NovelToon NovelToon

My Husband, My Brother Personal Bodyguard

Perceraian

Sepuluh tahun menikah, pasangan Bramantio Wijaya dan Sofia tak kunjung di percayakan momongan. Sofia begitu mendambakan hadirnya sosok malaikat kecil di tengah keluarganya.

Terlebih ketika enam tahun lalu, Bram memutuskan menikah lagi atas persetujuan Sofia. Bukan karena Bram tidak mencintai Sofia lagi. Tapi, semua itu karena Bram menginginkan hadirnya seorang anak.

Ia ingin, ada anak yang lahir dari benihnya sendiri. Sofia sendiri sudah menjalankan berbagai tes yang menyatakan bahwa, dirinya tidak mandul. Mungkin, memang belum di percaya saja.

Setelah pernikahan kedua Bram, mereka tinggal dalam satu atap. Bram, Sofia, dan Rianti istri kedua Bram. Rupanya, takdir berpihak pada Rianti. Dua bulan setelah pernikahan, ia mengandung anak pertamanya.

Bram begitu bahagia hingga ia lupa akan kehadiran Sofia. Sofia sempat mengalami tekanan batin yang cukup hebat. Ada perasaan bersalah dalam relung hati Rianti.

Sofia, sering mendatangi psikiater untuk mengurangi depresi yang di alaminya. Meski Rianti menghiburnya, namun itu tak mengurangi rasa sakit di hati Sofia.

Kini, kandungan Rianti memasuki bulan ke sembilan. Sebentar lagi, mereka akan melihat buah hati mereka. Sofia semakin tertekan. Air matanya mengalir deras setiap malam. Melihat perhatian ekstra Bram pada Rianti setiap hari saja, sudah menorehkan luka bagi Sofia. Apalagi ketika bayi itu keluar nantinya.

Jangan tanyakan, apakah Sofia tak mencoba bayi tabung? Tidak ada yang tidak Sofia lakukan. Kembali lagi pada kuasa Ilahi.

•••••••••

Enam tahun setelah kelahiran Brian. Putera pertama Bram dan Rianti.

Brian, kini sudah berusia enam tahun. Ia akan segera memasuki sekolah pada umumnya. Jangan tanyakan sikap Bram pada Sofia saat ini. Bagi Sofia, Bram yang dulu, telah menghilang bagai di telan bumi.

Meski kebutuhan secara lahir Sofia terpenuhi, namun secara batin, tidaklah cukup. Dalam artian, tidak sepuas Rianti. Rianti sendiri tetap bersikap baik pada Sofia, karena pada dasarnya, Rianti memanglah orang yang baik hati. Sama halnya dengan Sofia sendiri.

Sofia juga menyayangi Brian layaknya putera kandungnya. Brian hidup dengan limpahan kasih sayang dan juga harta.

Hari ini, entah mengapa terasa berbeda dengan hari lainnya. Sofia merasa tidak enak badan. Rasanya berbeda dengan sakit biasanya. Sejak bangun pagi tadi, Sofia merasa kepalanya sangat sakit. Hingga ia meminta mbok Narti mengantarkan sarapannya ke kamar.

"Mbok, mbak Sofi kok gak di panggil sarapan?" tanya Rianti yang tidak melihat Sofia di meja makan.

"Nyonya Sofi minta di antarkan makanan ke kamarnya nyonya." jawab mbok Narti.

"Loh, kenapa mbok?" tanya Bram yang merasa tak biasa.

"Sepertinya, nyonya kurang sehat tuan." jawab mbok Narti.

"Ya sudah mbok. Cepat di antarkan. Nanti biar saya lihat keadaannya." jawab Bram.

Sepeninggal mbok Narti...

"Mas, kamu harus lihat keadaan mbak Sofi ya. Kamu kurang perhatian ke mbak Sofi." ucap Rianti dengan nada protes pada suaminya.

"Hmmm..... Iya nanti setelah sarapan, mas akan lihat." jawab Bram.

Selesai sarapan, Bram menepati janjinya pada Rianti untuk melihat keadaan Sofia. Ia masuk ke dalam kamar Sofia. Ia lihat Sofia sedang terbaring dengan wajah pucat. Ia pun menghampiri Sofia.

"Kita periksa ke dokter saja ya." ucap Bram ketika ia duduk di pinggir ranjang dan memegang dahi Sofi yang sedikit demam.

