Ardan Mahesa Demir selalu menjadi pusat perhatian dimana pun dia berada, bahkan hal kecil yang terlihat sederhana pun seolah menjadi sebuah gerakan yang elegan dan patut untuk diabadikan oleh kaum wanita yang berstatus single dan menginginkan pasangan yang super sempurna tanpa cacat. Ardan meletakkan cangkir kopi yang baru saja dihabiskannya cairan hitam berkafein itu, ia baru saja menyelesaikan sebuah meeting dengan seorang pemilik perusahaan yang terbilang tidak terlalu besar dan terancam gulung tikar jika pemilik perusahaan tersebut tidak dengan segera mencari cara untuk menyelamatkan perusahaan yang sudah dirintisnya sejak nol itu.
Tentu saja bukan hal sulit bagi Ardan untuk menyelamatkan perusahaan yang bergerak pada bidang pembangunan yang sudah tidak asing lagi bagi Ardan. Menyelamatkan 'nyawa' sebuah perusahaan dan membuatnya bertahan hingga menjadikannya besar seperti sebuah bakat yang ada pada diri putra tunggal pemilik MD Group Company. Sebuah perusahaan raksasa yang menaungi serta memimpin begitu banyak perusahaan dari berbagai bidang. Orang tuanya sudah begitu ketat dan disiplin mendidik Ardan dalam hal pengetahuan tentang bisnis bahkan sejak Ardan masih berusia 10 tahun. Ia tidak bermain mobil-mobilan, atau menerbangkan layangan, apa lagi berenang di kali seperti anak-anak seusianya.
Sejak usia 12 tahun, dia sudah mengerti soal pasar saham dan bagaimana bisa menjadi pemilik terbesar dalam bermain saham. Usia 14 tahun ia bahkan ikut terjun ke lapangan dalam sebuah proyek. Usia 17 tahun dia mampu menyelesaikan tantangan dari sang papa untuk membeli sebuah perusahaan penerbangan. Usia 18 tahun Ardan sudah mahir menerbangkan sebuah pesawat terbang. Usia 20 ia memenangkan sebuah tender bernilai triliunan. Dan banyak lagi pencapaian yang tidak biasa yang telah dikantongi Ardan.
Karena itu, sama sekali bukan hal yang sulit untuknya mengakuisisi sebuah perusahaan ini. Bahkan begitu Ardan tahu permasalahan yang dialami perusahaan itu, otaknya secara otomatis langsung menyusun hal-hal yang harus dilakukan tanpa harus pusing apa lagi kebingungan. Semua hal sudah diluar kepalanya. Ia hanya tinggal memerintahkan satu orang kepercayaannya untuk melaksanakan semuanya.
"Ted," Panggilnya.
Teddy yang sedari tadi berdiri tegap dibelakangnya juga tak luput dari sorotan kaum hawa yang berada di restoran tempat Ardan baru saja melaksanakan meeting 'sederhana'nya. Teddy asistennya yang sekaku robot itu pun bergerak mendekat.
"Ya, Pak." jawab Teddy.
"Siapkan segalanya, aku mau lusa semua sudah beres." Perintah Ardan.
"Baik Pak." jawab Teddy tanpa membantah.
"Apa jadwalku setelah ini?"
Teddy menuturkan semua jadwal Ardan hari itu tanpa bersusah mengeluarkan catatannya. Semua jadwal bosnya menjadi sebuah kebiasaan yang akan dihapal Teddy dengan mudah dan diingat secepat kilat diluar kepala.
"Hem, batalkan jadwal yang terakhir, aku mau bertemu dengan Marsha." ujar Ardan sambil menengok waktu pada jam tangan mahal nan mewah yang melingkar pada pergelangan tangan kanannya.
Teddy mengangguk dan langsung mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi sekertaris Ardan yang selalu standby di kantor untuk membatalkan jadwal bos mereka yang terakhir.
"Tapi Pak Teddy, ini kan jadwal yang sudah ditunda Pak Ardan dua kali karena Pak Ardan ternyata memperpanjang waktunya di London waktu itu. Yakin mau ditunda lagi?" tanya Sonya.
"Apa kau mau bertanya sendiri dengan Pak Ardan?" Teddy bertanya balik.
"Eh, iya, iya, tidak perlu Pak. Akan saya sampaikan informasi ini Pak."
Teddy kembali menyimpan ponsel pada saku bagian dalam jas yang dikenakannya. Masih tetap dengan ekspresi datar seolah seperti manusia tanpa jiwa.
