Deer in the headlights
Met a girl in the parking lot
And all I did was say hello
Her pepper spray made it rather hard
For me to walk her home
But I guess that's the way it goes.....
*** Owl city**
"Mama," Isabel keluar dari toilet memegang test pack dengan dua garis. Merah dan sangat jelas.
Ekspresi ibunya berlawanan dengan senyum di wajah cantik Isabel. Sang ibu gemetar, terkejut campur marah.
Hal selanjutnya yang terjadi adalah ia disidang kedua orangtuanya di ruang kerja sang ayah.
"Bisa-bisanya kau hancurkan hidupmu sendiri !" Nyonya Silvia Pradipta mulai lepas kontrol, suatu hal yang jarang terjadi padanya. "Tidakkah kau ingat, kau beberapa bulan lagi akan memulai kuliah S2-mu!"
"Dengar dulu, Ma. Ini Timothy Kivandra dari keluarga Kivandra. Apa yang mencemaskanmu?"
"Isabel !" Nada suara Nyonya Pradipta semakin meninggi.
Daniel Pradipta meletakkan tangan di bahu istrinya. Dan ketenangannya selalu berhasil mendinginkan darah panas istrinya.
Wanita yang masih terlihat cantik tapi tegas di usianya yang hampir setengah abad itu menarik napas panjang.
"Ma, Pa. Timothy laki-laki baik. Aku hanya perlu bilang padanya. Aku yakin dia akan...."
"Sayang, kupikir kau harus dengarkan Mamamu. Aku bisa mengerti perasaanmu. Tapi kau harus dengar Mamamu lebih banyak kali ini."
Isabel menatap ibunya tak sabar. Berkat mamanya juga ia jadi anak pingitan yang terbatasi pergaulannya. dan saat ia pikir ia menemukan cinta dan rela menyerahkan segalanya, mamanya juga yang jadi penghalang. Isabel kesal luar biasa!
"Maaf jika kami, khususnya aku, selalu mengawasi setiap langkahmu. Ini karena kami sangat menyayangimu, anak kami satu-satunya," tambah ayahnya dengan nada suara yang tetap tenang.
Isabel sebenarnya paham akan hal ini. Sangat paham bahkan. Ia sudah menjalaninya mulai hari pertama ia keluar rumah sendiri yaitu saat masa sekolah yang separuhnya ia habiskan di sekolah asrama khusus perempuan. Mencegah hal-hal buruk mulai dari penculikan sampai pemerasan yang pernah terjadi pada sepupunya. Resiko yang harus ditanggung sebagai pewaris tunggal keluarga Pradipta. Tapi ini tentang kehidupan cintanya. Pilihannya.
"Aku paham jika kau merasa sangat mencintainya saat ini. Melebihi banyak hal. Kamu ada dalam masa itu meskipun kuakui agak terlambat. Aku pernah mengalaminya, Sayang. Tapi syukurlah Papamu membuatku sadar bahwa dialah cinta sejatiku."
Sang ayah tersenyum.
Isabel hanya menaikkan sedikit ujung bibirnya. "Dan maksud Mama apa?"
"Timothy Kivandra tidak seperti yang kau kira. Reputasinya di antara wanita dan kehidupan malam tak diragukan lagi. Dia playboy kelas atas, Nak. Dan itu belum apa-apa dibandingkan dengan reputasinya yang lain di dunia hitam." Sang ibu membuka sebuah amplop coklat besar dan menebarkan sejumlah foto di atas meja. "Mama bahkan punya beberapa rekaman video jika kamu masih kurang percaya."
Dengan ragu Isabel mengambil beberapa foto itu. Ia tersentak kaget. "Apa maksudnya semua ini?" Ia mulai menangis. "Ini dulu. Tidak! Tim tidak seperti ini lagi! Akulah satu-satunya kekasih yang dia punya sekarang." sangkal Isabel sambil merobek beberapa foto dan berlari ke kamarnya. Ini tidak nyata ! Lalu ia mencoba menelpon laki-laki itu. Tak ada jawaban. Lagi. Dan lagi. Tapi masih sama. Oh, tidak. Mungkin ini salah satu akal-akalan Mama untuk menjauhkan aku dari Tim.