"Gak usah mas. Aku gak papa kok. Cuma butuh istirahat." jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

"Ya sudah, kalau sampai sore masih begini, kamu nurut ya sama mas. Kita periksa ke dokter." ucap Bram tegas. Sofia, hanya mengangguk lemah.

"Mas berangkat dulu ya." pamit Bram. Ia pun mengecup kening Sofia dan melangkah pergi.

Sofia hanya menatap nanar pada pintu yang telah tertutup rapat itu.

Sore hari ketika Bram kembali, ia bertanya pada Rianti tentang keadaan Sofia. Rianti menerangkan, bahwa Sofia kini sudah lebih baik. Bram pun mandi dan berganti baju.

Selesai berganti baju, Bram kembali ke kamar utama. Kamar yang di tempati Sofia.

"Mas sudah pulang?" tanya Sofia yang baru selesai mandi dan hanya menggunakan bathrobe ketika Bram memasuki kamarnya.

"Hem. Kenapa mandi? Apa kau sudah sehat?" tanyanya beruntun.

"Biar terlihat segar saja mas. Lagi pula aku merasa gerah." jawabnya dengan senyum.

Sofia duduk di depan meja riasnya. Bram segera mengambil hair dryer dan mengeringkan rambut Sofia.

"Mas, aku bisa sendiri kok." ucap Sofia sambil menengadahkan kepalanya memandang Bram.

"Gak papa. Sudah lama juga kan aku gak manjain kamu." jawab Bram masih mengeringkan rambut Sofia. Sofia pun ikut tersenyum hangat.

Selesai dengan kegiatannya, Bram memeluk Sofia dan membenamkan wajahnya di ceruk leher istri pertamanya itu. Sofia mengusap lengan Bram lembut.

"Kamu kenapa mas?" tanya Sofia lembut. Sofia hendak melepas pelukan suaminya itu, namun...

"Biarkan begini dulu..." ucap Bram tertahan. Sofia membeku mendengar suara Bram yang tertahan.

Sepuluh tahun menikah, Sofia sangat mengenal semua tingkah laku Bram. Ada yang tidak beres.. batin Sofia. Sofia akhirnya membiarkan kelakuan Bram.

Hingga sepuluh menit, Bram pun mengangkat wajahnya. Ia mengambilkan pakaian untuk Sofia.

"Cepat pakai, nanti sakit lagi. Kita makan malam setelah ini." ucap Bram dengan senyum yang manis.

Sofia terdiam. Ia menatap punggung suaminya yang perlahan mulai menghilang. Perasaannya tak enak. Entah apa yang akan terjadi. Tapi ia merasakan kegelisahan.

Mereka pun makan malam bersama. Termasuk Brian yang menggemaskan.

"Mama Sofi sudah sembuh?" tanya Brian. Matanya yang bulat, dan bulu matanya yang lentik, bergerak dengan lucu. Terlebih rasa khawatir yang terlihat tulus.

"Sudah sayang. Terimakasih sudah mengkhawatirkan Mama Sofi." ucap Sofia tersenyum dan mengelus rambut Brian dengan sayang.

"Mbak, jangan capek-capek dulu ya. Jangan banyak pikiran juga." ucap Rianti. Sofia mengangguk dan tersenyum menjawab ucapan Rianti.

Selesai makan malam, Rianti membantu Brian belajar. Sementara Sofia, kembali ke kamarnya. Beberapa menit setelah Sofia masuk, Bram pun masuk ke dalam kamarnya.

"Mas..." ucapnya heran.

"Ini." Bram menyerahkan amplop berwarna coklat pada Sofia. Sofia tidak bertanya. Ia membuka amplop tersebut dan terkejut.

Inikah firasatnya tadi? Ada surat yang bertuliskan Surat Gugatan Cerai di sana.

"Apa maksudnya ini mas?" air mata Sofi tak terbendung.

"Maaf. Aku hanya tak ingin menyakiti hatimu lebih dalam lagi." Bram melemparkan pandangannya ke sembarang arah.

"Tapi selama ini, kita hidup harmonis dan rukun kan mas?" ucapnya. Air matanya semakin deras mengalir.

"Aku tahu. Tapi aku juga tahu, kau terluka. Aku berdoa untuk kebahagiaanmu." setelah itu, Bram meninggalkan Sofia yang menangis semakin menjadi.

Malam itu, Sofia menangis sejadi-jadinya. Tak pernah ada dalam bayangan atau mimpinya akan bercerai dari pria yang di cintainya.