"Apa dia mengajukan pertanyaan lagi?"
Teddy mengangguk.
"Huh, kalau saja dia tidak becus bekerja, aku pasti sudah memecatnya sejak dulu. Terlalu banyak bertanya."
Teddy diam saja.
"Apa dia jadi mengundurkan diri?"
"Jadi Pak."
"Pastikan, pengganti Sonya harus single lebih bagus lagi tidak mempunyai keinginan untuk menikah, aku tidak mau ada alasan mengundurkan diri karena menikah, dilarang suami, mengurus anak dan semacamnya. Dan harus mempunyai kualitas minimal seperti Sonya. Berapa IPK Sonya?"
"3.8 Pak."
"Pengganti Sonya aku ingin minimal mempunyai IPK 3.9."
"Baik Pak."
***
Elif baru saja keluar dari kelas mata kuliahnya yang terakhir hari itu. Ia bersama Yura dan Mona selalu bersama dimana pun. Seperti tiga serangkai yang tidak terpisahkan. Sampai banyak yang iri pada persahabatan mereka namun tidak sedikit juga yang mencibir. Tapi sama sekali tidak membuat persahabatan Elif, Yura dan Mona merenggang sedikit pun.
Elif dan Yura sudah bersahabat sejak SMA, mereka kembali satu universitas, satu jurusan dan kemudian bertemu dengan Mona pada saat masa ospek. Hingga saat ini mereka sudah sampai pada semester 5 ini mereka masih bersahabat. Saling terbuka. Saling bersyukur karena Tuhan begitu baik telah membuat mereka saling mengenal dan bersahabat tanpa rasa iri, apa lagi pamrih.
Yura selalu menjadi 'adik bontot' bagi Elif dan Mona, karena ia paling polos, manja dan mudah sekali menangis. Mona adalah yang paling galak, 'Kakak Pertama' begitu Yura menjuluki Mona. Sementara Elif adalah yang paling mandiri dan selalu berusaha untuk menetralkan segala masalah. Bagi Elif, Yura dan Mona adalah orang-orang terpenting dalam hidupnya, sama seperti keluarganya.
"Oke, aku pulang duluan ya." Elif mengakhiri panggilan telepon yang baru saja dilakukannya. Ia menghubungi Dimas, kekasihnya. Yang selalu saja tidak pernah disukai oleh Mona. Bukan karena Mona menyukai Dimas apa lagi iri karena Elif mempunyai kekasih. Tapi karena Dimas pernah sekali selingkuh. Tapi Elif memberikan Dimas kesempatan kedua untuk membuktikan dirinya menyesal dan berubah. Sama halnya seperti Elif, Yura pun memutuskan untuk memaafkan kekhilafan yang dilakukan Dimas. Tapi tidak dengan Mona.
"Apa lagi alasannya dia kali ini?" tanya Mona sambil mengunyah permen karetnya. "Ada kelas tambahan lagi?"
"Iya."
"Cih, alasannya basi."
"Iya sih, tapi memang ada kelas tambahan. Gimana dong?" kata Elif.
Mona hanya mengangkat bahu. Malas menanggapi.
"Ya sudah, yang penting Dimas kan tidak bohong. Ya kan?" kata Yura dengan suara polosnya.
Mona hanya memutar bola matanya. Sementara Elif dan Yura selalu terkekeh setiap kali melihat ekspresi Mona yang jengkel.
"Kalau dia sampai membohongimu lagi, aku akan benar-benar menghajarnya sampai tidak berbentuk." ujar Mona.
***
Ardan selalu berjalan dengan gerakannya yang elegan. Padahal ia merasa biasa saja. Ia memasuki sebuah restoran mewah yang dijadikan Marsha sebagai tempat mereka bertemu setelah dua bulan lebih satu minggu mereka tidak bertemu. Jika saja bukan karena Marsha yang mengatakan bahwa pertemuan mereka kali ini sangat penting menyangkut soal hidupnya, Ardan lebih memilih untuk tidak membatalkan jadwal meeting nya. Karena setiap kali bertemu, Marsha selalu saja bersikap manja yang membuat Ardan jengah, atau Marsha yang selalu saja mengeluhkan ini dan itu, atau minta dibelikan ini dan itu, atau merengek ingin dibiayai pergi berlibur.
