"Dia adalah salah satu karyawanmu di kantor pusat".
Kalimat Saraswati yang tidak lain adalah neneknya itu terus terngiang ditelinga Tian sejak kemarin seperti sebuah mantera ajaib.
Menghantui pikiran Tian seperti sebuah mimpi buruk, membuat Tian tidak bisa tidur nyenyak semalaman, dan menjadi buah pikiran Tian hingga pagi ini.
Sebastian Putra Djenar.
Ceo pewaris tunggal kerajaan bisnis raksasa Indotama Group, pemilik anak perusahaan diberbagai bidang yang merambah berbagai bisnis-bisnis besar di negeri ini.
Gambaran sempurna seorang pengusaha muda yang tampan, kaya raya, cerdik, dan tentu saja berkuasa, sehingga banyak pengusaha yang mengincar untuk bekerja sama dengannya, dan setiap wanita berebut menggilainya.
Lelaki yang sering disapa Pak Tian itu memiliki kepribadian introvert dan berhati dingin, sama sekali bukan tipe orang yang mudah didekati.
Namun didalam hidup Tian, satu-satunya hal yang tak bisa ia kendalikan hanyalah sosok Saraswati, karena wanita tua itu seolah tahu betul bagaimana caranya membuat Tian tidak berkutik.
Seperti halnya pembicaraan kemarin, awalnya Tian mengira Saraswati hanya akan membicarakan perihal kemajuan bisnis beserta prospeknya dimasa yang akan datang seperti biasanya, saat wanita itu sengaja meluangkan waktu untuk berbicara dengan Tian.
Bagi Tian, Saraswati bukan hanya sebagai nenek namun segalanya.
Sejak kepergian orang tua Tian dalam kecelakaan kurang lebih dua puluh tahun yang lalu Saraswati telah membesarkan Tian, sampai dititik di mana Tian dirasa mampu memegang kendali penuh atas Indotama Group.
Perusahaan Indotama Group adalah kerajaan bisnis yang turun temurun yang bahkan sudah ada semenjak Tian belum ada di dunia.
Tapi ternyata justru ditangan Tian Indotama Group mencapai masa kejayaan, meskipun usianya masih begitu belia saat dengan terpaksa harus mengambil alih Indotama Group untuk pertama kalinya.
“Usiamu sudah tiga puluh satu tahun. Sudah saatnya kamu menikah, Tian.” Saraswati berucap to the point, tepat setelah Tian berbasa-basi menanyakan kabar kesehatannya seperti biasa.
“Menikah tidak ada dalam kamusku, Nek.” ucap Tian sekenanya. “Lagi pula selama ini aku belum pernah memikirkannya ...”
“Maka pikirkanlah kalau begitu..!”
“Tapi, Nek..”
“Karena kamu harus mempunyai keturunan Djenar untuk mendapatkan seorang pewaris.” Saraswati bersikukuh sambil melipat tangannya di dada, mulai menunjukkan sifat mengintimidasi seperti biasa.
“Keturunan Djenar? Pewaris?” Tian nyaris tertawa. “Bagaimana bisa, nek? Aku saja belum punya calon istri ...”
“Lalu apa saja yang kamu lakukan selama ini? Bermain-main dengan begitu banyak wanita tapi tidak bisa mendapatkan seorang pun calon istri ...?” Saraswati menatap Tian tajam. Seperti biasa wanita tua ini sangat pandai melemahkannya.
“Nek ... bukan begitu ..."
“Sudah kuduga, aku memang harus secepatnya turun tangan atas persoalan ini..!”
Bola mata Tian membulat sempurna, otaknya mereka-reka apa yang akan dilakukan Saraswati.
“Sepertinya sudah waktunya kamu tau bahwa sebelum meninggal, sebenarnya mendiang ayahmu sudah menentukan masa depanmu. Semasa hidup, ia telah menjodohkanmu dengan anak dari orang kepercayaannya. Awalnya aku tidak ingin memaksa, tapi melihatmu saat ini .... Haihhh ... Benar-benar tidak bisa diharapkan ..."
"Tapi Nek ..."
"Tidak ada tapi-tapian, cukup jalani saja keinginan mendiang ayahmu itu.” pungkas Saraswati acuh.
Tian yang mendengarnya nyaris tak percaya.