Kehadiran Yang Tak Pernah Di Duga

Esok harinya, Sofia mendatangi Wijaya Group. Perusahaan yang di bangun Bram Wijaya bersama dengannya dari nol hingga sesukses saat ini. Tiba di gedung Wijaya Group, semua karyawan menunduk hormat padanya.

Sofia menuju ruangan CEO tempat suaminya. Ia pun di persilahkan masuk oleh Luna sekertaris suaminya.

"Langsung saja nyonya. Tuan sudah menunggu." ucap Luna. Sofia mengangguk dan masuk.

Di dalam ruangan...

"Ada apa Sofia, apa tunjangan yang kuberikan ada yang kurang?" tanya Bram tanpa melihat ke arah Sofia.

"Lihat aku mas. Katakan kau sudah tak mencintaiku lagi." ucapnya dengan nada bergetar menahan tangis.

"Hem... Rasa cintaku padamu sudah tak ada. Sekarang pergi lah." ucap Bram. Ia menatap mata Sofi.

Bohong. Aku tahu kau berbohong. Tapi ku akui, rasa cintamu sudah tak sebesar dulu. batinnya.

Maafkan aku Sofi, sejujurnya aku masih sangat mencintaimu. Tapi aku tahu kau terluka karena belum bisa mewujudkan keinginanku dari dirimu sendiri. Maaf. batin Bram.

"Kalau begitu, aku hanya ingin membawa mbok Narti bersamaku. Aku tidak butuh yang lainnya. Aku akan segera meninggalkan rumah itu. Aku pergi." ucapnya dengan meneteskan air matanya.

"Kemana kau akan pergi?" tanya Bram.

"Kau tidak perlu mengetahuinya. Aku tidak akan datang ke sidang perceraian kita. Apa pun keputusan hakim, aku akan menerimanya." Sofi segera berlalu meninggalkan Bram.

Bram tahu, Sofi saat ini semakin terluka. Sama sepertinya yang tak rela menjauh dari Sofi. Tapi ia tak ingin Sofi di bayangi rasa kecewa. Ia tahu, Sofi masih mengharapkan hadirnya buah hati mereka sendiri. Entah mengapa, Tuhan memberikan mereka cobaan seberat ini.

Perih... Hati Sofi dan Bram terasa amat perih.

Tiba di kediaman Wijaya, Sofia menemui mbok Narti dan menjelaskan segalanya. Mbok Narti begitu iba dan prihatin dengan masalah yang di hadapi nyonyanya. Ia pun menyetujui permintaan nyonyanya untuk meninggalkan rumah itu sebelum Rianti dan Brian kembali.

Siang itu, Sofia dan mbok Narti, meninggalkan segala kemewahan yang selama ini, mereka rasakan. Ada rasa sesak di dada Sofi, mengenang semua kenangan indah di rumah itu.

Sofi segera tersadar ketika mbok Narti menepuk pundaknya lembut. Mereka, segera meninggalkan ibu kota.

•••••••••••

Tiga bulan sudah, Sofia tinggal di kota yang sangat jauh. Ia yakin, perceraian sudah di kabulkan.

Namun, ia menyadari ada yang lain pada tubuhnya. Ia merasa semakin berisi.

"Nyonya, nyonya terlihat seperti sedang hamil." tutur mbok Narti.

"Jangan panggil nyonya lagi mbok. Saya juga tidak tahu mbok. Saya juga merasa heran." jawabnya.

"Apa tamu bulanan nyonya– maksud saya ibu, sudah datang kembali?" tanya si mbok.

"Entahlah mbok saya juga tak ingat. Biar nanti saya coba ke dokter." jawab Sofi.

Mbok Narti pun melanjutkan pekerjaannya. Siang hari, ia mendatangi puskesmas di desa itu. Setelah memberitahu masalahnya, ia di suruh menemui bidan.

Sofi pun melangkah menuju tempat pemeriksaan kehamilan di puskesmas tersebut. Ia yakin, bahwa dirinya tidak mungkin hamil.

Setelah menunggu, ia mendengar namanya di panggil. Ia pun menjalani serangkaian tes. Setelah itu, tak lama kemudian hasilnya keluar. Sofia dinyatakan positif hamil. Dengan perkiraan usia kandungan tiga belas Minggu.

Ia terkejut sekaligus bahagia. Buah hati yang dinantinya selama sepuluh tahun, kini hadir di dalam rahimnya. Sekarang, ia bingung. Haruskah ia memberitahunya pada Bram? Akankah Bram percaya janin itu miliknya?