Menjelang sore, Isabel keluar kamar dan diam-diam menyelinap dari gerbang rumah yang biasa dijaga dua orang security yang berhasil ia alihkan perhatiannya. Di tikungan ia menelpon taksi.
Dia bergegas menuju apartemen sang kekasih. Beruntung Timothy lupa mengunci pintu. Mengapa ia begitu terburu-buru sehingga lupa mengunci pintu? batin Isabel sambil mengenyahkan selintas pikiran buruk karena telinganya langsung menangkap suara-suara dari dalam kamar kekasihnya. Dan saat ia membuka pintu kamar itu, hatinya langsung remuk redam. Dua, bukan satu, tapi dua wanita tanpa busana begitu sibuk dengan tubuh Timothy sehingga perlu waktu beberapa detik bagi laki-laki muda itu untuk menyadari kehadiran Isabel yang terduduk lemas di ambang pintu.
Tak perlu menunggu penjelasan apapun dari si brengsek yang berteriak memanggilnya, Isabel kabur. Ia turun dari taksi di ujung sebuah taman kecil, merasa putus asa dan limbung. Tapi yang paling sering muncul adalah perasaan bodoh. Terlalu lugu untuk tertipu dengan mudah. Dia menemukan sebuah bangku dekat kolam dan mulai menangis.
Menyesali kebodohannya. Mengutuki Tim. Menyumpahi dirinya sendiri sampai ia kelelahan dan tertidur di atas bangku itu, tak menyadari lampu taman yang menyala mulai menyinari malam.
Tiba-tiba Isabel merasa sebuah tangan menggoncang-goncangkan kakinya. Suara berat seorang laki-laki terdengar.
Tunggu, tunggu. Ia teringat posisinya. Ia tetap pura-pura tidur. Astaga ! Aku sendirian di tempat asing. Tanpa penjaga, tanpa siapapun.... Dengan gerakan kilat ia menyambar semprotan cabai dari dalam tasnya dan menekan tombolnya tepat di wajah laki laki itu tepat saat ia merasakan napas laki-laki itu mendekati wajahnya.
Meskipun kaget, laki-laki itu masih sempat menutupi sebagian mukanya dengan refleks yang cepat. Tapi tak urung beberapa bagian yang terkena berefek panas menggigit. Ia berlari ke keran air terdekat, mencuci wajahnya.
Ketika kesadarannya kembali pulih seratus persen, Isabel mendapati seorang gadis kecil berusia empat atau lima tahunan menatapnya bingung. Isabel menyadari ia sudah berbuat kesalahan.
Si gadis kecil menggelengkan kepala tak percaya sambil menatap Isabel tajam. Lalu ia berlari menuju lelaki yang sedang mengulangi membasuh wajah untuk yang ketiga kalinya.
Isabel mendekati mereka, mencoba minta maaf. Tapi mereka menjauh. "Ada apa denganmu, Nona?" kata si gadis berkucir dengan suara tidak suka. "Untung tidak kena mata."
Ketika mereka semakin menjauh tanpa menanggapi permintaan maafnya, ia teringat tasnya di bangku taman. Oh, tidak ! Di sana dua orang berperawakan besar sedang mengacak-acak isinya. "Eh, maaf. Itu eh... tas saya..."
Laki-laki pertama yang berbaju kumal menatapnya seperti mendengar gema. Ia tak bereaksi, tetap sibuk merogoh tas mahal Isabel. Dan beberapa saat kemudian laki-laki kedua yang memakai jaket denim tanpa lengan berteriak. "Tasmu, hah? Ini, ambil!" Dia melemparkan tas itu begitu saja, tapi dompet dan ponsel Isabel sudah ada di tangan mereka.