Bagaimana ini?
Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba mendengar kenyataan bahwa dirinya sudah dijodohkan dengan seorang wanita?
Astaga.. selama ini Tian mengira cerita tentang Sitti Nurbaya tidak akan pernah terjadi lagi di dunia nyata.
Tapi kenapa sekarang malah terjadi dalam kehidupannya ...!?
Tian memijat keningnya pertanda ia mulai pening menghadapi situasi saat ini.
Sungguh Tian tidak pernah sekalipun memikirkan tentang pernikahan, sekalipun wanita bukanlah hal yang asing dalam kesehariannya.
Memang benar ada begitu banyak wanita yang berseliweran dalam hidup Tian, tapi toh sejauh ini tak ada satupun yang membuatnya berpikir untuk menjadikan salah satu diantara mereka sebagai istri.
Tian juga merasa tidak membutuhkan seorang istri, apalagi jika harus memiliki keturunan dengan salah satu diantara mereka seperti yang diinginkan Saraswati.
Wanita dalam pandangan Tian selama ini tak lebih dari sosok makhluk indah, yang asalkan kau adalah pria yang memiliki uang, maka kau bisa membuatnya bertekuk lutut dan melakukan apa saja.
“Nek, mana mungkin aku bisa menikah dengan orang yang tidak aku kenal?”
“Aku kan sudah bilang dia salah satu karyawanmu."
"Tapi, Nek ..."
"Bukankah selama ini kamu juga sering berkencan dengan begitu banyak wanita tanpa mengingat namanya sama sekali ...? Jadi tidak ada bedanya kan..?"
Tian menghembuskan napasnya berat menghadapi sikap keras kepala Saraswati.
"Yang perlu kamu pikirkan sekarang cuma satu hal saja, bahwa keluarga Djenar butuh pewaris, yang tentu saja datangnya harus dari dirimu.” kilah Saraswati.
Tian memijit keningnya lagi dengan kalut. “Karyawan wanita di kantor pusat itu ada ratusan, Nek ... Lalu bagaimana aku bisa mengenalinya?”
"Kamu tidak perlu memikirkan apapun, biar aku yang akan mengatur semuanya ..."
Tian termanggu mendengarnya.
Untuk sesaat hanya hening yang ada diantara mereka, sebelum akhirnya Tian merasa sebelah pundaknya sedang diusap penuh kasih sayang.
“Kira-kira seminggu sebelum kecelakaan maut itu terjadi, ayahmu memutuskan untuk menjodohkanmu. Jadi mengertilah, Tian.. jangan pernah memintaku untuk tidak menjalankan keinginan terakhir putra semata wayangku karena aku tidak mungkin menolaknya, kau juga tidak ..."
“Baiklah, Nek..” ucap Tian pada akhirnya, dengan suara berat. Tak kuasa lebih lama melihat Saraswati yang biasanya enerjik kini duduk terpekur.
Begitu mendengar Tian berucap demikian, pancaran mata Saraswati langsung mengerjap cerah.
“Ahh Tian, sudah kuduga kamu pasti akan mengerti, kamu benar-benar cucuku yang baik hati ...”
Tian sedikit menyebikkan bibir melihat keceriaan Saraswati yang awalnya seperti batere lowbat yang tiba-tiba on bak mendapat asupan listrik full.
"Tian ... Nenekmu ini hanya mencoba mengabulkan keinginan mendiang ayahmu. Sejak awal ini juga terasa berat untukku dan asal kamu tau, aku pun sudah berusaha keras menentangnya. Aku merasa menjodohkanmu bukanlah keputusan yang tepat. Bahkan jika kelak kamu harus dijodohkan, akan lebih baik memilih salah satu putri para rekan bisnis demi kemajuan perusahaan, bukan dengan orang dari kalangan biasa. Tapi saat itu ayahmu terlalu keras kepala meskipun aku memaklumi bahwa ia juga memiliki alasan yang kuat atas keputusannya ..."
Saraswati menarik nafas sejenak, sebelum akhirnya kembali meneruskan kalimatnya.
"Kepergian ayahmu yang mendadak membuatku tidak memiliki kesempatan mengubah keputusan itu begitu saja. Mau tak mau aku harus menepati janjiku, Tian. Tolong pahamilah semua ini ...”
