaksanya untuk ikut. Jadi, percuma saja menghabiskan tenaga untuk menolak jika pada akhirnya tetap kalah juga.
“Makan dulu ya,” kata Kai begitu laki-laki itu duduk di balik kemudi dan siap melajukan mobilnya, keluar dari area rumah sakit.
“Gak! Gue mau langsung pulang.” Tolak Laura tanpa berpikir.
“Ta—”
“Langsung pulang atau gue naik taksi?!” ancam Laura tak main-main, bahkan tangannya sudah siap membuka pintu mobil, namun dengan cepat Kai mencegah dan dengan pasrah menyetujui keinginan perempuan itu. Padahal maunya Kai menghabiskan waktu lebih lama dengan Laura, ia ingin mengobrol, membahas waktu sepuluh tahun setelah perpisahan mereka. Jujur hingga saat ini Kaivan masih memiliki rasa yang sama untuk perempuan itu, dan perlu di ketahui bahwa hingga saat ini Kaivan enggan menganggap Laura sebagai mantannya.
***
“Gak usah mampir!” peringat Laura galak saat Kaivan baru saja menghentikan mobilnya tepat di pekarangan rumah milik Leo.
“Kenapa?” heran Kai mengerutkan sebelah alisnya.
“Gue pengen istirahat, cape,” jawab Laura masih dengan wajah juteknya.
“Padahal aku pengen numpang makan dulu, lapar tahu Yank,” melasnya tidak tahu malu, membuat Laura memutar bola matanya.
“Gue gak peduli!” ujarnya lalu turun dari mobil Kaivan tanpa mengatakan apa pun lagi, melenggang masuk ke dalam rumah dengan santainya, meninggalkan Kaivan yang menganga di tempatnya semula, di balik kemudi. Setelahnya Kai menggeleng dengan seulas senyum geli, sebelum kemudian melajukan mobilnya kembali menuju apartemennya.
Kai memutuskan untuk langsung pulang dan berjuang lagi besok, meluluhkan Laura yang entah sejak kapan menjadi keras seperti ini. Padahal dulu saat mereka baru mengenal dan memutuskan pacaran Laura adalah sosok yang lembut, tenang, dan juga penyayang. Tapi sekarang dia berubah menjadi jutek, keras kepala, dan dingin. Kaivan nyaris tidak mengenalinya jika saja hatinya tidak bergetar setiap kali berada di samping perempuan cantik itu. Namun seberapapun Laura berubah, Kai akan tetap menikahi perempuan itu, karena sejak dulu hingga sekarang perasaannya tidak pernah berubah untuk Laura.
“Waktu sepuluh tahun memang tidak singkat, wajar jika kamu menjadi seperti sekarang. Aku akui, aku salah saat itu,” ucap Kai memahami sikap Laura sekarang, setelah pertemuannya satu minggu lalu. Bahkan perempuan itu berpura-pura tidak mengenalnya di depan para orang tua.
Tak apa, biar Kai ingatkan lagi seiring berjalannya waktu.
Ia pastikan Laura mengingat setiap momen mereka selama pacaran. Dimana pernah ada bahagia diantara mereka meski pada akhirnya kandas akibat hadirnya sebuah gangguan yang dinamakan orang ketiga. Bodohnya Kai saat itu mau-mau saja terjebak titisan medusa dan berakhir dengan kehilangan Laura yang tulus mencintainya, yang mengerti akan dirinya dan selalu menjadi penyemangatnya dikala beban dan juga kesedihan melingkupinya akibat sang papa yang lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan anaknya sendiri. Kai memang laki-laki, tapi bukan berarti dirinya tidak boleh merasa sakit dan kecewa saat orang tua satu-satunya mengabaikan keberadaannya.
***
Laura masuk ke dalam rumahnya yang sepi karena memang hanya dirinya dan sang papi yang tingga di rumah besar ini, sedangkan kakak dan keponakannya tinggal di rumah sebelah, rumah Lyra. Laura memang sesekali menginap di sana, tapi tidak sesering itu karena menurutnya rumah milik Leo lebih nyaman, dan lagi di rumah ini ia bisa lebih dekat dengan sang mami yang sudah lama tiada karena memang semua kenangan tentang Luna seakan tidak hilang sedikitpun dari rumah ini.
