Bagaimana jika hidupmu tidak pernah tenang lantaran terus di ganggu oleh masa lalu yang kelam? Pengkhianatan di tipu habis-habisan sampai di jauhi oleh semua orang lantaran kehidupan yang semakin berantakan.
Karina, seorang gadis polos yang harus ternoda oleh ketulusan cinta.
***"
"Natal kali ini, kita akan kedatangan tamu spesial. Jadi bersiaplah,"
Jade Marcho, Pria berusia 34 tahunan yang sedang menikmati segelas kopi sambil membaca berita harian itu pun terlihat santai setelah mendengar pernyataan istrinya.
"Aku dengan dia sedikit membosankan," Anna, gadis kecil yang sedang terduduk di samping Jade pun mendekatkan wajahnya pada daun telinga sang Ayah, kemudian berkata. "Sepertinya dia cukup kolot," celetuk Anna secara terang-terangan.
Jade menghela nafas panjang setelah mendengar celotehan sang buah hati. Pria itu berpikir, sepertinya gaya bicara Anna sangat tidak pantas. Mengingat umurnya yang baru saja menginjak usia 8 tahun.
"Ayah..." Anna terlihat memelas setelah melihat ekspresi Jade, "Maaf..." Rengek gadis kecil tersebut merasa bersalah.
Menyadari hal tersebut, Maria kembali melontarkan kata teguran dengan sedikit gertakan. "Jika kau tidak bisa mengontrol ucapan mu lagi, aku akan mengirim mu ke asrama!"
Anna langsung menutup mulutnya dengan tangan, matanya menggenang seolah takut.
"Dimana Karin? Kenapa dia belum sampai?" Tanya Jade pada Maria.
Maria menggelengkan kepalanya sambil meraih ponsel. Beberapa waktu lalu dirinya memang sempat mendapatkan kabar, jika Karina sedikit mendapat kesulitan akibat pesawat yang ia tumpangi mendarat terlalu pagi.
Suara bel pun terdengar, secara berbarengan Jade dan Maria melirik kearah pintu utama. Bahkan keduanya berpikir, jika itu adalah Karina. Adiknya, yang baru saja datang dari Jepang.
"Nicko..." Maria mengembangkan senyumnya. ia semakin membuka lebar pintu utama, untuk mempersilahkan pemuda itu masuk. "Cepat sekali kau datang," celetuk Maria meledek disertai kekehan kecil.
Nicko hanya tersenyum canggung, menanggapi ucapan Maria. Keduanya langsung melangkah bersama menghampiri Jade.
"Aku pikir pemuda ini anak cocok bersama Karina. Dia terlihat tidak sabaran." ucap Maria pada Jade.
Anna menatap tajam kearah Nicko dengan sorot menilai kemudian berkata, "Apa kau pria yang akan menikahi, Bibi Karin?"
Nicko tersenyum tipis, dengan sangat percaya diri Nicko bahkan menganggukan kepalanya yang sukses membuat Jade dan Maria merasa tidak percaya.
"Wow, apa ini? Kau bahkan belum melihatnya tapi kau sangat begitu yakin." Ucap Jade meragukan.
"Bibi sangat membosankan, kenapa kau sangat yakin?" Celetuk Anna spontan.
Maria tersenyum getir, rasanya wanita tersebut ingin menyumpal mulut Anna. karena gadis kecil itu kembali mengulangi perbuatannya.
"Anna..." tegur Maria dengan ekpresi mengancam.
Anna mengerjap menghela nafas kasar, "Ayolah, kenapa kalian menutupinya. Aku pikir ini cara terbaik untuk memulai hubungan antara Bibi dan calon suaminya. Maksudku, bagaimana pun pria ini harus tau siapa Bibi sebenarnya."
Nicko menganggukan kepalanya, pria itu bahkan menepukan tangannya perlahan seolah terkesan setelah mendengar ucapan gadis kecil yang hendak berusia delapan tahun tersebut. "Mengesankan, siapa yang mengajarimu?"
