*Untukmu yang tercinta, terimakasih telah hadir sebagai pelengkap cintaku.
Terimakasih kau telah menjemput perempuan sederhana dengan cinta sempurna nan halal itu.
Melalui kisah yang tak banyak orang tahu
Hanya do'a sebagai perantara rindu
Akhirnya dengan izin Allah kita bersatu.
Semoga kisahku dan kisahmu tak lenyap oleh waktu.
Tertanda dariku
Kekasih halalmu*
✿✿✿
Cinta, tersusun dari beberapa huruf namun luas maknanya.
Cinta? Menurutku fitrah yang tak seharusnya luntur menjadi fitnah, karena kehadiran setitik cinta mampu mengubah seseorang yang kasar menjadi lembut di depan kekasihnya.
Dan cinta dengan sejuta kata-kata yang banyak orang definisikan.
Membahas definisi cinta. Bagiku definisinya adalah dia. Entah kenapa setiap kali mata terbuka untuk pertama kali di pagi hari, melihatnya membuat aku mengerti hakikat cinta yang sesungguhnya.
Dia yang kini telah menjadi imamku, dia yang telah menyempurnakan separuh agamaku.
Dia yang tak ku sangka adalah orang yang diam-diam memperhatikanku,
seperti sekarang.
"Jangan memandang dari kejauhan, ketahuan kok," sahut ku yang memang melihatnya melalui ekor mata. Ia sedang berdiri di belakangku dengan kedua tangan di masukkan ke saku celana.
Aku yang hendak memutar tubuh terlonjak kecil ketika ia dengan cepat memeluk tubuhku dari belakang. Aku tersenyum malu.
Ia menumpangkan dagunya pada bahuku.
"Hari ini mau kemana?" tanyanya dengan berbisik.
"Hm?"
"Mau kemana?"
Aku mengernyit, bukannya seperti biasa harus ke rumah sakit. Dia tidak amnesia dengan pekerjaanku bukan?
"Ke rumah sakit," jawabku yang tak lama ia menguraikan pelukannya. Kini aku bisa bernafas lega, entah kenapa setiap kali ia memperlakukanku seperti ini rasanya hatiku berdebar-debar.
Kita saling berhadapan. Hal yang ia minta setiap pagi selama dua menit. Aku tertawa kecil, lalu mengangkat tangan dengan lima jari dihadapannya.
Ia pun tersenyum, mengangkat tangan lalu menautkan lima jarinya disela-sela jariku.
"Saya berasa sedang di depan Kakbah yang suci," ungkapnya. "Memandang kamu, dan mengaitkan tangan seperti ini sama saja sedang menyentuh hajar aswad, berguguran dosa kita."
Lagi-lagi pipiku merona dibuatnya.
Dia memang seperti jelmaan rollercoaster, setiap detiknya membuat jantungku berdebar atau kadang ia seperti blush on yang membuat pipiku mendadak blushing?
Mataku kini terkunci dengan mata bulat besarnya, bulu mata lentiknya yang idaman, wajah kalem dan senyumnya yang menenangkan dari -- dulu.
Tahu tidak aku kini seolah berada di depan pangeran. Pangeran yang telah datang dengan jiwa ksatria meminangku di depan rajaku yaitu ayah.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan pagi dulu buat lepas penat?" tanyanya karena sejak tadi aku terdiam sambil menahan degupan di dada.
"Hmm boleh, tapi aku mau selesain masakannya dulu. Nanggung," cicitku kecil.
"Yasudah kalau begitu biar aku yang bantu."
Tangannya beralih mengambil spatula yang berada di sebelahku.
Aku tersenyum, teringat kisah Rasulullah yang membantu pekerjaan istrinya. Kisah romantis dimana memasak sarapan berdua.
"Awas itu nanti kena tangannya," kataku mengingatkan.
"Sssstttt, udah biasa ini mah kecil," katanya dengan sombong.
Sesekali aku tertawa kecil ketika ia dengan gugup memasukkan ikan ke dalam minyak panas.
"Biar aku aja," kataku beralih mengambil wadahnya. Dengan pasrah ia menyerahkan piring berisi ikan yang masih mentah.
