NovelToon NovelToon

Ai To Shiawase

Ch. 1 : Kisah Dimulai

...“Aku tak menginginkan harta ataupun barang mewah lainnya, yang kuinginkan hanyalah satu, yaitu … kebahagiaan …”...

...<><><><>...

Aku adalah Ai Mizhunashi. ‘Ai’ dalam Bahasa Jepang memiliki arti ‘cinta’. Mungkin orangtuaku menamaiku seperti ini karena ingin aku menjadi gadis yang tumbuh dengan cinta. Namun ternyata, itu semua salah.

Hari ini adalah hari Minggu. Matahari mulai bersinar dengan terik, menandakan bahwa hari sudah memasuki waktu siang. Aku baru saja selesai mengepel lantai rumah. Kini, aku sedang beristirahat sejenak karena lelah.

Tiba-tiba, aku mendengar seorang wanita paruh baya sedang berteriak menegurku dengan suara lantang.

“Hei! Kenapa kau malah bersantai-santai? Cepat cuci piring-piring kotor itu!" perintah Anna Mizhunashi—ibu kandung yang terasa seperti pembunuh bagiku.

“Tapi, Bu … aku lelah. Biarkan aku beristirahat, sebentar … saja!" Aku memohon kepada ibu untuk memberikanku keringanan.

“Tidak! Kamu sudah tidur kemarin malam. Lagipula, hari ini sudah siang, kenapa kamu mau tidur lagi?!" bentak Ibu yang seakan menginginkanku untuk mati kelelahan.

Dengan raut wajah yang ketakutan, aku menganggukan kepala, mengiyakan perintah Ibu. Lebih baik aku menuruti permintaannya daripada tubuhku dipenuhi luka cambuk lagi.

Aku beranjak dari sofa yang tadi aku gunakan untuk beristirahat. Langkah demi langkah aku berjalan menuju dapur untuk mencuci piring.

Saat sampai di dapur, mataku langsung membola saat melihat ada sekitar lima tumpukan piring kotor yang harus aku cuci. Ya, kemarin orang tuaku mengadakan acara ulang tahun untuk Miku—adikku.

Hah … dia yang ulang tahun tetapi aku yang harus mencuci piring kotornya. Ingin rasanya aku memberontak dan menginjak-nginjak harga diri mereka. Namun, tampaknya itu adalah hal yang mustahil.

Setelah cukup lama berkutek di dapur untuk mencuci piring, akhirnya aku pun selesai. Aku mengusap keningku dengan menggunakan lengan bajuku.

“Akhirnya selesai juga," ucapku sambil menghela napas lega karena telah menyelesaikan pekerjaan berat ini.

Aku membilas tanganku dengan air keran untuk membersihkan sisa-sisa busa dari sabun cuci piring. Setelah selesai, aku pun berjalan masuk ke dalam kamar untuk merebahkan diri.

Saat baru memegang pintu kamar, tiba-tiba saja seorang gadis yang kira-kira berusia 10 tahun, datang menghampiriku. Ya … dia tak lain dan tak bukan adalah Miku, adik kandungku yang selalu diperlakukan baik.

“Onee-san, tolong belikan Miku coklat!" Gadis mungil itu meminta tolong kepadaku untuk membelikan coklat untuknya.

Aku tersenyum dan berjongkok untuk menyamakan tinggi dengannya. Kemudian, aku membelai rambut hitamnya yang terurai dengan lembut.

“Maaf, ya. Kakak sedang lelah, Miku. Nanti kalau kakak sudah selesai beristirahat sebentar saja, kakak akan membelikan coklatnya," ujarku untuk menjelaskan.

Setelah mendengar penjelasanku, mendadak raut wajah Miku berubah. Dia tampak cemberut dengan bibir yang maju dan pipi menggembung. Tak mengucap sepatah kata pun, Miku langsung berjalan pergi meninggalkanku. Hhhh … syukurlah dia mengerti dengan keadaanku.

Aku mengubah posisiku menjadi berdiri lagi. Aku hendak melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Namun, tiba-tiba, aku merasa ada yang mencengkram tanganku dengan sangat erat.

“Awhhh …" Aku merintih kesakitan karenanya.

Aku pun berbalik dan melihat siapa yang mencengkram tanganku. Mendadak, tubuhku menjadi merinding saat mengetahui bahwa orang yang mencengkram tanganku adalah ibuku sendiri. Sorot matanya tampak tajam bagaikan elang yang ingin memangsa. Oh Tuhan … penderitaan apa lagi yang harus aku rasakan kali ini …?

