VISUAL "KISAH ROMANTIS"
Naida Gadisha
Saga Daren Pradiska
“Sorry lama, tadi jalanan macet.”
“Nggak apa-apa, gue juga baru sampe.”
“Lo nggak pesan makanan? Atau biar gue yang pesan aja?”
“Nggak usah, gue juga nggak lama kok.”
“Lo mau kemana?”
“Saga…”
Laki-laki yang baru saja sampai dan juga yang namanya di panggil gadis di depannya membuat keningnya mengernyit. Ia tidak pernah dapat menebak isi kepala gadis yang sudah di pacarinya selama delapan tahun ini. Saga selama bersama gadis di depannya selalu membuat pikirannya penuh dengan teka-teki. Saga selalu merasa sangat sulit menembus dinding yang begitu tinggi di bangun gadisnya.
Saga ingat betul pertemuannya di sekolah dulu. Saat baru saja masuk di kelas 7, Saga di buat penasaran dengan gadis berwajah dingin dan terlihat sangat cuek dengan sekelilingnya membuatnya memberanikan diri mendekati gadisnya dan ia berhasil mengubah statusnya menjadi pacar dari gadis di depannya selama delapan tahun ini. Saga ingin sekali dapat menebak isi kepala gadisnya, namun ia selalu gagal menembus dinding pertahananya.
“Kenapa?”
“Gue mau mau kita berakhir!”
Degh!
Baru saja Saga memikirkan bagaimana ia dapat menembus dinding keras itu, tetapi Saga sudah di berhentikan dengan kata kita berakhir. Lalu apa arti selama delapan tahun kebersamaan mereka.
“Apa? Lo ngomong apa?”
“Gue rasa, lo nggak tuli!”
Saga menatap gadisnya kesal, helaan nafasnya begitu kasar.
“Kasih gue satu alasan lo akhirin hubungan kita yang udah kita jalanin delapan tahun
ini?” Saga mencoba mencari celah untuk mempertahankan gadis di depannya ini.
“Udah cukup gue di duakan!”
Degh!
Kepala Saga rasanya sudah ingin sekali meledak saat itu juga. Saga menatap lekat gadis di depannya, namun raut wajahnya tetap datar seperti ia tidak merasakan sakit hati. Bahkan bibirnya sangat lincah mengatakan kata-kata keramat itu.
“Nai, siapa yang di duakan?” Saga kembali mencoba mencari celah untuk membela dirinya.
“Siapa? Jelas gue, Saga! Udah cukup empat tahun lo duain gue sama sahabat gue sendiri! Udah cukup lo main petak umpetnya! Udah cukup permainan hati lo! Kalo lo berdua nggak mau berhenti, biar gue yang mundur dan berhenti!” Ungkapan gadis di depannya membuat Saga bungkam.
Jadi selama ini gadisnya tau kalau dirinya sudah mendua bahkan dengan sahabatnya sendiri. Selama ini Saga merasa gadisnya tidak tau karena hubungan mereka terasa baik-baik saja. Saga pun berperan sangat baik untuk menutupi pengkhianatan yang di lakukannya. Bayangkan, bagaimana lihainya Saga menduakan gadis di depannya selama empat tahun. Bayangkan juga bagaimana rasanya di duakan selama empat tahun. Sekaligus di khianati sahabat sendiri.
“Siapa?”
“Masih nanya siapa? Saga! Lo nggak perlu lagi berlagak lo itu cowok baik-baik. Selama empat tahun ini gue tau kalo lo duain gue dan selama itu juga gue bebasin lo main belakang dari gue. Bukan gue bodoh, tapi gue udah berkali-kali kasih lo kesempatan untuk segera akhirin hubungan lo sama dia. Tapi nyatanya, lo tetap berlanjut dan seakan-akan hubungan kita baik-baik aja.”
“Kasih gue kesempatan sekali lagi!” Saga memohon.
Gadis di depannya tersenyum remeh, “Empat tahun kita pacaran, setelah itu lo duain gue sampai detik ini. Coba lo hitung berapa kali lo gue kasih kesempatan? Gue rasa empat tahun udah cukup untuk kesempatan dan udah cukup ada orang ketiga di dalam hubungan.”