Tujuan utama Laura adalah mandi, membersihkan tubuh lengket dan lelahnya sebelum kemudian turun untuk makan malam yang akan di lakukan di rumah Lyra. Sejak Luna tiada, mereka memang lebih sering numpang makan di rumah sebelah, terlebih setelah Queen menikah dengan anak tetangga itu, membuat Leo memutuskan untuk makan malam di sana setiap harinya. Tapi tidak jarang juga Laura memilih untuk makan di rumah jika ia merasa terlalu lelah atau malas. Dan malam ini, berhubung ia malas memasak, Laura memilih menyelesaikan dengan cepat acara bersih-bersihnya dan melesat menuju rumah sebelah untuk minta makan. Perutnya sudah keroncongan saat ini.
Sebenarnya biasanya Laura akan langsung pulang ke rumah Lyra, namun berhubung tadi Kaivan yang mengantarnya jadilah Laura memilih untuk langsung pulang ke rumah papinya. Karena jika ke rumah sang bunda sudah pasti Kai akan di suruh mampir seperti hari-hari sebelumnya. Laura malas.
Bunda, Ayah, papi dan juga kakak serta keponakannya sudah duduk di kursi masing-masing, memenuhi meja makan bulat yang cukup besar dengan hidangan yang menggiurkan tersaji di sana.
“Selamat malam semua,” sapa Laura saat tiba di ruang makan, dan mereka yang ada di sana serempak membalas, terkecuali dua bocah kembar yang sudah asyik dengan makanannya. Bahkan mereka tidak sedikitpun menghiraukan kedatangannya, membuat Laura mencebikkan bibir lalu melayangkan jitakan kecil ke kepala belakang dua keponakan kembarnya.
“Apa sih Aunty, sakit tahu,” ujar Nathael dengan bibir cemberut sedangkan si datar Nathan hanya mendelik kesal.
“Kalian kalau udah di depan makanan lupa sekeliling,” cibir Laura kemudian mendekati satu keponakan perempuannya yang masih berusia lima tahun, Arabella namanya. Anak ketiga dari kelahiran kedua Queen, kakak Laura satu-satunya.
“Hallo princess,” sapa Laura pada gadis kecil cantik itu seraya melayangkan kecupan di pipi bulatnya, sebelum kemudian Laura mengambil duduk di sampingnya. Kursi yang masih kosong memang di sana, karena Laura lebih suka duduk di samping keponakan perempuannya dari pada di samping si kembar menyebalkan, Nathan dan Nathael.
“Tumben udah segar?” tanya Lyra saat menyadari bahwa Laura sudah berpenampilan segar. Tidak seperti biasanya yang pulang selalu dalam keadaan lesu dan sedikit berantakan.
“Iya, tadi Ela langsung pulang ke rumah, mandi dulu baru deh ke sini,” jawab Laura seraya menyendokkan nasi ke dalam piringnya yang masih kosong.
“Gak bareng Kai memangnya?” papi Leo ikut bertanya.
“Bareng, makanya Ela pulang ke rumah, karena kalau ke sini Bunda pasti nyuruh Kai mampir,” jujur dan ringan Laura menjawab tanpa sama sekali merasa bersalah. Membuat Rapa dan Queen, sang kakak dan iparnya menoleh.
“Loh, memangnya kalau Bunda minta dia mampir kenapa?” heran Rapa dengan satu alis terangkat menatap adik iparnya itu.
“Males.” Jawab Laura singkat.
“Kamu gak suka Kai? Dulu kamu satu sekolah 'kan sama dia?” kali ini Queen ikut bertanya. Laura menggeleng kemudian mengangguk.
“Kenapa gak suka? Padahal dia ganteng loh, sopan, baik juga anaknya,” bunda Lyra mengerutkan keningnya.
“Itu aja gak cukup buat modal jatuh cinta,” Laura kemudian mengedikkan bahunya singkat. Dan mulai melahap makan malamnya. Tidak ingin terlalu jauh membahas tentang Kaivan yang dianggap baik oleh keluarganya. Mereka tidak tahu saja bagaimana Kaivan dulu.
“Gak ada alasan untuk aku suka sama mantan yang pernah mengecewakan.” Lanjut Laura membatin seraya tersenyum pedih. Sepuluh tahun sudah berlalu, namun rasa sakit dan kecewa itu masih terekam jelas dalam ingatannya.
“Udah waktunya jam makan siang, Dok, mau pergi keluar atau saya beliin?” tanya Nandini, asisten Laura.
“Gak usah, nanti ada yang antar makanan, kok,” jawab Laura tersenyum tipis pada perempuan cantik yang usianya lebih muda dua tahun darinya. Dini mengangguk paham, teringat akan sosok yang belakangan ini sering datang ke rumah sakit hanya untuk mengajak Laura makan siang.
“Pacarnya, ya, Dok,” Dini mengedipkan matanya menggoda. “Ganteng,” tambahnya dengan senyum-senyum. Laura memutar bola matanya.