"Tolong kembalikan ponsel saya... Kalian bisa ambil dompet itu, tapi ponsel itu, please...." kata Isabel sambil mundur ketakutan karena mereka bergerak ke arahnya.
Laki-laki berbaju lusuh mendekatinya, menyeringai jelek, mendapat sasaran baru di leher Isabel. Ia menarik kalung Isabel yang berliontin berlian sampai lepas.
"Awww!" Isabel menjerit ketika lehernya tergores kalung.
Lalu laki-laki kedua melihat cincinnya. Isabel mencoba kabur melihat gelagat mereka. Tapi salah satu dari mereka berhasil meraih mantelnya.
"Tolong! Tolong!" Ia menjerit panik. Namun taman begitu sepi dan satu-satunya yang bisa menolong malah ia usir dengan semprotan cabai.
Salah satu dari mereka mendorongnya sampai terguling di rerumputan taman. Mata mereka berkilat jahat melihat kemolekan Isabel.
Baru terasa betapa lemah tubuhnya yang tidak mendapat asupan makanan dari siang tadi. Isabel menjerit kesakitan saat rambutnya dijambak kasar. Isabel pasrah. Kesialan apa lagi yang kudapatkan hari ini, sesalnya berkali-kali. Kepalanya berdenyut sakit yang membuat pandangannya mengabur.
Tiba-tiba si baju lusuh terjengkang, disusul si jaket denim yang jatuh terjungkal dengan keras. Mereka mengaduh tanpa perlawanan ketika si pria berbadan tegap menonjok wajah dan perut mereka. Mereka lari pontang-panting meninggalkan hasil jarahannya.
Itu lelaki yang disemprotnya dengan semprotan cabai tadi, batin Isabel sebelum semua terlihat semakin samar. Ia kembali dengan si gadis kecil. Beberapa detik kemudian Isabel pingsan.
Laki-laki itu membopongnya ke dalam mobil usang mereka. Si kecil berusaha membangunkan Isabel, tapi gadis itu tak bergerak sama sekali.
Gary memeriksa dompet si gadis dan menemukan kartu pengenalnya."Kita antar dia pulang, Anna," katanya pada si gadis cilik.
"Sungguh menyusahkan," komentar Anna sambil kembali menggeleng-gelengkan kepala sambil memperhatikan Isabel yang terpejam di bangku belakang.
Paint It Black
..........
I look inside myself and see my heart is black
I see my red door I must have it painted black
Maybe then I'll fade away and not have to face the facts
It's not easy facing up when your whole world is black
The Rolling Stones
Ayah Gary sangat keberatan sewaktu dia memutuskan untuk memasuki dunia militer setelah lulus SMA. Ayahnya ingin dia bekerja normal seperti kawan-kawannya, di pabrik atau jadi petani seperti dirinya.
Tapi tekad Gary sudah bulat.
Dengan determinasi sangat tinggi, dia berhasil masuk ke pasukan khusus. Dia dikirim ke berbagai misi berbahaya dan hampir selalu berhasil. Ia adalah prajurit sejati yang selalu fokus pada tugas. Hal itu membentuk pribadinya menjadi sekuat baja tapi sayangnya, minim ekspresi.
Pangkatnya naik dengan cepat. Penghargaan atas keberhasilan berbagai misi yang dijalankannya. Sampai pada ia direkut International Special Force. Pasukan elit khusus internasional dengan misi super rahasia ke berbagai negara yang jam kerjanya sangat fleksibel namun dengan resiko berlipat ganda.