"Itu tidak penting, selama kau memiliki sesuatu yang manis. Aku akan kembali bicara, dan mengatakan hal lainnya tentang Bibi." Sahut Anna menjawab santai.
Jade dan Maria hanya bisa terdiam. Tidak memungkinkan untuk keduanya kembali menggeretak sang putri di hadapan Nicko.
"Ini coklat, dan bicaralah." Ujar Nicko sambil memberikan sesuatu yang ia dapatkan dari sakunya.
"Menyerah saja, Bibi sangat kolot. Aku dengar ia pernah menjalin hubungan dengan seseorang dan saat semua itu berakhir, dia seolah telah kehilangan semangat hidupnya." Anna membuka bungkus coklat, lalu memasukan coklat tersebut kedalam mulutnya. "Ia bahkan sering pergi keluar negri untuk melupakan masalah, dan..." Sejenak Anna melirik kearah Maria dan Jade yang sedari tadi terus mengintimidasinya.
"Dan apa?" Tanya Nicko penasaran.
"Itu semua ia lakukan untuk menghidari perjodohan. Bibi selalu di desak untuk segera menikah, aku rasa itu alasan utamanya ia datang kesini."
Ingin rasanya Jade menyeret Anna kelantai dua. Entah siapa yang mengajari gadis tersebut. Jade dan Maria merasa itu cukup memalukan, jika seseorang yang tidak biasa dengan Anna akan menganggap gadis ini sedikit kurang ngajar.
"Bibi..." Anna langsung berlari menghampiri Karina begitu ia melihatnya.
Spontan Nicko, Maria dan Jade pun melirik ke arah yang sama. melihat seseorang yang mereka tunggu secara berbarengan.
"Kau datang? Kenapa tidak mengetuk pintunya?" Tanya Maria sambil berjalan menghampiri Karin.
Gadis cantik itu tersenyum tipis, lalu memeluk Maria secara singkat. "Maaf, tapi pintunya terbuka. Jadi aku langsung masuk."
"Karina, bagaimana kabarmu?" Tanya Jade menyapa.
"Seperti yang kalian lihat, aku baik-baik saja." Sahut Karina datar.
Anna langsung menarik tangan Karin dan berkata, "Ayo. Calon suami mu sudah menunggu."
Benar saja tebakan Karin, semua ini memang terlihat sudah di rencanakan. Karin tentu terlihat, santai lalu mematuhi apa yang Anna katakan untuk menemui pria yang dimaksud.
"Paman Nicko, Bibiku sudah datang. Kenapa kau tidak melihat kearahnya?"
Karina terlihat terkejut, ia mendalamkan lipatan di dahinya dan langsung melirik kearah Nicko dengan ekspresi terkejut.
"Bibi, bagaimana? Dia tampan bukan?" tanya Anna sambil menarik ujung dres yang Karin kenakan.
Sejenak Karin melirik kearah Maria, Jade dan Anna secara bergantian. Wanita itu langsung tersenyum getir, lalu mengulurkan tangannya kearah Nicko sambil berucap, memperkenalkan diri. "Ka... Karina,"
Nicko tak langsung membalas uluran tangan Karina, ia hanya terus menatap Karina dengan ekspresi datar.
Karina menarik kembali tangannya dan langsung menatap kearah Jade dan Maria. "Aku rasa ini cukup jelas," sejenak ia menghela nafas kasar lalu melirik kearah Anna. "Baiklah, antar aku menuju kamarku."
"Paman kenapa kau tidak bicara? Apa kau tidak menyukai Bibiku?" Tanya Anna memastikan menghampiri Nicko.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari Karina, Nicko pun menjawab. "Aku menyukainya, aku sangat menyukai Bibimu!"
Bibir Karin bergetar, seketika wajahnya memanas setelah mendengar pernyataan Nicko. "Bodoh!" Batin Karin mengumpat.
"Astaga," Maria membuka mulutnya seolah tak percaya, "Benarkah? Bukankah itu bagus?" tanya Maria pada sang suami.