“Kamu naksir? Ambil aja. Saya gak suka,” ujar Laura dengan ringannya, membuat Dini membulatkan mata dengan mulut terbuka cukup lebar.
“Dokter serius? Gak naksir sama cowok ganteng itu?” tanyanya tak percaya. Laura hanya menjawab lewat anggukan malas. Tatapannya kembali fokus pada map di depannya, membaca rekam medis pasien.
Dini geleng-gelang kepala tak habis pikir. Cowok seganteng, sekeren dan se-hot Kaivan tidak disukainya, dokter-dokter tampan di rumah sakit di tolak, keluarga pasien yang naksir di abaikan, lalu jenis laki seperti apa yang dokter cantik itu sukai?
“Dok—”
“Apa?” delik Laura langsung memotong kalimat hati-hati penuh ragu Dini. “Gak usah mikir macam-macam! Saya tidak seperti yang ada dalam pikiran aneh kamu. Tidak menyukai laki-laki seperti dia bukan berarti saya gak normal,” lanjut Laura tajam, membuat Dini menggaruk tengkuknya yang tak gatal seraya tersenyum salah tingkah. Merasa tidak enak hati karena sudah berpikir yang macam-macam.
“Ya udah deh, kalau gitu saya makan siang duluan, ya, Dok. Permisi,” pamit Dini cepat-cepat keluar.
Laura tidak memberi tanggapan, dan memilih kembali fokus pada map di hadapannya hingga suara knop pintu yang terbuka mengalihkannya. Hanya sesaat, setelahnya Laura mengabaikan seseorang yang masuk tanpa permisi itu.
“Udahan dulu kerjanya, sekarang makan. Ini sengaja aku bawa dari restoran-ku, dan aku sendiri yang masak,” kata Kaivan berharap Laura akan terkesan. Namun sayangnya yang kini dirinya hadapi bukanlah Laura yang dulu, melainkan Laura si jutek yang keras kepala dan dingin tak tersentuh bahkan sekalipun mereka pernah bahagia, berbagi kisah bersama di masa lalu.
Kaivan mengikuti langkah Laura menuju sofa yang tersedia di ruangan lain yang hanya terhalang oleh tembok dan rak buku tinggi. Perempuan itu belum membuka suara hingga saat ini, bahkan sepertinya tidak berniat sama sekali menatap Kaivan. Hanya bisa menghela napasnya Kai menghadapi perempuan cantik itu. Sedikit berjuang dan bersabar memang sepertinya ia perlukan demi meluluhkan hati Laura.
Dulu Laura memang pendiam dan tidak banyak bicara apalagi basa-basi. Tapi setidaknya tidak sediam dan sedingin sekarang ini. Dua minggu waktu yang sudah mereka habiskan sejak makan malam itu, tapi Laura tidak banyak bicara selain penolakan-penolakannya setiap kali Kai datang menjemput atau mengajaknya makan.
Sebenarnya Kai kesal, ia bukanlah laki-laki penyabar mengenai apa pun. Ia selalu tidak bisa mengendalikan emosinya, namun demi seorang Laura Priela Arsyatami, Kai harus benar-benar menahan keinginannya untuk memaki. Ia tidak ingin membuat perempuan itu semakin membencinya dan berakhir semakin melangkah menjauhinya.
Waktu sepuluh tahun lalu sudah membuatnya menyesal karena pengendalian dirinya yang jelek, salah satu alasan juga yang membuat Laura pada akhirnya memutuskannya. Ya, selain karena kebodohannya mengkhianati Laura, Kai juga kerap kali bersikap seenaknya dan tidak jarang melayangkan ucapan-ucapan kasar pada Laura yang dulu menjadi kekasihnya. Kaivan memang seburuk itu dulu.
Namun bukan berarti ia tidak berusaha untuk berubah, selama ini Kai berusaha untuk memperbaiki dirinya dan meninggalkan sikap buruknya itu, meskipun belum sepenuhnya berhasil. Tapi setidaknya Kai sudah lebih baik di bandingkan dulu. Beruntung wanita yang sekarang menjadi mama-nya bisa membantunya sedikit demi sedikit.
“Enak gak?” tanya Kai saat dengan santainya Laura memakan makanannya yang sudah Kai siapkan spesial untuk calon tunangannya itu.
“Lumayan,” jawabnya dengan raut wajah datar, membuat Kai mendesah pasrah dan sedikit kecewa. Tapi sebisa mungkin untuk tetap sabar dan memahami perempuan di depannya yang sudah banyak berubah dari terakhir kali mereka bertemu saat acara perpisahan sekolahnya dulu tanpa kenangan berarti.
