Sang fajar menyising di ufuk timur. Menandakan malam telah berganti pagi. Kicauan burung terdengar, bagai simfoni lagu yang indah. Udara pagi hari yang sangat sejuk, memberikan semangat bagi setiap makhluk. Keindahan alam dan kesegaran menyatu menjadikan pagi awal yang takkan terlupakan.
Berdiri seorang wanita berhijab di depan rumah sederhana. Dia hidup sebatang kara, tanpa orang tua ataupun saudara. Kedua orang tuanya meninggal beberapa tahun yang lalu. Mereka meninggal akibat tabrak lari. Semenjak itu tinggallah dia dalam rumah sederhana ini sendirian. Hana Khairunnisa wanita berhijab yang cantik.
Demi menghidupi dirinya, dia bekerja membantu tetangganya membuat kue. Dia tidak pernah mengeluh akan kehidupan yang dia jalani. Prinsip hidup yang selalu dia pegang teguh, bahwa akan ada jalan dalam setiap kesulitan. Kehidupan sederhana dia jalani, tanpa sedikitpun merasa iri dengan kehidupan mewah orang lain.
Setelah menyelesaikan SMU, dia memutuskan bekerja. Kebetulan dia mendapatkan tawaran sebagai penjaga kantin di salah satu perusahaan besar. Namun jarak yang cukup jauh membuatnya harus berangkat sangat pagi. Butuh waktu 1 jam, agar dia bisa sampai di tempat kerjanya. Kota yang padat dan macet menjadi salah satu faktor dia harus berangakat sangat pagi.
Sekitar pukul 05.30 wib, Hana bersiap berangakat menuju tempat kerjanya. Menggunakan sepeda motor matic lama. Dia berjuang menembus hawa dingin dan kemacetan. Kota tempat tinggalnya bukan kota kecil, tapi lingkungan tempat tinggalnya yang berada di pinggiran kota. Sekitar pukul 07.00 wib, dia sudah sampai di kanti perusahan Prawira. Salah satu perusahan terbesar di kota ini.
Hana bisa bekerja disini berkat bantuan temannya, Diana sahabat terbaiknya yang kebetulan pegawai di perusahaan ini. Diana memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari Hana. Sehingga dia bisa melanjutkan kuliah, yang akhirnya bisa bekerja di perusahaan ini.
"Assalammualaikum, bu Minah!" sapa Hana pada ibu pemilik kantin. Beliau mengangguk seraya tersenyum.
"Waalaikumsalam!" sahutnya, lalu melanjutkan pekerjaannya. Hana yang terbiasa hidup sendiri, sudah tidak perlu diragukan lagi kemampuannya.
Tanpa diperintah lagi, Hana langsung membantu membersihkan kantin. Setelah kantin bersih, Hana akan membantu bu Minah memasak. Hana kebagian memotong dan membersihkan sayuran. Hampir dua bulan Hana bekerja dengan bu Minah. Beliau sangat puas dengan hasil kerja Hana. Apalagi selama ini dia tidak pernah telat dan bisa dipercaya.
Kantin akan sangat ramai bila makan siang. Bila pagi seperti ini, biasanya hanya satu dua orang yang datang. Perusahaan ini memiliki aturan yang sangat ketat. Jadi tidak akan ada pegawai yang keluyuran di jam kerja. Jika tidak benar-benar penting.
"Hana, nanti pukul 09.00 wib. Akan ada pemimpin perusahaan dengan beberapa rekannya sarapan di kantin. Tolong kamu pastikan semua meja bersih, sebab pak Rafa sangat detail soal kebersihan!"
"Baik bu Minah, baru saja aku sudah membersihkan semua meja" ujar Hana, bu Minah mengangguk. Semua bekerja sesuai kebiasaan.
Pukul 09.00 wib, masuk beberapa orang ke kantin. Seperti biasanya Hana akan keluar menawarkan makanan dan minuman. Penampilan Hana jauh dari kata seksi. Namun dengan gamis dan hijab panjangnya. Malah membuat Hana terlihat cantik dan meneduhkan. Pengunjung yang baru pertama kali masuk ke dalam kantin pasti tidak akan berkedip melihatnya.
"Permisi, tuan-tuan ingin pesan apa?" ujar Hana sopan, dengan menunduk.