Tidak semua misi berjalan mulus. Ada kalanya Gary dan timnya tertangkap dan disiksa dalam waktu cukup lama. Tapi ketika mereka bisa keluar dari masalah itu, mereka jadi semakin kuat dan tertempa. Efek pekerjaan beresiko tinggi itu membuat Gary dan rekan-rekan satu timnya hampir tak memiliki kehidupan sosial yang normal. Mereka sudah terdikte oleh banyak pengalaman untuk tidak terlalu dekat pada siapapun. Demi keamanan bersama. Dikhawatirkan misi-misi berbahaya bisa mengikuti sampai ke rumah dan melukai orang-orang terdekat.
Anggota tim Gary jarang yang punya pasangan permanen. Jika ada pun, sang istri tak akan diberi tahu pekerjaan asli si suami. Lebih baik seperti itu. Daripada mereka harus cemas setiap kali melepas pasangannya pergi bertugas, lebih baik mereka disamarkan menjadi karyawan biasa atau pekerjaan lain yang tidak mengundang tanya.
Gary hanya bisa pulang ke rumah orangtuanya beberapa kali. Itu pun ketika ibunya sakit keras lalu meninggal dunia, yang tak lama kemudian disusul oleh ayahnya satu tahun kemudian. Alasan untuk pulang semakin tipis. Ia menghabiskan waktu dari satu tugas ke tugas lain. Membuatnya semakin terasing dari dunia warga normal, kecuali dunia militernya yang kaku.
Doktrin pasukan khusus begitu dalam masuk ke jiwanya. Saat itu hidupnya hanya untuk mengabdi pada tugas apapun yang diembankan padanya. Ide untuk hidup normal berumah tangga dengan seorang wanita sudah terhapus dalam deretan prioritasnya. Pergaulannya dengan wanita hanya sebatas kesenangan tanpa perasaan. Wanita adalah hiburan sesaat di masa liburan yang hampir tak dimilikinya. Tidak ada gunanya serius dengan satu wanita tertentu yang hanya akan mengganggu konsentrasinya.
Pada tahun ke sebelas masa tugasnya, ia dan timnya mendapat pukulan keras. Operasi penangkapan gembong narkoba yang juga menguasai perdagangan senjata ilegal antar negara, tidak berjalan lancar. Itu adalah operasi tersulit dengan musuh terkejam dan terlicik yang pernah ditemuinya. Seperempat peleton tewas, dan yang lain mulai mengalami teror bahkan pembunuhan di luar jam tugas.
Gary sempat berduel langsung dan menangkap si bos besar sebelum penjahat itu meloloskan diri dengan bantuan kaki tangannya.
"Tunggu waktu saja sampai satu per satu anggota peleton brengsekmu kuhabisi seperti kalian, terutama kau, yang paling banyak menghabisi anak buahku!" Gembong kriminal dunia itu sempat mengancam Gary sebelum menghilang tanpa jejak.
Ancaman yang jadi nyata karena Gary melihat rekannya satu per satu tewas dengan sebab yang mencurigakan.
Sang Jenderal segera mengambil tindakan dengan membekukan untuk waktu tak terbatas tugas pasukan khusus untuk misi penangkapan gembong narkoba itu, dan melimpahkan pada pasukan lain yang telah siap sedia demi mengamankan yang tersisa dari anggota terpilihnya. Mereka disebar ke tempat yang berbeda untuk memutus jejak dan menghentikan korban jiwa.
Gary yang pantang mundur masih ingin terus mengejar bandar narkoba itu, tapi atasannya memerintahkan untuk tetap di luar jangkauan. Bagi prajurit sejati, perintah adalah perintah. Maka sambil menunggu penugasan kembali, ia pergi berkeliling dunia berganti-ganti pekerjaan sambil menyamar.
Sampai sahabat kecilnya Jack memintanya untuk pulang.
Kemarau panjang menyebabkan kebakaran besar di kampung halamannya. Korban berjatuhan. Ladang dan rumah Jack habis terbakar. Istri Jack meninggal dunia ketika berusaha menyelamatkan anak mereka dari api yang menyambar cepat. Kondisi Jack pun tak kalah mengenaskan. Anak itu selamat meskipun luka bakar parah pada punggungnya.
