Suasana dingin menyelimuti kota, gelap menyelubungi pandangan, sesekali cahaya membias menerangi seisi kota disambut suara petir yang menggelegar.
satu persatu tetesan air mulai membasahi aspal, gerimis kecil kini berubah menjadi hujan, jalanan yang tadinya ramai perlahan mulai sepi.
Dari kejauhan sebuah mobil melaju kencang, melibas genangan air didepannya, kemudian melejit semakin kencang. tepat di sudut kota mobil itu berhenti.
beberapa detik kemudian seorang pemuda keluar dari mobil itu, dibantingnya dengan keras pintu mobil itu ketika Ia menutup kembali pintunya.
langkahnya pelan namun pasti, Ia berjalan menuju rumah yang tepat dihadapannya.
Pemuda itu mengangkat kepalanya, dilihatnya keadaan disekeliling rumah tersebut, lalu melangkah menuju teras rumah. Ia merogoh saku, diambilnya sebuah kunci, lalu mencoba membuka pintu rumah itu, dinyalakannya lampu kemudian ia memutar pandangannya untuk melihat keadaan didalam ruangan. tampak begitu lusuh, mungkin karna sudah lama tidak di tempati.
Pemuda itu kemudian duduk di kursi yang berdebu, maklum rumah tua ini sudah lama tidak Ia tempati ketika Ia harus mencari nafkah keluar kota.
Noah, ya.. pemuda itu bernama Noah, sudah lama Dia hidup sebatang kara, tidak punya siapa- siapa.
beberapa bulan terakhir ini Ia bekerja sebagai supir taksi, rumah tua ini adalah hasil kerja kerasnya, begitupun mobil yang Ia kendarai, semuanya didapatinya dengan usaha yang tidak mudah.
Noah kemudian melangkah menuju kamar tidur, dibersihkannya tempat tidur itu, mengeluarkan selimut, menaruh handphonenya di atas meja kecil, lalu mencoba menutup matanya.
beberapa saat dering handphone membuat Noah harus bangun dari tidurnya. "siapa tengah malam begini?" gumamNya. Noah mengulurkan tangannya mencoba meraih handphone yang memang posisinya sedikit jauh dari tempat Dia berbaring.
"Halo? selamat malam, siapa ini?" tanya Noah
"Noah... sudah lupakah dengan aku?"
Suara Nyaring dari penelpon membuat telinga Noah sedikit tidak nyaman.
"Ini Jery, Jery Mite." Sahutnya lagi.
Noah mengernyitkan dahi, mencoba mengingat, siapa orang bernama Jery.
"masih belum ingat? sudah lupa dengan bisnis kita dua bulan lalu?" Jery mencoba membantu Noah untuk mengingatnya.
"Jeremias?" Noah menjawab bingung
"Ya benar, tidak sangka, kau masih ingat nama itu.. hahahaha."
"Ya, sudah aku ingat. Ada apa Jer? jangan mengatakan sesuatu yang tidak-tidak. apalagi tentang hayalanmu dua bulan lalu. Aku ini supir taksi, tidak begitu tahu jalan ke pedesaan." Noah berusaha menolak ajakan Jery. mereka pernah membahas rencana untuk menjadi supir pengantar turis yang mau berkunjung ke desa- desa.
"Hei-hei-hei... jangan seperti itu, Aku ini temanmu, kali ini bukan hayalan, bayarannya bisa membuat kau membeli satu mobil mewah cash."
"benarkah?" Noah sedikit kaget dengan tawaran Jery.
"Tentu saja, kau akan dapat bayaran setengah dimuka, itupun jika kau mau bergabung...
bagaimana menurutmu?"
"lalu, tugasku?" tanya Noah dengan sedikit bimbang.
"Tugasmu hanya mengantarkan sekelompok tamu, lalu membawa mereka pulang, mereka orang- orang kaya yang mau berlibur di pedesaan. Tenang saja, akupun ikut bersama."
"Berapa lama perjalanan?" Noah masih bimbang, "Apa mungkin mengantarkan tamu berlibur, bisa mendapat uang sebanyak itu?" gumam Noah dalam hati.
"kemungkinan selama seminggu, jadi ku sarankan bawa pakaian tambahan" Balas jery.
"Baiklah, bayaran setengah dimuka bukan?" Tanya Noah bimbang.