Meskipun Marsha seorang model, jam terbangnya memang masih terbilang baru. Dan terlalu banyak mau. Jika bukan membawa nama Ardan, tidak mungkin ada agensi yang mau menerima Marsha yang manja dan mudah sekali mengeluh. Tapi, Marsha adalah kekasihnya, ya kekasih Ardan Mahesa Demir yang terkenal dengan sebagai seorang pengusaha muda yang sukses, berbakat, pintar, disiplin dan tidak pernah main-main dengan keputusan apa pun yang dibuatnya.
Disini lah Ardan berada sekarang, duduk di hadapan seorang wanita yang sangat cantik, modis, dan seksi dengan balutan dress yang menunjukkan bagian dada terbuka.
"Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak suka kau memakai pakaian seperti itu." ucap Ardan tidak suka.
"Ya ampun, kau tahu, semua orang memujiku sangat cantik dengan gaun ini."
"Apanya yang cantik dengan baju yang kurang bahan seperti itu?" Sarkas Ardan.
Marsha mencebikkan bibir, kesal karena hanya Ardan yang sama sekali tidak pernah memuji dirinya jika dirinya mengenakan pakaian-pakaian yang dia anggap sangat modis itu. Tapi hanya sebentar, wanita itu mempunyai tujuan lain hari itu. Ada hal penting yang ingin dia sampaikan pada laki-laki yang telah menjadi kekasihnya selama tiga tahun terakhir ini. Jadi ia singkirkan dahulu rasa kesalnya.
"Lain kali aku tidak akan datang kalau kau masih saja suka memakai pakaian yang kurang bahan seperti itu." kata Ardan. "Ted!"
Teddy datang mendekat yang sejak tadi berdiri tidak terlalu jauh dari bosnya itu.
"Berikan jasmu pada Marsha!" Perintah Ardan.
Teddy mengangguk dan segera melepaskan jasnya. Membuat Marsha menganga tidak percaya. Bukannya memberikan jasnya sendiri tapi malah menyuruh jas asisten pribadinya?! Luar biasa!
"Tidak!" Marsha menolak. "Aku rasa sudah cukup aku bertahan selama ini!"
Ardan mengerutkan kening. Teddy membeku dengan satu tangan yang masih menggantung di udara memegang jasnya yang sudah dilepasnya.
"Aku benar-benar sudah tidak tahan dengan ketidakpekaan mu Ardan Mahesa Demir!"
"Apa maksudmu? Bicara dalam bahasa manusia."
"Kau memang tampan, sempurna, kau memiliki segalanya, tapi kau selalu seperti hidup di dalam duniamu. Kau tidak pernah memperdulikan orang-orang disekitarmu. Kau tidak peka. Sama sekali!"
"Lantas, apa maumu?" Ardan bertanya dingin.
"Aku mau kita putus!" Katakan kau tidak mau putus! Katakan kau tidak mau putus dariku! Ayo katakan kau mencintaiku!
Ardan menghela napas. Kemudian terkekeh sambil melihat Teddy yang kembali mengenakan jasnya.
"Kau dengar itu, Ted? Marsha ingin putus dariku."
"Kau tidak pernah menghargaiku, Ar. Selama tiga tahun ini aku seperti tidak memiliki kekasih. Kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu, kau selalu tidak pernah ada waktu untukku. Bahkan selama kau di London dua bulan, hanya dua kali kita saling menghubungi, itu pun aku yang menghubungimu lebih dulu. Dan kau melarangku lagi karena alasan mu yang super sibuk. Setiap kali media mewawancaraiku, mereka selalu bertanya kenapa kita jarang terlihat bersama."
"Bukankah selama ini yang kau inginkan hanya ketenaran dan materi saja. Jangan muluk-muluk meminta hati segala. Sejak awal aku tidak pernah menawarkan hatiku untukmu."
Jleb!
Ucapan Ardan benar-benar sangat menohok hati Marsha. Ardan bahkan sama sekali tidak terlihat menyesal apa lagi takut dengan keputusan Marsha untuk mengakhiri hubungan mereka. Ia bahkan sengaja memakai pakaian seksi ini untuk menggoda Ardan, apa lagi mereka lama tidak bertemu, Marsha pikir dengan berpakaian seksi akan membuat Ardan meleleh padanya. Kini Marsha yang malah menjadi ketakutan. Jika Ardan dengan suka rela menerima keputusannya untuk mengakhiri hubungan mereka, hilanglah sudah segala kemewahan hidupnya.
"Buk... bukan begitu sayang," Marsha mulai cemas sendiri. "Maafkan aku sayang, aku terlalu terbawa emosi. Karena aku sangat merindukanmu." Nada manja mulai terdengar dari bibir yang dipoles merah menggoda. Tapi sama sekali tidak membuat Ardan tergoda.