"Tolong jaga Anna. Aku tidak punya keluarga lagi. Kaulah satu-satunya sahabat yang bisa kupercaya."
Jack dulu memaksa Gary datang pada saat kelahiran Anna, meskipun hanya beberapa jam saja. Jack ingin sahabatnya itu punya kaitan perasaan akan kelembutan dan kasih sayang di luar dunia militernya yang keras. Ia melihat bagaimana sahabatnya yang dulu ekspresif dan banyak tertawa, perlahan tapi pasti menjadi seperti robot bernyawa yang bergerak atas dasar perintah belaka.
Foto-foto Anna rutin ia kirimkan pada Gary. Dan ketika si gadis cilik yang mulai terlihat sangat cerdas melebihi usianya itu belajar bicara, Gary sering mengajaknya video call. Entah bagaimana Gary jatuh sayang pada gadis cilik itu. Dialah benang penghubung antara dunia keras Gary dan dunia biasa jutaan orang yang penuh liku yang tidak ingin didalaminya. Hanya Anna dan demi Anna saja ia bersedia turun dari benteng pertahanannya. Anna-lah the most special girl yang sering ia pamerkan pada rekan-rekannya dan mereka tak pernah mengira si gadis spesial baru berusia balita.
Ketika Jack juga tak terselamatkan lagi, Gary resmi menjadi 'Papa Gary', panggilan yang selalu diucapkan si gadis dua tahun bila mereka berteleponan. Dan demi Anna, ia sadar tak akan bisa terus hidup dari tugas ke tugas lainnya. Ia tak bisa meninggalkannya karena ia yakin fokusnya telah berubah.
"Stay low," pesan atasannya kepada salah satu anggotanya yang paling andal itu. "Penjahat itu masih berkeliaran."
"Siap, Pak. Pasti." Gary memberi hormat untuk yang terakhir kali dengan mantap.
"Dan jika suatu saat kau lupa bahwa kau pernah minta resign, kami mungkin masih bisa mempertimbangkanmu kembali. Kau akan selalu diterima kembali selama aku masih di sini. Anggap saja kau sedang mengambil cuti yang sangat panjang."
"Siap, Pak. Terima kasih." Bukan hal mudah meninggalkan kehidupan yang sudah mendarah daging selama bertahun-tahun, tapi wajah manis Anna yang jadi sering dihiasi mendung karena kehilangan orangtua di usia semuda itu, ditambah penyembuhan panjang dari luka bakar di punggungnya yang jelas sangat menyakitkan, membuat Gary mantap menatap cahaya baru yang bersinar di ufuk langit cerah. Langit yang akan menjadi payung dirinya menjadi warga biasa. Gary mencoba tersenyum walau ia yakin tak akan terlihat bagus di wajahnya yang kaku.
Daddy's Little Girl
.......
He said you can be anything
You want to
In this great big world
But I'm always gonna be
Daddy's little girl
The Shires
Anna harus segera dibawa ke rumah sakit.
Luka bakar di punggungnya cukup parah. Rumah sakit lokal tidak bisa menjanjikan kesembuhan total. Mereka merekomendasikan beberapa rumah sakit besar di ibukota. Gary menjual semua peninggalan orangtuanya. Ditambah gajinya yang lumayan selama mengabdi di dinas militer, ia optimis bisa menyembuhkan Anna sekaligus membuka kehidupan baru di ibukota.
Dia selalu waspada dengan bahaya yang mengintainya. Sendiri, ia tidak takut dan sanggup menghadapi, tapi sekarang ia bersama gadis kecil rapuh yang begitu disayanginya.
Ia membawa Anna berobat dari satu rumah sakit ke yang lain, juga berpindah-pindah rumah kontrakan. Sampai Anna sembuh. Sampai lukanya kering walaupun masih meninggalkan satu garis memanjang sisa transplantasi kulitnya sendiri.