Ia berperang melawan batinnya. Tiba di rumah, ia memberitahu berita bahagia itu pada mbok Narti. Mbok Narti, turut merasakan kebahagiaan yang di rasakan Sofi. Ia juga tahu, saat ini Sofi tengah bimbang.

"Jika ibu ingin memberitahu bapak, silahkan ibu beritahu. Tapi jika ibu ragu, pikirkan dulu dengan masak. Saran saya, ibu beritahu pada bapak tentang janin itu." ucap mbok Narti.

"Saya sudah mengambil keputusan mbok, biarkan Bram tidak mengenal anak ini. Tapi, suatu hari nanti, saya akan beritahu anak ini tentang ayah kandungnya." ucap Sofi.

Terlalu banyak pertimbangan dalam hati Sofi. Hingga ia memutuskan tidak memberitahu keberadaan janin buah cintanya dengan Bram, pada Bram. Termasuk kebahagiaan Bram dan Rianti sekarang.

Biarlah, buah hatinya ini menjadi pelipur laranya. Biarlah, Bram tak mengetahui keberadaan buah cinta mereka.

••••••••••

Waktu terus bergulir. Saat ini, usia kandungan Sofi, sudah memasuki delapan bulan. Sebentar lagi, ia akan bertemu buah hatinya.

"Sayang, sebentar lagi mama akan melihat kamu. Mama senang sekali kamu ada bersama mama. Sehat-sehat ya nak." ucap Sofi seraya mengelus perutnya yang membuncit.

Sofi kini tengah menggeluti usaha yang ia jalankan ketika tiba di desa itu. Ia tak ingin bergantung terus pada uang yang di kirim kan Bram.

Sofi membuka usaha menjahit. Ia merancang sendiri baju-baju itu, dan mengembangkan sumberdaya manusia di sana dalam penjualan. Beruntung, usahanya cukup maju.

"Bu, jangan terlalu capek. Kasihan si dedek bayi." ucap mbok Narti yang membawakan susu untuk Sofi yang tengah menggambar rancangan yang sudah di pesan jauh hari sebelumnya.

"Gak mbok. Ini juga sudah mau selesai kok." jawabnya dengan tersenyum.

••••••••

Satu bulan kemudian, Sofi tengah merasakan mulas pada perutnya yang hilang dan timbul dalam sekejap. Sofi berjalan mondar mandir seperti nasihat bidan.

Saat rasa mulas itu semakin tak tertahan, ia segera memanggil mbok Narti dan pergi ke puskesmas. Untungnya, saat itu masih pagi menjelang siang.

Sofi pun di tuntun menuju ruang bersalin. Setelah berjuang selama beberapa jam, lahirlah seorang putri cantik, yang kelahirannya pun tak pernah di duga. Kehadirannya, tak pernah di ketahui ayah kandungnya.

Sofi, menamainya Dewi Adianna. Sofi merasa sangat bahagia. Ia merasa menjadi ibu yang sesungguhnya.

Hari-hari yang di lewatinya, kini semakin berwarna. Tidak ada hari tanpa rasa bahagia. Menjalani hari, ditemani sang buah hati dan melihat tumbuh kembangnya secara langsung.

Apalagi, Dewi adalah anak yang pintar. Sepertinya, gen kedua orangtuanya, menurun pada anak itu. Para tetangga pun, menyayangi Dewi. Mereka mengenal sosok Sofi. Karena rumah yang di tempati Sofia adalah peninggalan kakek dan neneknya.

Sementara, rumah peninggalan kedua orang tuanya, berada di ibukota. Termasuk apartemen. Semua itu, Sofi siapkan untuk masa depan putrinya.

Termasuk, usaha yang tengah di gelutinya ini. Ia yakin, ada bakat yang terpendam dalam diri Dewi. Entah itu bakat dari Bram ayah kandungnya, atau dari dirinya sendiri.

Sofia percaya, anaknya akan tumbuh menjadi gadis yang baik dan penuh percaya diri. Sofia bertekad, akan memberikan semua yang terbaik bagi masa depan putrinya.

Dewi, adalah anugerah terindah yang Tuhan ciptakan di tengah masalah yang merundungnya. Ia hadir, menjadi pelipur lara bagi Sofia.