“Ngg … ke-kenapa, Bu?" tanyaku dengan tubuh gemetaran.

Sesaat setelah aku bertanya, tiba-tiba saja ibuku semakin menguatkan cengkaramannya.

“Awwwhh …" Rintihan kesakitanku menggema sekali lagi.

“Jangan pura-pura bodoh kamu, ya! Adikmu sedang minta tolong. Bukannya diturutin, malah mau tidur. Sana, cepet beli!" pekik ibuku sembari menyodorkan uang.

Haah … tidak ada pilihan lain. Aku pun mengambil uang yang diberikan oleh ibudan pergi ke toko untuk membeli coklat yang diminta oleh Miku. Aku berjalan dengan langkah kaki yang berat. Rasa lelah telah menguasai diriku.

“Kenapa … kenapa … kenapa … harus aku? Kenapa harus aku yang selalu disuruh? Kenapa harus aku yang selalu merasakan pahit dibalik manisnya kehidupan keluargaku … kenapa?!" umpatku dalam batin yang sudah muak dengan semua ini.

Namun, kembali lagi, aku hanyalah gadis lemah yang tidak memiliki kelebihan apapun. Aku memang ditakdirkan untuk menderita. Ah … sudahlah.

Singkat cerita, aku telah sampai di toko. Aku berjalan mengitari rak-rak makanan untuk mencari coklat yang diinginkan oleh Miku. Setelah cukup lama mencari, akhirnya aku menemukan coklatnya. Tapi sayangnya, coklat itu berada di rak yang sangat tinggi.

Aku tidak bisa meraihnya, karena tinggi badanku terlalu pendek. Hhhh … kenapa aku harus selalu sial?

Aku mencoba bermacam-macam cara. Pertama, aku berjinjit untuk membuat badanku sedikit lebih tinggi. Tapi sayangnya, aku tidak berhasil. Kedua, aku melompat-lompat layaknya kelinci. Tapi, sayangnya aku tidak berhasil lagi.

“Duh … kok susah banget, sih!" Aku mendongak, menatap coklat yang berada di rak tertinggi tersebut.

Tak lama kemudian, seorang laki-laki tampan datang dan mengambilkan coklatnya untukku.

“Ini. Lain kali, kalau kamu butuh bantuan, bilang saja, ya!" ucapnya sambil memberikan coklat tadi.

“A-arigatou Gozaimasu!" Aku mengambil coklatnya dan membungkukkan badan untuk berterima kasih.

Dia tersenyum kepadaku seraya berkata, “Iya, tidak usah dipikirkan. Ngomong-ngomong, aku Rey Tachibana. Kamu bisa memanggilku Rey. Namamu, siapa?" Laki-laki tampan yang ternyata bernama Rey itu menjulurkan tangannya.

Aku menggerakkan tanganku dan menjabat tangan Rey.

“A-aku Ai Mizhunashi," ucapku memperkenalkan diri.

“Wah… kalau begitu aku memanggilmu Ai saja, ya. Boleh, 'kan?" Dia tersenyum ramah.

“Ngg… Boleh, kok. Semua orang memang memanggilku begitu hehe …," kataku dengan diselingi tawa kecil di akhir.

“Baiklah kalau begitu, Ai. Aku pergi dulu, ya. Ini sudah sore, aku sudah terlambat untuk jadwal les," ujar Rey sembari tersenyum ramah.

Aku menganggukan kepala. Sementara itu, Rey berbalik dan hendak berjalan.

“Rey-kun!" seruku memanggil nama Rey.

Rey langsung memberhentikan langkahnya dan berbalik menatapku.

“Hm? Ada apa, Ai?"

“A-anu … sekali lagi, arigatou gozaimasu!" Aku membungkukan badan untuk berterima kasih sekali lagi.

“Ahaha … iya, sama-sama. Baiklah, aku pergi dulu, ya! Sayonara!" Rey melambaikan tangannya sambil tersenyum, kemudian berbalik dan kembali berjalan.

Aku juga tersenyum dan mengibaskan tanganku ke arah kiri dan kanan. Terima kasih, Tuhan. Engkau telah membuatku bahagia—meski … hanya sesaat.

...💓💓💓...

Karena hari sudah mulai petang, aku bergegas berlari menuju rumah.