"Mbak pegawai baru di kantin. Aku baru pertama kali melihatmu!" ujar Adrian, salah satu sahabat Rafa sekaligus asisten pribadi Rafa. Hana mengangguk pelan, tanpa sedikitpun mengangkat wajahnya.
"Adrian, kamu ingin sarapan atau ingin menggoda pelayan kantin yang tak selevel denganmu!" ujar Rafa ketus, suara baritonya menggema dalam kantin.
Deg deg deg
Hana memegang dadanya yang berdetak hebat, ada rasa ngilu saat dirinya dicap sebagai pelayan rendahan.
"YA ALLAH kuatkan hambamu ini. Biarlah hamba terhina, selama apa yang hamba kerjakan halal." batin Hana menenangkan diri.
"Hei kamu pelayan, tidak perlu mencatat menu kami semua. Bu Minah sudah aku hubungi. Dia mengetahui makanan apa saja yang telah kami pesan!" ujar Rafa ketus, Hana hanya bisa mengelus dada. Mendengar hinaan dari seseorang yang tak pernah dia kenal sebelumnya.
"Maaf tuan Rafa, dia belum mengetahui apa saja pesanan tuan? Maklum tuan, dia pegawai baru!" ujar bu Minah cemas, dia takut jika Rafa memarahi Hana.
"Baiklah, bawa segera pesananku. Jangan lupa, jauhkan dia dari hadapanku" ujar Rafa marah, sembari mengacungkan tangan ke arah Hana.
Semua orang sudah sangat mengenal watak kasar dan sombong Rafa Akbar Prawira. Pewaris keluarga Prawira yang selama hidupnya tidak pernah kekurangan. Namun dibalik kesombongannya, ada tangan dingin yang membuat perusahaan Prawira menjadi perusaha nomer satu di kota ini.
Bu Minah mengajak Hana menjauh dari Rafa. Dia menenangkan Hana, berharap Hana tidak terlalu memikirkan perkataan Rafa. Sebaliknya sikap Hana sangat tenang, sedikitpun dia tidak peduli dengan hinaan Rafa. Bagi Hana selama yang dia kerjakan halal. Serta tidak mengganggu orang lain, tidak ada yang perlu dia pikirkan. Pribadi Hana yang tenang membuat bu Minah sangat menyayangi Hana. Dia sudah menganggap Hana seperti putrinya sendiri.
"Rafa, kenapa kamu bicara sekasar itu? Bukan salahnya jika dia tidak mengetahui pesanan kita. Lagipula kamu aneh, baru bertemu sudah membencinya. Hati-hati Rafa, benci dan cinta tipis perbedaannya!" tutur Adrian jujur, Rafa menatap tajam ke arah Adrian.
"Aku sangat benci melihat wanita sok alim seperti dia. Menutupi kebusukannya dengan memakai hijab. Wanita seperti itu tidak akan pernah menjadi istriku!"
"Kamu yakin Rafa, sekarang saja kamu hanya memikirkan dia. Gara-gara kamu aku belum sempat mengenalnya! Dia gadis cantik dan sholeha. Kapan lagi melihat gadis cantik berhijab di perusahaan ini? Hampir seluruh pegawaimu memakai rok pendek dan make up tebal. Bukan membuat mereka terlihat cantik, malah aneh. Apalagi kalau mereka sedang mencari perhatianmu!" tutur Adrian kesal, Rafa tersenyum melihat sahabatnya kesal.
Tak berapa lama, Hana datang membawa pesanan mereka. Adrian tidak hentinya menatap wajah Hana. Sebaliknya Rafa membuang muka, saat Hana sedang berada di depannya. Hana sudah tidak peduli dengan perkataan Rafa, baginya sebuah hinaan. Sebagai cambuk agar dia bisa semakin kuat, menjalani sebuah kehidupan.
"Bu Minah, saya izin pergi ke mushola. Sejak tadi saya belum sempat sholat dhuha!" ujar Hana lirih, bu Minah tersenyum seraya mengangguk. Dia mengetahui jika Hana pribadi yang sholeha.
Setelah mendapat izin dari bu Minah, Hana berjalan perlahan menuju mushola kantin dengan membawa mukena. Dia melewati Rafa dan Adrian. Namun Hana sedikitpun tidak menoleh pada mereka.
"Rafa, wanita munafik yang kamu maksud. Memang benar-benar berbeda. Dia bukan wanita yang pantas kamu hina!" ujar Adrian ketus, dia tidak setuju dengan perkataan Rafa yang menghina Hana. Sedangkan Rafa diam seolah tidak peduli perkataan Adrian.
