Seorang Pria tengah berjalan menyusuri koridor di aula sekolah menengah atas.
Dirinya dilanda kegugupan. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya yang nampak mengkilat karna pantulan cahaya samar yang ada di ujung koridor.
Setangkai mawar merah dan Sekotak Coklat berada dalam genggamannya.
Tujuannya hanya satu, Gudang di belakang ruang lab.
Siang tadi, Adik sepupunya, Hanindita Mayang Sari menyatakan Dita menyukai Kara.
Bak gayung di sambut.
Kara yang memang menaruh rasa pada Dita, tentu menyambut baik ungkapan adik sepupunya itu.
Kara tak peduli.
Pria tampan berusia sembilan belas tahun itu nampak tak mempedulikan status Dita sebagai adik sepupunya itu.
Yang Kara Pikirkan saat ini adalah, Dita menunggunya di gudang belakang lab.
Setibanya di gudang, Netra mata Kara menangkap siluet seseorang yang Ia kenal.
Tentu itu Dita.
Dengan langkah ragu, Kara mendekati Dita.
"Mas Kara?"
Kara melempar senyum manisnya.
Sosok Dita demikian cantik di mata Kara.
Suaranya yang mendayu-dayu, membuat sisi dirinya yang sensitif sedikit tergugah.
Demikian lah Dita memanggil Kara dengan sebutan 'Mas'.
"Sudah dari tadi?".
"Ya. Emmm ini untukmu.". Tangan Kara terulur menyerahkan setangkai bunga mawar merah dan sekotak coklat, khas kesukaan gadis remaja.
"Terima Kasih".
Tangan Dita terulur menerima setangkai bunga mawar dan sekotak coklat yang di sodorkan Kara.
"Mas.... Benarkah mas sungguh mencintaiku?".
Tanya itu tiba-tiba menggaung di telinga Kara.
Suara Dita yang khas, mendayu-dayu terdengar demikian mengalun di telinga Kara.
Hening beberapa saat.
Hingga Kara balik melempar tanya pada Dita.
"Kau masih ragu?".
"Lalu, Pernahkah mas berciuman?".
"Sering". Kara menjawab apa adanya.
Dulu......
Dulu sekali, Kara tak menampik bahwa ia sering melakukan hal itu.
Namun bukan Kara sebenarnya yang suka mempermainkan wanita, melainkan teman-teman wanita di sekolahnya yang kerap kali merendahkan harga diri mereka demi bisa menuntaskan rasa penasaran akan rasa manis di bibir seorang Kara.
"Seperti apa rasanya berciuman?".
Kara di buat tegang oleh pertanyaan Dita kali ini. Dadanya bergemuruh hebat.
Oh ayolah? Yang Dita hadapi saat ini adalah seorang pria normal. Topik ciuman yang Dita suguhkan, sungguh demikian menggugah hasrat Kara saat itu.
Apalagi, pandangan mata Kara tertuju pada Bibir Dita yang sedikit tebal menggoda.
"Kau akan tau bila nanti kau mencobanya".
Dan senyum licik ter-ulas di bibir Dita tatkala Kara terlihat sedikit gugup.
"Kalau begitu, mari kita melakukannya. Aku ingin mencobanya. Bersediakah kau mengajariku?"
Suara Dita lirih dan terkesan mengandung desahan penuh makna. Ia mencoba untuk merayu Kara kali ini, demi sebuah tujuan.
Hal memalukan ini, Dita lakukan demi segepok uang tunai dan gelar sebagai ratu sekolah.
Sayangnya, Psikis Kara nantinya yang akan menjadi taruhannya.
Kara terbuai. Ia hanyut dalam sebuah sentuhan Yang Dita lakukan padanya.
Hingga kara mengikis Jarak diantara mereka.
Entah siapa yang memulai.
Ciuman mereka mulai menuntut.
Yang tadinya hanya mengecup perlahan, kini menuntut lebih dalam.
Mereka sungguh lupa diri.
Mencecap kenikmatan bibir lawan dengan sangat agresif.