Gary takjub akan ketabahan si kecil selama menjalani perawatan. Hampir tanpa keluhan, rengekan, apalagi tangis seperti anak kecil seusianya. Tapi memang Anna bukan anak kecil biasa. Dia hanya mengernyit dan menggigit bibir bila efek obat penahan nyeri habis dan rasa sakitnya menyerang. Rasa sakit yang begitu dalam saat kehilangan orangtua, terutama sang ibu di depan matanya sendiri, di usia sangat dini membuatnya jadi seperti itu.
Anna anak istimewa. Di usia tiga tahun ia sudah lancar membaca. Entah bagaimana. Mungkin bakat dari lahir. Jack tidak pernah menyinggung masalah ini. Hanya saja hal ini membuat Gary bertekad untuk mengirim Anna ke sekolah yang pantas untuk si cerdas cilik.
Pada dasarnya, Anna dan Gary adalah dua pribadi yang serupa, tabah dan kuat tertempa bencana.
Pekerjaan apa saja dilakoni oleh Gary untuk menyambung hidup mereka. Dia bisa saja mendapat pekerjaan bagus dengan mudah dengan menyodorkan CV pengalaman kerja yang dia punya. Tapi itu bisa membuatnya terlacak dengan mudah. Tidak mudah hidup dalam batang-bayang.
Anna sudah empat tahun lebih. Sudah harus sekolah. Paling tidak sekolah biasa jika Gary belum sanggup mencari sekolah khusus untuknya. Tabungan semakin menipis. Sebagian besar habis untuk pengobatan Anna. Seringkali terpikir oleh Gary untuk kabur dari hiruk pikuk kota, kembali ke kampung halamannya. Biaya hidup jauh lebih toleran di sana. Tapi tempat itu adalah sasaran utama yang paling mudah dicari musuh-musuhnya. Dan ia khawatir, arang-arang menghitam sisa reruntuhan rumah Jack, akan menghantui pikiran Anna kembali.
Jadi mereka bertahan sementara di pinggiran kota, menyewa sebuah rumah murah, paling murah karena tidak diminati orang karena digosipkan berhantu, dan membeli sebuah pick up jelek yang hampir setiap minggu
diutak-atik mesinnya oleh Gary, untuk usaha angkutan barang.
Tanpa sadar Gary menggenggam erat kemudi mobilnya setelah mengingat perjalanannya bersama Anna sampai sejauh ini dan mendadak ia merasa cemas. Ia mencemaskan masa depan Anna. Beberapa hari belakangan ini ia terus menimbang-nimbang kemungkinan yang paling aman untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menghidupi Anna. Ia tersadar dari lamunan ketika Anna dengan suara keras menyuruhnya berbelok setelah membacakan dengan nyaring nama jalan yang mereka tuju. Untung saja si kecil itu menyimak saat Gary membaca alamat rumah Isabel yang didapatnya dari kartu pengenal dalam dompet wanita itu.
"Papa, rumah wanita ini sangat besar," kata Anna kagum ketika mereka diizinkan satpam penjaga gerbang untuk masuk ke halaman rumah keluarga Pradipta yang luas. "Dia pasti luar biasa kaya," katanya lagi.
Beberapa orang menunggu dengan raut muka cemas di pintu utama yang besar dan terang. Gary sudah menelpon ayah Isabel melalui ponsel yang urung dijarah olah para bandit.
Mereka mengangkat Isabel masuk, diiringi ibunya yang panik. Hanya Daniel Pradipta yang tetap tenang. Ia mengundang Gary dan Anna untuk masuk. Gary merasa tidak enak dan bermaksud langsung pulang, niatnya hanya membawa pulang si putri pingsan, tapi permintaan tuan rumah yang baik itu untuk meminta mereka tetap tinggal tak bisa ditolak.