Tian menghembuskan napas berat, sedikit putus asa setelah mendengar penjelasan Saraswati yang begitu panjang, sadar bahwa apapun keberatannya seolah tidak bisa mengubah apapun.
“Apakah wanita itu juga sudah mengetahui tentang perjodohan ini, Nek?”
“Wanita itu sudah tau bahwa ayahnya akan menikahkannya dengan seorang pria. Yang ia tidak tau adalah bahwa pria itu kamu, Ceo ditempatnya bekerja.”
Saraswati terdiam sejenak, ingatannya menerawang. “Dulu ayah wanita itu adalah salah satu orang kepercayaan ayahmu. Ayahmu pernah memiliki hutang nyawa kepadanya, sehingga menginginkan kamu menikahi putrinya kelak ..."
Tian terpekur mendengarnya, diam seribu bahasa.
"Sekarang ayah wanita itu ada di kampung. Ia sakit-sakitan dan tidak bisa lagi bekerja. Dua hari yang lalu aku sudah menemuinya untuk memastikan semua rencana akad nikah kalian yang akan dilaksanakan minggu depan. Hanya akad nikah didepan penghulu tanpa ada resepsi.” Lalu Saraswati menatap Tian lagi. “Bukankah hal itu juga baik untukmu? Pasti kamu juga tidak ingin semuanya diketahui publik, kan..?”
Tian memejamkan matanya sejenak. Semua kalimat Saraswati masih begitu sulit untuk dicerna akal sehatnya.
“Nek, bagaimana mungkin kalian begitu yakin mengambil keputusan sepenting ini tanpa merasa perlu untuk membicarakannya terlebih dahulu dengan kami. Aku dan wanita itu, bukankah kami berhak memutuskan dan diberi kesempatan untuk ..."
“Sssstt … Diamlah. Wanita itu tidak sepertimu yang begitu banyak mengeluh. Dia justru lebih mudah diatur dari apa yang aku dan ayahnya pikirkan dan dia ikhlas menerima perjodohan ini. Lagipula ayahnya juga membutuhkan pengobatan yang intensif, Tian. Biayanya menurutku tidaklah seberapa, tapi untuk mereka itu adalah hal yang berkebalikan seratus delapan puluh derajat. Jadi berhentilah kamu mengeluh dan protes, anggap saja kamu sudah berbuat baik karena bisa mewujudkan keinginan almarhum ayahmu, sekaligus menolong kehidupan wanita itu dengan menanggung semua biaya pengobatan ayahnya juga. Tidak perlu khawatir, karena semuanya telah disepakati dengan baik. Pernikahan kalian akan dirahasiakan dari khalayak, tidak akan menjadi konsumsi publik.”
“Tapi Nek..”
“Tian, tolong hentikan semua aksi protesmu. Hidupmu tetap akan berjalan sesuai dengan keinginanmu dan aku bisa menjaminnya. Ini tidaklah sesulit yang kamu bayangkan, percayalah pada nenekmu ini. Aku yakinkan bahwa wanita itu adalah tipe penurut yang mudah diatur, aku yakin dia tidak akan menyusahkanmu. Tugasmu hanya satu, secepatnya memberikan keturunan untuk keluarga Djenar, selebihnya biar aku saja yang akan mengurus semuanya ..."
...
“Hhhh….”
Tanpa sadar Tian menghempaskan napasnya keras.
‘Ini gila!'
Desis Tian kesal saat kesadarannya kembali, sementara mobil yang dikendarai Sudir, sopir pribadi Tian sudah memasuki area kantor pusat Indotama Group.
Lagi-lagi, Tian memijit keningnya ...
Bersambung ...
Tian melangkahkan kaki memasuki gedung kantor pusat Indotama Group. Dibelakangnya sudah ada Rudi, Asisten pribadinya yang tadi menyambutnya di lobby begitu Tian turun dari mobil.
Seperti biasa Rudi dengan sigap memberikan informasi dan beberapa jadwal meeting penting yang akan dilakukan Tian hari ini, dan meeting dengan PT Atlas yang menjadi agenda terpenting.
Keberhasilan kerjasama Tian dengan PT Atlas menyangkut proyek dengan nilai milyaran rupiah. Sehingga, jika semuanya berjalan sesuai dengan yang direncanakan maka dengan sendirinya hal itu akan membuka peluang baru untuk proyek-proyek berikutnya yang tentu saja memiliki nilai yang lebih fantastis.