"Masih ada wanita yang mengingat sholat sunnah di masa sekarang! Aku harap kamu seperti yang Adrian katakan. Bukan hanya wanita yang menggunakan hijab sebagai kedok!" batin Rafa sesaat setelah melihat Hana keluar dari kantin.
...☆☆☆☆☆...
HAPPY READING
Setiap hari Hana selalu bangun sangat pagi. Dia selalu terbiasa sholat di sepertiga malam. Sembari menunggu sholat subuh, dia menyempatkan mengaji. Meski Hana hidup sendiria, dia tidak pernah memanjakan dirinya. Hana selalu melakukannya sendiri, tanpa mengeluh dan berharap bantuan orang lain.
Setiap hari dia harus berangkat pagi, agar tidak terlambat ke bekerja. Hana pribadi yang sangat tepat waktu. Seperti biasanya Hana datang sebelum jam bekerjanya dimulai. Bu Minah selaku pengelola kantin sangat senang dengan cara kerja Hana.
Pertemuan pertamanya dengan Rafa, membuatnya sedikit takut bila bertemu. Bu Minah menyadari sikap aneh Hana saat melihat Rafa. Setiap kali pemilik perusahaan itu datang. Bu Minah sendiri yang akan melayani. Dia selalu menyuruh Hana mengerjakan yang lain.
"Bu Minah, kemana pegawai berhijabmu? Kenapa aku tidak pernah melihatnya lagi? Gara-gara Rafa aku tidak bisa berkenalan dengannya!" ujar Adrian, Rafa mengacuhkan perkataan Adrian. Sebaliknya bu Minah hanya tersenyum mendengar perkataan Adrian. Dia tidak menjawab, sebab bu Minah sadar tidak baik bila Hana harus berurusan dengan dua penguasa perusahaan ini.
"Bu Minah, jangan dengarkan dia. Siapkan sarapanku segera, aku sudah sangat lapar. Sebentar lagi aku ada rapat" ujar Rafa, bu Minah mengangguk.
Kedekatan bu Minah dengan Rafa bukan tanpa alasan. Bu Minah tidak lain pengasuh Rafa sejak kecil. Pernikahan kedua ayahnya, membuatnya harus menyembuyikan pengasuh yang sangat disayanginya dari tangan ibu sambungnya.
"Silahkan tuan Rafa, jika ada yang dibutuhkan lagi. Panggil bu Minah!"
"Assalammualaikum!" ujar Hana yang baru saja masuk ke kantin. Dia baru saja datang dari mushola kantor.
"Waalaikumsalam!" sahut bu Minah, Adrian menatap Hana tanpa berkedip. Sedangkan Rafa seolah tidak peduli dengan kedatangan Hana.
"Ternyata dia benar-benar taat. Aku pikir hijab hanya dia jadikan kedok!" batin Rafa, tanpa melihat Hana.
"Bu Minah, tadi ada bagian akutansi memberikan pesanan ini! Apa perlu aku siapkan sekarang?" ujar Hana, bu Minah mengangguk pelan.
"Hana, kamu sekarang pergi ke pasar. Daftar belanja sudah ibu tulis. Takutnya kita kekurangan bahan makanan!"
"Baik bu!" sahut Hana sopan, dia segera mengambil daftar belanja. Hana pergi menuju pasar tanpa banyak bicara. Sedikitpun dia tidak peduli dengan keberadaan pemilik perusahaan.
"Rafa, pertama kalinya aku melihat seorang wanita tidak tertarik padamu. Jangan-jangan pesonamu sudah luntur!"
"Bukan pesonaku yang luntur. Dia yang sadar diri, kalau tidak pantas tertarik padaku. Dia hanya pegawai rendahan!" ujar Rafa lantang, Adrian mengedipkan mata agar Rafa bicara sedikit pelan. Hana mendengar jelas perkataan Rafa, tapi semua bukan masalah yang akan membuatnya marah atau frustasi.
Hana pergi ke pasar sesegara mungkin. Dia tidak ingin terlalu lama berada di dekat Rafa Akbar Prawira. Laki-laki yang entah kenapa selalu menghinanya? Hana menggunakan sepeda motor maticnya. Sahabat dalam suka dan dukanya. Satu-satunya peninggalan ayahnya yang takkan pernah dia lupakan. Hana berjanji akan menjaga sepeda motor ini dengan sebaik mungkin.