“Mama minta kamu main ke rumah, kangen katanya sama calon mantu,” kembali Kai membuka suara setelah sekian menit hening. Masih berusaha untuk meluluhkan perempuan itu.
“Gue sibuk.” Penolakan terang-terangan Laura layangkan di depan wajah Kaivan.
“Iya, nanti kalau udah gak sibuk. Mama siap, kok, nunggu kamu kapan aja datang main ke rumah. Sama kayak aku yang siap nunggu kamu bilang iya, untuk menikah denganku.”
Laura memutar bola matanya. “Bahkan hanya dalam mimpi aja lo jangan berharap,” jawab sinis Laura.
Sedikit banyak ucapan itu melukai hati Kaivan. Namun sebisa mungkin Kai menahannya untuk tidak emosi. Ini baru dua minggu. Wajar kalau Laura masih belum bisa menerimanya. Tapi Kai akan pastikan bahwa suatu saat nanti perempuan itu akan menjadi miliknya tanpa ada lagi penolakan apalagi kata-kata menyakitkan seperti barusan.
Kaivan hanya mengulas senyumnya tipis, lalu kembali melanjutkan makannya dalam diam. Tidak lagi berusaha untuk menciptakan suasana yang lebih santai dan hangat seperti niatnya sejak masih dalam perjalanan tadi. Kai tidak ingin terpancing emosi dan berakhir bersikap kasar atau melakukan hal-hal yang di luar nalar. Ia akan membuktikan pada Laura bahwa dia patut di beri kesempatan setelah apa yang dulu pernah dirinya lakukan.
Laura sendiri mengerutkan keningnya heran melihat keterdiaman dan kepasrahan laki-laki di depannya. Dulu seorang Kaivan adalah makhluk yang akan mengamuk jika ada yang mengejek atau berkata sinis padanya. Dan Kai tidak akan segan-segan memukul orang itu. Meski Laura tahu bahwa Kai tidak memukul perempuan, tapi selama berpacaran dengan laki-laki itu Laura tahu bagaimana tidak terkendalinya seorang Kaivan Putra Wirasman. Lalu kenapa sekarang laki-laki itu hanya diam saja. Padahal Laura menunggu kemarahan cowok itu, Laura menunggu makiannya dengan kata-kata kasar yang dulu pernah dirinya dengar bahkan pernah dirinya dapatkan hanya gara-gara kecemburuan pria itu.
“Terima kasih makanannya,” ucap Laura terdengar tulus, mengalihkan Kaivan yang masih belum menghabiskan makanan bagiannya. Seulas senyum terukir di bibirnya.
“Lain kali aku masakin lagi buat kamu,” kata Kai dengan wajah berbinar.
“Gak perlu, gue gak mau ngerepotin—”
“Aku gak merasa direpotin kok, La, aku justru senang bisa masakin buat kamu,” potong Kaivan cepat. Senyumnya bertambah lebar sebelum di detik selanjutnya Laura mematahkan semua itu.
“Dan gue gak mau buat lo terlalu berharap. Sampai kapanpun gue gak akan mau menerima lo lagi, apalagi sampai benar-benar nikah sama lo. Gue pastikan bahwa perjodohan ini tidak akan pernah ada.”
***
Sekembalinya dari rumah sakit tempat Laura bekerja, Kaivan kembali ke restorannya dengan langkah lesu dan wajah kecut. Membuat beberapa karyawan menatap heran bosnya itu, namun tidak ada satu pun yang berani menegur karena mereka sudah tahu bagaimana kemarahan seorang Kaivan jika sedang berada dalam mood yang berantakan.
“Kamu kenapa Kai, kok, gak semangat gitu?” heran Indah yang memang sejak tadi berada di restoran milik Kai, lunch bersama sang suami.
“Gagal makan siang bareng Laura?” tebak Angga, sang papa. Kaivan menggeleng, lalu mendudukkan diri di samping sang mama, menjatuhkan kepalanya di pundak perempuan paruh baya itu yang membuat Angga mendengus kesal karena anaknya sudah berada dalam mode manja.
“Ma, apa Kai gak pantas memiliki kesempatan kedua?” Indah dan Angga saling menoleh, menatap satu sama lain dengan kerutan di dahi masing-masing, tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja putranya bertanya seperti itu.
“Semua orang pantas mendapatkan kesempatan kedua, Kai. Tapi tidak semua orang mau memberikannya. Sekarang coba Kai cerita sama Mama kenapa lesu gini? Tadi perasaan semangat banget masakin buat Laura?” usapan lembut Indah berikan di kepala sang putra.