Marsha mengedikkan kepala kepada Teddy agar Teddy pergi dari meja mereka, tapi Teddy bergeming dan tidak menampakkan ekspresi apa pun.
"Kau bukan atasan Teddy, jadi jangan memerintahnya."
"Huh, iya maaf." Marsha mulai kembali jurus jitunya meluluhkan Ardan dengan memasang senyum paling manis yang dia punya. Tapi sayang, sebenarnya Ardan pun sudah tidak tahu apa alasan untuknya mempertahankan hubungan yang sama sekali tidak ada rasa cinta ini. Ardan sendiri pun sejujurnya tidak tahu seperti apa sebenarnya definisi dari kata cinta itu sendiri.
Hubungan mereka pun dimulai karena media yang menganggap mereka sangat cocok secara tampilan fisik dan hubungan kerja sama MD Group Company dengan agensi permodelan.
"Jadi kau memintaku datang kesini hanya karena ingin putus?" Ardan menaikkan alis matanya.
"Eh, bukan, bukan begitu sayang. Tadi aku hanya..."
"Baiklah, tidak masalah. Lagi pula urusanku masih sangat banyak. Aku tidak bisa terus-terusan meladeni segala keluhanmu padahal kau mendapatkan apa yang kau mau. Baiklah, kita sudahi saja hubungan ini." Ardan bangkit berdiri membuat Marsha panik seperti kucing terbakar kumisnya.
"Sayang! Aku tidak mau putus!" teriak Marsha membuat semua orang yang berada di restoran itu pun akhirnya menjadikan mereka bahan tontonan.
"Wah, sekarang kau menjilat ludahmu sendiri rupanya?" Ardan menyeringai.
"Sayang aku mohon, maafkan aku. Aku hanya terbawa emosi tadi..."
"Aku sudah memutuskan hubungan kita berakhir dua menit yang lalu, dan tidak akan aku tarik kembali kata-kataku. Sekarang kau bebas memakai baju bentuk apapun sesukamu. Aku tidak peduli." Ardan berbalik.
"Baiklah! Lagi pula aku sudah tidak tahan denganmu. Kau tahu, tidak akan ada wanita yang mau bertahan menjalin hubungan denganmu selain aku!"
Ardan mengancingkan jasnya, meninggalkan Marsha yang wajahnya merah karena menahan rasa malu.
"Ted, non aktifkan kartu kredit yang pernah kuberikan untuknya sekarang."
"Siap Pak."
"Huh, sangat buang-buang waktu aku kesini." Ardan berdecak kesal. "Jadwalkan meeting yang tertunda hari ini untuk besok pagi."
"Baik Pak."
***
Elif menggelengkan kepala tidak percaya dengan kejadian yang baru saja dilihatnya tadi. Dua orang kekasih yang satu sangat cantik, yang satu lagi sepertinya juga tampan. Tapi Elif tidak bisa melihatnya dengan jelas karena pria berjas itu duduk memunggunginya.
Apakah seperti itu cara orang kaya memutuskan sebuah hubungan? Elif sampai merasa tidak tega melihat bagaimana sedihnya dan menyesalnya si perempuan itu setelah si pria berjas itu pergi meninggalkannya. Ingin rasanya Elif menghampiri wanita cantik itu dan menghiburnya. Tapi apa daya, Elif sedang bekerja menjadi seorang pramusaji part timer di restoran mewah itu. Dia tidak bisa ikut campur pada apa pun yang terjadi pada para pelanggan restoran tersebut.
Pria macam apa sih itu, masa sama sekali tidak memberikan kesempatan wanitanya untuk menjelaskan! Padahal tadi kudengar wanita itu sudah minta maaf. Setiap orang kan berhak mendapatkan kesempatan kedua. Huh, kasihan...
Sayangnya Elif tak lagi dengar kalimat terakhir yang dilontarkan wanita cantik itu sebelum si pria dan pria satunya lagi pergi meninggalkan restoran.
Elif merenggangkan tubuhnya begitu sampai di rumahnya setelah bekerja dan berkayuh sepeda dari restoran tempat kerja paruh waktunya. Carpot rumahnya yang tidak terlalu besar pun ditempati oleh dua motor milik ayahnya dan adik lelakinya, dan beberapa barang-barang lainnya yang berhubungan dengan peralatan mekanik. Elif sama sekali tidak masalah mengayuh sepeda untuk kuliah atau pun bekerja paruh waktu. Lagi pula ia bisa menggunakan bis jika kuliah, dan restoran tempatnya bekerja tidak terlalu jauh dari rumah.