Sekitar satu jam lebih Hana berbelanja. Setelah semua pesanan bu Minah terpenuhi. Dia langsung kembali ke kantin. Sebentar lagi jam makan siang. Itu artinya kantin dalam kondisi sangat ramai. Dia harus membantu bu Minah di kantin.
"Hana cantik, aku merindukanmu!" sapa Diana, sembari memeluk sahabatnya dengan sangat erat. Bu Minah sudah terbiasa melihat kedekatan Hana dan Diana. Dia membiarkan keakraban diantara mereka, selama Hana mampu bertanggung jawab pada pekerjaannya.
"Diana, kamu selalu menganggetkanku. Kamu yang jarang datang ke kantin. Memangnya kamu kemana saja? Melupakanku secepat itu!" ujar Hana kesal, Diana tertawa melihat Hana yang kesal.
"Kebetulan aku dinas ke luar kantor. Sehingga aku makan siang di luar. Maaf tidak menghubungimu, perusahaan sedang sibuk-sibuknya. Banyak proyek besar yang sedang dikerjakan!"
"Baiklah, aku maafkan. Sekarang lebih baik kamu duduk di dalam. Aku akan menyiapkan pesananmu, nanti selesai kamu makan. Kita bisa bicara berdua, tapi jika aku luang!"
"Hmmmm, siap Hana cantikku!" sahut Diana, dia keluar dari dapur. Diana sengaja duduk di dekat dapur. Agar Hana bisa menemaninya, jika sudah selesai melayani para karyawan.
"Diana, ini pesananmu! Kamu makan dulu, aku harus melayani mereka yang baru datang. Setelah melayani mereka, aku akan menemanimu!" ujar Hana, Diana mengangguk pelan. Hana berjalan menjauh, dia menghampiri beberapa karyawan yang datang untuk makan siang.
Setelah semua selesai, Hana menghampiri Diana. Dia duduk di depan sahabat terbaiknya. Perbedaan cara hidup, tidak membuat mereka menjauh. Bahkan cenderung mereka saling menguatkan satu sama lain.
"Diana, kamu sudah selesai makan! Aku bersihkan dulu, supaya kita lebih nyaman bicaranya!"
" Nanti saja Hana, duduklah dulu. Ada yang ingin aku tanyakan padamu!" ujar Diana, Hana mengangguk lalu duduk di depan Diana.
"Ada gosip yang beredar, kamu sedang dekat dengan pak Rafa. Hampir semua karyawan di gedung ini heboh membicarakanmu!"
"Kamu bercanda, mengenalnya saja aku tidak. Bagaimana bisa kami dekat? Kamu lupa jika aku sekarang sedang dikhitbah. Tidak mungkin aku dekat dengan laki-laki lain!"
"Hmmmm, iya juga! Aku lupa kalau kamu sedang dikhitbah. Rencananya kapan kamu dan dia menikah? Jangan lupa katakan padaku!"
"Entahlah Diana, aku dan dia jarang bertemu. Aku pesimis dengan hubungan kami. Kedua orang tuanya masih berat hati menerimaku. Jika kami berjodoh, insyaallah semua akan berjalan dengan baik!"
"Sabar Hana, semua ujian mampu kamu lewati. Jika hanya masalah seperti ini saja, kamu tidak akan menyerah. Ingatlah akan ada aku disampingmu. Jangan menyerah, semangat!" ujar Diana, Hana tersenyum melihat Diana yang antusias.
"Kenapa dia harus semangat? Kamu sedang ada masalah apa?"
"Pak Adrian, sejak kapan bapak berdiri di sini!" ujar Diana kaget, Hana menunduk tepat setelah Adrian datang. Terlihat Adrian duduk disamping Diana.
"Diana, kamu mengenal wanita berhijab ini. Kenapa tidak menceritakannya padaku?"
"Memangnya kapan bapak bertanya? Bukan salahku jika bapak tidak mengetahuinya!" sahut Diana santai, Hana berdiri meninggalkan mereka berdua. Dia kembali menuju dapur. Diana memahami sikap Hana, selama ini Diana mengetahui jika Hana selalu menjaga jarak dengan laki-laki.