“Aduh … gara-gara coklat yang berada di rak atas tadi—aku jadi terlambat. Semoga ibu tidak marah,” batinku dengan perasaan khawatir.

Aku sampai di halaman depan rumah. Sebelum masuk, aku membuka sepatu terlebih dahulu. Kemudian, dengan langkah tergesa-gesa—aku masuk ke dalam rumah. Saat sampai di dalam, aku dikejutkan dengan ibu yang sedang bersandar di tembok dengan mata terpejam.

“Dari mana saja, kau?!" tanya ibu dengan nada membentak.

Aku meneguk salivaku, karena aku tahu bahwa akan terjadi sesuatu yang menyakitkan untukku. “A-aku membeli coklat seperti yang diminta oleh Miku," terangku.

Ibuku merubah posisinya yang mulanya bersandar menjadi berdiri. Ibu lalu berjalan mendekatiku. “Lantas, KENAPA KAU BARU PULANG SEKARANG?!" hardik Ibu mencengkram tanganku dengan sangat kuat. Seperti bayanganku, ibu pasti akan melakukan hal seperti ini lagi.

“Ta-tadi coklatnya berada di rak paling atas … Jadi, aku kesulitan saat ingin—"

Plakk!!

Sebelum aku menyelesaikan perkataanku, tiba-tiba saja tamparan ibu mendarat dengan sangat kasar di pipiku.

“Jangan banyak alasan, kamu!" ketus ibu dengan mata melotot karena marah.

Aku menatap wajah ibuku dengan mata berkaca-kaca. Sungguh … nasibku memang menyedihkan.

...💓💓💓...

Note : Author menggunakan latar Jepang Modern.

Ch. 2 : Murid Baru?

...Jantungku berpacu kencang saat bertemu denganmu!...

...♥¡♥¡♥¡♥...

Kini, aku sedang berada di tempat yang menurutku adalah tempat yang paling aman di dunia ini. Ya ... sekarang aku sedang meringkuk di ranjang sambil memegangi jejak tamparan dari ibu tadi.

“Kenapa tidak ada yang percaya kepadaku. Sebenarnya—apa salahku kepada kalian ...?" batinku dengan mata berkaca-kaca.

Tak terasa bulir-bulir air mata mulai mengalir dari sudut mataku. Aku tidak bisa membendungnya lagi. Isak tangisku—pecah dan menggema di kamar sunyi ini. Semua barang yang ada di sini adalah saksi bisu penderitaanku.

Aku terus menangis sesegukan hingga tak sadar bahwa hari sudah mulai gelap. Jam analog telah menunjuk pukul 18.00, menandakan bahwa malam sudah semakin larut.

Aku segeta menghapus air mataku dan kemudian menarik selimut berwarna hijau tosca pemberian paman—untuk menjagaku agar tetap hangat di tengah hawa dingin Kota Tokyo.

Aku memejamkan mataku yang terlihat membengkak. Hhh ... aku harus mempersiapkan diri untuk penderitaanku besok.

...\=×\=×\=×\=×\=...

Sinar mentari menembus jendela kamarku. Para ayam telah berkokok. Pagi telah tiba. Aku terbangun dengan mata yang masih agak mengantuk.

Tiba-tiba saja, aku mendengar suara seseorang berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamar.

“HEI! BANGUN, DASAR PEMALAS!" ketus seorang wanita paruh baya dari luar. Sontak hal itu membuatku kaget. Aku bergegas turun dari ranjang dan membuka pintu.

Ceklek!

Aku membuka pintu. Seperti yang sudah aku duga, wanita yang berteriak tadi adalah ibuku. Raut wajahnya terlihat sangat menyeramkan, seolah memancarkan aura kemarahan yang sangat pekat.

“Kamu ini! LIHAT, INI SUDAH JAM BERAPA?! KENAPA KAMU MASIH TIDUR?!" hardik ibuku yang berhasil membuat keringatku bercucuran.

“Gomennasai!" Aku membungkukan badan seraya meminta maaf.

“Cepat mandi sana!" perintah ibu sambil menunjuk ke arah kamar mandi.

Aku mengubah posisi badanku yang semulanya membungkuk—menjadi tegak. Dengan langkah berat—aku berjalan mengambil handuk dan pergi mandi. Selepas mandi, aku masuk ke kamar, untuk memakai seragam dan sepatu.