Terbesit dalam benak Kara, Tak mungkin ini adalah kali pertama Dita berciuman.
Terbukti akan kelihaian Dita dalam menguasai permainan ciuman ini.
Tiba-tiba ciuman mereka terhenti tatkala suara bising teriakan teman-teman Dita terdengar.
Sorak yang begitu ramai dan tanpa di duga, Dita meludah-ludah di hadapan Kara. Mengusap Saliva bekas ciuman mereka.
Kara bingung. Ia masih tidak peka akan kejadian ini.
"Uhh.... menjijikkan.".
Dita mendesis seraya membersihkan mulutnya dengan tissue basah.
Setangkai bunga mawar penanda cinta Kara dan sekotak coklat itu di lempar ke lantai, Teronggok dengan cara yang amat mengenaskan.
"Di.... Dita?". Tenggorokan Kara tercekat.
Sebujur wajah tampan itu memerah menahan amarah, namun tak mungkin ia menyakiti Sepupunya.
Bagaimanapun, ada sosok Dewi dan Chandra yang harus Kara jaga perasaannya.
"Makasih ya, mas. Udah bantu aku menangin taruhan ini. Tapi maaf, Aku sungguh tak Sudi menerima cintamu. Dan ciuman mu...?
Oh sungguh menjijikkan"
"Taruhan?". Kara tak menyangka, Ia akan diangkat setinggi langit, kemudian di hempas begitu saja di dasar jurang.
Dita pergi meninggalkan Kara yang terpekur seorang diri.
Harga dirinya di Gilas sedemikian rupa.
Hingga gudang telah sepi, seorang Wanita mengenakan seragam yang sama dengan Dita, datang menghampiri Kara.
"Kak.... Siapa namamu?".
Si gadis bertanya dengan mengulurkan tangannya.
Kara menjawab dengan nada dingin, tanpa berniat membalas uluran tangan si gadis.
"Kara".
Senyum manis itu tetap terbit di bibir manis sang gadis.
"Perkenalkan, aku Hanum Kinara"
Demikian lah Hanum memperkenalkan dirinya pada Kara. Ia teman seangkatan Dita yang saat itu berperangai sombong, namun Hanum adalah pribadi yang cukup pendiam di kelasnya.
Hanum menatap lekat wajah tampan di hadapannya.
Garis wajah nya terlihat tegas meski usia Kara masih muda. Alis tebal serta rambutnya yang hitam legam sekelam malam, membuat Kara banyak di gilai banyak siswi-siswi di kelasnya sejak masih kecil.
Pendar matanya demikian tajam bak samurai yang siap menghunus ke arah mangsanya. Tulang pipinya yang tinggi, menambah kesan bangsawan yang melekat dalam dirinya.
Bibirnya yang seksi demikian menggoda kaum hawa, di sanding dengan belahan dagu dan lesung Pipit di kedua pipinya.
Serta jangan lupa kan kulitnya.
Bukan putih bersih, melainkan kuning Langsat sewarna tembaga yang mengkilat tatkala keringatnya dipantuli sinar hangat mentari.
Kulit yang di warisi dari papanya, Radhi Praja Bekti.......
Menambah kesan jantan yang macho.
Tubuh dan tangannya demikian Tegap dan kokoh, langkah-langkahnya mantap tanpa suara, bak pembunuh bayaran paling berbahaya yang di buru seluruh negara di belahan dunia.
Hingga Kara berlalu pergi dan acuh terhadap sikap peduli Hanum.
"Hei.....
Bolehkah coklatmu yang terbuang ku miliki?", Hanum setengah berteriak ke arah Kara.
Binar penuh harap demikian nampak di Iris mata coklat menggoda milik Hanum.
"Lakukan sesukamu dan jangan mengusikku".
Kara menjawab dengan tetap melanjutkan langkah lebar nya.
"Terima kasih. Ku harap kita berjumpa lagi, nanti"
Dan inilah awal pertemuan seorang Kara dengan si gadis sederhana, Hanum.