"Diana, kenapa temanmu selalu menghindar dariku? Aku tidak merasa melakukan apapun padanya. Semua ini gara-gara Rafa si bos sombong! Wanita berhijabku menjauh dariku!"
"Jangan salah paham, Hana selalu bersikap seperti itu pada semua laki-laki. Dia selalu menjaga batasannya dengan laki-laki. Apalagi Hana sudah dikhitbah, jadi sangat tidak mungkin dia akan dekat dengan pak Adrian!"
"Dikhitbah, apa maksudnya? Aku tidak mengerti!" ujar Adrian penasaran, Diana terkekeh melihat Adrian yang bingung.
"Ternyata ada juga yang tidak pak Adrian ketahui. Hana itu sudah dipinang oleh pemuda dilingkungannya. Namun pernikahannya belum ditentukan, jadi dia tidak mungkin berdekatan dengan laki-laki lain!"
"Hmmmm, aku mengerti sekarang! Tapi ada pepatah mengatakan, 'Selama janur kuning belum melengkung, semua bisa terjadi'."
"Maksudnya, pak Adrian akan tetap mendekati Hana!" ujar Diana, Adrian mengangguk pelan.
"Aku tidak akan menyerah mendapatkan dia sang pujaan hati!" ujar Adrian mantap, Diana menggeleng. Lalu meninggalkan Adrian yang termangu sendirian.
...☆☆☆☆☆...
TERIMA KASIH😊😊😊
"Diana, kita makan di kantin bersama! Aku yang akan traktir!" sapa Adrian tiba-tiba, Diana yang terkejut memegang dadanya yang berdetak hebat. Diana menoleh pada Adrian yang berada di sampingnya. Terlihat Adrian tersenyum semanis mungkin. Berharap Diana bersedia ikut dengannya ke kantin.
"Pak Adrian, ini masih sangat pagi. Jika aku pergi ke kantin. Pak Rafa bisa menggantungku. Memangnya pak Adrian tidak sarapan di rumah!" ujar Diana kesal, Adrian menggeleng. "Jika aku sarapan di rumah. Aku tidak akan bisa melihat Hana!" batin Adrian.
"Jika Rafa marah, aku yang bertanggung jawab!" sahut Adrian memaksa pada Diana. Terlihat Rafa mendekat pada mereka. Kebetulan Hana salah satu sekretaris pribadi Rafa. Jadi Diana cukup dekat dengan dua penguasa perusahaan Prawira.
"Ada apa dengan Adrian? Kenapa pagi-pagi sudah mengekor padamu?" tanya Rafa dingin, Diana menunduk ketakutan. Dia sudah sangat mengenal karakter bos besarnya. Jika dia dalam mode dingin, itu artinya sedang ada masalah serius.
"Pak Adrian memaksa saya ikut pergi ke kantin. Padahal saya sudah menolak!" ujar Diana ketakutan.
"Ikutlah dengan kami ke kantin. Minta yang lain menghandle sementara pekerjaanmu."
"Pak Rafa juga akan pergi ke kantin!"
"Sejak kapan kamu berani bertanya padaku? Apalagi mengulang perintahku!" sahut Rafa dingin, Diana menggeleng lemah. Sebaliknya Adrian senang bisa pergi ke kantin. Berharap bisa melihat Hana wanita berhijabnya.
Mereka bertiga pergi ke kantin bersama. Setibanya di kantin, suasana masih sangat sepi. Tidak ada karyawan yang datang. Bu Minah kebetulan sedang keluar, tinggalah Hana sendirian di kantin.
Ketika melihat Rafa, dia ragu untuk mendekat. Namun demi sebuah tanggung jawab. Akhirnya Hana mendekat pada Rafa dan kedua temannya. Salah satunya Diana, sahabatnya.
"Kemana bu Minah? Kenapa kamu yang datang?" ujar Rafa, Hana menunduk tanpa berani menatap mata indah Rafa. Diana dan Adrian melihat perbedaan cara bicara Rafa pada Hana. Penuh kebencian tapi tersisip sebuah rasa cinta.
"Maaf tuan Rafa, ibu sedang keluar kantin. Dia pergi menjemput putri dan cucunya. Sebentar lagi mereka datang." ujar Hana, Rafa terdiam terkesima mendengar suara lembut Hana.
"Hana, tolong buatkan aku kopi saja. Tanpa gula, karena aku yakin minumanku akan manis saat diseduh olehmu!" ujar Adrian merayu, Hana mengangguk lemah.