"Kalau setiap hari kamu seperti ini, tangan kamu bisa melempuh," ucapnya khawatir dan meraih kedua tanganku yang sudah menyelesaikan masakan.
Aku menghadap padanya dengan seutas senyum.
"Gapapa, asal ini bisa jadi bukti nanti di akhirat. Bukti kalau aku sebagai istri yang berbakti kepada suaminya."
Dia melempar senyum kembali, tangannya terjulur mengusap lembut puncak kepalaku. Dan dalam keadaan bersamaan kami saling mengucapkan.
"Assalamualaikum, pengagum rahasiaku.... "
*Dari yang semula bukan siapa-siapa, kini berubah menjadi topik paling menarik yang selalu ku perbincangkan dengan Allah dan semesta.
-Assalamualaikum Pengagum Rahasia*-
✿✿✿
Brukkk!!
Seketika aku tersungkur jatuh karena tidak bisa menahan keseimbangan tubuh pada seseorang yang baru saja menabrak ku pagi ini.
"Eh sorry sorry," katanya dengan terburu-buru.
"Oh iya gapapa."
Aku mencoba berdiri, mencoba terlihat baik-baik saja. Tidak, aku bukan perempuan lebay yang hanya disenggol sedikit langsung meringis tak karuan seperti di kisah-kisah FTV.
Tatapan kami bertemu sepersekian detik sebelum sama-sama kembali membuang pandangan ke arah lain.
Ah dia. Bisa-bisa jantungku jatuh di tempat jika harus berhadapan seperti ini.
Aku berdeham kecil, mencoba menguasai diri sebelum kembali memandangnya. Tidak, aku tidak menatap tepat padanya. Aku menatap ke objek samping dia.
"Sans, aku gapapa," kataku lagi karena menangkap sedikit rasa bersalah diwajahnya.
"Beneran?" tanyanya dengan nada khawatir membuat aku kembali mengangguk.
Tolong, jangan terlalu baik dan perhatian padaku. Sebab hal itu membuat aku semakin berharap dan candu.
Bentar, ini kenapa jantung aku berdebar-debar ya? Yaiyalah kan aku hidup. Gimanasih?!
"Yaudah gue duluan ya," pamitnya yang hendak melangkah jadi terhenti ketika namanya dipanggil temannya yang baru saja datang membawa tas ransel yang hanya ia sampirkan di satu bahu.
"Fariz.... "
Ya, namanya Fariz Muhammad.
Fariz berbalik badan dan melambaikan tangan. Mereka saling bertos-ria ala anak lelaki. Membuat aku merasa seperti pajangan di sudut sekolah.
"Gimana tanding basket kemarin?" tanya Kevin pada Fariz. Fariz adalah kapten basket sekolah, ia memiliki rahang tegas dan tubuh atletis yang siapapun pasti mengaguminya. Termasuk aku. Ah tidak, sebenarnya aku tak hanya mengagumi fisiknya. Tapi mengagumi bagaimana cara ia bersikap dengan perempuan.
Salah satu hal yang membuat aku tertarik dengannya pertama kali yaitu ketika berbicara dengan lawan jenis dia menunduk, seolah bermaksud menjaga pandangan.
"Alhamdulillah menang," jawabnya santai disertai senyum khasnya.
Dengar, dia bahkan mengucapkan 'alhamdulillah' saja terdengar menyentuh qolbu.
Entah kenapa aku menangkap sedikit pergerakan anak bernama Kevin itu mencuri pandang padaku. Melihat wajahnya walau sekilas saja membuatku muak sebenarnya.
Kalau aku mengagumi Fariz, maka hal itu terjadi sebaliknya pada Kevin. Aku membenci pria tersebut.
Kejadian lalu masih berbekas dan aku? Ya aku memang dikategorikan orang pendendam. Sebenarnya aku masih bisa memasang wajah tenang seperti sekarang seolah tidak apa-apa. Tapi tetap saja ada rasa ingin menghindar dan menjauh.
Sialnya kami harus satu sekolah lagi.
Aku kembali melirik Fariz yang sedari tadi matanya bergerak linglung. Dia bahkan ingin segera beranjak dari tempat ini.
Aku merasa ia tak tenang karena sikapku yang mendadak dingin dan diam setelah kedatangan Kevin.