Diam-diam, Hanum tersenyum untuk pertemuan kali ini. Jantungnya seakan bertalu-talu saat ia dan Kara berdekatan.
Hanum jatuh cinta......
Hanum terpesona......
Hanum terbuai akan wajah tampan itu.....
Hanum terpana pada sosok tinggi menjulang pemilik mata setajam elang itu.....
Tetapi mungkinkah?
Hanum hanyalah seorang wanita biasa yang terlahir dari keluarga sederhana.
Keberadaannya disini pun karena kepandaiannya dalam bermacam mata pelajaran.
Rasa penasaran dan ketertarikan tinggi terhadap Kara, membuat Hanum mengulas senyum tipis.
Hatinya tengah di penuhi dengan berbagai macam bunga-bunga yang merebak bertebaran.
Biarlah......
Biarlah kali ini Hanum akan membersamai ketertarikannya pada sosok itu.
Ya....
Sosok yang mampu membuat Hanum terpesona.
Hanum tetap memandangi punggung kokoh Kara.
Kara yang pergi dengan hina, seperti binatang yang terluka.
Meski di sekelilingnya, kawan-kawan Dita mengejeknya tanpa belas kasih.
Dalam hati akan Kara pastikan, Dita akan bertekuk lutut di hadapannya.
Kara berlalu, berlalu pergi dengan menyanding rasa sakit yang demikian pedih tak Terperi.
🍁🌻🌻🌻🍁
'Aku menyerahkan segala rasa pada cinta yang aku agung-agungkan.
Aku menyerahkan segala kepercayaan yang ku miliki untuk ia jaga.
Namun dengan nyata.....
Ia yang ku cinta,
Ia yang ku berikan kepercayaan,
Nyatanya dengan sadis melukai harga diriku, menyayat egoku hingga tandas tak berbekas.
Bila cinta tiba hanya akan menyakiti, Lantas apa arti rasa itu sendiri?
Dengan hati penuh sayatan luka akibat penghinaan, Aku berjalan menyusuri jalan.
Membersamai duka.....
Menemani rasa sakit.....
Dan menyeret serta nurani yang telah robek.
Aku tak lagi percaya Cinta.
Aku tak lagi percaya wanita selain ibuku.
Aku tak lagi percaya akan kesucian.
Inilah aku, yang terluka parah akibat goresan penghinaan yang demikian menyesakkan'
~Azkara Putra Praja Bekti~
Kini, Kara pulang di kediaman Praja Bekti dengan penampilan yang demikian kacau balau.
Wajahnya pucat pasi.
Tak ada pendar semangat yang biasanya berkilat penuh nyala. Yang ada, kini hanya wajah mendung dan pandangan mata kian menggelap.
Tak seorang pun yang berani menyapa Kara bila sudah begini.
Pengawal maupun pelayan setia keluarga Praja Bekti, sudah sangat hafal bila keadaan kara yang telah begini.
Temaram senja merambah berganti malam gelap tanpa cahaya, hanya ada kegelapan tanpa sinar. Langit malam tertutup kabut mendung.
Waktu makan malam akan diadakan sebentar lagi.
Aridha........
Putri Jelita dan Radhi ini tampil menawan meski usianya masih menginjak angka Lima belas tahun.
"Kak Kara..... Mengapa baru pulang?
Segeralah mandi karna mama berkata bahwa malam ini, papa mengundang keluarga om Chandra makan malam di rumah kita".
Mendengar nama Chandra di sebut, tiba-tiba saja wajah Kara kian menggelap.
Aridha yang melihat perubahan itu menyipitkan matanya curiga.
"Kak. Kau.... baik-baik saja?".
"Ya". Kara menjawab seraya melangkahkan kakinya. Sesak siang tadi saat berada di sekolah Dita, masih ia rasakan.
Dan kini ia harus bertemu dengan wanita licik itu lagi.
'Baiklah.....
Kita lihat saja hei wanita licik.
Mari kita lihat, siapa diantara kita yang lebih licik'
Kara membatin dengan sangat marah.