"Hana, aku secangkir teh dan roti khas buatanmu! Terima kasih" ujar Diana, Rafa melihat ke arah Diana dan Adrian.
"Kalian berdua berani memesan lebih dulu dariku. Aku saja belum memesan makanan. Dengan santainya kalian mendahuluiku!"
"Rafa, bila menunggumu lama. Bukankah kamu hanya akan memesan, jika bu Minah yang datang!"
"Kamu, buatkan aku nasi goreng dengan telur mata sapi. Jangan diberi cabai, aku tidak suka pedas!" titah Rafa dingin, Hana mengangguk lalu meninggalkan mereka bertiga. Adrian menatap kepergian Hana, kedua matanya tak berkedip. Pesona Hana terpancar nyata dibalik gamis dan hijab panjangnya.
"Diana, kita pergi ke rumah Hana. Aku ingin mengenalnya lebih jauh. Aku yakin bisa menjadikannya istriku!" ujar Adrian, Diana menggeleng lemah.
"Pak Adrian yang tampan. Aku sudah mengatakan, jika Hana sudah dipinang. Apalagi rumahnya jauh dari sini. Butuh waktu sampai satu jam. Dia hidup hanya sendirian, jadi sangat tidak mungkin akan membiarkan kita ke rumahnya!"
"Serius Diana, rumahnya jauh sekali dari sini. Sungguh wanita tangguh, idaman hati abang!" ujar Adrian, Diana hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat Adrian yang terpesona pada Hana.
"Jadi kamu mengajak Diana, hanya ingin mengenal pelayan itu!" sahut Rafa dingin, Adrian hanya mengangguk. Dia malas meladeni sikap kasar Rafa.
Tak lama Hana datang membawa pesanan mereka bertiga. Secangkir kopi tanpa gula. Secangkir teh dan roti isi. Nasi goreng dan telur mata sapi dengan sebotol air mineral. Hana menyajikan semuanya dengan sangat hati-hati.
"Tunggu, kamu tetaplah disini. Sebelum aku memintamu pergi. Aku ingin melihat bagaimana rasanya masakanmu? Awas saja jika rasanya aneh. Kamu akan menerima hukuman dariku!" ujar Rafa ketus, Hana terdiam. Dia meremas ujung gamisnya, takut jika masakannya tidak sesuai dengan lidah Rafa. Sebenarnya Hana tidak mencicipi masakannya, sebab dia sedang berpuasa.
Rafa memakan nasi goreng bautan Hana. Saat satu sedok nasi goreng masuk ke dalam mulutnya. Kedua bola mata Rafa membulat sempurna, Adrian dan Diana yang melihatnya merasa cemas. Takut jika Rafa marah pada Hana. Sebaliknya Hana tertunduk, dia merasa bersalah kenapa bersedia memasak padahal dia tidak bisa mencicipinya.
Rafa mengunyah sangat pelan makanannya. Seakan-akan sulit baginya untuk menelan nasi goreng tersebut. Adrian menggelengkan kepala ke arah Rafa. Berharap dia tidak marah pada Hana. Setelah nasi goreng tertelan sempurna. Rafa menaruh sendoknya kasar, dia membuka botol air mineral yang disediakan Hana.
"Kamu, kenapa ketakutan melihatku? Angkat kepalamu, tatap mataku. Katakan sebenarnya, masakan apa yang kamu berikan padaku!" ujar Rafa dingin, Adrian memegang tangan Rafa untuk menenangkannya. Hana mengangkat kepalanya perlahan, pertama kalinya kedua bola mata indahnya menatap wajah Rafa Akbar Prawira. Keduanya saling menatap satu sama lain.
"Tuan Rafa, maaf jika masakan saya berantakan. Saya sengaja tidak terlalu memakai MSG, karena saya tidak ingin anda sakit. Sebenarnya saya juga tidak bisa mencicipi nasi gorengnya. Jika tuan Rafa marah, silahkan itu hak anda. Sebab karena saya sarapan anda jadi berantakan!" ujar Hana lirih, lalu menunduk kembali.
"Maksud kamu apa? Memberikan makanan padaku, tapi kamu sendiri tidak mencobanya. Apa kamu ingin menjebakku?" ujar Rafa kesal, Hana menggeleng lemah. Tangannya meremas ujung hijabnya, keringat dingin mulai menetes. Ketakutannya bukan karena amarah Rafa padanya atau dipecat. Namun dia takut jika kesalahannya berimbas pada bu Minah.