Fariz sudah mengetahui segalanya, bahkan ia juga masuk andil dalam kejadian tersebut.
"Besok libur ke rumah gue nge-game kuy!" ajak Kevin pada Fariz.
Belum kelar satu, satunya lagi muncul ke permukaan air.
"Hay, Bro!" sapanya pada mereka berdua.
Fariz hanya mengangguk sebagai tanda sapaan balik. Ia menepuk kecil bahu Afran.
"Assalamu'alaikum, Fran!" katanya pelan dengan ironi.
"Eh oh iya, waalaikumsalam," saut Afran malah cengegesan dengan wajah tanpa dosa. "Suka lupa," lanjutnya meringis.
Fariz malah tersenyum tenang, "yaudah lain kali salamnya pakai 'Assalamu'alaikum', Fran!" katanya mengingatkan lagi.
Afran langsung mengangguk mengiyakan dan mengangkat dua jempolnya bertanda setuju. "Siapp!"
Ya Allah, tolong kuatkan imanku.
Fariz, benar-benar definisi lelaki sholeh yang selalu menjadi topik pembicaraan di sepertiga malam.
Aku mengerjap kecil, merasa ada sesuatu yang mengganjal.
Astagfirullah, aku kan harus ke kelas. Kenapa jadi berdiam diri mendengar pembicaraan mereka?
"Eung, aku ke kelas dulu ya. Assalamu'alaikum," pamit ku segera melangkah pergi menuju tangga yang menghubungkan ke deretan kelas 11 IPA. Dan aku salah satu penghuni kelas unggulan, yaitu 11 IPA 2.
"Ah siap-siap. Waalaikumsalam, jangan nyasar ya," sahut Afran dengan lambaian tangan. Padahal aku tidak sedekat itu dengan dia.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis sebagai respons.
Aku terus berjalan melewati koridor kelas sebelas dan pada akhirnya sampai di depan pintu kelas.
"Assalamu'alaikum, Mamah," sambut riang dari cewek bertubuh mungil tersebut. Namanya Laili, cewek dengan kulit putih dan baby face-nya membuatnya lebih pantas disebut anak SD.
Aku sedikit mendengus saat menjawab salam. Hampir badmood tapi karena ingat sebelumnya aku sudah bertemu dengan vitamin pagi jadi ku urungkan untuk menekuk muka pada Laili.
Oke, aku memang suka jadi motivator dadakan. Anak sini suka curhat sekaligus meminta pendapatku mengenai asmara mereka masing-masing. Tapi bukan berati aku langsung iya-iya saja dipanggil Mamah. Dikira aku Mamah Dedeh.
Eh tapi gapapa, kan Mamah Dedeh juga panutan kaum perempuan.
Aku melangkah menuju bangku sembari menahan senyum. Lebih tepatnya senyum karena tertubruk tadi.
Aneh, ditubruk malah aku suka dan mengingatnya!
"Sa, Lisa," panggil Laili heboh membuat aku menoleh. Seolah aku dengan senang hati mempersilakan Laili bercerita seperti biasa.
"Hatiku, Sa...." rengeknya seperti biasa.
"HUAAA HATIKU AMBYARRRRRR," lanjutnya langsung histeris membuat aku menarik diri kaget dan beberapa teman yang lain dengan kompak menoleh pada kami berdua.
Aku meringis bingung. Lalu tak lama mereka kembali menghadap semula. Ada yang antusias menatap hape, ada yang menyalin tugas harian dengan kecepatan flash dan lainnya. Aku tak terlalu peduli.
Setelah itu Laili memukul meja dengan gemas merasa frustasi sendiri. Aku menoleh menghadap Laili sepenuhnya.
"Istighfar, Li," kataku sembari mengusap punggungnya pelan.
Kakinya menghentak-hentakkan di lantai, dengan pipi yang digembungkan dengan kesal.
Iya, berasa dia lagi kesurupan kalau sudah seperti itu.
Fyi, Laili suka random di pagi hari seperti sekarang apalagi jika sebelumnya ada momen yang membuat ia ambyar tak karuan seperti sekarang.
"Kenapa sih?" tanyaku sembari menarik kursi mendekat pada Laili yang berada di samping bangkuku.