Daniel Pradipta menyuruh para pelayannya menyajikan makanan dan minuman untuk mereka dan mengajak mengobrol. Gary menjawab pertanyaan lelaki berwibawa itu seaman dan sebiasa mungkin.
Tapi Anna yang bermulut cerewet mulai berkicau. "Papa mengusir bandit-bandit itu hanya dengan sekali
pukul. Maksudku para bandit, Tuan. Bukan Tuan Putri itu. Kalau dia pingsan sendiri."
"Anna..." sergah Gary.
Daniel Pradipta yang langsung menyukai si gadis cilik tersenyum. "Ah, Papamu kuat sekali. Beruntung Isabel bertemu kalian."
"Tentu saja. Papaku dulu prajurit hebat."
"Anna!" Tapi Gary sudah terlambat untuk menghentikan kata-kata Anna.
"Militer?"
Gary dengan terpaksa mengangguk.
Dua hari kemudian, secara mengejutkan suami istri Pradipta datang ke rumah sewaan Gary.
"Aku punya beberapa teman di dinas militer ehm maaf, mengecek tentang Anda, Letnan Gary Bimantara," ujar Daniel Pradipta lugas.
Wajah Gary langsung menegang.
"Prestasi Anda sangat mengesankan di pasukan khusus." Nada suara ayah Isabel semakin serius.
"Kami perlu bantuan Anda," giliran sang ibu bicara.
"Maaf, Nyonya. Tapi saya rasa Anda sudah tahu, saya sudah tidak berdinas lagi di sana."
Daniel Pradipta menatapnya lurus. Tatapan itu menyiratkan permintaan yang sungguh-sungguh.
Nyonya Pradipta melayangkan pandang ke seluruh ruangan. "Saya yakin Anda butuh sejumlah uang sekarang..."
Gary masih membisu tapi ia mulai mengikuti arah pembicaraan itu.
"Kami akan memberikan sejumlah besar uang, atau barang, yang jumlahnya bisa Anda gunakan untuk menjamin kelangsungan hidup keluarga Anda dan pendidikan anak Anda dengan sangat layak."
"Dengan syarat apa?" tanya Gary langsung.
Silvia menatap suaminya yang memberinya isyarat persetujuan. "Anda harus menikahi Isabel, anak tunggal kami, yang Anda tolong dua hari lalu, sampai ia melahirkan bayinya."
Anna jadi ikut serius mendengarkan. Ia mengerutkan kening sambil duduk dan menumpu kepala dengan satu tangan.
Gary yang jarang terkejut, terserang shock. Penawaran yang sangat menggiurkan tapi syaratnya sungguh gila, pikirnya.
Belum selesai kebimbangan dalam kepala Gary, Silvia Pradipta kembali angkat bicara. "Dan bayinya harus Anda bawa pergi."
"Atau nanti kita bicarakan alternatif lain jika Anda kurang nyaman," tambah Daniel Pradipta dengan cepat. Nampaknya ia sangat ingin mendapatkan persetujuan Gary.
Hah? Dia hamil? Gary berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir.
"Kami lihat Anda sangat sayang pada gadis cilik ini, meskipun kami tahu dia anak kawan Anda. Jadi kami pikir satu anak lagi tak akan masalah, kan?" cecar Nyonya Pradipta.
"Anda tidak harus memutuskan sekarang," lanjut Tuan Pradipta. "Tapi kami sangat mengharapkan Anda menjawab 'ya'."
"Tunggu sebentar," Gary buru-buru menggendong Anna ke ruangan lain. "Anna, Papa ingin kehidupanmu di masa depan terjamin baik. Dan ini adalah kesempatan emas yang datang pada kita. Kuharap kau mengerti. Oke?"
Anna mengangguk penuh pengertian. Dia tersenyum lebar.
Dan dengan senyum Anna, Gary memperoleh kekuatan untuk mengambil tawaran dan misi paling aneh dalam hidupnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!