Hari sudah malam, meskipun belum terlalu larut. Sudah menjadi biasa bagi Elif untuk pulang saat langit sudah gelap. Tapi yang menjadi tidak biasa adalah ayahnya. Biasanya sang ayah datang setelah Elif.
Elif buru-buru masuk ke dalam rumah, takut terjadi sesuatu pada ayahnya atau anggota keluarganya yang lain. Perasaannya mengatakan tidak baik saat melihat wajah ibunya yang bersedih. Wajah ayahnya yang terlihat kecewa. Dan adiknya, Adit, yang terlihat menenangkan ayah dan ibunya.
"Ibu? Ayah? Adit? Ada apa?" tanya Elif mendekati ibunya yang duduk di hadapan ayah dengan kepala tertunduk.
"Ayah di PHK, Kak." Adit menjawab dengan gamblang dan meluncur begitu saja.
"Apa?" Elif terkejut. Tidak mengerti bagaimana bisa ayahnya di phk setelah begitu lama mengabdi di perusahaan itu.
Yanuar sebagai kepala rumah tangga itu pun menjelaskan pada putrinya bagaimana kronologis dirinya dan beberapa rekannya yang lain menjadi orang-orang yang terpilih dalam urutan yang ter-phk. Perusahaan kontraktor tempat Yanuar bekerja lama itu memang sudah beberapa tahun belakangan tidak stabil dan terancam gulung tikar, jadi sang pemimpin pun mengajukan kerja sama dengan sebuah perusahaan besar. Pimpinan perusahaan besar itu pun akhirnya mengakuisisi perusahaan kontraktor tempat Yanuar bekerja.
Baru beberapa jam setelah akuisisi, pimpinan perusahaan besar itu melalui perwakilannya memberikan beberapa kebijakan, salah satunya mengganti karyawan-karyawan yang dianggap sudah tidak terlalu produktif atau karyawan berusia diatas empat puluh lima tahun untuk digantikan dengan karyawan muda, fresh graduate, dan mempunyai gagasan-gagasan lebih segar.
"Jahat sekali! Ini tidak adil!" kata Elif gusar. "Ayah sudah lama bekerja disana. Banyak kontribusi Ayah disana."
"Ya tapi mau bagaimana lagi, usia Ayah juga sudah lima puluh tahun lebih, jika kebijakannya seperti itu Ayah tidak bisa membela diri."
"Apa Ayah dan teman-teman Ayah tidak bisa menuntut?" tanya Elif, masih gusar.
Yanuar menggeleng. "Jika kami menunut, maka kami akan kehilangan pesangon kami, malah jadi tidak mendapatkan apa-apa."
Elif mendesah kasar.
"Tapi kau tenang saja, Nak, cita-citamu akan tetap bisa kau capai." kata Yanuar, bukan pada Elif, melainkan pada Adit.
"Yah..." Adit melirik Elif, merasa tidak nyaman ayahnya bicara seperti itu di depan Elif.
"Pokoknya kau harus tetap bersekolah, raih cita-citamu!" ujar Yanuar dengan tegas.
"Tapi Yah, biaya sekolah bola itu kan tidak murah. Aku sama sekali tidak masalah kalau tidak harus masuk sekolah bola, aku-"
"Tapi masalah untuk Ayah." Yanuar bangkit berdiri. "Uang pesangon Ayah sudah untuk biaya sekolahmu."
"Tapi Yah, aku juga bisa kok bantu Ayah dan Ibu untuk-"
"Cukup Adit!" Bentak Yanuar. "Kita sudah bahas ini tadi. Kau akan tetap melanjutkan pendidikan mu masuk ke sekolah bola. Walau pun Ayah di PHK, uang pesangon Ayah cukup untuk biaya sekolahmu, lagi pula kita masih punya usaha rumah makan kita dan masih ada Elif yang akan bantu bekerja. Bukan begitu, Elif?"
Glek! Entah kenapa Elif merasa tersisihkan. Ia tidak terkejut sebenarnya dengan keputusan yang dibuat Yanuar. Dirinya selalu dinomor duakan bahkan tidak dianggap penting oleh ayahnya sendiri bukan lah hal yang pertama kali terjadi dalam hidupnya. Tapi kali ini ia merasa menjadi anak tiri yang tidak diperdulikan oleh ayah sendiri.