"Tentu saja. Besok di bandara Kota, jam sembilan, hubungi nomor ini jika kau sudah disana."
tuttt... Sambungan terputus. mata Noah yang tadinya susah dibuka, tiba- tiba kembali bersinar, bagaimana tidak, selama ini Dia harus banting tulang mencari rupiah, kini kesempatan didepan mata.
"Aku bisa hidup senang jika begini".
Noah menyetel Alaram tepat jam tujuh, Dia kelihatan lebih segar dibanding saat awal masuk rumah tua itu.
Kelihatannya Ia telah siap menghadapi hari esok, ya... hari esok, hari dimana segala tentang Dia akan berubah. Namun sepertinya Dia tidak tahu, sebelum segala tentang Dia berubah, Dunia sudah lebih dahulu berubah, dan seharusnya Dia mengkhawatirkan hal itu, bukan malah terjun didalamnya.
. . . . . .
Drrrrt....!!! Drrrrt.....!!! Drrrt....!!!
Dering keras alaram membangunkan Noah dari lelap tidurnya semalam.
Noah meneguk segelas air, kemudian melangkah menuju kamar mandi. tangannya menyalakan shower, kini tubuhnya basah oleh dinginnya air, sesekali Ia mendengungkan lagu untuk mengalihkan perhatiannya dari siksaan air yang begitu dingin, bagai ribuan jarum yang menusuk kulit.
Noah sepertinya benar- benar mempersiapkan diri untuk menghadapi hari penuh tantangan ini. Tubuhnya sudah segar sehabis mandi, tidak lupa Ia sarapan dipagi ini, beberapa potong roti kering diambilnya dari kulkas, dilaburnya selai pada roti itu. "Lumayan, daripada tidak sama sekali." gumam Noah. Maklum, selama Ia meninggalkan rumah hanya itu yang tersisa di kulkasnya. Diteguknya segelas Air yang diambil dari kulkas, "Ah.... ini sudah cukup." ungkapnya. kemudian diambilnya sebuah setelan, celana panjang hitam dan sebuah kameja putih lalu mengenakannya, setelan tersebut menjadi pilihan terbaiknya untuk saat ini.
Setelah dirasanya sudah lengkap persiapannya, Ia keluar dari rumah, menguncinya, lalu masuk kedalam mobil.
Hilir mudik kendaraan begitu ramai, cuacanya lumayan cerah, yah... Noah sudah di depan bandara. Matanya mencoba lirik jam tangan yang Dia kenakan, pukul delapan lewat lima puluh lima menit.
"lima menit lagi", kata Noah dalam hati. Ia meraih ponsel disakunya, mengutak ngatik seperti sedang mencari sesuatu. "Jery, sebaiknya kau tidak menipuku." Noah berusaha menelpon Jery.
"sial, kenapa tidak diangkat... jangan-jangan..." Ia mencoba menelpon lagi. tut.... tut... tut... "Jery sialan, ini bukannya sudah jam sembilan?" seru Noah yang mulai tidak sabaran.
Ia kemudian memasukan lagi ponselnya, menengok kiri dan kanan, tidak ada tanda- tanda adanya Jery dan rombongannya. Noah sedikit cemas, Ia mencoba memijat- mijat pundaknya, agar menghilangkan kecemasannya.
Beberapa menit berlalu, ponsel Noah berdering. Dengan cepat Dia mengambil ponselnya, rupanya panggilan dari Jery.
"Halo, Jery, aku sudah didepan bandara." kata Noah dengan sedikit kesal.
"ya, Noah, merapatlah menuju MOCCA cafe didepanmu itu. Aku dan rombongan menunggumu." kata Jery, yang kemudian langsung menutup ponselnya.
Noah menatap sebuah cafe besar, tulisan besar terpampang jelas diatasnya, MOCCA cafe. jaraknya hanya beberapa puluh meter dari mobilnya. Segera Ia memarkirkan mobilnya di area cafe tersebut, keluar dari mobil, mencoba menata rambutnya yang sedikit acak-acakan, lalu masuk kedalamnya.
Seorang pria bertubuh bulat, rambutnya tipis, kulitnya putih, mengangkat tangannya dengan segera ketika Noah masuk didalam ruang cafe.
"itu dia." kata Noah sambil melangkah menuju pria tersebut. "Noah.... akhirnya kita bertemu." sambut pria bulat itu. Pria ini adalah Jery, Jery langsung memperkenalkan Noah kepada semua yang semeja dengannya.
