Pukul sebelas malam...
Segerombolan air yang berasal dari langit, mengepung kawasan padat penduduk tersebut.
Desiran angin serta menggelegarnya sambaran petir, membuat seorang gadis bernama Kinara Larasati itu tertahan.
Ia berdiri di depan kedai kopi yang sudah hampir tertutup seluruhnya. Hanya tersisa pintu masuk saja.
Menghela nafas, setiap kali matanya menilik kearah jam tangan. Lalu kembali memandangi hujan yang terus jatuh dengan derasnya, tanpa tahu kapan akan mereda.
Hujan seperti ini mungkin akan awet –pikirnya.
Membuatnya ragu untuk pulang sembari membawa payung, menerjang hujan. Walaupun tempat tinggalnya hanya masuk sedikit ke dalam gang, tidak jauh. Tapi kilatan petir terus menyambar-nyambar, membuatnya takut.
Namun, menunggu hujan reda mau sampai kapan? Sudah lewat satu jam, intensitasnya malah semakin besar, awet pula. Tidak mungkin, 'kan? Jika harus menginap di warungnya.
Warung itu sangat sempit, juga tidak ada alas tidur. Lebih-lebih soal keamanan. Siapa yang menjamin, Dia akan tidur dengan tenang? Sementara pintu warung hanya bisa di gembok dari luar. Jika ada pria jahat yang memaksa masuk, akan celaka hidupnya.
Lebih-lebih di sekeliling, yang hanya di isi warung-warung berjajar, sudah sepi. Mereka sudah pulang dari jam sembilan tadi.
Ketika awan masih pekat-pekatnya menahan air didalamnya. Sementara pada saat itu, pelanggannya sedang banyak-banyaknya. Membuat Kinara menunda sejenak kepulangannya.
Memang, Kinar biasa pulang malam. Sebab warung kopi buka setiap jam sebelas siang hingga pukul sepuluh malam.
Warung yang tidak hanya menjual kopi saja. Namun menjual mie instan yang sudah matang juga.
Membuat warung itu sangat di gemari penikmatnya dan dijadikan tempat tongkrongan asik, bagi para pekerja proyek yang tidak jauh dari sana.
Meskipun begitu, Kinara bukanlah termasuk wanita genit yang bersedia untuk di lecehkan. Ia tetap memegang teguh wejangan sang ayah, tentang pentingnya menjaga kehormatan.
Seperti jika ada pria-pria nakal yang menggoda, ia tetap akan melawan mereka. Karena Kinara bukan termaksud gadis yang lemah yang mudah di goda.
Duaaaarr...
Suara ban meletus membuat Kinara terkejut bukan kepalang. Nampak sebuah mobil yang sedikit Oleng mengarah ke arahnya ckiiiiiiiiiiiiiiiiittttt. Dan berhenti dengan sempurna di depan, tepat di sebrang warungnya.
Kinara mengelus dada, jantungnya masih berdebar akibat terkejut.
Yang di dalam mobil itu, baik-baik saja, 'kan?
Kinara masih fokus mengamati sebuah mobil berjenis Avanza.
Braaaaakkk...
Seorang pria keluar dengan membanting pintu lalu berjalan mendekati ban belakang mobil yang ia gunakan. Mengintip sejenak lalu berkacak pinggang.
Pria bertubuh tinggi, dengan kemeja berwarna hitam itu terlihat kesal.
"Sial... dasar Ivan. Bisa-bisanya Dia mengganti mobil ku dengan mobil bobrok seperti ini," mengumpat kesal, sembari menendang ban mobilnya sekali.
Tapi bukan salahnya juga sih, aku yang memaksa pergi sendiri tanpa tahu kalau mobil itu rupanya ada masalah. Masih untung ada mobil pengganti. tapi aku malah menemukan masalah selanjutnya.
Seketika Pria itu menoleh kebelakang, setelah merasakan ada seseorang yang tengah memayunginya.
"Maaf, Anda baik-baik saja, 'kan? perlu bantuan?" tanya Kinara ramah. Pria itu tertegun sejenak mengamati wanita yang terlihat sederhana namun sangat cantik.
"Mas?" Panggilnya lagi, karena menyadari pria itu melamun.
"Ahhhh... iya. Ini ban mobil saya, meletus," jawabnya.
Kinara tersenyum, dan dari senyumannya seolah membuat Pria itu kembali tersihir.