"Aku tidak tertarik," Karina langsung meraih kopernya, berlalu dari hadapan mereka. "Sepertinya aku tidak bisa tinggal dengan kalian,"
"Ke... Kenapa? Lagi pula Paman Nicko tinggal tidak jauh dari sini. Kalian bisa memanfaatkannya untuk lebih saling mengenal." Tanya Anna sambil membujuk.
Karin tak menggubrisnya, ia lantas pergi tanpa mengatakan sepatah katapun.
Maria mengerjap, merasa malu atas tindakan kurang menyenangkan, yang dilakukan Karin di hadapan Nicko. Wanita itupun berdecak, "Entah siapa pria yang membuat Karin menjadi seperti ini, aku ingin membunuhnya!" gerutu Maria jengkel.
"Itu masalahnya, setidaknya kita semua sudah melakukan yang terbaik." Jade menghampiri Maria lalu mengelus bahunya, guna menenangkan sang istri. "Aku rasa, kau harus lebih memperhatikan Anna sekarang."
Sejenak Maria melirik kerah sang buah hati yang terus saja mengoceh.
"Paman..." Pekik Anna, sambil mendengus jengkel saat Nicko pergi begitu saja, sesaat setelah Karina mengundurkan diri.
"Kenapa? kemana Nicko?" tanya Maria menghampiri sang buah hati.
"Dia cocok sekali dengan Bibi, menyebalkan. saat aku bicara dia bahkan langsung pergi, dan mengabaikan aku begitu saja." Anna meremat sehelai roti yang berada diatas piring dengan penuh kekesalan, "Aku akan memukul paman itu, jika dia berani datang kembali." celetuk Anna mengancam.
"Aku mencintaimu," ucap Nicko lalu memangkas jarak dan langsung mengecup bibir Karin singkat penuh kelembutan.
Air mata Karin menetes, ia terpaku dengan bibir yang terasa kelu. Seluruh tubuh Karin begetar hebat, dadanya bahkan terasa sangat sesak.
Ingin rasanya Karin mendorong pria yang sedang mengecupi sudut bibirnya. Menampar bahkan menghardik pria tersebut dengan emosi yang memuncak. Namun, semua itu terasa sulit karena Karin hanya sedang berada di alam bawah sadarnya.
"Ahhhh..." Karin menjerit, tangisannya pecah saat wanita itu tersadar dari mimpinya. "Aku membencimu, Nicko! Aku sangat membencimu!" Pekik Karin seolah menjawab apa yang telah Nicko baru saja ungkapkan dalam mimpinya.
Karin beranjak, mengatur nafas dan langsung meraih segelas air di atas nakas yang berada di samping tempat tidurnya. Dadanya masih saja terasa sesak, air matanya mengalir dengan sangat nyata meskipun itu semua hanya perasaan Karin, yang terbawa hanyut dalam mimpinya.
Mimpi bagi sebagian orang hanyalah bunga tidur, tapi tidak untuk Karin. Seolah memiliki duri. bunga tersebut selalu saja berhasil menusuk relung batinnya dan hanya membuat hidup Karin, juga perasaannya semakin hancur.
Sesuatu yang mungkin saja sudah menjadi kebiasaan. Setiap kali Karin mendapatkan kilas balik dari masa lalunya melalui mimpi, ia akan mendapatkan kesulitan untuk kembali terlelap. Karin juga beranggapan, jika semua itu adalah bencana yang merepotkan. Belum lagi, jika esok hari dirinya di haruskan pergi bekerja.
Karin menyeka air matanya, ia menatap pandangan kota dari balkon apartemen sambil menetralkan pikirannya. Wanita itu bahkan membawa sebatang rokok, dan menghisapnya sesekali untuk mendapat ketenangan.
"Ini tidak bisa di biarkan," gumam Karin setelah menghembuskan asap dari mulutnya ke udara.