"Noah, duduklah disini." sembari mengajak Noah duduk, Ia menyodorkan sebuah koper tepat dihadapan Noah, lalu berkata lagi: "bukalah, ini kesepakatan kita semalam." Tangan Noah meraih koper tersebut. Dengan sedikit gemetar, Ia mencoba membuka koper tersebut. Sejumlah uang yang tidak sedikit, terlihat ketika koper itu dibuka, hal ini membuat Noah lega, Ia pun tersenyum dan berkata: "kemana kita selanjutnya?"
"Hari ini rombongan kita menuju desa Watu Mite" sahut Jery.
"Watu Mite?" Noah sedikit kaget, "itu bukannya..." belum selesai bicara Jery memotong, katanya : "karna itu kita dibayar mahal, jika tidak mau, kau bisa mengembalikan koper itu."
Noah terdiam sesaat, "tapi ini demi kehidupanku yang lebih baik" Noah coba menguatkan dirinya sendiri.
"Baik, aku ikut"
Rombongan itu bersiap berangkat,
menuju Desa yang bahkan lebih mengerikan daripada penjara. Watu Mite, Daerah yang tidak terjamah, jauh dari keramaian kota, terisolasi di dalam pegunungan dan dilindungi bukit-bukit tua.
Bersambung....
Dua mobil itu melaju dengan cepat, menghempaskan dedaunan yang ada dijalanan. Kali ini Noah dan rombongan sudah cukup jauh dari kota, mereka sudah meninggalkan perbatasan kota. pemandangan gedung- gedung megah kini berubah menjadi hutan penuh pepohonan, dikejauhan banyak bukit yang saling berderet, gunung- gunung yang menjulang tinggi. Langit disini terlihat lebih cerah, awan yang putih bersinar, seperti menari- nari ketika ditiup angin, sesekali terlihat hewan- hewan liar yang berkeliaran sepanjang jalan.
"sepertinya udara disini cukup segar" ucap Noah, sambil tangannya menekan sebuah tombol di samping tempat duduknya. kaca pintu mobil tiba- tiba turun, udara sejuk langsung membias mengisi disetiap sudut mobil yang Ia kendarai.
suara seseorang terdengar dari belakang kursi mobilnya. "€£#+...÷£₩¥..$+*$#/.:.!" (seseorang berbicara dengan bahasa yang tidak Noah mengerti). Noah mengernyitkan dahi, mencoba memberi isyarat bahwa Ia tak mengerti.
"$@^@*@_\=£\=¥×,^%*(.+!" Orang itu berguman tak jelas dengan bahasa asing sambil menunjuk ke arah kaca pintu mobil. Noah menaikan kembali kaca itu, menerka- nerka apakah tindakannya ini benar sesuai instruksi orang yang duduk dibelakangnya itu. "ini maksudmu?" tanya Noah, dengan ragu. Orang itu tidak menjawab, Dia hanya Diam menatap ke depan.
Noah merasa mungkin udara yang masuk tadi tidak disukai rombongan aneh itu, Noah mengalihkan pandangannya menuju jalanan, sepertinya dia begitu konsentrasi mengendarai mobilnya.
tiga jam berlalu mobil yang tadinya begitu laju, tiba-tiba mulai melambat, semakin lambat dan berhenti. sontak hal ini membuat Jery yang dari tadi tidur dikursi depan terbangun, lalu bertanya pada Noah, " Noah, mengapa kita berhenti?"
Noah masih memandang jalan didepannya, lalu bertanya: " apa kita salah jalan?"
tidak salah pertanyaan ini keluar dari mulut Noah, jalanan yang membentang didepannya tertutup oleh bebatuan.
"kau bisa mengambil jalan sempit di sudut kiri itu." kata jery sambil merenggangkan kedua tangannya.
Noah menurut saja, menjalankan mobilnya perlahan, Ia mencari area jalan yang tidak di tutupi batu- batu.
"mulai dari sini jalan kita sedikit tidak nyaman", kata Jery sambil menepuk bahu Noah, kemudian Ia menengok kebelakang dan berbicara dengan bahasa aneh. Noah yang dari tadi penasaran kemudian bertanya, "Jery, sejak kapan kau bisa berbahasa asing?" "oh... itu... ya memang sejak sekolah aku mempelajari beberapa bahasa asing, dan itulah keahlianku." kata Jery, sembari memberi senyum, Noah hanya mengangguk-angguk, dia tidak mengira kalau Jery rupanya cukup mahir berbahasa asing.