"Apa anda bawa ban, lain?" tanya Kinara.
"I... iya. Sepertinya ada di bagasi belakang," jawabnya tergagap.
"Ada alat-alatnya juga kan seperti dongkrak dan kuncinya?"
Pria itu mengangguk masih terus melihat kearah gadis di hadapannya.
"Emmm... sebelum itu, apa anda keberatan jika saya bantu?"
"Memangnya, Anda bisa?"
"Saya pernah kerja di salah satu PT. Otomotif, jadi lumayan bisa sih kalo cuma ganti ban saja," jawabnya sembari terkekeh.
Pria itu tersenyum. "Tunggu sebentar, ya?"
Setelah sang gadis mengangguk, Ia lantas berjalan guna membuka pintu bagian belakang mobilnya. Namun seketika tertegun.
Tidak ada ban, bagaimana ini? Asal jawab saja aku.
Pria itu kelimpungan, Kinar pun mendekati.
"Bagaimana?"
"Sepertinya tidak ada Ban pengganti. Ku pikir ada?" Menggaruk kepala bagian belakang, merasa malu.
Kinar pun membungkuk mengintip kolong mobilnya.
"Itu– ada," menunjuk.
Loh... Di bawa rupanya? Astaga!
Pria itu tersenyum lebih malu lagi karena tidak tahu, di bawah ada ban yang tergantung.
"Biar ku bantu keluarkan."
"Tidak usah. Biar saya saja."
"Okay..." Kinar menjauh. Membiarkan pria asing itu mengeluarkan ban tersebut, sedikit nampak kesulitan namun tetap berhasil.
Lalu mengeluarkan beberapa alat dari dalam perkakas yang di perlukan, setelah meletakkan ban di sisi yang perlu di ganti. Kinar tersenyum, ia menyodorkan payung itu kemudian.
"Boleh minta tolong pegangi payungnya?" Pintanya. Pria itu mengangguk dan payung itu pun sudah berpindah tangan.
Kinara berjongkok ia lebih dulu menaruh dongkrak dan mengatur ketinggiannya. Setelah itu baru lah ia melepaskan ban yang pecah, dan menggantinya dengan yang baru.
Terlihat cekatan sekali, hingga ban tersebut sudah terpasang sempurna. Pria itu pun memandang penuh kekaguman.
Tidak di sangka gadis sehalus itu bisa mengganti ban mobil. Bahkan dia saja tidak bisa.
Kinar beranjak, ia menepuk-nepuk telapak tangannya. "Sudah selesai mas."
"Wah... terimakasih banyak ya," jawab pria itu membalas senyumnya.
"Sama-sama. Emmm... mau mampir ngopi sebentar? Saya gratisin deh. Bukan apa-apa loh ini, sebab baju mas basah takutnya masuk angin, kalau mau bungkus juga tidak apa, kok." Kinara menawarkan karena sepertinya pria itu sedikit menggigil.
"Boleh, saya minum di sini saja."
–––
Setelah membereskan ban yang tidak dipakai dan perkakasnya mereka pun berjalan masuk menuju warung Kinara.
Kinara sempat menanyakan kopi apa yang ia mau? Namun pria itu menjawabnya dengan apa saja. Maka jadilah secangkir kopi sederhana ala racikannya yang menjadi paling favorit diwarungnya. Lalu menyuguhkannya pada Pria tersebut.
"Silahkan mas."
"Terimakasih."
"Sama-sama."
Pria tersebut menyeruput kopinya, matanya sedikit melebar. Sepertinya, dia menikmati kopi buatan Kinar. Terlihat pria itu kembali menyeruput lalu meletakkan lagi gelas cangkir tersebut di atas meja.
"Terimakasih mbak?"
"Kinara," jawab Kinar, cepat.
"Kinara ya, nama yang cantik."
Kinara tersipu. Karena pria yang ada di hadapannya juga sangat tampan, terlebih-lebih dia memuji namanya.
"Emm... aku ingin ke toilet. Ada kan di sini?"
"Ada sih mas, tapi sepertinya tidak sebersih toilet Anda."
"Ehhh... kok berfikiran seperti itu?"
"soalnya anda seperti tidak berasal dari kalangan seperti saya. Anda pasti orang kaya," jawabnya asal.
Pria itu terkekeh. "Saya itu buka orang kaya kok. Pekerjaan saya saja cuma supir taksi online," jawaban yang terdengar asal. Namun tetap di percayai gadis itu.