Ayah begitu tidak ingin Adit meninggalkan cita-citanya. Tidak ingin Adit gagal menggapai cita-citanya. Tapi tidak sekali pun ayah pernah menanyakan apa cita-cita Elif. Ia bahkan lebih menginginkan Elif langsung menikah setelah lulus sekolah SMA dari pada melanjutkan kuliah dengan alasan biaya kuliah tidak murah. Tapi Elif tidak ingin menikah, Elif juga mempunyai cita-cita, ia sangat ingin menjadi seorang jurnalis sukses seperti jurnalis idolanya yang dikenal sebagai anak dari salah satu pemuka agama. Namun, ayah tidak perduli.
Karenanya, Elif bekerja paruh waktu untuk membiayai pendidikannya sendiri. Upah yang dia terima dari bekerja paruh waktunya selalu ditabungnya untuk urusan kuliah, karenanya sampai saat ini ia sanggup mencukupi kebutuhan biaya pendidikannya. Terkadang Ibu harus sembunyi-sembunyi dari Ayah untuk memberikan Elif uang saku.
"Elif selalu membiayai uang sekolahnya dengan kerja paruh waktu, Mas." Zehra, Ibu dari dua anak itu pun akhirnya bersuara. "Jangan membebani Elif lagi, kita akan berusaha untuk Adit dan Elif."
"Itulah mengapa dulu aku bilang kau langsung menikah saja, tidak perlu kuliah. Buang-buang waktu, tenaga dan biaya saja." sahut Yanuar melihat Elif. "Kau itu perempuan, pada akhirnya tugas mu hanya di rumah saja mengurus suami dan anak-anakmu, tidak perlu kuliah segala."
"Tapi Yah, mengurus rumah, suami dan anak juga perlu ilmu kan, aku ingin mendidik anak-anakku dengan-"
"Kenapa kau selalu saja membantah!" Hardik Yanuar memotong ucapan Elif. "Apa kau pikir Ayah mau di PHK seperti ini? Apa kau senang jika adikmu tidak bisa menggapai cita-citanya?!"
"Aku tidak masalah, sih." celetuk Adit yang tidak didengarkan Yanuar.
"Jangan menjadi kakak yang egois untuk adikmu." cetus Yanuar. Kemudian berlalu meninggalkan ruang.
"Ayah!" panggil Adit.
"Mas!" panggil Zehra.
"Bu, Dit, sudah lah." Elif menengahi. Dia tahu Adit dan ibunya sama sekali tidak setuju dengan keputusan Ayahnya yang selalu saja tidak memperdulikan Elif. Tapi Elif juga tidak bisa menolak keputusan ayah.
"Tapi, Kak, aku benar-benar tidak masalah jika tidak masuk sekolah bola. Lagi pula menjadi pemain bola bukan mimpi terbesarku. Itu lebih ke cita-citanya Ayah saja." Adit memprotes.
"Kalau begitu kau akan menghancurkan hati Ayah kalau kau tidak masuk sekolah bola." ujar Elif terdengar bijak.
"Tapi, Elif, kalau kau harus bekerja terus, bagaimana dengan kuliahmu. Kau juga harus fokus dengan cita-citamu, Nak." ucap Zehra.
"Iya Kak, Ibu benar. Huh! Kenapa sih Ayah selalu saja bersikap begitu sama Kakak." Sesal Adit. Ia menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa.
Elif tersenyum, sejujurnya ia pun juga tidak tahu kenapa ayah begitu tidak menyayanginya.
"Ibu dan Adit tenang saja ya, aku akan baik-baik saja. Kuliah ku juga akan tetap berjalan baik. Kalau memang aku harus mencari pekerjaan lain untuk membantu ayah dan ibu, aku...akan lakukan."
Lagi dan lagi Elif harus mengalah.
Suara burung-burung di pagi hari saling bersahut-sahutan, ayam pun berkokok menyemarakkan suasana setiap pagi. Langit begitu cerah, tidak ada sedikit pun awan kelabu yang terlihat.
Elif menyibak tirai jendela kamarnya seusai mandi, masih dengan handuk yang membelit rambut panjangnya yang basah. Ia membuka jendela kamar, menghirup dalam-dalam udara pagi yang masih bersih. Matanya terpejam sejenak, membisikan harapan dalam hati dan mengamininya kelak semua akan indah pada waktunya.