Benar saja, kali ini jalanan yang mereka lalui benar-benar ekstrim. Jurang terjal, bukit tandus, jalan yang berbatu, benar- benar diluar ekspetasi Noah. Namun orang-orang dibelakangnya seperti tidak begitu menghiraukan kondisi ini.
beberapa jam kemudian, setelah mereka melalui jalanan ekstrim itu, jery berkata "berhenti disini Noah, ini tempatnya."
Noah menginjak rem, meminggirkan mobilnya, menengok kiri dan kanan, Ia nampak bingung, disini tidak terlihat seperti desa, tanah yang masih terbilang tandus, diapit bukit terjal, bahkan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Jery keluar dari mobil, mengambil sesuatu dari tas bawaannya, seperti sebuah kartu, mengangkat kartu tersebut tinggi-tinggi, lalu berteriak kencang "Kami Mai.....Kami mai.... Kami gha mai....!" terdengar familiar, tapi bahasa ini sedikit aneh bagi Noah.
Noah keluar mobil, mencoba menghampiri Jery dan berkata "apa-apaan ini, dengan siapa kau berbicara?" "mereka datang... mereka datang..." kata Jery sedikit gemetar. "beri hormat Noah.. beri hormat pada mereka!" teriak Jery sambil berlutut, lalu ia menarik tangan Noah untuk juga sama sama berlutut dengannya. Noah yang tidak mengerti melepaskan tangan Jery, kemudian berkata " apa kau sudah gila? siapa yang kau beri hormat? disini tidak ada sia...." belum selesai berbicara, didepan mereka sudah ada beberapa orang yang berdiri, masing-masing ada yang memegang kapak, tombak, panah bahkan pedang. Noah seketika tersungkur, matanya membelalak melihat orang-orang itu. "Kami mai..." Jery berkata pelan sambil menyodorkan sebuah kartu yang sejak tadi di pegangnya. salah seorang dari mereka mengambil kartu tersebut, melihat kartu itu dengan saksama, dengan jarinya Ia membolak balikan kartu itu, jarinya yang hitam terlihat kasar dan kusam, kuku-kukunya begitu panjang. Ia memberikan kartu itu kepada orang- orang dibelakangnya, mereka saling berebut, beberapa diantara mereka tertawa, gigi mereka terlihat seperti tidak terawat.
Orang yang berdiri didepan mereka memberi isyarat pada Jery untuk berdiri, kemudian Ia berjalan sambil menggerakan tangan seperti memberi instruksi untuk mengikutinya. Jery bangun lalu meminta Noah untuk mengikuti orang itu. Noah yang masih terperangah, hanya bisa mengikuti kata-kata Jery, Ia seperti orang bingung yang kemudian berjalan pelan mengikuti orang-orang aneh itu. "kupikir orang- orang didalam mobil itu adalah manusia teraneh yang pernah Aku temui, tapi ternyata aku salah, makluk- makhluk di depanku ini ternyata manusia yang paling aneh" gumam Noah didalam hatinya. Jery dan rombongan mengikuti Noah dari belakang, Noah yang memang dalam keadaan takut menghampiri Jery dan berkata "Apa-apaan ini Jery? mereka tampak seperti monster, mereka bukan manusia."
"hus... jangan bicara begitu, ini suku asli di tempat ini, tamu kita punya bisnis dengan mereka. ikuti saja mereka."
Hari sudah sore, mereka tiba di pemukiman desa. tempat ini benar-benar seperti dunia purba, diapit batu- batu besar, dikelilingi pohon- pohon tua, rumah mereka masih sangat tradisional, dibangun dari kayu purba, dindingnya masih dari anyaman ranting-ranting, atapnya masih dari dedaunan yang disusun seadanya. tatapan dari penduduk yang sepertinya kurang ramah, menambah kesan angker. Noah dan rombongan disuguhkan air putih dan sebakul umbi yang sudah dibakar, air putih disuguhkan didalam tabung kayu yang dipahat rapih membentuk gelas, tentu saja dengan ukuran yang lebih jumbo. Setelah beberapa saat hening, datang seorang yang sudah tua renta, wajahnya yang terlihat kejam dibalur pola seperti tato berwarna merah, kumisnya panjang dan rambutnya menjuntai hingga sepinggang warnanya putih selaras dengan kumis serta jenggotnya.