Sekelebat bayangan dan rencana yang Kara susun, mulai tersusun rapi dalam otak Kara.
Malam ini, dengan amarah yang kian membuncah karna hatinya masih demikian terluka dan tercecer darah, Kara berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat perhitungan dan pembalasan pada wanita yang telah menghina dan melecehkannya.
Kara........
Putra keluarga Praja Bekti, Adalah putra yang di besarkan dalam keluarga yang baik-baik saja dan serba kecukupan. Baik materi, kasih sayang, Dan segalanya. Kesempurnaan melekat erat dalam kesehariannya.
Itulah awal mulai terbentuknya sebuah karakter yang hedonis dalam diri Kara.
Dan kini......
Gadis belia bernama Dita itu telah melukai harga dirinya, menjatuhkan egonya dengan sangat mengenaskan.
Dita hanya belum tau sedang berhadapan dengan siapa.
Mari kita lihat, siapa yang akan mempermainkan siapa.
Siapa yang akan menjatuhkan siapa.
Meski usia kara masih menginjak angka sembilan belas tahun, namun siapa sangka bahwa kecerdasannya telah membawanya pada semester empat di sebuah universitas elit ternama di ibu kota.
Kecerdasan di atas rata-rata, membuat Kara dengan mudah meraih banyak penghargaan hingga ia bisa melalui mata pelajaran dengan cepat.
Pintu kamar kara di ketuk dengan perlahan. Namun kara tak berniat membuka pintu.
Hingga pintu terbuka dan kara mendapati sosok wanita cantik berdiri tegak meski usianya bukan lagi bisa di katakan muda.
Senyum hangat nampak ter-ulas di bibir jelita yang mampu menghipnotis siapapun.
"mengapa tak membukakan pintu untuk mama?".
"Aku lelah".
Kara menjawab singkat dengan malas.
"Hei.... Apa yang terjadi?".
Beberapa saat lalu, Aridha memberi kabar Jelita perihal Kara yang sikapnya sedikit mengganjal. Tentu Jelita tak ingin membuat suasana hati putranya memburuk menjelang makan malam, bila tak ingin ia mendengar kata dan umpatan menyakitkan dari mulut pedas putranya itu.
Sudah bukan rahasia umum lagi, bagaimana bila Kara sudah murka. Tak akan ada yang sanggup menerima pelampiasan Kara itu.
"Adikku berkata bahwa keluarga om Chandra akan malam bersama kita di sini. Apakah akan bersama anak angkatnya itu?"
Jelita mengerutkan kening tak mengerti. Sejak kapan putranya ini peduli hal-hal demikian.
"Jangan berkata bahwa kau menyukai Dita, Kara. Ya tuhan, kau masih bocah kecil. Jangan jatuh cinta di usia dini bila tak ingin impian mama dan papa hancur begitu saja."
Tatapan tajam Jelita, menghunus tepat tertuju pada putranya.
Namun, Hanya di tanggapi dengan gelak tawa oleh Kara.
"Tentu saja tidak.
Aku tampan dan juga kaya. Tentu banyak wanita yang bersedia bersimpuh di kakiku hanya untuk menikmati malam panas bersamaku di malam yang panjang".
Syok.
Jelita syok dengan penuturan santai putranya kali ini.
"Ja.... jangan berkata bahwa kau pernah tidur Engan wanita di usiamu yang masih muda ini, Kara!!"
"Aku tak berkata demikian. Hanya saja.... pesonaku terlalu sayang bila di lewatkan begitu saja.".
Jelita menggelengkan kepalanya perlahan mendengar kalimat putranya ini.
"Cepatlah bersiap dan bersihkan dirimu segera.
Satu jam lagi mereka sampai".
Ucap Jelita kemudian berlalu pergi tanpa menunggu jawaban putranya.
*******
Telah duduk dua keluarga di ruang makan kediaman Praja Bekti.
Dengan Yusman Nugraha yang telah sepuh itu, mereka nampak sesekali bercanda gurau di sela acara makan mereka.