Berulang kali Karin mendapat panggilan dari Maria dan Jade. Sepertinya kedua orang itu cukup khawatir, setelah Karin lebih memilih tinggal diluar. Bahkan ada sebuah nomor asing yang Karin kenali, pada akhirnya nomor tersebut kembali menghubunginya setelah sekian lama Karin menghapusnya dari daftar kontak.
Ingin rasanya Karin melarikan diri. Namun, saat ini ia sudah terjebak dalam sebuah kontrak. Memiliki gelar seorang Dokter dan bermodalkan sertifikat penghargaan terbaik memudahkan Karin untuk mendapat pekerjaan. Bahkan tak sedikit orang terpandang yang bergelut di bidang tersebut mengajak Karin untuk bergabung dalam Rumah Sakit yang mereka pimpin.
"Satu tahun, hanya satu tahun!"
Sementara itu, Karin justru tak menyadari. Jika ada seseorang yang sedang memperhatikan gerak-geriknya menggunakan teleskop. "Kau bahkan tidak berubah, tetap terlihat cantik meskipun aku sudah menghancurkan hidupmu." Gumam Nicko dari balik jendela apartemennya.
Seketika Nicko teringat, bagaimana dulu dirinya dan Karin saling memuja. Setiap waktunya selalu mereka habiskan bersama, Nicko sampai tak bisa menjauh dari wanita tersebut meskipun hanya sesaat.
"Aku mencintaimu," Karina meraih wajah Nicko dan mengelusnya. "Aku sangat, sangat mencintaimu!"
Nicko sama sekali tak menggubrisnya, ia hanya terus membelai rambut Karina sambil mengelus punggung wanita tersebut lalu mendekapnya dengan sangat erat.
Wewangian yang khas dari Karina seperti pemikat. Nicko benar-benar sudah di butakan oleh api cintanya yang semakin membara.
"Nicko aku..."
Pemuda itu langsung meraup bibir Karina, mengecup lalu meluma*tnya dengan penuh kehati-hatian. jantung Karin berdebar kencang, ia merasa ada sesuatu yang bergejolak didalam sana. Tapi Karin sendiri tidak mengetahui jika itu, apa?
Hembusan angin, dan kilat petir kembali menyadarkan Nicko. Pria itu bahkan langsung meraih ponselnya dan kembali menghubungi nomor ponsel yang berada dalam kontaknya. Kekasih, Nama itulah tertera jelas dilayar ponsel. Siapa lagi pemiliknya jika bukan Karin.
Karin sudah tak menerima panggilan dari Jade dan Maria. semua itu adalah ulah Nicko, yang telah memberi tahukan pada Jade dan Maria. Jika Karin tinggal tepat satu gedung dengannya.
Entah semua itu hanyalah kebetulan ataupun takdir. Karin sendiri sepertinya tak akan menyangka, jika pria yang Jade dan Maria jodohkan dengannya adalah pria yang ia benci dan pernah menghancurkan perasaannya dimasa lalu.
"Aku merindukanmu, Karina. Maaf jika aku pernah membuatmu kecewa," gumam Nicko penuh penyesalan.
Hujan mulai turun, anehnya Nicko sama sekali tak memperdulikan hal tersebut. Ia terus saja terjaga, menatap Karina dari kejauhan menggunakan teleskop.
Tak jauh berbeda, Karina nampak tengah menikmati tetesan demi tetesan air yang mulai mengguyur tubuh indahnya. Perlahan wanita tersebut memejamkan matanya, kemudian berkata. "Kenapa setiap kali kau datang, kau selalu mengingatkanku pada pria brengsek itu?" Karina menangis, meskipun air matanya kini sudah tersamarkan oleh tetesan hujan. "Aku mohon, bantu aku melupakannya. Ini benar-benar sangat menyiksa," lirih Karina terisak.
Keesokan harinya. Karina sudah mempersiapkan diri untuk menuju rumah sakit di pusat kota, Tempat ia bekerja. Anggap saja jika Karina sekarang sedang tidak baik-baik saja. Wanita itu menjadi lebih pemurung, bahkan bayang-bayang Nicko yang menyakitkan masih saja terus menghantuinya.