"Makanlah, jangan sungkan" orang tua tadi tiba-tiba bersuara. Noah menjadi sedikit lega, ternyata ada yang mengerti bahasanya.
Salah seorang dari rombongan tamu angkat bicara, "Hormat kami tetua, seperti yang sudah dijanjikan kami kesini untuk mengantar paket yang sudah dijanjikan." Bahasanya santai tetapi dengan logat bicara yang aneh. Dikeluarkannya sebongkah batu hitam mengkilap, ukurannya sedikit lebih besar dari bola tenis. Orang tua itu menerimanya, kemudian di bungkusnya batu itu dengan kain putih yang kusut dan usang. batu itu seperti memancarkan cahaya hitam yang membuat bulu kuduk merinding. Mata Noah tidak berkedip melihat batu itu, Jery yang melihat hal itu menepuk pundak Noah dan berkata, "jangan pernah berfikir untuk memilikinya, benda itu penuh kutukan."
setelah ditimang batu itu, orang yang dipanggil tetua itu menari, lalu mengangkat batu itu di atas kepalanya kemudian berjalan keluar diiringi seruan beberapa orang desa yang ada di ruangan itu, seruan itu seperti nyanyian yang sambung-menyambung. Noah dan yang lainnya mencoba ikut keluar untuk melihat apa yang mereka lakukan. Benar saja, penduduk desa itu sudah begitu ramai dihalaman utama, mereka menari-nari mengikuti irama nyanyian, tangan mereka diangkat keatas, persis seperti yang dilakukan tetua mereka.
Batu hitam itu dibawa menuju tengah halaman, diletakan disebuah tatakan altar sederhana, dan seketika itu juga batu itu makin bercahaya, semua penduduk berteriak sambil menangis menepuk-nepuk dada mereka. setelah itu mereka menyalakan obor lalu menaruhnya disekitar altar tersebut, beberapa diantara mereka ada yang mulai tertawa girang, ada yang mulai melompat-lompat, ada pula yang berlutut menangis.
Sesudahnya, tetua itu mengajak Noah dan rombongan menuju sebuah meja perjamuan besar, di sana sudah dihidangkan daging panggang, sayur sayuran yang sudah diolah sederhana, umbi bakar dan juga kendi yang besar berisi arak. Mereka dan semua penduduk desa memenuhi meja itu, penduduk desa terlihat makan dengan sangat lahap, meminum arak dengan begitu rakusnya. mereka sepertinya berbahagia berada di sekeliling meja itu. Noah yang sejak tadi penasaran, coba bertanya pada Jery, "apa yang sebenarnya terjadi disini Jery?"
"batu hitam itu seperti dewa bagi mereka, jangan sentuh arak itu, perjalanan kita kesini bukan untuk mengantar sesuatu, sebaliknya, kita kesini untuk mengambil sesuatu." jery menjawab sedikit pelan
"Apa maksudmu? apa yang akan kita ambil?" tanya Noah
"Sssttttt.... Pelankan suaramu!" Jery menjawab sambil menginjak kaki Noah. "istirahatlah yang cukup setelah ini, dan siapkan Fisikmu, Harta sesungguhnya akan hilang dari tempat ini." Jery sedikit berbisik ditelinga Noah.
Bersambung....
Jamuan makan itu begitu menakjubkan, orang-orang desa itu duduk melingkar, menuangkan arak didalam tabung kayu, lalu membagi-bagi minuman tersebut secara bergilir. Mereka mengajak rombongan tamu untuk bergabung, namun sayang rombongan dari kota itu menolak, dengan alasan letih selama perjalanan.
"bisakah malam ini kami beristirahat dulu disini? teman-teman kami merasa letih, perjalanan kesini benar-benar melelahkan, maklum tetua, orang-orang kota fisiknya tidak begitu kuat" Jery berkata sangat sopan kepada tetua yang daritadi sudah cukup banyak minum-minum.
"hmm..." orang tua itu mengangguk, Dia mencoba bangkit dan berkata " mari kuantarkan ke kamar kalian" setelah berkata demikian tetua itu berusaha berjalan, beberapa orang desa mengikuti tetua mereka, tubuh mereka kekar dan berotot, sepertinya mereka ini adalah pengawal tetua desa.