Meski Kai bukanlah anak kandungnya, tapi Indah menyayanginya tulus. Apalagi dirinya tidak memiliki anak dari pernikahan pertamanya dan tidak juga dengan pernikahan keduanya bersama Angga tujuh tahun lalu. Jadilah kasih sayang dan perhatiannya ia curahkan sepenuhnya pada Kai, anak tirinya.
“Laura gak mau balikan sama Kai, dia gak mau nikah sama Kai,” senyum pedih tersungging di bibir Kaivan. Sedangkan kedua orang tuanya masih belum paham ke mana cerita anaknya itu akan mengalir.
“Sebenarnya Kai sama Laura pernah pacaran waktu SMA,”
Indah dan Angga terkejut mendengar pengakuan itu. Selama ini Kai tidak pernah bercerita mengenai asmaranya, meskipun Angga tahu bahwa putranya itu adalah seorang playboy, tapi Angga tidak menyangka bahwa Laura, anak dari kakak kelasnya dulu pernah menjalin kasih dengan putranya. Laura terlalu lembut untuk seorang Kaivan dimasa lalu.
“Kamu … gak becanda ‘kan Kai?” gelengan menjadi jawaban yang Kaivan berikan. Membuat Angga menghela napasnya pelan dan memijat keningnya yang berdenyut.
“Satu tahun Kai pacaran sama Laura, dan dia mutusin Kai ketika kami masuk semester dua kelas 12.” Cerita Kai sedikit demi sedikit karena ia terlalu sesak jika mengingat masa itu.
“Kenapa bisa putus?”
“Papa sama Mama tahu sendiri Kai seperti apa di masa lalu,” Kai tersenyum tipis. Senyum yang sarat akan sebuah penyesalan. “Lebih parahnya lagi saat itu Kai selingkuh sama sahabat dekat Laura. Sejak saat itu kami tidak bernah bertegur sapa lagi. Kai menyesal dan berniat meminta maaf, tapi terlambat, Laura terlalu benci Kai saat itu, berpapasan aja dia begitu enggan. Sepuluh tahun, Kai dihantui rasa bersalah, dan ketika di pertemukan kembali, Laura sudah berubah. Dia yang dulu lembut dan begitu hangat sekarang berubah dingin tak tersentuh. Kai menyesal sudah mengecewakan Laura. Sekarang apa yang harus Kai lakukan?” Kaivan menatap kedua orang tuanya bergantian. Raut wajahnya yang frustrasi membuat Indah semakin memeluk putranya itu erat.
“Kamu cinta dia?” Indah menangkup wajah putranya, bertanya dengan sungguh-sungguh. Dan Kai menjawab dengan anggukan tegas dan yakin.
“Sejak awal Kai emang cinta sama Laura, maka dari itu cuma dia pacar Kai yang bertahan hingga satu tahun. Sayangnya saat itu Kai tidak bisa menahan emosi, Kai terlalu marah melihat Laura sama laki-laki lain. Belum lagi sahabat Laura yang terus ngomporin Kai tentang kedekatan mereka,” Kai tersenyum kecut, ia merasa bodoh saat itu. Percaya pada titisan medusa yang memang berniat menghancurkan hubungannya dengan sahabatnya sendiri. Lebih bodohnya Kai mau-mau saja terperangkap pada godaannya dan berakhir menyakiti perempuan yang dicintainya.
“Papa gak percaya kalau kamu bisa sebodoh itu Kai?” Angga menggeleng-geleng kepalanya. “Kalau sampai Leo tahu anaknya pernah kamu sakiti, Papa yakin mereka gak akan mau lagi meneruskan perjodohan ini.”
“Jangan bicara kayak gitu, Mas. Udah tahu anaknya lagi down dan kehilangan kepercayaan diri malah di komporin kayak gitu!” kesal Indah menatap tajam suaminya.
“Ya gimana lagi, Kai emang salah. Wajar kalau selama ini Laura terus menolak perjodohan ini,” Angga menghela napasnya berat, ikut menyesal karena sikap Kaivan dulu juga karena ulahnya. Andai masa lalu bisa di ulang.
“Sekarang papa tanya serius sama kamu, kamu benar-benar cinta sama Laura atau hanya ingin menebus rasa bersalahmu dulu? Jika memang serius, terus berusaha. Yakinkan Laura bahwa kamu sudah berubah, kamu tulus dan tidak akan mengulang kisah lalu lagi. menaklukkan perempuan yang sudah terlanjur kecewa memang sulit. Tapi percayalah, kalau Laura masih memiliki sedikit rasa untukmu, semua tidak akan ada yang mustahil.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!