Bagaimana pun juga, Karian tetap profesional. Ia tak pernah menyangkut pautkan masalah pribadi, dengan urusan pekerjaan. Dalam hal ini, pekerjaannya cukup berperan penting, karena bisa membuat Karina melupakan Nicko sejenak.
"Dokter, Karina."
Karina menghentikan langkahnya, saat wanita itu sedang berjalan di sebuah lorong rumah sakit.
"Ini..." salah seorang rekan seprofesinya memberikan selembar surat, "Di sana tertulis, jika hari ini kau harus menggantikan Dokter Tian."
"Kenapa harus aku?" Tanya Karina mengerutkan dahi.
Wanita yang sedang berbicara dengan Karina, bernama Sandra itupun menjawab. "Direktur bilang karena kau masih baru, ia pikir ini cara yang bagus untuk menguji kemampuanmu."
Karina mengerti, ia langsung meraih selembaran kertas di tangan Sandra lalu berkata. "Baiklah, aku mengerti."
"Aku, Sandra. Dari bagian spesialis penyakit dalam." Sandra melebarkan senyumnya sambil mengulurkan tangan, "Kita akan sering bertemu di ruangan oprasi, Ku dengar kau Dokter yang cukup handal."
Karina tersenyum tipis, ia selalu saja bersenang hati menerima sapaan atau teguran dari orang-orang yang baru dirinya kenal. Bahkan sepertinya, mulai saat ini Sandra akan menjadi teman baiknya.
"Boleh aku meminta sesuatu darimu?"
"Apa?" sahut Karina bertanya.
Sejenak Sandra melirik kekiri dan kekanan, untuk memastikan jika situasi sudah aman. wanita itupun memangkas jarak diantara dirinya dan Karin, kemudian mendekatkan wajahnya pada daun telinga Karina lalu berkata. "Aku ada kencan dengan kekasihku,"
"Lalu?" Karina menjawab dengan suara terendah.
"Setelah jam makan siang, sepertinya aku akan terlambat. pasien ruangan 107, menderita sakit radang paru-paru. kondisinya cukup baik, sesuai prosedur rumah sakit. kita para Dokter diharuskan memeriksa keadaan pasien selama dua jam sekali."
Karina menghela nafas panjang, ia mengerti dan dapat mencerna segala yang Sandra katakan. "Baiklah, untuk kali ini saja."
"Ahhh..." Sandra langsung memeluk Karina dengan begitu erat, "Sudah kuduga, kau memang begitu baik." celetuk Sandra memuji.
Mungkin sekarang, Sandra sudah keluar dari rumah sakit bersama kekasihnya. Karina yang dimintai tolong oleh Sandra pun kini menepati janjinya. gadis berparas cantik tersebut sudah melangkah menuju ruangan 107, dimana di dalam ruangan tersebut terdapat salah satu seorang pasien yang membutuhkan perhatian khusus.
Tak banyak pertanyaan yang Karina lontarkan pada Sandra. cukup Karina mengetahui penyakit yang di derita pasien yang dimaksud maka semuanya selesai. toh ini semua hanya pemeriksaan, tidak ada alasan untuk Karina menolak.
Cleak...
Karina membuka perlahan pintu ruangan, lalu kembali menutupnya. Karina memperdalam langkah, ia mendekati pasien yang terbaring di atas ranjang kemudian berkata. "Selamat siang, Aku Karina sebagai pengganti Dokter Sandra. aku datang untuk memeriksa kondisi Anda."
Karina meraih tangan si pasien, saat pasien tersebut akan memalingkan tubuhnya.
"Astaga," spontan Karina sedikit membuka mulutnya dengan mata yang membulat. "Ka... kau."
Tak kalah terkejutnya, seorang wanita yang terlihat seumuran dengan Karina pun berkata. "Ka... Karina."
Tangan Karina terlepas begitu saja dari pasien yang bernama Helen. Karina sedikit memundurkan langkahnya perlahan tanpa mengalihkan sorot matanya. "Se... sedang apa kau disini?" tanya Karina terbata.