Berjalan kearah lift Tian tidak berhenti memijat keningnya. Memikirkan sejumlah agenda yang berseliweran di otaknya yang tentu saja menyita waktu dan pikiran, sementara disisi lain ia masih sulit mempercayai situasi yang sedang dihadapinya saat ini, yakni dipaksa menikah oleh Saraswati dengan seorang wanita tak dikenal.
Bagi Saraswati, selain mewujudkan keinginan almarhum ayah, hal yang tak kalah penting lainnya adalah terus melanjutkan mata rantai pewaris keluarga Djenar.
Indotama Group tentu saja membutuhkan pewaris, dan itu berarti keturunannya, anaknya, darah dagingnya sendiri.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa sejauh ini bercinta bukanlah hal yang begitu tabu untuk Tian, tapi selama ini Tian teramat sangat berhati-hati dalam perkara tersebut.
Tian tidak pernah ceroboh, dan tidak pernah membuat kesalahan setiap kali melakukan perbuatan terlarang itu, dan sekarang, Saraswati justru meminta dengan jelas agar Tian mau menikah dan memberikan keturunan Djenar yang sah dari dirinya!
'What the hell ... Ini benar-benar gila.’
Lengkaplah sudah bayangan buruk yang melintas di benak Tian.
Wanita itu adalah satu karyawan di kantor pusat.
Lalu ada dimana dia?
Seperti apa sosoknya?
Tersadar akan hal itu, posisi tubuh Tian yang semula berdiri tegak menghadap pintu lift yang belum terbuka tiba-tiba berbalik seratus delapan puluh derajat. Gerakannya yang tiba-tiba tentu saja mengejutkan Rudi dan beberapa orang karyawan yang berdiri tepat dibelakangnya kaget, apalagi kini Tian sudah menatap mereka satu per satu.
Tepat dihadapannya ada Rudi dan lima orang karyawan lainnya yang juga sedang menunggu lift terbuka, dua diantara mereka adalah wanita.
“Ada apa, Pak?” tanya Rudi mengerinyit.
“Tidak apa-apa.” Sahut Tian datar tanpa menatap Rudi.
Mata Tian mengawasi dua orang wanita dengan setelan rok mini dan blazer ketat. Kedua wanita itu serta merta langsung menunduk hormat sebelum akhirnya melemparkan senyum takjim padanya.
'Apakah wanita itu adalah salah satu diantara mereka?'
Pikiran Tian mereka-reka.
Tian menanggapi senyum keduanya dengan mengangguk kecil, pandangannya kemudian mengitari sekeliling.
Ada seorang wanita berada dimeja resepsionis dan beberapa wanita lainnya yang hilir mudik dengan kesibukan mereka masing-masing.
Lalu diantara mereka ... Dimanakah dia berada ...?
Tian memijit keningnya lagi.
Yah, memijit keningnya sendiri dengan dua jari yakni ibu jari dan telunjuknya itu memang sudah menjadi kebiasaan Tian sejak dulu. Kebiasaannya saat ia sedang memikirkan sesuatu dan memendam sesuatu.
Intinya Tian akan melakukan gerakan refleks tersebut saat berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan, bingung atau sedang menahan amarah, dan siapa pun yang tau dengan kebiasaannya itu pastinya akan dengan mudah membaca situasi hati Tian yang sedang tidak baik-baik saja.
Seorang wanita yang memeluk tumpukan berkas ditangan nampak mendekati lift dengan terburu-buru. Dapat ditebak ia akan menggunakan lift itu juga.
Saat menyadari kehadiran Tian yang menjulang tepat dihadapannya ia langsung menundukkan kepala penuh hormat kepada Ceo Indotama Group itu.
Gerakannya terlihat sangat kikuk, tak ada yang menyadari bahwa detik itu juga jantungnya langsung bertalu-talu.
Sama halnya seperti semua wanita yang mengenal seorang Sebastian Putra Djenar, dirinya pun selalu terpesona setiap kali menatap lelaki tampan yang tak lain bos-nya itu, hanya saja ia begitu tidak percaya diri untuk mengakui meskipun hanya dalam hati.