Beberapa menit kemudian, aku keluar dari kamar dan berjalan menuju meja makan. Saat hendak duduk, tiba-tiba saja ibu berteriak.

“Heeehh ... apa yang ingin kau lakukan?" tanya ibuku.

Sontak pertanyaan yang dilontarkan oleh ibu membuatku bingung.

“Aku ingin sarapan, Bu," ungkapku.

“Tidak boleh. Lihat jam itu! Ini sudah kesiangan!" terang ibu.

“Tapi, Bu. Aku lapar," ujarku sambil memegangi perutku yang keroncongan.

Namun bukannnya merasa kasihan, ibu malah memperlihatkan wajah murkanya yang menyeramkan itu untuk sekian kalinya. Aku yang mengetahui maksud dari tatapan itu pun langsung mengurungkan niat untuk sarapan dan langsung berjalan menuju sekolah.

“Aku berangkat!" teriakku sambil berjalan langkah demi langkah.

Akan tetapi, aku tidak mendengar suara ibu yang menyahut teriakanku ini. Ah sudahlah, hal ini memang sudah biasa terjadi. Aku tidak boleh terlalu berharap kepada sesuatu yang mungkin mustahil.

Saat sampai di sekolah, aku pun langsung duduk di bangku paling pojok kanan—di dekat jendela. Ya begitulah hidupku ... mengurung diri dari siapapun. Karena bagiku ... semua orang adalah malaikat pencabut nyawa.

Bel masuk sekolah telah berbunyi. Murid kelas 1-F yang adalah kelasku, bersiap untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. Tak lama kemudian, seorang guru masuk ke dalam kelas.

"Ohayou, Minna!" sapa Mai Hikaru, wali kelasku.

“Ohayou Gozaimazu, Sensei!" semua murid membalas sapaan Bu Mai.

“Semuanya, hari ini kita kedatangan teman baru," ujar Bu Mai sambil tersenyum.

Jelas hal itu membuat para murid menjadi gaduh. Mereka penasaran dengan sosok murid baru ini. Tapi, aku tampak tidak peduli. Lagipula aku juga tidak akan bisa akrab dengannya. Aku hanya memalingkan wajahku ke jendela untuk melihat suasa pagi di luar sekolah.

“Hei! Ssstt .... Semuanya mohon diam!" Beliau menyuruh murid-murid untuk diam. "Baiklah, silahkan kesini, masuk!" Bu Mai memanggil seseorang yang kini telah menunggu di luar.

Tap ... tap ... tap ...

Kemudian, seorang laki-laki dengan sebuah headseat yang mengalung di leher serta menggunakan sepatu hitam dan bergaris putih masuk ke dalam ruangan. Laki-laki itu terlihat cukup tinggi. Dia lalu berhenti di samping Bu Mai.

“Ini adalah teman baru kalian. Nak, bisakah kamu memperkenalkan diri kepada teman-teman semua?" pinta Bu Mai.

“Baik, Bu. Ohayou, Minna! Perkenalkan, aku adalah Rey Tachibana. Kalian bisa memanggilku Rey. Salam kenal!" Laki-laki itu memperkenalkan dirinya.

Tunggu dulu ... dia tadi bilang Rey ...? Bukankah dia adalah laki-laki yang membantuku kemarin ...? Aku langsung mengubah atensiku dan melihat wajah laki-laki itu. Dan ternyata ... dia memang Rey yang kemarin membantuku di supermarket.

“Baiklah Rey. Kalau begitu kamu duduk sana! Karena pelajaran hampir dimulai," suruh Bu Mai kepada Rey.

“Baik, Bu. Tapi, dimana aku harus duduk?" tanya Rey bingung.

"Hmmm ...." Bu Mai pun mencari-cari bangku kosong untuk tempat Rey. “Ha ... itu disana. Bangku paling belakang di barisan dua dari kanan," ujar Bu Mai seraya menunjuk bangku yang dimaksud.

Eh tunggu sebentar ... bangku paling belakang dan barisan dua dari kanan. Heeeee ... bukankah itu bangku yang ada di sebelahku. Oh tidak ... aku harus bagaimana ini ...?

“Oh ... Arigatou Gozaimazu, Sensei!" Rey membuat badannya menjadi sedikit condong ke depan untuk berterima kasih.

Rey berjalan menuju bangku yang ada di sebelahku. Tidak ... tidak ... tidak ... kenapa jantungku berdegup kencang. Arghhh ... kenapa perasaanku berubah menjadi aneh. Hahh ... Rey sudah dekat, apa yang harus kulakukan ...? Ah aku tau ....