Tempat duduk yang setiap harinya pindah membuat aku harus berangkat pagi agar tidak dapat di kursi belakang. Takutnya tidak jelas kalau guru menyampaikan materi.
"Gue, Sa," lirihnya menjadi sendu. Kalau seperti ini aku merasa kasihan.
"Gue, gue ... di DM sama mantan terindah GUEEE KYAAA," lanjutnya kembali frustasi. "Nyebelin tahu gak!?"
Aku mengerjap kecil, bingung tak tahu harus apa.
"Waktu itu aku udah nyuruh kamu buat block diakan kalau mau move on," sahutku singkat. Ini yang paling tidak aku suka. Mana ada namanya mantan terindah? Kalau terindah ya ga mungkin jadi mantan!
Laili mengangguk membenarkan.
"Terus kenapa ga dilakuin malah sampai dia DM kamu lagi?"
Tak ada jawaban, hanya gumaman yang ia lontarkan.
"Masih sayang ya?" tanyaku hati-hati.
"Ga, ah udahlah bodoamat," sahutnya berdiri dan beranjak pergi meninggalkan aku yang ternganga tak paham.
Laili itu sekali-kali dibiarin aja, kalau dipeduliin akhirnya ninggal kayak gini. Kan tadi mau ngasih petuah biar move on!
Eh bentar, kok jadi aku yang kesel?
✿✿✿
"Jadi?" tanya Laili menatap kami bergantian. Dimana Nadya yang berada di depan bangku Laili menoleh ke samping, Zaskia yang maju mendekati bangku antara Laili dan aku, sedangkan Syifa yang menghadap belakang dimana tempat duduknya tepat di depanku.
Kita berempat saling melempar tatapan, bersiap mengeluarkan pendapat pada satu orang.
"Lo harus block dia!" usul Nadya langsung ku angguki setuju.
"Lo ga usah bales DM dia!" usul Zaskia tajam.
"Lo -- eung ayok solat dhuha aja kuy!" ajak Syifa langsung berdiri membuat sesi diskusi selesai begitu saja.
"Lah ini hati gue gimana?" rengek Laili membuat kami berempat menghela nafas sabar.
"Buang aja ke rawa-rawa. Udah ga berfungsi kayaknya," kata Zaskia dengan pedas. Kami tertawa mendengar hal itu.
"Lo semua sih pada ga tau rasanya disapa mantan yang masih gue sayang," elak Laili gemas.
Zaskia tertawa meledek. "Mantan kok di sayang, tuh ada yang ngincer lo. Lo malah gamon sama mantan ga tau diri kayak dia."
Kenapa Zaskia menyebut mantan Laili ga tau diri? Karena Laili diselingkuhi, tapi anehnya Laili masih sayang.
"Udahlah, Li. Move on aja, ga usah pacaran juga, ga baik. Ga ada di islam itu pacaran," kataku akhirnya mengeluarkan pendapat.
"Ya lo enak ga pernah pacaran jadi ga tau rasanya sakit hati pas diselingkuhin dan masih sayang walau dia mantan."
Aku terdiam. Sakit hati? Kejadian itu saja masih berbekas.
"Ih apa sih susahnya? Ngapain masih ngasih jalan buat mantan tapi ga ngasih jalan buat yang baru," omel Zaskia sudah merasa gemas pada Laili. Sedangkan aku hanya terkekeh geli sembari merapikan alat tulis ku yang berserakan diatas meja dan bersiap menuju musola untuk solat dhuha.
Zaskia, yang terkenal dengan julukan mean girls-nya itu membuat Laili langsung mengatupkan bibir takut. Zaskia dengan sejuta kata pembangun kehidupannya.
Kalau diikutkan lomba ahli motivator, Zaskia lah orang yang akan mendapatkan juara pertama dibanding aku. Tapi karena sifat tegas dan terkesan galak membuat anak yang lain menarik diri tidak jadi curhat.
Dan pada akhirnya mereka sering meminta petuah dariku.
Kami berlima berjalan bersama seperti biasa.
Seperti biasa, aku harus kembali menyiapkan jantung agar berdetak normal saat bertemu dia nantinya. Mataku menyorot setiap sudut musola termasuk teras bagian anak laki-laki. Benar saja, tatapan kami tak sengaja kembali bertemu.