Mereka beranjak.
Kinara menunjukkan bilik toiletnya, lalu pria itu pun langsung masuk ke dalamnya.
"Haaaaahhh... masa iya dia cuma supir taksi online. Sepertinya tidak mungkin sih," gumamnya.
Ia menata beberapa barangnya, karena hujan di luar sudah mulai reda. Tinggal menunggu pria itu keluar dan pulang, maka dia juga akan pulang.
Paaaaattssss... lampunya padam. Kinar menoleh ke segala arah.
"Gawat mati lampu," merasa panik.
Cklaaaaaaakkk... terdengar suara pintu toilet yang terbuka, secara tiba-tiba.
"Mbak—" panggil pria tersebut.
"Saya di sini Mas," jawab Kinar.
Pria tersebut melangkahkan kakinya sembari meraba-raba jalan karena gelap. Ia pun menabrak beberapa kursi plastik membuat Kinara terkesiap.
"Pelan-pelan mas," ucap Kinar.
"Gelap sekali mbak. Saya punya masalah rabun senja soalnya. Jadi saya benar-benar tidak bisa melihat apapun saat ini." Pria itu terus melangkah hingga menabrak tubuh Kinara.
Bruuuuukkkk...
"Kyaaaaaaaa..." Kinara yang tidak bisa menahan tubuh berat sang pria pun terjatuh. Hingga posisi pria itu sedikit menimpah tubuhnya.
"Ma... maaf mbak. Sungguh maafkan saya," tuturnya. Baru saja dia hendak berdiri. Beberapa orang datang sembari membawa senter di tangannya menyoroti mereka.
"Woy!!! Kalian sedang apa?! Mesum ya?" Seru seorang bapak-bapak.
Kinara mendorong dada bidang pria di atasnya untuk menjauh dari tubuhnya.
Dia lantas berdiri dan menggeleng cepat.
🍂
🍂
🍂
## hai... aku picisan Imut. ini novel ku yang ke sekian, yang masih buruk juga sih penulisannya. maaf ya kalau bikin kalian kurang enjoy bacanya.
aku hapus visualnya... karena kalian pasti banyak yang nggak cocok hehehe.
aku senang, akhir2 ini novel (Suamiku ternyata seorang Presdir) ramai pembaca 🥺🥺🙏🙏🤲🤲
makanya aku lagi usahakan revisi satu persatu babnya... jadi kalau masih keliatan ancur maaf ya, soalnya aku memperbaikinya pelan2 ketika luang, karena aku juga sedang on going novel barunya di sini juga. terimakasih sekali lagi untuk kalian para pembaca, baik yang baru ataupun yang membaca ulang. dan mungkin akan sedikit berbeda dengan Audiobooknya, soalnya aku merubah banyak di setiap part-nya, agar lebih enak di baca.
(perbaikan di mulai pada tanggal 12 Februari 2022... dan seterusnya, jadi yang di episode bawah masih kurang nyaman di baca, mohon di mengerti ya.)
selamat membaca teman-teman... ❤️❤️❤️
"Tidak pak... sumpah! Demi Apapun, kami tidak sedang berbuat mesum," jawab Kinara panik. Dia benar-benar ketakutan, ketika semakin banyak warga yang berduyun-duyun datang, menyoroti mereka.
Salah satu pria bertubuh gempal, mengarahkan senter kearah Pria asing di sebelah Kinara.
"Tidak berbuat mesum, katamu? Lantas ini apa!! gespernya saja belum sempat terpasang.... masih mau mangelak?" tuding pria bertubuh gemuk tersebut.
"A... apa? Astaga!" Pria itu panik, segera memasangnya dengan benar. Saking takutnya dengan gelap, membuat ia lupa tadi.
Kinara membulat kan bola matanya, ia menggeleng sekali lagi sembari mengangkat ke-dua tangannya di depan dada. Terlebih saat para warga sudah saling melontarkan opini mereka, yang menyakini jika keduanya telah melakukan mesum.
"Sungguh pak. Demi Tuhan, kita tidak berbuat apa-apa. Tadi itu?"
"Alllaaaaaahhh, tidak usah berkelit lagi.... kita bawa saja mereka ke rumah pak RT." Sang pria gemuk itu terus saja melontarkan kalimat provokasi, pada para warga membuat Kinara dan pria asing itu semakin kalang kabut.