Rey duduk di bangku sebelahku. Namun, dia tidak melihatku karena aku menutup wajahku dengan menggunakan buku. Tapi tiba-tiba aku merasa ada yang menegurku.

“Hei!" tegur Rey.

“Kyaaa ...!" Aku terkejut saat Rey menegurku.

“Ah maaf, aku mengejutkanmu, ya?" Rey menatapku yang wajahnya masih tertutup buku.

Aku hanya menggelengkan kepala. Karena, jika aku menjawab pertanyaanya, maka mungkin Rey akan mengenali suaraku. Dan, aku tidak ingin hal itu terjadi. Bisa-bisa wajahku memerah karena salah tingkah.

“Hmm ... kau tidak ingin diganggu, ya? Baiklah kalau begitu ...." Rey kembali duduk di tempatnya sambil mencatat materi yang kini sedang diterangkan oleh Bu Mai.

Sementara aku masih ragu untuk menampakkan wajahku. Tapi, jika aku begini terus, maka aku tidak akan bisa menulis materi. Lalu, aku harus bagaimana?

Saat sedang bingung harus berbuat apa, tiba-tiba Bu Mai berteriak kepadaku.

“Hei, Ai! Kenapa kamu tidak mencatat materi yang dituliskan di papan tulis ...?" Bu Mai berteriak seraya menunjukku dengan menggunakan spidolnya.

Semua murid di kelas menatapku, termasuk Rey. Haah ... jika aku merespon Bu Mai, maka sudah pasti aku akan memperlihatkan wajahku yang asli. Tapi ... tidak ada pilihan lain. Daripada aku harus kena hukuman.

Aku menampakan wajahku dan menjawab Bu Mai.

“Su-sudah kok, Bu. Aku sudah mencatatnya," ujarku sambil cengengesan.

“Ha ...?! Bukankah itu Ai ...?" gumam Rey yang ternyata masih mengingatku.

Dia menatapku seolah masih tak percaya. Rey tolong jangan menatapku seperti itu! Bagaimana ini? Jantungku berdegup tidak karuan.

Ch. 3 : Black Blood

...Apakah kamu sedang dirasuki oleh Dewa Romansa?...

...\=×\=×\=...

Bel istirahat telah berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas dan berbondong-bondong menuju ke kantin. Begitu juga denganku. Aku berdiri dari bangku-ku dan hendak keluar. Akan tetapi, tiba-tiba seorang laki-laki menghadangku. Ya ... kalian semua pasti sudah tahu dia siapa.

“Ohayou, Ai-chan!" sapa Rey seraya memperlihatkan senyuman manisnya.

Mendadak, pipiku berubah menjadi merah merona. Aku menunduk agar Rey tidak melihatku.

“Hei, Ai! Ada apa?" tanya-nya dengan raut wajah khawatir.

Aku menarik napas dan berusaha untuk menghilangkan perasaan aneh ini. Kemudian, aku mengubah posisi kepalaku menjadi tegak lagi.

“A-aku tidak apa-apa kok hehe ...."

“Oh ... baiklah kalau begitu." Raut wajah Rey tampak berubah menjadi lega. Karena dia mengetahui bahwa aku baik-baik saja. Tiba-tiba saja, Rey mencondongkan badannya ke depan. Dia mendekatkan wajahnya kepada wajahku. "Hmm ... kamu lapar tidak?" dalih Rey bertanya kepadaku.

Hal itu membuat pipiku memerah lagi. Perasaan aneh itu kembali muncul di dalam hatiku. Sebenarnya ... apa yang terjadi kepadaku. Kenapa aku selalu menjadi salah tingkah saat di dekat Rey?

“Hei, Ai! Kenapa kamu malah melamun?" tegur Rey yang berhasil membuyarkan lamunanku.

“Eh tidak apa-apa kok." Lagi-lagi aku berbohong dengan menggunakan alasan yang sama.

"Oh ... jadi, kamu mau atau tidak?" tanyanya sekali lagi

“Ee ... itu ...." Aku masih ragu untuk menjawab tawaran Rey.

Namun, setelah melihat wajah Rey yang tampak begitu serius, aku pun mengangguk menyetujuinya. Kami berdua berjalan bersama menuju ke kantin layaknya sepasang kekasih.