Kara.....
Kara seperti biasa, nampak acuh dengan hal itu. Berbeda dengan Hanindita yang selalu saja menghindari tatapan Kara yang datar-datar saja .
Tak ada riak emosi apapun dari mata Kara.
Kara benar-benar telah menyembunyikan emosinya dengan sangat baik.
Tak ia ijinkan seorang pun menyelami tentang perasaannya.
Dita gugup.
Sesungguhnya, ia tak sampai hati berlaku dan berkata demikian kasar seperti tadi siang.
Namun harga diri dan egonya terlampau besar. Anak manja itu tentu tak mau bila ia kalah taruhan.
Sosok Kara yang demikian tampan menggoda, kerap kali membuat banyak wanita menggilainya, namun berakhir di tolak mentah-mentah.
Itulah mengapa para remaja wanita teman sekolah Dita acap kali kesusahan dalam mendekati..... Bahkan hanya sekedar mengobrol santai dengan kara.
"Kara, tumben malam ini banyak diam?".
Chandra yang biasa beradu argumen dengan Kara itu, nampak di buat heran dengan sikap Diam Kara kali ini.
"Lalu aku harus apa? berheboh ria dengan berteriak-teriak menyambut kedatangan om dan Tante, seraya kedua tanganku memegang pompom dan menari ala-ala cheersleaders anak SMA?"
Chandra yang mendengar kalimat Kara berdecih pelan.
"Bukan begitu, om hanya rindu dengan mulut pedasmu".
Kemudian senyum kecil tersungging di bibir Chandra.
"Baiklah bila demikian. Maukah kalian mendengar sebuah cerita?".
Kara menatap intens Dita.
Semua mendadak diam..
"Cerita apa?".
Chandra penasaran dan terasa ganjil akan tingkah ponakannya kali ini.
"Siang tadi, anak angkatmu ini telah melecehkan ku di depan kawan-kawan sekoalhnya, dan menjadikan ku objek taruhan. Anak manja itu mencumbui aku dengan demikian bringas.
Oh aku ragu, Sepertinya putrimu ini sudah tak lagi perawan om Chandra. Mengingat betapa liarnya dia siang tadi ******* rakus bibirku.
Membangkitkan sisi liar diriku yang selama ini aku jaga mati-matian agar tak bangkit sebelum waktunya.
Bila telah demikian, ku sarankan agar kau memberhentikan sekolahnya dan menikahkan dia dengan pria hyper sex yang lebih dari sekedar mampu dalam mengimbangi nafsunya".
Semua syok mendengar cerita panjang lebar seorang Kara.
🍁🌻🌻🌻🍁
Kurang pedas gimana lagi coba, mulut si Kara ini??
😂😂😂😂
"Siang tadi, anak angkatmu ini telah melecehkan ku di depan kawan-kawan sekoalhnya, dan menjadikan ku objek taruhan. Anak manja itu mencumbui aku dengan demikian bringas.
Oh aku ragu, Sepertinya putrimu ini sudah tak lagi perawan om Chandra. Mengingat betapa liarnya dia siang tadi ******* rakus bibirku.
Membangkitkan sisi liar diriku yang selama ini aku jaga mati-matian agar tak bangkit sebelum waktunya.
Bila telah demikian, ku sarankan agar kau memberhentikan sekolahnya dan menikahkan dia dengan pria hyper sex yang lebih dari sekedar mampu dalam mengimbangi nafsunya".
Ungkapan Kara demikian menampar telak harga diri Chandra malam itu.
Ia pulang dengan wajah malu dan luar biasa marah.
Terlebih saat Dita menunduk tak menjawab, semakin memperkuat spekulasi bahwa apa yang Kara sampaikan adalah sebuah kebenaran.
Ada saat-saat kita mengalami sebuah fase yang di namakan kecewa dalam hidup kita.
Sebuah proses yang benar-benar mengaduk emosi kita. Hanya saja, dampaknya tergantung dari kasus yang kita alami.