“Delapan tahun lalu, lo minta gue jadi pacar lo. Delapan tahun lalu, sama sekali gue nggak ada rasa sama lo. Tapi berjalannya waktu lo berhasil buat gue suka sama lo, sayang sama lo, tapi semua berjalan baik-baik sebelum ada dia yang entah lo undang atau datang sendiri ke dalam hubungan kita. Berakhir dengan adanya pengkhianatan lo dan dia. Selama empat tahun lo khianatin gue, gue selalu berusaha kasih lo kesempatan untuk memperbaiki kesalahan lo tapi ternyata berujung rasa gue ke lo perlahan pudar dan detik ini perasaan gue ke lo udah hilang!”
Gadis di depannya menghela nafas kasar, rasa sesak di dadanya seakan-akan hilang setelah ia mengungkapkan semua yang ada di hati dan pikirannya.
“Maaf, Saga. Gue udah nggak bisa berperan jadi cewek lo lagi. Gue nggak bisa terlihat jadi cewek bodoh yang di khianati pacar dan juga sahabat gue sendiri. Mulai sekarang, kita jalanin hidup kita masing-masing.”
“Kita mulai di sini dan kita juga harus pisah di sini!”
“Terimakasih untuk delapan tahun ini! Delapan tahun penuh dengan pengkhianatan! Gue pergi!”
Tubuh Saga rasanya kaku. Ia tidak dapat menjawab ataupun merespon semua ucapan gadisnya. Kepergian gadisnya pun tidak dapat di tahannya. Saga merasakan sesak di dadanya. Saga benar-benar kehilangan gadis yang di sukai Ibunya. Saga mengacak rambutnya kasar. ingin sekali rasanya berteriak namun, ia sadar ia sedang di tempat umum. Saga mengeluarkan handphonenya dari dalam saku celananya. Ia mengetik huruf menjadi kalimat, setelahnya ia kirim pada gadis di sana.
Saga Daren Pradiska
Naida akhirin hubungan aku sama dia!
Satu tahun sudah berakhirnya hubungannya dengan Saga yang selama ini terlihat baik-baik. Banyak orang yang mengenal mereka menyayangkan berakhirnya hubungan delapan tahun itu. Mereka hanya melihat apa yang mereka lihat di depa mata mereka, bukan apa yang mereka ketahui sebenarnya. Kalau saja Naida membongkar aib sang mantan, mungkin mereka akan memaki Saga, sayangnya Naida hanya mengatakan ia ingin fokus pada pekerjaannya dan tidak bisa membagi waktu antara pekerjaan dan Saga.
Selama satu tahun terakhir, Naida menjalani hidup dengan baik-baik saja. Tidak ada perubahan saat dirinya masih bersama Saga ataupun sendiri seperti saat ini. Naida merasa hubungannya selama delapan tahun hanya sebatas status tanpa ada tujuan yang lain. Naida sendiri tidak pernah menanyakan tujuan hubungannya dengan Saga, begitupun Saga.
Lain Naida, lain dengan Saga. Berakhirnya hubungannya dengan Naida ada banyak perubahan yang ia rasakan. Kalau dulu fokusnya terbagi dua, antara Naida dengan gadis di hatinya. Tetapi kini hanya ada satu gadis yang sudah menemaninya lima tahun. Empat tahun menjadi kedua dan satu tahun sudah menjadi satu-satunya. Saga sendiri tidak tau darimana Naida mengetahui kalau ia mendua. Selama ini Saga berpikir Naida memang menyayanginya seperti dirinya menyayangi Naida dan Naida tidak akan mengetahui hubungannya dengan gadis lain. Tapi nyatanya Naida sudah tau sejak awal dan Naida bersikap semua baik-baik saja. Sungguh mulia hati Naida!
“Nai, makan dimana?”
Naida yang masih mengetik di atas keyboardnya terpaksa menoleh mendapati Melody---salah satu teman dalam satu tim-nya sudah membawa kotak makan dan botol minum di tangannya.
“Duluan aja ke pantry-nya, Mel. Gue sedikit lagi selesai.” Jawabnya menunjuk layar laptop di depannya dengan dagunya.
“Oke, aku sama yang lain tunggu di pantry.”
“Hemmm…”
Selepas Melody pergi, Naida melanjutkan jarinya mengetik setiap huruf di keyboard. Belum selesai ia mengetik, sudah masuk pesan ke dalam handphonenya yang meminta dirinya menyudahi pekerjaannya.