"Eh, ini bukannya berkas yang akan dipakai meeting sebentar dengan PT Atlas?” Rudi nampak memperhatikan berkas yang ada ditangan wanita itu.
“Iya Pak Rudi, ini sudah di copy sesuai jumlah yang bapak minta kemarin.” wanita itupun mengiyakan sembari mengangguk gugup, saat menyadari Tian ikut menatapnya lekat, membuat tubuhnya seolah ingin meleleh.
“Oke, kalau begitu langsung saja bawa berkas ini ke ruangan Ceo sekarang.”
"Baik, Pak.” mengiyakan lagi, tepat disaat pintu lift terbuka.
Dengan sigap ia langsung mengekor dibelakang Tian dan Rudi memasuki lift, sementara karyawan lainnya menunduk takzim sampai pintu lift tertutup kembali.
Tentu saja selain Rudi dan wanita yang diperintahkan tadi untuk langsung membawa berkas yang dibutuhkan, mereka tidak mungkin ikut masuk lift bersama Ceo dan harus menunggu lift berikutnya.
Didalam lift yang berisi tiga orang itu, Arini memilih berdiri di sudut.
Tidak ada yang bicara selama beberapa saat sampai pintu lift kembali terbuka.
Tian keluar dari lift, langsung menuju ruangannya diikuti Rudi sang asisten, sementara Arini dengan sigap tetap mengekor dibelakang.
Berada tepat dibelakang punggung Tian yang tegap membuat Arini merasa betapa aura lelaki itu begitu kuat. Saking kuatnya bahkan udara disekitarnya terasa dingin seolah ikut terintimidasi oleh kehadiran sosok rupawan itu.
“Rudi, sudah ada kabar belum dari Best Electro?” pertanyaan yang keluar dari bibir Tian memecah keheningan.
“Belum, Pak. Sudah beberapa minggu terakhir ini Pak Rico sangat susah dihubungi.”
“Hhh ...”
Tian membuang napasnya kesal sambil terus melangkahkan kaki menuju ruangannya.
“Kemarin maksa banget mau di acc, sekarang malah menghilang begitu saja.” rutuk Tian begitu seraut wajah Rico, Ceo Best Electro, salah satu perusahaan elektronik ternama di negeri ini melintas dibenaknya dan menambah kelam suasana hatinya di pagi ini.
Rico Chandra Wijaya adalah satu-satunya teman dekat Tian sejak kecil.
Mereka pertama kali bertemu dibangku Sekolah Menengah Pertama, dan terus bersama saat di Sekolah Menengah Atas, hingga mengambil kuliah pada jurusan yang sama juga di Harvard.
Dua bulan yang lalu Rico begitu gencar mengajukan permohonan kontrak kerja sama demi melebarkan bisnisnya yang bergerak di bidang elektronik.
Rico bahkan terang-terangan ingin memanfaatkan koneksi Tian selaku sahabat dekatnya untuk membantunya dalam hal ini.
Dewasa ini persaingan dalam pemasaran barang elektronik memang sudah sedemikian ketat. Ada begitu banyak perusahaan-perusahaan baru yang bergerak di bidang serupa dengan kwalitas barang dan harga yang sangat bersaing di pasaran sehingga dibutuhkan tekhnik yang jeli dalam mengungguli persaingan pasar.
Rico tau persis bahwa jika Tian ikut andil didalamnya, maka apapun persoalan dan kendala yang akan dihadapi pasti akan jauh lebih mudah menyiasatinya, hanya dengan berbekal nama besar Tian, Ceo Indotama Group.
Tapi yang membuat Tian jengkel sudah sebulan terakhir ini Rico telah menjadi sangat susah untuk dihubungi. Entah apa yang terjadi, Tian belum tau persis. Yang jelas sebelumnya tidak pernah sekalipun Tian kehilangan kontak dengan Rico hingga selama ini, mengingat Rico Chandra Wijaya adalah satu-satunya makhluk diatas bumi ini yang memiliki keberanian untuk mengganggu hidup Tian.
“Saya akan langsung memberikan informasi kalau sudah mendapat kabar dari Pak Rico,”
“Baiklah, secepatnya diinformasikan dan tolong kamu siapkan saja dokumen kontraknya. Prioritaskan juga semua urusannya.” meskipun dalam hati Tian dongkol setengah mati tapi kenyataannya ia tidak bisa mengabaikan begitu saja segala sesuatu yang berhubungan dengan si cecunguk Rico yang tak lain adalah sahabatnya itu.