"Tolong tenang, bapak-bapak. Saya mohon, untuk mempercayai kami. Sungguh kami tidak berbuat apa-apa, gesper saya tak terpasang karena tadi habis dari kamar kecil, setelah itu?"
"Diam kau! Sudah kepergok mesum masih berusaha mengelak lagi...."
Buaaaaaakkk.... Salah satu pria lain, menghajar wajahnya.
"Kyaaaaaaaa...! Bapak-bapak, tolong jangan pukul mas ini. Kami bersumpah... demi Tuhan. Kami benar-benar tidak berbuat apa-apa pak."
Kinara mulai menitikkan air matanya, rasa takut sekaligus malunya sudah semakin menguasai.
Salah seorang bapak-bapak lainnya lagi, menarik baju sang pria, mencengkeram erat.
"Pilih yang mana? Kau mau kami membawamu ke kantor polisi, atau pertanggungjawabkan perbuatanmu?"
"Saya benar-benar tidak melakukan apapun pak... namun jika saya di minta untuk bertanggung jawab? Maka saya akan mempertanggungjawabkannya," jawabnya.
Kinar menoleh, apa maksudnya tentang bertanggung jawab? Apa pria itu mau di hakimi masa? Kinar semakin ketakutan.
"Kalau begitu, kalian berdua ikut kami."
"Ki– kita mau di bawa kemana, pak? Sungguh jangan apa-apakan kami. Kami tidak berbuat mesum pak, demi Tuhan." Kinar memundurkan langkahnya, menolak. Namun, pria bertubuh gemuk itu menyeretnya paksa.
Mereka pun di gelandang ke sebuah rumah sederhana.
Rumah ketua RT di kawasan tersebut.
–––
Sungguh perasan takut bercampur malu masih berkecamuk di benak Kinara. Pria ini sama sekali tidak ia kenal, namun dengan apesnya dirinya di tuduh melakukan tindak asusila di dalam warung.
Sehingga membuat ketua RT tersebut meminta pria itu untuk menikahi Kinara malam ini juga. Sesuai dengan musyawarah yang di setujui para warga.
Pria asing yang duduk di sebelah Kinara nampak pucat pasi. Terdiam cukup lama untuk menjawab tuntutan itu.
"Bagaimana?" tanya Ketua RT tersebut. Pria itu pun mengangkat kepalanya. Melihat kesekeliling lantas menoleh kearah gadis yang tertunduk lesu, di samping. Setelah itu menghela nafas, kembali menatap sang ketua RT.
"Baiklah. Saya akan menikahinya malam ini," jawab pria tersebut, kemudian.
Mata Kinara membulat. Ia menoleh ragu-ragu, Pria itu lantas mengembangkan senyum tipis kepadanya.
Ya Tuhan. Mungkin, aku memang sudah saatnya menikah. Namun tidak dengan cara memalukan seperti ini. (Kinar)
wanita itu tertunduk lagi, air matanya menitik seketika. Hingga beberapa saat kemudian. Pria itu menjabat tangan seorang pemuka agama. Ia berikrar di hadapan pak RT juga orang banyak yang turut menjadi saksi.
Beberapa diantara warga yang menyaksikan juga mengambil foto mereka, disertai tawa mengejek.
Kinara mengepalkan tangannya. Ia benar-benar ingin merebut ponsel mereka, dan membantingnya hingga hancur.
Sekejam itukah? Menganggap suatu musibah yang tak semestinya terjadi, menjadi sebuah tontonan. Bahkan malah di abadikan? manusia jaman sekarang memang sudah putus urat nuraninya. lebih mempercayai apa yang mereka lihat sekilas, dari pada mendengarkan sebuah penjelasan.
Kinara sudah tidak bisa menampung air matanya saat semua saksi mengesahkan mereka.
"Kalian baru sah secara agama ya? Belum secara hukum. Akan lebih baik jika kalian mengurus ini ke KUA," ucap sang pemuka agama, tersebut.
"Terimakasih pak Kyai," jawab pria tersebut, lantas menoleh ke arah Kinara dengan tatapan merasa bersalah.
–––
Mereka pulang ke sebuah hunian yang bisa di bilang cukup sederhana.
Kinara membuka kunci rumah tersebut.
"Silahkan masuk mas," titahnya lesu.