Ia melapangkan dada, menerima jalan hidupnya dengan harapan rasa sedih yang mengganjal hatinya tidak akan menjadi penghalang baginya untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu menjadi apa yang hatinya mau tanpa harus menjadi beban untuk orang lain. Bahwa ia mampu walau ayah sama sekali tidak pernah mendukungnya. Tapi ia masih memiliki ibu dan adiknya.
Elif menghela napasnya panjang, membuka matanya, menyunggingkan senyuman untuk menutupi kesedihannya. Ah, lagi-lagi bagian bawah mata kirinya selalu saja berkedut pelan setiap kali ia menahan diri untuk tidak menangis. Setiap kali ia merasa sedih namun memaksa diri untuk tersenyum dan meyakinkan diri sendiri bahwa dirinya tidak apa, dan kedutan pada bawah matanya akan selalu menjadi pengingat bahwa mungkin saja Elif terlalu memaksakan diri untuk tidak mengeluarkan air matanya-lagi.
Elif menggelengkan kepalanya pelan, menepis perasaan melow yang menaunginya pagi ini. Ia menyalakan kipas angin, duduk di depannya kemudian melepas handuk yang membelit rambutnya. Elif mempunyai rambut hitam yang panjang, tebal dan ikal yang parah. Sebesar apa pun usahanya untuk membuat rambutnya rapih dan teratur tidak pernah berhasil, seolah rambutnya mempunyai keinginannya sendiri dan selalu saja melawan kemauan Elif.
Meskipun Elif mengikatnya, tidak akan menyembunyikan rambutnya yang super tebal dan ikal seperti singa. Tak jarang Elif lebih banyak menghabiskan waktu di depan cermin untuk mengikat rambut hingga mencepolnya dengan karet rambut khusus dari pada berdandan. Ia malah jarang sekali menggunakan make up pada wajahnya. Paling standar ia hanya menggunakan gel aloe vera, sunscreen dan lip balm.
Setelah hampir tiga puluh menit mengeringkan rambut dengan hasil setengah kering, Elif mulai berpakaian. Hari ini ia ada kelas jam 9 pagi. Ia bergegas siap-siap kemudian keluar dari kamarnya, membantu ibunya menyiapkan sarapan seperti biasa, mendengarkan ayah yang selalu memuji Adit, menggantungkan harapan yang tinggi pada Adit, yang selalu diakhiri dengan membandingkan dirinya dengan Adit.
"Yah, kenapa sih Ayah-" Adit hendak ingin protes dengan sikap Yanuar yang selalu saja tidak adil pada kakaknya, namun Elif segera menendang pelan kaki Adit dari bawah meja makan, lalu menggeleng pelan.
"Ayah, Ibu, aku berangkat ya." ujar Elif.
"Loh, bukannya kamu kelasnya jam 9, Nak? Kenapa jam setengah 7 sudah berangkat? Mau kemana?" tanya Zehra lembut.
"Aku sudah janjian dengan Mona dan Yura, Bu. Kami mau final check materi untuk persentasi tugas kelompok."
"Oh begitu, naik bis atau ojek online berangkatnya?"
"Bis saja, Bu." Elif bangkit mendekati Zehra untuk mencium tangannya, kemudian mendekati Yanuar juga untuk mencium tangannya.
"Ya sudah, ayo Adit biar Ayah antar saja." kata Ayah tepat setelah Elif melepaskan tangannya.
"Apa sih Yah, Adit kan ada jemputan dari sekolah, sebentar lagi juga datang, mending Ayah antar Kak Elif saja." Tolak Adit sambil bangkit berdiri.
"Kau mau kemana?" tanya Yanuar seolah tidak mendengar perkataan Adit untuk mengantar Elif saja.
"Pipis!" jawab Adit sekenanya.
Elif tidak berharap apa pun. Ia segera berlalu keluar dari rumah.
***
Sedan mewah hitam mengkilat berhenti dengan rem yang sangat lembut dan pas di perempatan jalan tepat saat lampu lalu lintas berubah merah. Teddy memeriksa rute jalan yang akan mereka lalui untuk menuju lokasi, memastikan tidak ada jalur yang macet, jika memang ada, Teddy akan segera mencari jalan lain atau terpaksa menghubungi seseorang untuk membuat jalan mereka lancar. Apapun akan dilakukan Teddy.