Teman Baru

Lima tahun berlalu sejak kelahiran Dewi. Dewi kini tumbuh menjadi gadis yang ceria dan juga pintar. Sifat tulus hati, baik, dan penyayang, di dapatnya dari sang ibu. Ia memiliki sifat yang sama seperti Sofia.

Sementara, kecerdasannya menurun dari sang ayah yang tak pernah di kenalnya. Sama seperti anak-anak pada umumnya, Dewi juga memiliki keinginan untuk bertemu dengan figur seorang ayah.

"Ma, Dewi ingin bertemu papa." ucapnya hati-hati. Dewi tahu, jika berhubungan dengan papanya, akan membuat sang mama bersedih.

"Kenapa tiba-tiba sayang?" tanya Sofia. Selama lima tahun, ini kali kedua Dewi mengatakan ingin bertemu papanya.

"Dewi juga ingin seperti teman-teman lainnya yang disayang papa." Dewi menundukkan kepalanya.

"Nanti, mama bawa Dewi bertemu papa ya." ucap Sofia menenangkan.

Dewi mengangguk senang. Senyum manisnya terbit di wajah cantiknya. Kecantikan yang di turunkan dari sang mama.

"Sekarang, Dewi makan lagi ya sarapannya." Sofia mengelus rambut panjang Dewi dengan lembut.

"Ma, hari ini, Dewi, Puspa dan teman-teman lain akan membuat rumah pohon di dekat taman." tutur Dewi dengan mata berbinar.

"Oh iya, apa kalian bisa?" jawab Sofia antusias.

"Pasti bisa dong ma. Kami di bantu Om Budi dan om Adit ayah Puspa dan Dirga." Dewi turut antusias.

"Kalau begitu, mama akan bawakan cake dan air minum. Di bantu ibunya Puspa dan Dirga, juga mbok Narti tentunya." jawab Sofia dengan semangat.

Selesai sarapan, Sofia mengajak Bu Ida dan Bu Karin untuk membuat cake dan es buah bersama. Setelah selesai, mereka membawanya menuju taman, tempat anak-anak membangun rumah pohon.

Mereka saling bercengkerama dan bercanda ria. Hingga sore menjelang, rumah pohon itu pun selesai di bangun. Anak-anak sangat gembira.

Raut wajah Dewi pun sangat ceria. Tidak pernah sekalipun, Dewi bersedih jika sedang bermain dengan teman-temannya. Sofia, sangat bahagia melihat perkembangan putrinya.

•••••••••

Waktu terus berlalu. Sudah lebih dari dua Minggu sejak pembicaraan Sofia dan Dewi tentang keinginan Dewi bertemu Bram papanya.

Sofi sempat mengira bahwa Dewi telah melupakan keinginannya itu. Ternyata ia salah. Dewi menagih janjinya untuk bertemu dengan papanya pada sang mama.

"Mama gak lupakan sama janji mama ke Dewi?" tanyanya.

"Janji yang mana sayang?" Sofia berpura-pura lupa.

Saat ini, mereka ada di tempat Sofia membuka usaha. Sofia tengah membuat rancangan baju untuk pesanan beberapa toko di desa itu. Dewi ikut ke sana sekalian bermain ke taman bersama teman-temannya. Kebetulan, konveksinya tidak jauh dari taman tempat Dewi bermain.

"Dewi tahu, mama gak mungkin lupa sama permintaan Dewi." ucap Dewi dengan gaya merajuk.

"Bertemu papa kah?" tanya Sofia masih dengan fokusnya.

"Hem." jawab Dewi. Sofia mendekati putrinya dan mensejajarkan tubuhnya dengan sang putri.

"Oke, akhir pekan ini kita ke ibu kota ya." ucap Sofia sambil mengusap rambut putrinya. Senyum pun terbit di wajah Dewi. Ia mengangguk antusias.

Dewi pun kembali bermain dengan teman-temannya. Ia sangat menantikan akhir pekan yang akan tiba beberapa hari lagi.

••••••••

Sore menjelang malam, semua teman-temannya kembali ke rumah masing-masing. Dewi baru akan melangkah ke tempat mamanya. Ia melihat mobil yang melewati taman bermain dan menuju tempat konveksi mamanya.

Ia pun segera menuju ke sana.

Wah, sepertinya mereka baru pindah ke sini. Aku punya teman baru sepertinya. batinnya ketika melihat mobil box yang memuat banyak barang.

Mobil itu berhenti tepat di seberang konveksi mamanya.

"Dewi, ayo kita pulang nak." Dewi melihat ke arah sang mama dan mengangguk.