Aku segera menoleh, menyusul mereka yang sudah masuk tempat wudhu.
Hm itulah kenapa aku mengagumi sesosok Fariz. Dia memang kapten basket, tapi dia orang yang berbeda yang aku temui dijaman sekarang. Dimana mereka laki-laki suka nongkrong di kafetaria ataupun sedang bermain di tengah lapangan basket, tapi Fariz memilih melaksanakan solat sunah seperti sekarang.
Dan oh iya lupa, bagaimana aku bisa mengaguminya jika satu kelas pun tak pernah? Fariz anak kelas 11 IPS 1 dimana kelas tersebut berada di kelas bawah 11 IPA.
Dulu waktu awal kenaikan kelas sebelas aku lebih sering duduk ditangga yang menghubungkan langsung dengan lapangan basket. Sewaktu itu aku tidak begitu suka harus berada di kelas 11 IPA 2. Para sahabatku berpisah. Seperti Zulfa, Faniya, dan Cece mereka masuk jurusan IPS. Sedangkan aku hanya masuk IPA sendirian.
Karena dulu keseringan bareng dengan mereka yang setiap pagi duduk ditangga dan memperhatikan anak basket sedang latihan, jadi setiap kali ada waktu kita masih barengan melakukan hal tersebut.
Sampai pada akhirnya pandanganku jatuh pada sesosok yang mempunyai tubuh atletis, rahang yang tegas, dan kelihaiannya dalam memasukkan bola basket.
Awalnya mungkin ini bisa disebut aku kagum karena luarnya saja.
Keren bermain basket maksutnya.
Tapi entah kenapa karena kejadian yang melibatkan aku, Kevin, dan dia membuat aku menjadi paham dalam dirinya seperti apa.
Selain keren nyatanya ia yang paling kalem dan tidak neko-neko seperti anak basket lainnya yang suka nempel sana-sini. Dia lebih sering di musola dibandingkan di lapangan basket yang hanya untuk menarik perhatian kaum hawa.
Terkadang Faniya yang memang satu kelas dengannya seolah menjadi sumber informasi ku tentangnya saat ia berada dalam kelas. Mungkin dari segala informasi yang diberikan Faniya ia bukan tergolong murid aktif, dia pendiam dan hanya menyeletuk ringan. Tipe-tipe orang yang anti kena masalah.
Kita memasuki musola, mengambil mukena masing-masing dan bersiap solat dhuha.
Selesai itu.
"Gue ke kantin dulu ya," pamit Nadya bersama Laili membuat aku, Syifa, dan Zaskia mengangguk.
Zaskia yang sibuk membenarkan tali sepatunya, sedangkan aku entah kenapa mataku selalu terfokus pada lelaki yang kini menghadap ke depan juga membenarkan tali sepatunya dan aku hanya berani memandang punggungnya saja.
✿✿✿
🍃Assalamu'alaikum 🍃
Ini alurnya flashback ya kalau ada kata MASA SMA. Tq.
*Yang memang untukmu tak akan pernah pergi meski tidak pernah digenggam
-Assalamu'alaikum Pengagum Rahasia*-
✿✿✿
Aku berjalan menyusuri rak buku perpustakaan, karena jamkos jadi aku lebih suka menghabiskan waktu di ruang ini bersama mereka berempat.
Ada Nadya, Syifa, Laili, dan Zaskia. Entahlah hanya mereka yang biasa mengelilingiku. Kami akrab pun di awal kelas 11. Tapi sudah benar-benar lengket tak ada yang ingin ditinggal satu orang pun.
Mungkin kebanyakan orang melihat kita seperti kelompok tersendiri, termasuk teman-temanku yang satu kelas. Sering menatap kami berlima dengan sinis jika memasuki kelas setelah jam istirahat. Kata mereka kita itu semacam geng. Padahal biasa saja.
Kata mereka kita berlima menyisihkan yang lain, yang tidak pintar. Padahal di sini menurutku yang disisihkan oleh mereka adalah kita berlima.