Tepat di samping mobilnya, sebuah bis juga berhenti. Ardan melihat ke arah seorang gadis yang duduk di dekat jendela tepat di depan matanya. Sesuatu menarik perhatiannya, yaitu rambut hitam panjang ikal yang tertiup-tiup angin sampai keluar jendela bis. Sudut bibir Ardan bergerak naik, membentuk sebuah senyuman tipis pada bibirnya melihat gadis itu sepertinya tidak menyadari rambutnya menghalangi pemandangan orang yang duduk di belakangnya.
Entah kenapa, Ardan membuka kaca jendela mobilnya, hendak ingin memberitahukan pada gadis itu untuk mengikat rambutnya namun sesuatu menahannya untuk bicara. Sesuatu yang menyapa indera penciumannya. Sesuatu yang beraroma manis yang lembut dan segar, aroma yang tidak pernah Ardan rasakan sebelumnya, aroma yang seketika membuat seluruh saraf dan otot pada tubuh Ardan menjadi sangat rileks. Apakah ini aroma terapi yang baru saja Teddy pasang di dalam mobilnya?
"Ted, apa kau memasang aroma terapi?" tanya Ardan.
"Tidak Pak."
"Apa kau pakai parfum baru?"
"Tidak juga Pak."
Semakin angin bertiup, semakin tercium aroma manis yang segar itu. Ardan menghirup dalam-dalam aroma itu.
Menenangkan sekali. Batinnya bicara.
"Ted, apa kau tahu ini wangi aroma apa?"
"Maaf Pak?"
"Apa kau tidak mencium aroma ini?"
"Tidak Pak."
"Apa kau sinus? Aroma ini sangat jelas sekali tercium. Coba kau buka jendelamu."
Teddy menurut meskipun tidak mengerti aroma apa yang dimaksud Ardan. Jendela sudah dibukan pun Teddy tidak mencium aroma lain selain aroma polusi dari pembuangan kendaraan yang menunggu lampu berubah hijau.
"Kau menciumnya? Aroma yang manis ini?"
Aroma manis? Sejak kapan Pak Ardan menyukai aroma polusi dari knalpot kendaraan? Teddy membatin.
"Nah, kau menciumnya bukan?"
"Maaf Pak, tapi saya tidak mencium sesuatu aroma yang Bapak maksud."
"Tidak beres penciumanmu! Segera periksa ke dokter, pasti ada yang salah dengan hidungmu."
"Baik Pak." Teddy mengangguk seraya menutup kembali kaca jendelanya. Sementara Ardan masih menikmati sisa detik yang bergulir dari lampu lalu lintas sambil menghirup dalam aroma manis yang lembut dan segar itu.
"Jam berapa kita meeting?"
"Jam delapan, Pak."
"Hmmm." Ardan menengok jam tangan mewahnya. Masih ada waktu satu jam lagi sebelum pertemuannya dengan klien. "Kita ke toko peralatan rumah tangga lebih dahulu. Aku mau cari aroma yang seperti ini."
Lampu merah pun bergerak ke hijau. Semua kendaraan bergerak, termasuk sedan hitam mewah milik Ardan. Ardan menutup kaca jendelanya. Tak rela kehilangan aroma tadi, rasanya segala beban pikirannya lenyap begitu saja, yang ada hanya ketenangan.
"Aku harus menemukan aroma terapi yang sama persis seperti tadi."
"Baik Pak."
***
Elif merasakan rambutnya sudah kering sempurna, ia mulai mengangkat kedua tangannya, menggapai semua helaian rambutnya bahkan yang keluar-keluar dari jendela untuk diikat dengan karet rambut, meskipun sama sekali tidak dapat menyembunyikan ikal rambutnya yang megar seperti singa.
Busnya mulai bergerak setelah menunggu lamanya lampu merah, tepat disebelahnya sebuah sedan hitam mewah pun juga bergerak.
Elif menghela napas pelan, menatap penuh impian dan doa pada mobil sedan tersebut yang sudah bergerak lebih dulu. Jika suatu hari nanti dirinya berhasil, menjadi seseorang yang sukses dengan hasil usahanya sendiri dan dapat membawa orang tuanya jalan-jalan dengan kendaraan mewah, apakah ayahnya akan bangga padanya? Apakah akhirnya ayah tidak lagi membandingkan dirinya dengan orang lain? Apakah akhirnya ayah akan menyayanginya seperti ayah menyayangi Adit?
Elif menghela napas lagi, pelan, namun berat.
Kau pasti bisa, Elif! Kau pasti bisa membuat ayah dan ibu bangga padamu! Kau pasti bisa! Kau hanya perlu bersabar sedikit lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!