Pria itu berjalan masuk. Pandangannya langsung menyoroti bagian ruang tamu di rumah tersebut, sepertinya hampir semua sudut tak luput dari pandangannya.
"Silahkan duduk mas."
Kembali fokus pada Kinara yang sudah duduk di sofa usang, ruang tamu sederhana itu.
Ragu-ragu, ia duduk di sebelah Kinara. Berjarak hampir satu meter. memandangi gadis yang masih tertunduk di sebelahnya, sembari sesekali mengusap air mata yang tak bisa ia hentikan.
Tangannya sedikit terangkat namun kembali turun. Ia ingin menenangkan nya, namun tidak berani.
"Maafkan saya, Mas. Jujur, saya malu karena hal ini," Isaknya, ketika tak lagi mampu menampung air matanya. Pria itu terdiam.
"Saya tahu. Ini tidak semestinya terjadi pada kita. Mas, seharusnya menolak tadi... Atau mungkin? Mas bisa menalak saya sekarang juga." Kinar mencoba untuk menenangkan dirinya sejenak. "Lantas pergi," sambungnya lirih.
Pria itupun mengulurkan tangannya, membuat kepala Kinara terangkat.
"Ini?"
"Ayo jabat tangan ku."
"Tapi?"
"Ayo jabat... tidak apa," bujuknya lagi. Perlahan, Kinara menjabatnya. "Saya Tara," ucapnya lembut.
"Mas Tara?" Mengingat-ingat, tadi pria itu menyebutkan namanya Tara juga. Walaupun tak di sebutkan nama belakangnya. Namun kata sang pemuka agama itu tidak masalah, tetap akan sah.
Tara tersenyum, ia mengangguk pelan. Lalu mengangkat tangan itu. Mendekat ke bibir Kinara, sehingga gadis itu bisa mengecup punggung tangannya.
Kinara sedikit tertegun saat bibirnya menyentuh punggung tangan yang halus dan putih bersih itu.
"Kita jalani dulu saja... biarkan mengalir seperti air. Karena jika aku langsung meninggalkan mu, semua warga pasti akan mengecam mu, Kinar."
Gadis itu masih menatapnya bingung.
"Tapi... tapi kita, 'kan?"
"Saya tidak akan menyentuh mu kok. Sampai kita benar-benar yakin. Saya janji," ucapnya.
"Jalani? Yakin? Tunggu, aku tidak bisa mencernanya."
"Maksud saya. Saya sama sekali tidak merasa keberatan dengan pernikahan mendadak ini."
Kinar terdiam lagi, sorot matanya menandakan bahwa ia masih tidak mengerti.
"Intinya, kita akan tetap menjalani ini sebagaimana semestinya. Kalau sudah ada keyakinan, kita bisa melanjutkannya. Saya hanya tidak ingin, kau mendapatkan masalah sosial setelahnya. Ini wujud tanggung jawab saya padamu."
Air mata kinar semakin menderas. "Apa aku bisa mempercayai mu, mas?"
"Akan saya usahakan. Sekarang tenangkan dirimu. Jangan takut, ya. Saya tidak akan macam-macam kok."
Kinar tersenyum, ia mengusap air matanya sembari mengangguk-angguk.
"Di sini ada kamar lagi, selain kamar mu, 'kan?" tanya Tara.
Kinar mengangguk. "Tapi kotor, karena lama tidak di gunakan. Kamar bekas ayah ku."
Tara mengusap-usap kepalanya. "Kalau begitu malam ini saya tidur di sofa ini saja," ucapnya.
"Mas yakin?"
"Iya lah. Sangat yakin."
"Anu... kalau mas ingin pergi? aku Benaran tidak apa-apa loh. Soalnya aku cuma gadis penjual kopi."
Sedikit tertawa. "Saya sudah bilang, kita jalani dulu saja. Lagi pula aku kan hanya seorang supir taksi online. Kita sederajat."
Kinar masih ragu. Bisa jadi kan, pria ini berbohong. Pria setampan ini, tangan yang halus, dan tubuh yang putih bersih. Masa iya dia orang yang sederajat dengannya.
"Kinara—" panggilnya.
"I...iya mas."
"Percayalah... Saya tidak akan membuat mu merasa merugi. Saya bersumpah, tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh padamu. Sampai keyakinan ada di hati kita. Bagaimana? Mau kan menjalaninya?" tanya mas Tara.