"Jangan hanya menggeleng, jawab pertanyaanku. Aku juga heran, kenapa kamu memberiku air mineral? Padahal jelas kamu tahu, aku selalu memesan es jeruk setiap kali kemari. Kamu sengaja ingin merusak hariku!"
"Rafa, ini hanya makanan. Kenapa kamu semarah ini? Memangnya kamu sedang memikirkan apa? Hana sudah ketakutan, kasihan dia!" ujar Adrian, Rafa menoleh seraya menatap tajam ke arah Adrian. Diana mengetahui dengan baik, jika saat ini Rafa sedang tidak baik-baik saja. Amarahnya mampu bertahan selama sehari. Itu artinya dia harus bersiap menerima amarah Rafa.
"Diam kamu, aku sedang bicara dengannya!" ujar Rafa, Adrian memilih diam. Watak sahabatnya ini sulit ditebak. Bahkan cenderung berubah-ubah. Namun dibalik sikap kasarnya, Rafa pribadi yang baik. Hanya saja kehilangan sosok ibu, membuatnya kekurangan kasih sayang.
"Tuan Rafa, anda tidak perlu marah pada orang lain. Semua ini murni kesalahan saya. Jadi tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Alasan saya memberikan air mineral, bukan karena ingin merusak hari anda. Saya merasa anda sedang flu, jadi tidak baik jika mengkonsumsi es di pagi hari. Apalagi setelah memakan nasi goreng yang berminyak. Itu akan semakin membuat tenggorokan anda kering. Meski anda tidak peduli pada kesehatan, tapi setidaknya saya tidak ingin membuat orang lain sakit dengan masakan saya" tutur Hana, Rafa menatap lekat wajah Hana yang manis. Sedikitpun dia tidak mengalihkan pandangannya.
"Jika untuk rasa masakan, maafkan saya. Seharusnya sejak awal saya menolak membuatkannya untuk anda. Sebab saya tidak bisa mencicipi masakannya. Bukan saya ingin membela diri atau mencari alasan. Namun saat ini saya sedang berpuasa. Sekali lagi saya minta maaf. Jangan salahkan bu Minah, karena kelalaian saya dalam melayani tuan!" tutur Hana lirih, Rafa mengangguk lemah. Adrian dan Diana menahan napas panjang, selama Hana berbicara. Mereka takut alasan Hana akan membuat Rafa semakin marah. Rafa tipe pribadi yang tidak mudah menerima sebuah alasan.
"Darimana kamu tahu aku sedang flu?" ujar Rafa dingin, Adrian melongo melihat sahabatnya banyak bicara. Biasanya dia akan mengakhiri hidup orang yang bersalah padanya.
"Ketika anda berbicara tadi, suara anda terdengar berbeda. Sesekali saya mendengar anda bersin-bersin!" sahut Hana ramah.
"Pergilah kembali ke dapur!" titah Rafa dingin, Hana berjalan menjauh dari mereka. Hana memegang dadanya. Jantungnya berdetak sangat hebat, bahkan tubuhnya gemetaran. Aura Rafa membuatnya sangat takut.
"Semoga bu Minah tidak terkena imbas atas kesalahanku. YA ALLAH maha pembolak-balik hati. Buatlah tuan Rafa memaafkan bu Minah. Agar tidak terusir dari perusahaan ini. Amin!" batin Hana sesampainya di dapur kantin.
Sepeninggal Hana, Rafa meneruskan memakan nasi gorengnya. Andrian dan Diana merasa heran. Kenapa Rafa terus saja memakan nasi goreng yang rasanya berantakan? Adrian merampas piring berisi nasi goreng. Dia menyuapkan satu sendok penuh, lalu memakannya.
"Rafa, kamu keterlaluan!" ujar Adrian dengan mulut penuh nasi goreng. Rafa tersenyum mendengar perkataan Adrian. Hanya Diana yang bingung melihat kedua bosnya bersikap aneh.
"Pertama kalinya ada orang yang peduli pada kesehatanku. Meski selama ini, aku merendahkannya. Namun sedikitpun dia tidak membalasku, malah dia menjagaku. Wanita yang sangat unik!" batin Rafa.
...☆☆☆☆☆...
TERIMA KASIH😊😊😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!