Semua murid memusatkan perhatiaannya kepada kami berdua. Mendadak, aku merasa menjadi aktris terkenal. Meski begitu, sebenarnya aku merasa tidak nyaman. Aku tidak suka berada di tengah-tengah keramaian orang seperti ini. Karena menurutku, manusia adalah 'malaikat pencabut nyawa' bagiku.

“Ai, kamu mau makan apa?" tanya Rey.

“Aku sama sepertimu saja, Rey-kun," jawabku tanpa pikir panjang.

“Heeii ...! Tidak perlu memanggilku seperti itu, panggil saja aku Rey, ya?!" Rey memintaku untuk memanggilnya dengan menyebut nama langsung, tanpa harus diberi imbuhan '-kun'.

“Ba-baiklah ... R-Rey," tuturku ragu.

Rey meluruskan jari telunjuknya dan melakukan semacam menunjuk-nunjuk di dahiku, seraya berkata, "Nah ... aku lebih suka begitu."

Jelas hal itu membuat liver-ku bergejolak. Ahhh ... kenapa ini? Kenapa kalimat yang diucapkan olehnya tadi, sangat membekas di benakku? Rey, kau begitu mempesona bagiku.

Sementara itu, Rey melangkahkan kakinya menuju salah satu lapak kantin. Di atas lapak itu, terpampang jelas tulisan 'ramen' yang adalah makanan khas Jepang. Sepertinya, Rey ingin memesan ramen. Aku membututinya dari belakang.

“Bu, saya pesan ramennya dua, ya!" ujar Rey kepada wanita penjual ramen itu.

“Oh, baiklah, Nak." Wanita itu kemudian mengambil peralatan dapur seperti mangkuk dan sendok untuk menyiapkan ramennya.

Aku dan Rey mengobrol sambil menunggu pesanan ramen kami siap. Setelah cukup lama, akhirnya ramen yang ditunggu-tunggu telah tiba. Aroma khasnya sangat terasa. Rey dan aku membawa mangkuk ramen kita masing-masing.

Saat baru saja hendak melangkah, tiba-tiba saja Rey berhenti.

“Ada apa, Rey?" tanyaku heran.

“Ngg ... kita mau makan ramen ini dimana, ya?" Rey bingung harus duduk dimana agar bisa menyantap ramen ini dengan tenang.

Tatapanku menyisir suasana kantin yang sangat ramai akan murid. Ada yang makan bersama. Ada juga yang hanya sekedar mengobrol. Bahkan, ada beberapa kelompok murid sedang belajar bersama.

Hampir tidak ada ruang lagi. Namun, hampir bukan berarti tidak ada. Saat sedang menoleh ke arah kanan, aku menemukan sebuah meja makan yang kosong.

“Rey, disana ada meja makan yang kosong. Ayo kesana!" ajakku sambil menunjuk ke meja makan kosong tersebut.

Rey menengok ke arah yang ditunjuk oleh jariku. “Ah, iya .... kau benar. Kalau begitu tunggu apalagi, ayo!" Rey dan aku berjalan bersama menuju kesana.

Saat sampai disana, aku dan Rey dikejutkan dengan pemandangan meja yang sangat kotor. Merahnya kuah ramen tampak mewarnai meja berwarna hijau tua itu.

Akan tetapi, bukannya malah jijik, Rey malah mengambil tisu dan mulai mengelap mejanya. Hal itu membuatku kagum. Ternyata, Rey bukan hanya memiliki paras yang tampan. Namun, Rey juga suka kebersihan. Sungguh ... aku sangat terpesona denganmu.

Aku memandangi Rey dengan tatapan penuh akan kekaguman. Menyadari bahwa dirinya sedang dipandangi, Rey pun langsung bertindak.

“Jangan memandangiku seperti itu ... nanti kalau kamu suka padaku, bagaimana?" Rey melontarkan gombalan andalannya.

Sontak ucapan Rey ini membuatku terkejut. Aku tertegun dengan pipi yang kembali memerah. Hhhh ... sudah berapa kali pipiku berubah menjadi merah merona seperti ini.

Apakah Rey sedang dirasuki oleh Dewa Cinta? Sampai-sampai aku selalu hanyut ucapan manisnya. Aku memalingkan wajahku karena tersipu malu. Rey hanya tersenyum sambil meneruskan membersihkan meja.

“Nahh ... akhirnya selesai juga." Rey telah selesai membersihkan mejanya. “Ayo kita makan!" sambung Rey, mengajakku untuk makan ramennya.