“Makanlah, sebelum anda mati!”
Naida mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangannya. Ia tidak menemukan sosok yang baru saja mengirim pesan padanya. Darimana ia tau kalau dirinya masih bekerja. Naida tidak mempedulikan isi chat yang masuk. Lagi-lagi ia menerima pesan yang mengancam hidupnya.
“Makan atau hari ini terakhir lo kerja?!”
Naida mengebrakkan mejanya. Ia ingin menunjukkan kalau ia kesal. Lagi-lagi ia mendapat ancaman yang sama kalau dirinya selalu menunda makan siangnya atau waktu istirahatnya. Mau tak mau, terpaksa Naida menutup laptopnya. Ia mengambil kotak makan dari dalam kotak mejanya. Ia membawanya menghampiri teman-temannya yang sudah makan dan bahkan sudah ada yang hampir menyelesaikan makannya.
“Kerja keras banget lo, Nai.” Ucap Tama---salah satu teman yang sama seperti Melody.
“Iya lo kan tau, Tam, kalo gue paling males nunda-nunda kerjaan.”
“Terus sekarang kerjaan lo udah selesai?” Tanya Riyani salah satu teman yang sama dalam tim.
“Belum.” Decaknya.
“Emang sialan si serigala! Ngancam terus!”
“Aku penasaran siapa yang udah ancam kamu sampe berhasil kamu nunda kerjaan.” Ledek Melody yang baru saja menyelesaikan makannya yang masih tersisa.
“Nggak ada yang ancam, Mel.” Kesalnya.
“Nanti pulang makan yuk di stasiun?” Ajak Melody semangat.
Naida hanya diam tanpa ikut menimpali obrolan teman-temannya. Nanti malam ia sepulang kerja, ia sudah ada janji makan bersama di apartemennya dengan orang yang sudah mengancamnya. Naida hanya sesekali menatap teman-temannya yang begitu antusias untuk makan pecel ayam langganan mereka di stasiun.
“Lo bawa motor kan, Nai?” Tanya Riyani memastikan.
“Iya.” Singkatnya.
“Tuh, Mel, lo nebeng Naida aja.”
Naida mengernyit heran, “Eh, gue nggak bisa ikut. Gue udah ada janji sama temen.” Ucapnya saat mengerti maksud teman-temannya.
“Cihhh, nggak asik banget sih.” Decak Melody.
“Gue udah janjian dari dua hari lalu.” Padahal baru tadi pagi laki-laki itu mengajaknya.
“Lo tuh pergi sama siapa sih, Nai? Cowok aja nggak punya. Temen juga kehitung jari.” Ledek Tama yang memang sering menjadi tempat ceritanya.
“Yehhh! Sialan lo! Kayak lo punya cewek aja. Cewek yang lo taksir aja ada di samping lo!” Naida ikut meledek.
Tak sedikit yang tau kalau Tama memang naksir berat pada Melody. Hanya saja satu alasan yang membuat keduanya tidak dapat bersama. Melody selalu bercerita pada Naida dan Riyani kalau dirinya tidak bisa membalas kebaikan ataupun cinta Tama. Tetapi Tama terus berusaha membuktikan ketulusannya.
Baik Tama maupun Melody memilih diam kalau Naida sudah meledek. Riyani hanya dapat tertawa melihat keduanya bungkam. Memang terkadang tidak ada yang mampu membalas ledekan Naida yang membuat siapa saja bungkam dan mati gaya.
“Naida, kamu di panggil Pabos!”
Naida baru saja menutup kotak makannya. Bahkan makanan masih ada di mulutnya dan ia sedang menguyah. Ia menatap sekretaris bos-nya yang tidak pernah jauh dari sang bos. Naida mengangguk, mengiyakan ucapan sekretaris bos-nya. Naida menitipkan kotak makannya pada Riyani karena meja mereka bersebelahan. Merasa penampilannya sudah layak, ia menghela nafas berat.
“Nitip ya, Ri.”
“Hati-hati lo, Nai.” Ucap ketiga temannya.
Naida menghiraukan ucapan teman-temannya. Ia melangkah menuju ruangan yang tak jauh dari ruang divisinya. Sebelum masuk ke dalam ruang sang bos, Naida mengetuk pintu lebih dulu sampai akhirnya ia di persilahkan masuk ke dalam. Naida melangkah dengan tenang. Ia membungkukkan badannya dengan sopan.