Semuanya beragam.
Saat ini, Chandra dan Dewi telah Sampai di kediamannya. Dita mengetuk pelan ruang kerja Chandra, menghampiri keberadaan Chandra berada, membangunkan Chandra dari renungannya.
Sesungguhnya, Chandra luar biasa murka atas penghinaan Kara terhadap keluarganya.
Namun semua ini, di picu oleh kesalahan putri angkatnya sendiri.
Setelah pintu terbuka, Dewi datang dengan Dita yang tertunduk dalam.
Dita demikian syok saat tahu bahwa ia rupanya hanyalah anak angkat.
Wajahnya pucat pasi.
Di adopsi oleh Chandra dan Dewi di usia Dita yang masih terbilang sangat kecil waktu itu, membuat Dita tidak mengingat bahwa ia hanyalah anak angkat.
"Mas, aku ingin bicara dengan mu.
Bisakah meluangkan waktumu sebentar saja?"
"Ya".
Chandra menutup pintu kemudian berjalan mendahului Dewi dan Dita menuju ruang keluarga.
Ia tak bisa menahan amarahnya kali ini.
Kabar yang ia terima dari Kara, benar-benar membuat emosinya membuncah seketika.
Meski ia dan Kara bisa di bilang seperti kucing dan anjing selama ini, namun justru ada kepercayaan dan ikatan batin yang Chandra bentuk untuk keponakannya itu.
Sepedas apapun kalimat Kara dalam berbahasa, nyatanya mampu menyadarkan Chandra akan banyak hal selama ini.
"Katakan".
Suara Chandra nampak datar.
"Pa.... Apa kah benar bahwa aku adalah anak angkat kalian?".
"Ya. Jadi jangan lewati batasanmu.
Istriku dengan berbaik hati mengangkatmu menjadi anak, membawamu ke rumah ini dan membesarkanmu seperti darah daging sendiri.
Ini kah balasan atas kebaikan kami?
Apa yang kau lakukan itu sungguh keterlaluan, Dita. Sangat keterlaluan, kamu mengerti? Keterlaluan?".
Cukup sudah......
Chandra tak lagi bisa menahan diri lagi.
Amarah yang sedari tadi di tahannya terasa kian penuh dan menyesakkan rongga dadanya.
"Ja....jadi.....?"
Suara Dita terbata-bata.
Sebongkah hari itu terluka mendapati kenyataan yang di terimanya.
"Jadi kau salah besar karna telah mengusik seorang Kara, Dita.
Dengar, Kakakmu Arlan memilih menjalani kehidupan yang di cita-citakan nya semenjak dulu, Menjadi seorang aparatur negara meski nantinya tetap akan menjadi penerus perusahaan milik papa.
Sedang Kakakmu Ariana juga lebih memilih untuk menjadikan Dosen di banding berkecimpung di dunia bisnis.
Jadi, Kara adalah satu-satunya anak yang di gadang-gadang sebagai penerus kerajaan bisnis milik keluarganya.
Kau salah besar karna telah melukai harga dirinya.
Lihat!!
Lihat apa yang akan Kara lakukan padamu Dan aku tak akan peduli apapun lagi".
Chandra kemudian beranjak pergi menuju tangga dan lurus ke arah kamar utama.
Dita memucat.
Dewi tentu khawatir tentang kondisi psikis Dita. Meski sebenarnya, tingkah laku Dita itu nyatanya karna Dewi sering memanjakan anak itu.
"Dengar Dita, Besok kita akan kembali menemui Kara di rumahnya. Persiapkan dirimu. Dapatkan maafnya, bila perlu......
Bersimpuh lah di kakinya bila kau tak ingin. kejadian buruk menimpamu".
Dewi berkata bijak kali ini.
Ia pun memilih beranjak meninggalkan Dita di ruang keluarga seorang diri.
Dengan tangan gemetar karna syok serta menahan amarah yang demikian membuncah,
Dita membuka tasnya, meraih ponselnya dan berniat mengirimkan pesan pada seseorang.