Tak apa, setidaknya kami masih welkam dengan mereka yang ikut bergabung seperti mengerjakan tugas bersama. Walau terlihat bersama, kami tidak pernah merasa keberatan saat menyebar pembagian kelompok tugas.
"Kak Fariz ntar yang susun bagan pertandingan basketnya ya. Soalnya aku harus nyusun bagian pertandingan olahraga yang lain."
Aku terhenti setelah mendengar suara samar-samar di dekatku. Mataku menyusuri dan menangkap disudut sana ada dua orang berhadapan saling berbincang. Fariz dan perempuan yang sepertinya bukan satu angkatan denganku. Tapi wajahnya familiar.
Ah, Dila. Adik kelas yang menjabat sebagai Osis. Tidak heran jika mereka berbincang apalagi masalah pertandingan untuk classmeeting pekan depan. Tapi apa harus sedekat itu, aku menangkap wajah Fariz yang agak risau.
Dia tidak nyaman bukan dekat dengan perempuan yang tidak mahramnya?
Aku kembali tersenyum, poin lebih.
"Kak Lisa," panggil Dila membuat aku terlonjak kecil. Lalu menoleh berusaha menguasai diri. "Sini, Kak. Ada yang mau aku omongin," katanya memanggil dengan lambaian tangan.
Akupun melangkah mendekati mereka. Sedangkan Fariz menunduk kembali membaca buku yang ada di depannya.
Apa aku udah ketahuan sama dia tadi sempat mengintip ya? Ya Allah, memalukan sekali!
"Kak Lisa bisa bantuin aku enggak? Aku bener-bener bingung cari waktu. Bakalan ada seminar dua hari lagi di sekolah, tapi aku juga punya tugas buat bagan pertandingan classmeeting, itu aja aku bagi sama Kak Fariz," kata Dila sudah mendaftar kegiatan yang menyibukkannya.
"Hm insyaAllah ya, bisa diatur."
"Sip deh, Kak. Makasih ya sebelumnya, oh iya ntar juga bisa ngajak Kak Ali buat mengkoordinir," kata Dila menyebutkan salah satu anggota OSIS lagi. Yang ku ingat kedudukannya sebagai sekretaris OSIS, aku tidak begitu akrab karena aku juga masih OSIS beberapa bulan lalu. Itupun harus dipaksa Zaskia untuk ikut daftar OSIS angkatan tahun ini.
Kenapa ia tidak memberikan tugas membuat bagan pertandingan saja, biar aku ada bahan obrolan dengan Fariz.
Ah, astagfirullah. Lisa, kamu berpikir keterlaluan. Tidak. Tidak boleh!
Fariz berdeham, aku dan Dila kompak menoleh.
"Gue duluan ya," katanya berdiri, bersiap untuk pergi.
Hm. Selalu seperti itu.
Begini saja ia merasa tidak nyaman, apalagi jika benar Dila memberikan tugas padaku untuk menyusun bagan bersamanya. Ku rasa ia tak akan betah.
Fariz, andai kamu tahu aku di sinilah yang terlalu berharap lebih pada lelaki baik sepertimu.
"Oke, jangan lupa bagannya serahin ke aku besok," kata Dila memperingatkan. Sedangkan Fariz mengangkat jempolnya sembari tersenyum ramah.
Ku ulangi, sembari tersenyum ramah. Tapi arah pandangan matanya tidak menuju Dila tepat.
Tapi ia tak melempar senyum itu padaku, lebih tepatnya hanya pada Dila.
Aku melirik kepergian Fariz sampai pintu masuk perpustakaan. Lalu menoleh ketika Dila berdeham kecil. "Kak Lisa, nanti nemuin Kak Ali di kelas ya, kayaknya dia jarang keluar dari kelas kalau ga ada kegiatan atau panggilan dari Osis."
Aku tersenyum lalu mengangguk, gadis ini sangat aktif bahkan saking aktifnya ia hampir mengetahui segala kegiatan seluruh siswa di sekolah ini.
Dia adik kelas, yang mempunyai paras cantik dan cekatan dalam mengerjakan sesuatu. Tak heran ia juga banyak kenalan sekaligus bisa jadi idola diangkatannya. Banyak kakak kelas yang mengincarnya dan sering menyebutnya sebagai degemable.