"Ada yang baru pindah sepertinya." ucap Sofia ketika melihat ke arah depan konveksinya.

Pintu mobil pun terbuka. Nampak pria yang terlihat paruh baya, wanita paruh baya, dengan seorang anak laki-laki remaja dan seorang gadis kecil yang seumuran dengan Dewi.

"Kayanya, Dewi punya teman baru ma." ucap Dewi senang.

"Iya. Tapi, mainnya besok saja ya. Ini sudah terlalu sore." mereka melangkah menuju keluarga itu.

"Selamat sore. Sepertinya kalian baru pindah ke tempat ini ya." sapa Sofia. Pria paruh baya itu pun berbalik dan tersenyum.

"Iya mba." jawab pria itu dengan ramah dan tersenyum.

"Kalau begitu, saya permisi dulu ya pak, Bu." pamit Sofia.

"Iya, silahkan mba." jawab ibu itu.

Sofia dan Dewi pun melangkah kan kaki kembali ke rumahnya.

"Ramah ya pak. Putrinya juga cantik sekali. Sepertinya seumuran dengan Kiara." ucap ibu itu seraya masuk ke dalam rumah dan mulai merapihkan barang-barang mereka.

"Iya Bu. Besok kita kenalan saja." ucap bapak itu sambil memberikan barang dari atas mobil kepada ibu.

Keesokan harinya.

Seperti biasa, Dewi mengikuti Sofia ke tempat konveksinya. Tiba di sana, ia melihat anak yang sebaya dengannya kemarin.

"Ma, aku mau kenalan dengan anak itu ya." izinnya.

"Iya sayang. Jangan nakal ya." ucap Sofia.

"Memang mama pernah dengar Dewi nakal?" tanya Dewi setelah mendengar ucapan sang mama.

"Gak dong. Anak mama kan anak baik." ucap Sofia tersenyum. Dewi pun ikut tersenyum dan menghampiri anak itu.

"Hai. Mau main denganku?" tanyanya begitu tiba di depan gadis kecil itu.

Gadis itu melihat Dewi dan mengangguk tersenyum.

"Ayo, ikut aku ke taman. Nanti aku kenalkan dengan teman-teman yang lain. Oh iya, nama kamu siapa?" tanya Dewi.

"Aku Kiara." jawab gadis itu malu-malu.

"Aku Dewi. Ayo Kiara." ajak Dewi. "Sebentar, aku pamit pada mama dulu." ucap Dewi.

Dewi pun berlari menuju ke konveksi mamanya. Tak berapa lama, ia pun kembali ke luar.

"Kamu sudah pamit pada orang tuamu?" tanya Dewi. Kiara hanya menggeleng. Kebetulan sekali, ibu Kiara berjalan ke arah mereka.

"Eh, ada tamu. Kok gak di ajak masuk dek?" tanya ibu itu.

"Tante, Kiara nya boleh Dewi ajak main?" tanya Dewi.

"Boleh sayang. Tapi jangan jauh-jauh ya." ucap sang ibu.

"Iya Tante. kita cuma di taman kok." sang ibu mengernyit bingung.

"Dimana itu nak?"

"Di depan sana. Nanti kalau sudah waktunya makan siang, Dewi ajak Kiara pulang lagi kesini." ibu itu tersenyum dan mengangguk.

Kiara dan Dewi pun berlari menuju taman. Di taman, sudah banyak anak-anak yang berkumpul dan bermain. Dewi, memperkenalkan Kiara pada semua teman-temannya.

Mereka pun larut dalam permainan mereka. Hingga tak terasa, waktu makan siang pun tiba. Semua anak-anak kembali ke rumah masing-masing. Begitu pun Kiara dan Dewi. Saat akan kembali, Kiara melihat kakaknya.

"Kak Genta." panggil Kiara. Laki-laki yang di panggil itu pun menoleh dan tersenyum ketika melihat sang adik.

Usia Genta terpaut lima tahun dari Kiara. Kiara sendiri, seusia dengan Dewi.

"Kakak darimana?" tanya Kiara setelah tiba di samping sang kakak.

"Kakak dari sekolah. Wah, Kiara sudah punya teman baru ya?" Dewi tersenyum.

"Kenalin kak, ini teman aku Dewi."ucap Kiara.

"Dewi." ucap Dewi memperkenalkan diri.

"Halo Dewi." sapa Genta.

Inilah awal perkenalan Dewi dan Genta.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!