“Bapak manggil saya?”
Sang bos menoleh kebelakang Naida, menatap pintu yang sudah tertutup rapat. Setelahnya menatap Naida dengan tatapan datarnya.
“Duduk!”
Naida pun duduk di kursi depan meja bosnya. Naida memasang wajah datar seperti biasa raut wajahnya.
“Saga ngajak makan bareng, mau nggak?”
Naida menatap sebal laki-laki di depannya, “Nggak. Bapak aja sama dia.” Tolaknya tetap mencoba sopan.
“Bapak-bapak, lo pikir gue Bapak lo!”
“Ini di kantor.”
“Cuma ada kita berdua, yang lain juga nggak akan ada yang denger.”
“Jadi informal aja nih?” Tanya Naida memastikan.
“Iya.”
“Gue nggak mau makan sama Saga, lo aja sana.” Tolaknya kasar.
“Ckkk, berani ngebantah gue lo?”
“Lo sendiri yang bilang boleh informal.”
“Tapi tetep aja lo harus sopan sama bos lo!”
“Lo manggil gue cuma mau bilang itu?” Pekiknya.
“Lo belum move on?” Pertanyaan bos-nya terdengar meledek dirinya.
Naida menatap laki-laki di depannya dengan tajam, ingin rasanya ia menjambak rambut rapi itu. Tapi ia masih ada rasa takut karena di depannya adalah bos-nya.
“Bukan urusan lo!” Naida memekik sekaligus ia berdiri dari duduknya. “Udahlah, gue keluar.” Kesalnya.
“Makan berempat, gimana?” Naida membalik tubuhnya, kembali menatap bos-nya. “Gue, lo, Saga sama Sabira!” Absennya.
“Gue nggak mau. Lo aja sana.”
“Udah setahun loh, Nai. Apa nggak ada kerinduan lo sama temen lo itu?” Laki-laki itu mencoba meruntuhkan keras kepalanya.
“Kalo lo terus-terusan maksa gue untuk makan sama mereka. Gue milih resign dari sini. Jangan lo pikir ancaman lo itu berpengaruh besar di hidup gue? Gue masih bisa kerja apa aja di luar sana. Nggak harus kerja kantoran kayak sekarang. Gue kerja di sini juga karena paksaan lo kan? Lo yang maksa gue kerja di sini. Tapi nyatanya, ada maksud tertentu.” Ungkap Naida tenang, tidak ada raut emosi di wajahnya. Hanya datar seperti biasa ia mengobrol.
“Hari ini terakhir gue kerja. Besok surat resignnya gue bawa!” Lanjutnya.
“Berani lo resign, jangan harap lo bisa dapat kerja dimanapun!”
“Gue bisa buat usaha sendiri! Gue masih punya kaki, tangan dan otak!”
Tanpa menunggu jawaban dari bos-nya Naida keluar ruangan dengan emosi yang ia tahan di dalam dirinya.
Naida adalah gadis yang sangat sulit di tebak. Raut wajahnya dingin dan datar. Tidak pernah terlihat menunjukkan bagaimana kemarahannya, bagaimana raut wajah bahagianya ataupun sedihnya. Semuanya sama, sama-sama datar tanpa adanya ekspresi.
Naida kembali duduk di kursinya. Ia kembali melanjutkan tugasnya, tugas terakhirnya. Sebelum mengerjakan, ia menoleh kearah Melody yang sudah kembali bekerja.
“Nanti jadi makan di stasiun, Mel?”
“Jadi, anak pemasaran juga ikut.” Jawab Melody, “Kenapa, kamu mau ikut?”
“Iya, gue ikut.”
Jam 9 pagi, Naida baru saja sampai di kantornya. Ia meletakkan tasnya di dalam laci mejanya. Ia membuka laptopnya, bukan untuk bekerja tapi ia ingin membuka emailnya. Surat resign yang semalam sudah ia buat dan akan ia print lalu di serahkan ke managernya. Setelah di rasa sudah selesai di print, Naida menghampiri tempat print yang tidak terlalu jauh dari ruangannya. Saat akan mengambil suratnya, sebuah tangan lebih dulu merebut suratnya. Naida menatap kesal laki-laki di depannya. Tanpa menunggu bibirnya bicara, kertas itu sudah remuk, tak berbentuk.