Perlahan kepala itu mengangguk. Ya mau bagaimana lagi, ia juga tidak ingin di hujat banyak orang. Karena kabar cinta satu malamnya.
Jadi ya sudah lah jalani saja, pria ini terlihat tulus juga.
"Emmm... Saya agak risih dengan baju yang masih sedikit basah ini, Kinar. Kau ada baju yang bisa dipinjam?"
"Ada sih, baju bekas mendiang ayah ku. Mas mau pakai?"
"Boleh deh, dari pada pakai baju basah seperti ini."
Kinara pun beranjak ia masuk ke dalam kamar ayahnya.
Sedangkan Tara masih saja mengamati Kinar yang sudah menghilang dari pandangannya.
Ia pun menghela nafas.
Bagaimana ini? Tiba-tiba aku sudah beristri? Gumamnya dalam hati. Ia pun menyandarkan kepalanya di sandaran sofa usang tersebut.
Hingga tak lama Kinara keluar membawakan setelan baju yang setidaknya paling cocok lah untuk pria yang sudah menjadi suaminya itu.
Setelah mengganti pakaian? Tara langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan bantal dan selimut yang di berikan Kinara. Tubuh yang benar-benar lelah, membuatnya ingin segera tertidur.
"Terimakasih Kinara. Kamu tidur ya, sudah malam," ucapnya.
"Iya mas," gadis itu berjalan menjauh. Ia ingin mengucapkan selamat malam pada pria yang sudah menutupi wajahnya dengan lengan. Namun ragu, ia menggeleng cepat sembari tersenyum, lalu masuk dan menutup pintu kamarnya.
Malam panjang pun mereka lalui dengan status yang tiba-tiba berubah. Seperti mimpi rasanya, tidak ada persiapan apapun.
Tiba-tiba saja Dia sudah sah memiliki suami. Kinara dan Tara sama-sama masih canggung antar satu sama lain.
Saat ini mereka hanya berusaha menjalaninya dan menunggu apa yang akan terjadi setelahnya. Dengan harapan, semoga kebaikanlah yang menyertai mereka. Sebagai balasan baik, karena harus bertanggung jawab atas apa yang tak mereka lakukan.
Aku bermimpi...
mimpi yang selalu datang, berulang. sangatlah indah. Itulah yang membuatku selalu tak ingin terjaga. Selama ini aku dikenal sebagai putri malang yang sebatang kara.
selalu menangis sesenggukan di bawah pohon rimbun yang gelap ini... sendirian.
Lantas, seberkas cahaya datang dan berubah menjadi pangeran berkuda putih yang amat gagah... Tersenyum sembari mengulurkan tangannya kepadaku.
Wajahnya yang selama ini buram, tak terlihat. Sekarang, aku bisa melihatnya dengan jelas... Dia Mas Tara.
🌸
🌸
🌸
Pagi yang yang cerah, beraromakan tanah basah setelah di guyur hujan tadi malam. tetesan air dari ujung dedaunan yang masih basah, menimbulkan suara berdencik ketika menyentuh genting seng di rumah-rumah warga.
Ayam-ayam mulai berkokok menandai hari baru telah tiba. Sudah waktunya para penduduk bumi bangkit dari peraduan mereka. Melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Sejuknya udara pagi membangunkan Kinara yang sedikit menggigil akibat kipas angin yang masih menyala.
Kinar merenggangkan tubuhnya sejenak. Lalu segera beranjak lah dia, mematikan kipas angin di atas meja, setelah itu berjalan keluar.
Pintu kamar terbuka, hal yang pertama ia lihat adalah Mas Tara. Pria tampan yang masih tertidur di atas sofa usang nya.
Apa yang ia lihat pagi ini seolah menggarisbawahi, bahwa yang terjadi tadi malam bukan lah mimpi. Dia memang sudah memiliki suami.
Ya... suami yang bukan tampan lagi, tapi amat tampan. Seperti sebuah musibah bercampur rezeki. Ia bisa menikah dengan pria sempurna seperti itu. Tutur kata yang lembut, kulit putih bersih, tubuh tinggi.
Ah... Intinya bagaikan kentang dengan lobak, jika dirinya disandingkan dengan Tara. Pikirnya.
Dan satu lagi, tipe pria yang bisa di pegang janjinya. Lihat saja... pria itu sama sekali tak menginjakkan kakinya masuk ke dalam kamar Kinar, seperti janjinya semalam. Padahal mereka sudah sah.