Bibir Helen bergetar, matanya menggenang saat ia menyadari jika Karina seolah terlihat jiji begitu melihatnya.
"Aku... Maaf, aku harus keluar." timpal Karina memutar badan untuk segera pergi dari ruangan.
"Karina tunggu..."
Langkah Karina terhenti, mata dan wajahnya terasa memanas. wanita itupun mengerjap, hingga sukses membuat setetes air matanya mengalir. "Kenapa aku harus bertemu dengan Helen, setelah bertemu dengan Nicko." batin Karina menjerit dengan tangan yang mengepal seolah sedang menahan rasa kesal.
"Ma... maafkan aku," lirih Helen penuh penyesalan.
Karina tak memalingkan tubuhnya, ia terus saja berdiri memunggungi Helen karena merasa enggan untuk menatap wajah wanita tersebut.
"Ini semua salahku, Nicko benar-benar mencintaimu. selama ini ia terus mencarimu. tolong maafkan dia,"
Karina tersenyum getir. sepintas Karina pikir, ialah satu-satunya alasan kenapa Nicko berada dalam satu negara yang sama dengannya setelah bertahun-tahun wanita tersebut melarikan diri.
Karina menyeka air matanya, mengatur emosi agar wanita tersebut terlihat lebih profesional dalam menjalankan status pekerjaanya.
"Baiklah," Karina memutar badan menatap Helen santai. "Katakan apa keluhanmu sekarang?"
"Jangan bahas penyakitku sekarang, kau harus tau. selama kau pergi, selama itu juga Nicko terus mencarimu."
Karina masih menutup mulutnya, ia terus saja menahan semua amarahnya yang kian memuncak.
"Tolong beri Nicko kesempatan," pinta Helen memohon.
"Maaf, aku tak pernah mencampur adukan masalah pribadi dengan pekerjaan." Karina meraih bahu Helen perlahan, lalu membaringkan tubuh wanita tersebut dengan penuh kehati-hatian. "Tidak usah mencampuri urusanku sekarang, pikirkanlah kondisimu, dan caranya untuk sembuh!"
Mendengar pernyataan dingin dari mulut Karina, Helen justru semakin merasa bersalah. ia langsung memecah tangisan dan kembali menggenggam tangan Karina dengan begitu erat sambil berkata. "Aku menyesal, tolong maafkan aku. aku tahu kau adalah seseorang yang baik, ampuni aku, Karina."
Karina terlihat memucat, bukan masalah tentang penyesalan Helen yang membuatnya khawatir, tapi kondisinya. "Baiklah, kau tenang sebelum nafasmu semakin berat."
Tentu tangisan Helen akan berpengaruh besar pada kondisinya sekarang. mengingat jika yang ia derita adalah radang paru-paru. Karina yakin jika hal ini tak kunjung dihentikan, maka kondisi Helen akan semakin memburuk.
"Aku merasa sesak," ucap Helen mengeluh.
Sudah Karina duga. penyesalan Helen hanya akan membawa dirinya kedalam masalah. Karina dengan cepat meraih alat bantu pernafasan dan memasangkannya pada Helen perlahan.
"Kau boleh saja menyesal, tapi jangan seret aku dalam masalah pekerjaan." gerutu Karina kesal.
Helen hanya bisa terdiam, meskipun tidak begitu mengerti mendengar pernyataan Karina.
"Aku disini hanya menggantikan Dokter Sandra. setelah keadaanmu membaik, cepat pulang dan bawa Nicko kembali dari sini." ujar Karina memerintah.
"Nicko? di sini?"
Kembali Karina tersenyum getir, seolah meragukan ketidaktahuan yang terlihat di raut wajah Helen.
"Sungguh, aku tidak tahu apapun tentangnya. bahkan setelah kau pergi, aku juga tak pernah melihatnya. karena setahuku, dia terus saja mengikutimu."