Langkah orang tua itu sempoyongan, Ia berhenti tepat di depan sebuah gubuk yang cukup luas lalu berkata, "disini kamar kalian, masuklah, maaf jika tidak senyaman kamar mewah dikota."
"Terima kasih tetua, ini sudah lebih dari cukup, kami harus beristirahat agar esok bisa kembali ke kota," kata salah satu dari rombongan tamu itu dengan logatnya yang aneh. Rombongan itu kemudian masuk kedalam. Gubuk itu punya beberapa sekat, mereka kemudian membagi-bagi kelompok, Noah dan Jery dapat satu kamar. Noah menarik Jery dan berkata" Aku masih penasaran dengan kata - kata mu tadi."
"Ikuti saja aku, jika kau ingin selamat. Apa kau pikir orang-orang desa ini akan membiarkan kita pulang? banyak yang tidak pulang setelah masuk kesini." Jery berkata sambil mata nya membelalak.
"Kau pernah dengarkan? cerita-cerita orang sebelumnya?" tambah Jery lagi.
"Hei.... aku belum menikmati uang ku...
Eh... uang ku.... apakah mobil kita aman?? uang ku disitu semua!" Aku bahkan belum mengambil selembarpun!" Noah menjadi cemas, bagaimana tidak, sekoper uangnya Ia letakan didalam mobil dan tentunya belum tersentuh.
"Tenang saja, setelah ini semuanya akan aman, uangmu bisa kau nikmati. Sekarang istirahatlah." kata Jery sambil berbaring mencoba menutup matanya.
Noah belum bisa memejamkan matanya, Dia mencoba mengecek ponselnya, dan tidak ada sinyal di tempat itu. "Sepertinya percuma, aku tidak bisa tidur. Jery.... bisakah jangan dulu tidur?" Noah mencoba bangunkan Jery. Jery tidak merespon, malah Ia membalikkan badannya. Noah coba bersandar di dinding, Ia masih bisa mendengar suara penduduk desa yang minum bersama, ada yang bernyanyi, ada yang tertawa, Noah kemudian mencoba mengintip lewat sela- sela anyaman dinding dari ranting-ranting kayu tersebut. di luar kamar mereka tidak ada yang berjaga, semua penduduk desa masih di meja perjamuan, walaupun tidak sebanyak tadi. Noah memilih untuk berbaring di tempat tidur yang terbuat dari kayu yang dipahat rata, tanpa kasur, sedikit tidak nyaman, Dia berusaha menutup matanya, sesekali Ia membalik badannya, lalu tengkurap, mencoba berbagai posisi tidur, berharap bisa lelap.
Beberapa jam berlalu, Noah terlihat sudah lelap, Jery yang tadi disebelahnya kini tidak ada disana, keadaan desa yang tadinya ramai, kini sepi seperti di tempat pemakaman, hanya terdengar suara jangkrik, anjing hutan yang melolong dan sesekali terdengar suara burung malam diselingi bunyi gesekan dedaunan yang ditiup angin.
"Noah.... Noah bangun... bangun Noah" Jery sedikit berbisik sambil mencoba membangunkan Noah, tangannya mencoba mengguncang tubuh Noah agar bisa bangun.
"Hm..... sudah jam brpa ini... perasaan aku baru saja..." belum sempat Noah selesai bicara, Jery menutup mulut Noah, dan berbicara pelan "sssttt... pelankan suaramu... Ayo bangun, pelan-pelan saja, jangan menimbulkan kegaduhan"
"Apa yang kita lakukan Jery? apa kita pulang sekarang?" Noah mencoba bertanya dengan suara pelan, sambil mengikuti langkah Jery dari belakang.
"Ikuti saja... jangan bersuara lagi"
Ditengah sunyi nya malam, beberapa pasang kaki yang mengendap- endap pelan, bayangan mereka begitu hitam dibawah sinar bulan. Jery yang memimpin rombongan itu berjalan didepan, tangannya memegang selembar kertas kusut, beberapa orang dibelakang mengikutinya.
"Benarkah peta itu Jery?" seseorang berbicara dengan logat aneh, dia mencoba melihat kertas yang sedaritadi dipegang Jery.
"Aku tidak tau, tapi setahuku ini asli." jawab Jery percaya diri.
setelah berjalan mengikuti petunjuk peta kuno itu, rombongan itu tiba di sebuah tempat, Gubuk yang sangat purba. kayunya ditutup debu yang tebal, tanda bahwa jarang ada yang datang di tempat itu.