“Ikut ke ruangan gue!”
Tanpa menunggu persetujuan darinya, bosnya sudah melangkah meninggalkan dirinya. Terpaksa ia pun harus mengikuti Langkah kaki bosnya yang sudah cukup jauh dari pandangannya.
“Kemana lo semalam?” Tanyanya langsung tanpa adanya basa-basi, bahkan tanpa meminta Naida duduk.
“Kenapa?” Tanyanya datar.
“Kemana? Gue tanya lo semalam kemana nggak pulang? Lo ingkarin janji!”
“Gue di Umay!”
“Lo kan bisa kabarin gue!”
“Siapa lo harus gue kabarin?!”
Laki-laki di depannya sudah bertahun-tahun makan hati karena ucapan gadis di depannya. Sudah bertahun-tahun juga ia menahan perasaannya untuk tidak ia ungkapkan. Selama ini dirinya hanya berperan sebagai teman. Menunjukkan sikapnya yang jauh dari kata mencintai. Terhitung sudah hampir sembilan tahun dirinya menahan perasaannya pada gadis di depannya. Bahkan ia membiarkan Saga melabelkan Naida sebagai pacar. Selama Naida pacaran dengan Saga, selama itu juga ia berperan sebagai teman yang selalu ada untuk Naida. Naida tidak pernah menyadari perasaan dirinya.
Satu tahun lalu Saga memberitaukannya kalau dirinya dan Naida sudah berakhir, saat itu juga dirinya meminta Naida berpindah tempat kerja di tempatnya. Selama setahun ini juga ia menjaga Naida dengan embel-embel sebagai teman!
“Nanti makan siang di sini. Nggak usah di pantry!” Ucap dirinya tanpa ingin di bantah.
“Gue bawa makan!”
“Makan di sini!”
“Gue mau resign!”
“Lo boleh keluar. Sebentar lagi gue mau meeting!”
“Je---”
“Mau keluar sendiri atau gue seret?”
Ingin rasanya Naida menjambak rambut rapi yang ada di depannya. Dengan rasa kesal, ia terpaksa harus keluar. Sebelum ia membuka pintu, ia menoleh kearah bosnya yang sedang menatapnya tajam. Tanpa ada rasa takutnya, ia memberi jari tengahnya pada bosnya lalu memilih lari daripada ia akan di terkam serigala galak.
Sesampainya di meja, Naida melihat lampu handphonenya berwarna merah, bertanda adanya pesan masuk. Naida sudah dapat menebak siapa yang mengirim pesan padanya.
“Jangan harap hari ini lo aman!”
“Gue nggak takut!” Balasnya cepat.
Naida kembali berkutik dengan laporan keuangannya yang sudah hampir rampung ia kerjakan. Ia sedang kesal pada si bos yang selalu berlagak berkuasa, tapi memang berkuasa. Bos-nya adalah pemilik perusahaan yang saat ini tempatnya menggantungkan hidupnya. Tak jarang ia ingin mencari pekerjaan yang lain tapi tidak pernah ada yang panggilan interview. Padahal sudah ratusan ia melamar tetapi hasilnya tetap nihil.
Driiing…
Telpon di depannya berdering, mau tak mau ia harus mengangkatnya.
“Hallo selamat pagi, dengan Naida…”
“Ke ruangan saya sekarang!”
“Baik Bu.”
Naida mengupat dalam hatinya. Kalau saja ia memiliki kekuasaan yang sama dengan seseorang yang baru saja memerintahnya, mungkin ia dapat membantahnya. Namun, ia hanyalah karyawan biasa.
“Mau kemana, Nai?” Tanya Tama yang duduk di depan mejanya.
“Bu Ilma manggil gue. Kayaknya ini masalah laporan gue deh.”
“Hati-hati di makan.” Ledek Tama.
“Ah nggak takut gue.” Sahutnya lalu pergi menuju ruangan Bu Ilma sebagai managernya.
Tok! Tok! Tok!
Naida mengetuk pintu ruangan Bu Ilma dengan sopan. Kalau ia tidak mengetuk atau meminta ijin, ia akan segera di marahi. Setelah mendapat ijin untuk masuk, Naida menggeser pintu ruangan dengan hati-hati.