Karina tertegun. bagaimana ia mencerna dan menanggapi ucapan dari seseorang yang pernah mengkhianatinya? rasanya itu semua terdengar sangat tidak mungkin. tapi dilihat dari ekspresi yang Helen berikan, ia terlihat begitu serius.
"Istirahatlah," titah Karina sambil membenarkan posisi selimut untuk menutupi setengah tubuh Helen.
Cukup memakan waktu, Helen terus saja merengek saat Karina hendak meninggalkannya. dengan sangat terpaksa Dokter cantik tersebut mendengarkan semua ocehan dan penjelasan yang Helen katakan. meskipun dalam hal ini, Karina sangat sulit untuk mempercayainya.
"Hah, Astaga!"
Karina tersentak begitu Sandra datang mengagetkannya.
"Aku tamat, Direktur melihatku diluar pada jam makan siang." ucap Sandra menjelaskan.
"Sandra!"
Spontan ketiga wanita yang berada dalam ruangan tersebut melirik kesatu arah yang sama.
"To... tolong jangan salah paham," Sandra melangkah mendekati Karina seolah meminta perlindungan. "Di... dia sendiri yang bersedia menggantikan ku hari ini."
Karina mengerutkan dahinya, dengan tatapan yang menajam heran kearah Sandra.
"Be... benarkan? tolong jelaskan pada Dokter Crish," pinta Sandra memelas.
"Dokter Karina, aku menunggumu di ruanganku sekarang." tegas Crish kesal.
Apa ini? niat ingin membantu, tapi kenapa harus Karina yang menanggungnya? padahal sebelumnya Karina ingin memperhitungkan bantuannya tersebut terhadap Sandra, karena sudah mempertemukan Karina dengan Helen. seorang wanita yang terlibat dalam masa lalu pahitnya.
Karina dengan cepat mengikuti langkah Dokter Crish, untuk memenuhi panggilannya. tak perduli mengenai masa lalunya dengan Helen, karena masalah yang melibatkan Karina sekarang sudah menyangkut dengan masa depannya.
Dokter Crish terus menatap wajah Karina yang memucat lalu berkata, "Kau sadar, jika sekarang adalah hari pertamamu bekerja?"
Karina hanya bisa pasrah lalu menganggukan kelapanya.
"Kau tau siapa Sandra sebenarnya?" Dokter Crish kembali melempar pertanyaan dengan sorot mengintimidasi.
Lagi-lagi Karina mengangguk, lalu memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan yang Crish lontarkan. "Di... dia Dokter spesialis penyakit dalam, dia juga ysng sudah memberi tahukan jika hari ini aku bertugas untuk menggantikan Dokter Tian. itu sebabnya aku bersedia membantunya,"
Crish terkekeh mendengar jawaban yang keluar dari mulut Karina yang erlihat polos. Namun, terdengar begitu menggelikan. bukan tanpa alasan Crish memarahi Sandra karena kecerobohannya. Sandra juga berani berbohong, padahal Dokter Tian yang dimaksud adalah Dokter Crish.
"What!" Karina membulatkan matanya terkejut, setelah mendengar penjelasan Dokter Chris. "Jadi Tian adalah Crishtian?" Karina mengerjap, ia langsung meraih tangan Dokter tersebut dengan penuh sesal. "Maafkan aku, tolong jangan pecat aku. aku sama sekali tidak tahu, tolong jangan hukum aku. kau boleh saja memotong gajiku, tapi tidak untuk bulan berikutnya karena aku..."
"Usttt..."
Karina semakin melebarkan dua bola matanya, saat jari telunjuk Crishtian mendarat tepat di atas bibir tipisnya.
"Aku memaafkanmu, karena ini adalah hari pertamamu." Crishtian menarik kembali tangannya tanpa memudarkan senyuman, "Aku harap tidak ada lain kali, setelah kejadian ini."
Karina menelan salivanya dengan bersusah payah. bibirnya terasa kelu, tenggorokannya tercekat, saat menerima tindakan dari Direktur muda yang cukup tampan tersebut.
"Sandra adalah adikku, kau harus tau itu." imbuh Crishtian memberi tahu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!