"Buka pintunya" sontak suara salah seorang turis, logatnya lebih aneh, tapi Dia adalah satu-satunya tamu dengan tubuh paling besar diantara mereka.
"Hey..! dengan apa mau kau buka? ini namanya pencurian! bagaimana jika mereka datang?" Noah langsung memotong.
Sontak Orang besar itu mendorong Noah hingga jatuh. "Diam kau! lakukan saja atau ku tembak?" Orang itu berbicara sambil mengeluarkan sebuah pistol dari sakunya, pistol itu terlihat bersih, moderen dan ada peredam dilarasnya.
Noah hanya bisa diam, dalam hati Ia berpikir, bagaimana jika mereka ketahuan.
Duk! Duk! Duk! seseorang mencoba membuka pintuh kayu yang terlihat tua namun kokoh.
Serrrrrrrrrr....rrrrrrr.....rrrrr
yang lain menyalakan mesin potong, suaranya cukup keras. "cepat! sebelum mereka bangun"
Rombongan itu mulai sibuk, sebagian mencoba membuka pintu itu, sebagian lagi berjaga-jaga, khawatir tindakan mereka diketahui warga desa itu.
sepuluh menit kemudian..... Krak....!! pintu keras itu akhirnya bisa dibobol.
Sebagian rombongan itu masuk kedalam dengan hati-hati, beberapa yang lainnya masih berjaga...
"Hei Noah..... cepat kesini... kenapa bengong? bantu kami!" Jery bersuara. Daritadi Noah hanya terbengong dengan apa yang dilihat nya.
"ini pencurian, tidak bisa, aku tidak bisa melakukannya. Aku ingin pulang.."
"Hei Noah, cepat bantu!" kali ini Jery berkata sambil menarik tangan Noah.
"Jery... bagaimana jika ketahuan?" Noah bertanya tapi bibirnya sedikit gemetar.
"makanya kita harus cepat, agar tidak ketahuan."
mereka masuk kedalam ruangan itu... didalamnya penuh sarang laba-laba, debu dimana-mana, serangga kecil merayap disana- sini.
"Pegang ini, ini.... ini... cari semua gulungan kuno, bawa semua lembaran yang bisa kalian bawa" Pria yang memegang pistol itu memberi komando dan memberi beberapa kertas kusut kepada Jery dan Noah, bahkan didalam saku baju dan celana mereka penuh dengan kertas-kertas aneh.
"kemana kita bawa ini Jery?" tanya Noah takut
"Apa kau sedang melawak? Tentu saja bawa kedalam mobil, mau dibawa kemana lagi." Jery menjawab kemudian keluar menuju arah mobil, Noah mencoba mengikutinya dari belakang, begitupun rombongan lain, mereka membawa banyak gulungan kusut, lembaran-lembaran usang, terdapat tulisan di masing-masing gulungan tetapi dengan huruf purba, tidak ada yang mereka mengerti. mereka melangkah pelan, beberapa yang lain masih didalam ruangan itu.
Baru beberapa langkah, tiba- tiba salah seorang dari rombongan yang berjaga - jaga itu berteriak "mereka datang!"
Benar saja, tiba-tiba daerah sekitar mereka sudah mulai diterangi nyala obor, lebih dari dua puluh orang desa itu sudah mendekati mereka dan berteriak dengan bahasa aneh, ditangan mereka ada obor, dan juga pedang, ada pula yang membawa tombak, panah, bahkan kapak.
"Lari.........!!!!" Jery berteriak dengan suara yang cukup besar.
tanpa pikir panjang, Noah berlari sekencang mungkin, dia mencoba mengayunkan kakinya secepat yang dia bisa, tangannya masih memegang beberapa gulungan. Dibuangnya semua gulungan di tangannya, refleks matanya mencari dimana Jery.
"Jery? Jery!!!" masih sambil berlari, Dia mencoba melihat kebelakangnya. Hatinya berkecamuk, jantungnya berdegub dengan kencang, dadanya terasa sesak.
Bagaimana tidak, dibelakangnya, Jery berlutut, tubuhnya dihiasi darah segar, sebuah tombak besar menancap didadanya, matanya sayu, dari mulutnya mengalir darah kental.
"lari Noah... lari..." erangan kecil dari Jery yang tidak berdaya.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!