********
Di kediaman Praja Bekti.......
Jelita dan Radhi tengah mengetuk pintu kamar Kara perlahan. Sesungguhnya, Saat ini Jelita demikian khawatir akan keadaan kara yang diburu rasa emosi.
Jelita dan Radhi sadar betul,Kara adalah type pria hedonis yang tak suka menyimpan masalah apapun. Terlebih dalam kasus ini, Kara bahkan dengan gamblang menceritakan apa yang terjadi pada dirinya atas ulah Dita.
Pintu terbuka dari dalam. Kara sudah sangat berantakan. Padahal setengah jam lalu, Kara demikian tampan dengan penampilan rambut yang tertata rapi.
Jelita membawa kan Kara se-nampan makanan untuk putranya itu.
Di meja makan tadi, tak sesuap pun Kara menyuapkan makanan ke mulutnya. Jelita tak mau putranya bermasalah kesehatannya karna terlambat makan.
"Kau baik-baik saja, nak?".
Radhi bertanya lembut penuh perhatian.
Suara bariton nya nampak demikian mengalun merdu menjalar ke saluran gendang telinga Jelita.
"Aku jauh dari kata baik, papa.... mama....
Aku.... aku merasa tertekan saat ini".
"Tenangkan dirimu. Kau butuh refreshing saat ini, besok kau perlu berlibur..... mungkin".
Jelita menimpali dengan senyum tulusnya.
Kara masuk ke dalam kamar dengan mama dan papanya uang membuntuti.
Dengan pelan, Radhi menutup pintu pelan.
"Bukan hanya karna Dita yang telah memeprmalukan ku di depan semua anak-anak teman sekolahnya, dan menjadikanku bahan taruhan. Tapi........"
"Tapi apa?" Tangan Radhi terulur mengusap pelan lengan tangan kokoh milik Kara.
"Salah seorang teman Dita mengabadikan momen memalukan itu, pa...... Kemudian menyebarkan video terkutuk itu di media sosial.
Aku.... aku malu ma, menjadi cibiran dan bulan-bulanan teman-teman kuliahku.
Dita bukan hanya menjatuhkan harga diri ku dan melukai egoku........
Tapi wanita sialan itu bahkan telah membuat ku tertekan.
Aku.... Aku bisa gila sekarang.
Hanya menunggu waktu saja aku akan menjadi viral setelah ini".
Bibir Kara bergetar.
Radhi dan istrinya tentu menyadari masalah ini tak se-sederhana yang terlihat.
Kondisi kejiwaan Putranya menjadi taruhannya.
Tak menyangka, Satu jam lalu.... Kara bisa bersikap demikian tenang saat berhadapan dengan Dita dan Chandra.
"Benarkah? Papa akan hubungi asisten papa agar segera mengurusnya.
Jangan khawatir.
Kau adalah putra kebanggaan papa yang berharga.
Kau tak boleh lemah hanya karna masalah ini".
Di sini Radhi menyadari satu fakta yang terungkap tentang putranya.
Kara adalah pria yang sensitif dan rapuh perasaannya.
Kalimat pedas dan sikap tenangnya, merupakan sebuah tameng untuk menutupi kerapuhan hatinya.
Diam-diam......
Radhi dan Jelita takjub akan keistimewaan Kara yang jarang di miliki anak-anak lain seusianya.
"Aku.... besok mungkin berita ini akan menyebar, pa.
Aku tak siap bila harus keluar rumah dan mendapati banyak orang menggunjingku.
Aku tak siap......
Aku takut.....
Aku..........."
"Ssttt.... sudah papa bilang papa akan mengurusnya".
Jelita ikut serta menenangkan putranya yang kacau.
"Sekarang kau harus habiskan makanmu."
"Mama..... Papaa.....".
"Ya?".
"Aku ingin pindah kuliah ke luar negeri.
Aku tak akan sanggup bila bertahan di sini dengan harga diri yang telah di injak wanita se-kejam Dita".
🍁🌻🌻🌻🍁
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!