Atau mungkin Dia memang tidak tertarik dengan ku yang kentang ini? –semangatnya sedikit meredup.
Sabar ya Kinara. Cinta itu tidak datang dengan cepat, termaksud dirimu yang belum ada getaran sama sekali, 'kan?
Kalian itu masih sekedar saling kagum, karena tampang masing-masing. Mungkin... hehehe.
Kinar membenahi selimut Tara. Kerena sedikit terbuang dari tubuhnya, menyelimuti lagi hingga sebatas leher pria tersebut.
Tubuh Tara sedikit bergerak, membuat Kinara tersenyum.
manis sekali pria ini jika tengah tidur? gumamnya dalam hati. Gadis itu kembali beranjak dari posisi setengah membungkuk tadi. Lalu berjalan ke ruangan belakang, guna membasuh tubuhnya.
–––
Sudah hal biasa, gadis itu akan berbelanja pagi lebih dulu. Untuk masak hidangan sarapannya sendiri. Atau hanya sebatas membeli sarapan yang sudah matang.
Namun akan berbeda dengan sekarang. karena Kali ini, dia sudah memiliki suami? sudah pasti dia akan memasak makanan yang lebih spesial untuk Tara.
Masak apa ya kiranya? Dia suka makanan yang seperti apa? Dia suka pedas tidak ya? –Sepanjang jalan Kinar terus berfikir, dengan semangat yang membara. Tanpa sadar jika banyak pasang mata yang mengamatinya, berbisik-bisik juga.
Langkahnya terus terayun, melewati satu persatu rumah.
"Haloooooowwww.... pengantin baru, ehhhh? pengantin mesum. Hahahaha."
Seorang wanita yang tengah berdiri sembari melipat kedua tangannya di depan dada berseru.
Kinara menghela nafas malas, ketika mendengar suara wanita yang paling ia hindari.
Gadis itu memutuskan untuk melanjutkan langkahnya, tidak peduli.
"Heiii sombongnya... yang sudah punya suami. Ckckck– semalam puas dong ya? Ketahuan mesum. Eh? langsung di nikahi. Lanjut rondenya dong..." tergelak lagi.
Kinara menoleh. Lalu melebarkan senyum keterpaksaan.
"Kok tahu sih, aku habis main beronde dengan suami ku tadi malam? Ya ampun... kau mengintip ya, Monik?"
Monik menarik senyumnya. "Cih! sudi sekali aku mengintip pasangan mesum seperti mu."
"Ohooooo, habis kau seperti nya paham sekali sih.... hei kau tahu tidak? suami ku itu sangat baik hati, tampan pula. Aku yakin saat kau melihatnya pasti akan langsung pingsan." Terkekeh.
"Hei Kinara!!! Pria seperti apa sih suami mu itu? Sudah pasti pria hidung belang yang biasa mampir di warung mu kan? Aku yakin, selama ini tidak hanya satu pria yang biasa kau layani. Namun sayangnya pria yang menikahi mu semalam tengah tidak beruntung ya. Karena di grebek hahaha... kasihan sekali. Dengar ya, kalau aku jadi dirimu jangankan untuk berbangga diri. Keluar saja aku akan malu. Tapi, ya... Aku paham. Kau kan memang wanita murahan yang tidak punya urat malu."
Kinara mengepalkan satu tangannya, geram pada wanita yang masih terus mencibirnya sembari tertawa.
Namun bibirnya masih tersungging. Ia tak ingin Monik melihatnya kesal, saat ini. Karena itu akan semakin membuatnya puas.
"Kau memperhatikan sekali diri ku ya Monik, jadi terharu deh."
"Gadis murahan seperti mu memang sering menjadi trending topik para ibu-ibu saat bergosip. Siapa yang tidak tahu kebusukkan mu itu, yang membuka jasa plus plus berkedok jualan kopi dan mie instan rebus. Ya ampun... Ya ampun. Tapi sepertinya kali ini kau tidak bisa lagi menjajakan tubuh mu itu. Hahahaha."
Ingin sekali ku robek mulutnya itu, Astaga! Kinara menghela nafas. Berusaha untuk lebih bersabar lagi. Karena bukan Monik namanya jika mulutnya tidak rombeng.
"Ckckck... Aku kasian padamu. Kau pasti saat ini sedang menyembunyikan tangismu itu dengan tawa cibiran mu ini, 'kan? Setelah batal nikah."