"Baik, Pak Tian, saya mengerti.” Rudi mengangguk takjim.
Arini yang sedari tadi mendengar pembicaraan singkat itu hanya berdiam diri.
Arini tau bahwa yang dimaksud Tian dengan seorang lelaki bernama Rico itu adalah tak lain Rico Chandra Wijaya, Ceo Best Electro yang merupakan sahabat dekat sekaligus rekan bisnis Tian yang cukup sering datang ke kantor pusat Indotama Group.
Sosok Rico tak kalah tampan dengan Tian. Melihat mereka berjalan bersama ibarat sedang menyaksikan sepasang pangeran dari negeri impian yang sedang tersesat di bumi.
Arini terlalu sering menyaksikan setiap kali Rico Chandra Wijaya datang ke kantor pusat, pasti tidak pernah sekalipun melewatkan kesempatan untuk menebar pesonanya pada para karyawan cantik yang dijumpainya.
Sifatnya itu jauh berbeda dengan Tian yang justru terkesan sangat dingin kepada siapa saja, meskipun menurut kasak-kusuk yang sering Arini dengar bahwa mereka berdua sebenarnya sama saja, sama-sama piawai dalam hal wanita.
Tapi karena Tian mempunyai sebuah prinsip, yakni pantang baginya memiliki urusan serius apalagi skandal dengan karyawannya sendiri.
‘Tentu saja, pria selevel Pak Tian pastinya memiliki selera yang tinggi untuk seorang wanita. Mana mau menengok karyawannya sendiri? Apalagi karyawan dengan penampilan dekil seperti aku ...'
Arini berkutat dalam lamunan sambil tak henti menatap punggung kokoh dihadapannya diam-diam dengan tatapan memuja.
Sesampainya di dalam ruangan, Arini langsung menaruh tumpukan berkas tersebut diatas meja dan berniat akan undur diri tapi niatnya teralihkan oleh suara telepon genggam Rudi, asisten pribadi Tian.
Rudi meminta ijin Tian untuk mengangkat teleponnya yang berdering dan lelaki itu berjalan keluar, meninggalkan Tian yang duduk di kursi kebesarannya, dengan Arini yang masih mematung salah tingkah didepan meja Tian.
Arini baru akan membuka suara untuk pamit manakala sebuah suara berat telah lebih dahulu menghentikan niatnya.
“Siapa namamu..?”
Bersambung ...
“Nama saya Arini, Pak.” ucap Arini sambil menunduk takjim, bulu kuduknya meremang dan tubuhnya sontak berkeringat dingin.
Tenggorokan Arini seolah tercekat, namun ia tetap berusaha menatap sang Ceo yang juga sedang menatapnya dengan pandangan intens.
“Terima kasih sudah membawakan berkas ini.”
Basa-basi.
Padahal Tian hanya bermaksud untuk mengulur waktu dan menahan wanita itu agar tidak segera berlalu.
Tian masih penasaran, jangan-jangan justru inilah wanita yang dimaksud Saraswati.
Biasanya karyawan wanita yang bekerja di kantor pusat, rata-rata berpenampilan modis.
Tapi dikarenakan penampilan Arini yang terkesan terlalu biasa, maka secara tidak langsung wanita dihadapannya ini cukup berpeluang dari segi ciri-ciri calon istrinya yang digambarkan sepintas oleh Saraswati kemarin.
Pasti dibenak Saraswati wanita modelan begitu bisa lebih mudah diatur daripada harus berurusan dengan gadis-gadis manja, anak dari para kolega atau rekan bisnis mereka selama ini.
“Ohh ... Egh.. I-iya pak. Tidak apa-apa. Sudah menjadi tugas saya untuk melakukan apapun pekerjaan yang ada di perusahaan ini." meski awalnya sedikit tergeragap, tapi dengan menguatkan hati akhirnya Arini bisa juga mengucapkan kalimat berikutnya dengan mantap.
“Di bagian mana kamu ditempatkan?“
“Bagian administrasi keuangan, Pak."