“Itadakimasu!" Kami berdua mengucap salam sebelum makan.

Kemudian kami pun segera menyantap ramen yang sedari tadi sudah sangat menggoda indra perasa-ku. Aku mulai menyeruput mie ramennya.

“Woaaa ... sugoiii ...! Ramennya sangat enak ... aku benar-benar suka," pujiku untuk mengapresiasi ramen yang enak ini.

“Kamu benar ... ramen ini sangat enak .... Aku suka sekali ...!" sahut Rey yang juga mengatakan bahwa ramen ini enak.

Kami berdua kembali menikmati makanan yang sangat enak ini.

"Gochisousama!" ucap kami berdua, menandakan bahwa kami telah selesai makan.

“Makanannya benar-benar enak!" pujiku sekali lagi.

“Kamu benar ... eh tunggu sebentar!" Tiba-tiba Rey menatap wajahku dengan serius.

“Ke-kenapa, Rey?" tanyaku bingung.

Rey tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya mengambil tisu dan mengusap area di sekitar bibirku dengan lembut.

“Di bibirmu ada bekas ramen. Biarkan aku membersihkannya, ya!" Rey masih fokus membersihkan bibirku yang katanya ada bekas kuah ramen.

Aku hanya terdiam, membiarkan Rey membersihkan bibirku.

“Ok sudah," kata Rey sambil tersenyum.

“Arigatou!" Aku berterima kasih kepada Rey.

“Iya ... sama-sama." Rey tersenyum ramah.

Karena sudah selesai makan ramen—kami berdua pun memutuskan untuk kembali ke kelas. Lagipula, sebentar lagi jam istirahat akan berakhir.

“Bu, saya tadi makan dua ramen. Jadi, totalnya berapa?" Rey bertanya kepada wanita paruh baya penjual ramen.

“Satu ramen harganya 1000 yen, Nak." Ibu itu menjelaskan harga ramennya.

“Apa?! Se-seribu?!" Aku terkejut saat mengetahui bahwa ramen itu ternyata memiliki harga yang mahal. Ya ... bagiku 1000 yen adalah harga yang mahal. Uangku tidak cukup.

Rey merogoh sakunya dan mengambil dompetnya yang tampak sangat mengkilap dab berbahan dasar kulit. Rey lalu membuka dompetnya dan mengeluarkan uang kertas dengan nominal 2.000 yen.

“Ini, Bu!" Rey memberikan uang itu untuk membayar ramen yang telah kami santap tadi.

“Arigatou Gozaimazu!" Wanita penjual ramen itu menerima uang Rey.

“Rey ... aku minta maaf karena telah merepotkanmu," ucapku lirih.

“Kenapa kamu meminta maaf? Kan memang aku yang mengajakmu, jadi aku jugalah yang harus membayarnya," terang Rey yang ingin meyakinkanku.

“Ta-tapi—"

“Ssstt ... sudah jangan dipikirkan lagi! Ayo kembali ke kelas!" Rey menarik tanganku sambil berjalan menuju kelas.

Kami menjadi pusat perhatian bagi para murid lagi.

“Eh mereka sangat serasi, ya," puji seorang siswi berbisik-bisik.

“Iya ... bukankah laki-laki itu adalah murid baru di sini. Katanya dia ada di kelas 1-F." Siswi lainnya juga berbisik-bisik.

“Wah ... benarkah?! Ah sayang sekali aku tidak berada di kelas itu," sahut siswi lain.

“Hei, Reina! Lihatlah itu! Laki-laki yang tadi kau bicarakan, kini tengah bermesraan dengan gadis lain. Dan parahnya lagi ... dia adalah Ai si bocah ingusan itu!" ujar Shouko, salah satu anggota 'Black Blood'.

Black Blood adalah kelompok yang dianggotai oleh lima gadis yang selalu menindas, mengancam, dan menghakimi para siswa. Jika mereka ingin, maka mereka akan melakukannya. Tidak ada yang berani mendekati mereka.

“Hmm ... kita akan beri dia pelajaran!" Reina Miyamoto tersenyum sinis, tampaknya dia sedang merencanakan sesuatu yang buruk untukku.

...\=•\=•\=•\=...

Kira-kira apa yang akan terjadi kepada Ai? Lihat jawabannya di eps selanjutnya, ya!

Note : Maaf kalau ada perbedaan kebiasaan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!