"Apa katamu?"
"Yaaa... Kau mungkin merasa iri saat ini, karena aku yang tidak perlu gembor-gembor dulu. Malah sudah nikah duluan. Tidak ku sangka menikah itu nikmat juga loh Monik. Kau pasti menyesal sekali karena tak jadi menikah ya."
"Cih! bangga gitu menikah karena mesum? Menjijikkan!"
"Bangga tidak ya? Habis suami ku tampan dan menggemaskan sih. Oh iya, perawan tua? Maaf ya aku tidak bisa berlama-lama meladeni mulut rusak mu itu, sudah kangen suami soalnya, dan lagi suami ku tersayang pasti sudah lapar. Aku pulang dulu ya, mau masak buat suami, daaaaaaaahhh." Langsung saja Kinar kabur. Karena ia tidak ingin urusannya dengan mahluk penggila gosip itu semakin panjang.
"Cih, dasar wanita murahan yang kotor!" Monik menghentakkan kakinya lalu masuk ke dalam rumah dengan perasan jengkel.
Ya... Monik itu sebenarnya masih ada sedikit hubungan saudara dengannya. Karena ibunya masih satu kerabat dengan mendiang ayah kinar.
Namun semenjak ayahnya wafat, Keluarganya seolah menjauh, bahkan seperti takut di dekati Kinara karena beranggapan gadis Yatim piyatu itu akan menyusahkan keluarga mereka.
Kinara sendiri sudah di tinggal ibunya saat dirinya masih berusia dua tahun karena sakit.
Lalu sang ayah menyusul saat dirinya duduk di bangku sekolah menengah Atas.
Kinara berjualan kopi itu juga menggantikan mendiang ayahnya yang memang dulunya seorang pedagang kopi di warung milik mereka.
Memang benar. Selama ini pandangan buruk mengenai dirinya memang sudah menjadi hal biasa. Wajar lah, penikmat kopi rata-rata adalah pria proyek. Namun Kinara tak merasa pria-pria pelanggan warungnya itu mengganggu selama ini.
Malah justru mereka asik dengan canda tawanya yang masih masuk batas wajar kesopanan mereka.
Tapi ya... namanya juga hidup bukan?
Seperti apapun sucinya kita dalam berkelakuan, tetap ada saja orang-orang sekitar yang akan menabur noda agar kita terlihat cacat. Dan akhirnya menjadi santapan hujatan untuk mereka-mereka yang haus akan berita gosip.
–––
Selesai berbelanja kini gadis itu sudah sampai di rumahnya. Sedikit bingung, ketika melihat sofa itu telah kosong. Pria yang tidur disana kemana?
Kinara berjalan masuk memburu setiap ruangan mencari sosok mas Tara.
Di hampirinya sebuah bilik kamar mandi dan mengetuknya pelan. Namun pintu itu malah justru terbuka, dia tidak ada.
"Mas Tara—" memanggil. Berusaha mencari suaminya, berjalan cepat kembali ke ruangan depan.
Langkahnya terhenti, saat mendapati sosok Tara sudah berdiri di depan pintu sembari tersenyum ramah.
"Mas Tara dari mana? Aku pikir mas Tara pergi."
"Saya tidak kemana-mana Kinar, hanya keluar mengambil ponsel dan dompet yang tertinggal di mobil," jawabnya. Sekilas Kinar menghembuskan nafas merasa lega. "Kau sendiri dari mana? Saya tadi mencari mu, loh." Sambungnya.
"Aku habis belanja dan baru mau masak ini mas," jawab Kinar, semangat.
Tara tersenyum, dia mengusap kepalanya. "Jujur, saya ingin sekali makan masakan mu Kinar. Namun, Saya harus pergi sekarang juga."
"Pergi, Pergi kemana?"
"Meet?" Terhenti sejenak. "Maksudnya cari orderan," jawabnya kemudian, sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Apa tidak bisa ya? Mas Tara menunggu dulu? Mas kan harus sarapan."
"Inginnya begitu. Tapi saya harus kembali dulu ke rum, maksudnya kontrakan tempat saya tinggal, mengganti pakaian lalu berangkat."
Sedikit murung Kinara karena pria di hadapannya itu harus buru-buru akan pergi. Ada sedikit ketakutan juga jika pria yang sudah menjadi suaminya itu tidak akan kembali lagi ke rumahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!