Alis Tian sedikit terangkat. "Kalau begitu ruanganmu berada tepat diluar ruangan ini dong?"
"Iya, Pak, di salah satu kubikel diluar ruangan ini ..."
“Apa kamu sudah menikah?” masih terus saja bertanya tanpa sadar.
“A-apa?” Arini terhenyak mendengar pertanyaan tak terduga itu. Refleks ia menggeleng. “B-belum, saya belum menikah, Pak ...” Arini tetap menjawabnya meskipun risih.
‘Aku memang belum menikah, tapi lebih tepatnya akan segera menikah.'
'Tapi apakah penting harus menjelaskannya kepada Pak Tian sampai sedetil itu?'
'Ah, sepertinya tidak perlu ...'
Arini membatin, kepalanya refleks menggeleng kecil.
Sementara Tian yang baru tersadar agak menyesali pertanyaan konyol yang telanjur meluncur dari bibirnya.
‘Cih.. sedang apa aku ini ?’
Rutuk Tian dalam hati, menyesali sikap gegabahnya karena telanjur menginterogasi karyawan yang sedang berdiri gugup dihadapannya.
Entahlah.
Tian merasa bingung sendiri, mengapa ia terlalu bersemangat menginterogasi wanita yang sejujurnya benar-benar bukan ‘seleranya’, padahal belum tentu juga wanita bernama Arini ini adalah wanita yang dimaksud Saraswati.
Jumlah karyawan wanita di kantor pusat Indotama Group tidaklah sedikit. Dan yang terpenting ...
Untuk apa dia menjadi begitu peduli?
Menikah atau tidak ...
Beristri atau tidak beristri ...
Dirinya tetaplah seorang Sebastian Putra Djenar, pewaris tunggal Indotama Group yang tentu saja akan tetap menentukan jalan kehidupannya sendiri.
Hening.
Tian yang masih saja lekat mengawasinya membuat Arini semakin frustasi dan kesulitan bernafas.
'Ada apa dengan Pak Tian? Kenapa dia terus mengawasiku begitu lekat ...?'
Membatin lagi saat menyadari bahwa ini bukan sifat Tian yang seperti biasa.
Semua orang tau bahwa Ceo yang sering disapa Pak Tian itu tidak pernah begitu peduli pada bawahannya, sampai-sampai ia harus menanyakan namanya, di bagian mana dia ditempatkan, dan apakah dia sudah menikah atau belum.
Pak Tian yang mereka kenal selama ini adalah sosok lelaki maha sempurna dengan hati sedingin salju di kutub utara.
Pria itu bahkan tidak pernah terlihat begitu ingin bicara dengan karyawan biasa seperti dirinya.
Hanya asisten Rudi dan Vera sang sekretaris yang kelihatannya bisa berbicara dengan frekuensi sedikit lebih banyak dengan sang bos besar.
Alhasil jika sekarang Pak Tian seolah peduli padanya, maka bukan hal yang lebay kalau Arini merasa cenat-cenut baper tak karuan.
Tubuh Arini bahkan sedikit gemetar saat bersusah payah agar tidak ceroboh dan salah bicara.
“Maaf Pak, kalau sudah tidak ada lagi yang harus saya kerjakan saya mohon pamit untuk melanjutkan pekerjaan saya.” ucap Arini, lirih.
Tian sedikit terhenyak menyadari dirinya masih saja termanggu sambil menguliti wanita yang berdiri jengah dihadapannya.
Kepalanya sontak mengangguk, tapi dalam hati Tian mengutuk dirinya sendiri bahwa sebentar lagi mungkin ia akan benar-benar gila jika terus melakukan hal yang sama pada setiap karyawan wanita yang ada di kantornya.
Melihat anggukan itu dengan secepat kilat Arini beranjak keluar.
Begitu sampai dibalik pintu Arini pun mengusap dadanya yang berdetak kencang.
Oh, astaga ... Apa tadi itu?
Begitu merasa debaran jantungnya mulai netral Arini baru berani melangkahkan kakinya ke meja kerjanya, yakni di salah satu kubikel yang ada dilantai yang sama dengan Ruangan Ceo.
Selama kurang lebih tiga bulan bekerja, sejauh ini Arini hanya bisa mencuri-curi pandang saat bos-nya itu keluar-masuk ruangannya.