Tunggu, banyak kakak kelas yang menyukainya. Lalu, apakah Fariz termasuk dalam golongan itu?
✿✿✿
Aku memandang layar laptop dengan pandangan kosong. Setelah mengetik beberapa untaian kata dan tentangnya kembali teriang.
Entah sejak kapan aku menjadi sepuitis ini, yang kutahu hanya Fariz yang menjadi tokoh dalam ceritaku, dalam sajakku, dan dalam untaian do'a sepertiga malamku. Tak ada kata bosan bahkan merasa lelah.
Tidak tahu jika suatu saat nanti Allah memberikan waktu lelah padaku secara tiba-tiba, setidaknya aku sudah siap.
Aku hanya mengagumi sosok lelaki soleh tersebut karena Allah, aku mengaguminya cukup dalam diam. Menyampaikan keinginanku hanya pada Sang Pemilik Hati, bukan yang dititipkan hati.
Astagfirullah, bukannya aku harus mengabari Ali untuk acara seminar di sekolah. Ah, kenapa jadi lupa seperti ini.
Aku segera mengambil handphone yang berada di dekatku. Mencari kontak Ali lalu mengetikkan pesan padanya.
[Room-chat]
Elisa: Assalamu'alaikum
Ali: Waalaikumsalam, ada apa?
Elisa: Aku ditunjuk sebagai panitia buat acara seminar yang bakal diadain di sekolah, kamu bisa bantu buat koordinir?
Ali: Siap
Aku terdiam, tak ada niat untuk membalas pesannya lagi. Tapi kalau dipikir-pikir dia cekatan juga saat membalas pesannku. Dia banyak waktu luangkah?
Aishh. Kenapa jadi memikirkan soal Ali.
Tak lama aku menutup laptop, mengambil air wudhu setelah itu berniat untuk tidur. Tetapi baru saja mematikan lampu utama, handphoneku bergetar memunculkan notifikasi.
[Room-chat]
Ali: Sudah tersusun semuanya, besok tinggal jalanin
Satu pesan dari Ali. Aku meneguk ludah, merasa tak enak dengannya. Bagaimana bisa aku yang diberi amanah namun orang lain yang mengerjakan semuanya?
[Room-chat]
Elisa: Kok disusun sendiri?
Ali: Kelamaan kalo saling nunggu
Elisa: Oh ya udah. Maaf ya btw
Ali: Sans, tadi ga ada tugas. Jadi nyusun acaranya aja
Elisa: Sekali lagi maaf ya, jazakallahu khairan
Ali: Wa jazakillahu khairan.
Ali ga seperti dugaanku, ku kira dia anti sosial sekali karena jarang terlihat di luar kecuali acara Osis dan kegiatan penting saja. Cowok yang mempunyai postur tubuh tinggi, senyum yang pernah ku lihat sekilas namun terkesan manis, sikapnya yang sopan dan ramah terhadap siapapun. Tapi entah kenapa aku selalu mengira dia tak bisa diajak komunikasi seasyik ini.
Hm? Asyik?
Ah tidak, aku hanya terkesan sebagai teman. Tidak ada siapapun yang menggantikan posisi Fariz dalam do'aku.
Aku tergelitik, mengeluarkan room chat dengan Ali. Lalu beralih mencari kontak yang tertera dilayar handphoneku namun tidak ada history chat bahkan hampir tidak pernah.
Aku menyentuh bagian profilnya, sebuah bola basket hanya itu saja. Tak ada kesan apapun, cowok itu jarang menampilkan fotonya membuat aku kagum ia bisa menjaga diri sampai seperti itu.
Sedangkan aku, kini sedang berusaha untuk menjaga diri. Mencoba menahan agar tidak mempost foto selfiku. Bukannya tidak boleh mempost foto, apalagi untuk mengabadikan momen adalah tujuannya.
Terkadang ada niat yang berbeda, menurutku saat kita memposting foto sendiri ada hasrat muncul seolah membanggakan diri itu yang dilarang.
Tapi aku hanya manusia biasa, yang kadang suka atau ingin menunjukkan keunggulan diri. Dan aku menyadari hal itu.
✿✿✿
🍃Assalamu'alaikum 🍃
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!