“Pagi Bu.” Sapanya sopan. Begitulah aturannya harus menyapa lebih dulu pada atasan.
“Iya.” Sahut Bu Ilma, setelahnya Bu Ilma mendorong laporan yang lusa kemarin ia kerjakan, “Revisi laporanmu. Pabos Jeon menolak laporanmu. Kamu kalo nggak bisa kerjain laporan begini bilang, biar saya cari orang baru!”
Naida mengerutuki dalam hatinya, menyumpah serapahkan bosnya yang sudah mulai mempermainkannya. Padahal lusa kemarin laporan yang ia serahkan di puji karena sudah rapi dan detail.
Naida mengambil kembali laporannya. Ia menundukkan kepalanya sopan. “Maaf Bu, akan saya perbaiki lagi.” Ucapnya.
“Saya tunggu sebelum makan siang.” Ucap Bu Ilma.
“Baik Bu.”
“Kamu boleh keluar.”
“Permisi Bu.” Naida keluar dengan hati menggondok. Ingin sekali rasanya Naida mengajak bosnya adu tinju di ring tinju agar bosnya tau kalau ia masih memiliki kekuatan untuk melawannya.
“Kenapa lagi laporan lo?” Tanya Riyani yang baru saja datang membawa gelas kopinya.
“Laporan gue harus di revisi lagi. Pabos Jeon nggak puas sama laporan yang gue buat. Padahal lusa kemarin katanya udah perfect. Emang gila ini Bos!”
“Hust!” Omel Melody, “Nanti ada yang denger kamu di marahin.” Bisiknya.
“Nggak takut!”
“Emang cuma lo yang berani.”
“Udahlah kerja lagi kerja.” Ucapnya menahan kesal.
Naida kembali fokus pada pekerjaannya yang sudah menumpuk. Laporan mingguannya belum selesai, di tambah harus revisi laporan yang baru saja ia terima. Bisa-bisa ia harus lembur lagi. Ini masih pagi, tapi pikirannya sudah kacau. Semua ini gara-gara Bosnya.
Dua puluh lima menit lagi jam istirahat, tetapi laporannya belum selesai. Sudah dua gelas kopi ia habiskan untuk mencerahkan isi kepalanya yang ingin sekali meledak. Ia menatap nanar gelas kopinya. Tiba-tiba handphone di samping laptopnya menyala, lampunya berwarna merah, menandakan adanya sms masuk. Ia melihat nama di layar handphonenya. Ingin rasanya ia mengutuk tetapi, ia masih memiliki rasa peduli.
Abang Dalas
Kirimin gue duit
Duit gue udah abis
Naida Gadisha
Gue belum gajian bang
Lagian kan gue udah kasih minggu kemarin
Abang Dalas
Jadi lo nggak mau kasih gue duit?
Gue siksa Dyo!
Naida Gadisha
Iya gue kirim sekarang
Jangan apa-apain Dyo
Naida tidak bisa berbuat apapun kalau abang tirinya sudah mengancam membawa nama adik tirinya. Dalas dan Dyo saudara kandung satu Ayah dan Ibu, berbeda dengan Naida yang lain Ibu. Dulu saat Naida masih SD, Ibu kandungnya meninggal dunia dan Ayahnya menikah dengan Ibunya Dalas. Dari pernikahan Ayahnya dan Ibu tirinya lahirlah Dyo. Jarak usia Naida dan Dalas empat tahun, sedangkan Naida dan Dyo delapan tahun.
Saat ini Dalas hanya seorang pengangguran yang selalu meminta uang pada Naida. Kalau Naida tidak memberinya uang, maka Dyo akan menjadi korban kekerasan. Sebenarnya Naida ingin sekali membawa Dyo pergi dari rumah Ibu tirinya hanya saja Ibu tirinya dan Dalas melarangnya membawa Dyo. Karena kalau Naida membawa Dyo maka Ibu tirinya dan Dalas tidak akan mendapatkan uang. Jangan tanyakan kemana Ayahnya. Ayahnya sudah meninggal empat tahun lalu karena serangan jantung yang di akibatkan dengan kebangkrutan perusahaannya.
Pabos Jeon
Riyani Novrilia
~Sahabat Naida~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!