Pun jika tirai yang menjadi sekat ruangan berdinding kaca itu terbuka, Arini dan beberapa karyawan wanita dilantai lima belas itu akan merasa beruntung dengan hanya diam-diam mengamati sang bos besar dari luar ruangan, meskipun moment langka tersebut begitu jarang terjadi.
Saking jarangnya bisa diibaratkan seperti oase di padang gurun.
Ini adalah kali pertama Arini berada begitu dekat dengan Pak Tian dan berinteraksi langsung.
Arini merasa geli sendiri, menyadari betapa konyol dirinya begitupun semua karyawan wanita yang ada di kantor pusat ini.
Mereka selalu memendam histeris setiap kali melihat sosok Tian, padahal sedikitpun Tian tidak pernah memperhatikan karyawan biasa seperti mereka secara khusus.
‘Mimpi saja..’
Arini kembali tertawa dalam hati, sambil menghempaskan tubuhnya dikursi.
“Kamu kenapa, Rin?" Meta, rekan kerja Arini yang meja kerjanya bersebelahan pas dengan mejanya menatap Arini dengan tatapan penuh selidik.
Arini menggeleng sambil tersenyum pada sahabatnya itu. “Tidak apa-apa kok ...”
“Idih, bisa ya segitu hepi habis melihat wajah Pak Tian dari dekat ...”
“Sssttt …” Arini melotot mendapati senyum menggoda Meta.
“Hi ... Hi ... Hi ...” Meta terkikik kecil.
“Sudah gila ya, yang ada jantungku tadi hampir copot tau ...”
Arini merenggut, membuat Meta semakin terkikik geli.
“Pake ketawa lagi ... Kerja ... Kerja ...”
“Iya deh, maap ...” Meta malah sengaja menggoda Arini lagi sambil mengedipkan matanya, dan sebelum Arini melotot judes, Meta sudah terlebih dahulu kabur dengan cara membenamkan kepalanya di dinding kubikel.
Arini yang tersenyum melihat tingkah konyol Meta, akhirnya memilih untuk kembali meneruskan pekerjaannya.
XXXXX
Sementara itu ...
Didalam ruangan Tian masih duduk di kursinya. Menatap tumpukan berkas yang dibawa gadis bernama Arini tadi. Benaknya mereka-reka lagi.
‘Arini. Apakah dia?’
Dengan outfit celana capri bahan kain serta atasan bewarna senada. Wajah mungil gadis itu terlihat alami tanpa make up berat, rambut hitamnya sedikit bergelombang, lagi-lagi tidak seperti wanita jaman sekarang yang lebih suka mewarnai rambut dan meluruskannya.
Tubuhnya lumayan proposional, tapi memang penampilannya agak ... Kampungan.
Bahkan untuk standar seorang karyawan kantor pusat Indotama Group penampilannya terkesan terlalu biasa.
Lalu bagaimana wanita seperti itu bisa menjadi istri dari Sebastian Putra Djenar?
Tian merutuk, terlebih saat menyadari ia bahkan lupa menanyakan nama wanita itu pada Saraswati.
Lalu apa saja yang ia lakukan sejak menginjakkan kakinya di kantor ini ...?
Dengan bodohnya mereka-reka setiap wanita yang dijumpainya!
Baru kali ini Tian merasa telah melakukan hal konyol dengan level keterlaluan.
“Bodoh.” umpatnya perlahan, tak tertahan lagi.
Tian menatap keluar, saat ia tersadar tirai yang biasa menutup dinding kacanya terbuka, tanpa sengaja ia melihat Arini yang sedang menghampiri salah satu kubikel yang dengan sendirinya menandakan bahwa disitulah letak meja kerjanya.
Tian bahkan merasa seperti tidak pernah melihat sosok Arini sebelumnya.
Ternyata wanita itu benar-benar bekerja di lantai yang sama, dan sosok itu telah membuat Tian tercenung sesaat sebelum akhirnya tersadar mengapa sekarang ia malah mengawasi gerak gerik Arini terus menerus.
“Rudi, tolong tutup tirainya.” ucap Tian, kesal.
“Baik, Pak.” Rudi yang baru saja masuk ke ruangan itu dengan sigap meraih remote kecil dan menekan salah satu tombolnya untuk menutup tirai ...
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!