Naya adalah seorang gadis remaja 18 tahun yang berkehidupan sederhana. Menurut orang-orang sekitarnya, Naya termasuk golongan manusia diatas rata-rata. Pandai dalam pelajaran, bisa main gitar, rajin ibadah, baik. Ahh, pokoknya idaman.
Mempunyai bakat yang diinginkan semua orang, seharusnya seorang Naya harus bangga dong. Tapi kenyataannya, kehidupannya lumayan rumit.
Dalam keadaan apapun, Naya berusaha membuat semuanya terlihat biasa dan menyenangkan. Karena gadis ini cukup pro-aktif. Saking aktifnya kadang banyak yang kesal karena tingkah dan perkataannya.
"Din, lo tahu enggak?" Dinda yang kala itu sedang duduk di bangkunya sempat terlonjak karena pundaknya dipukul oleh Naya.
"Ya enggak tahulah, kan belum di kasih tahu." Ucapnya sembari mengelus pundaknya.
"Gue itu orangnya humoris," saat mengatakan itu Dinda mengernyitkan kening tanda tak terima, "saking humorisnya, orang jatuh aja gue ketawa." Timpalnya.
"Dih," Dinda langsung memukul Naya dengan sembarang dan akhirnya tergelak bersama.
Dinda salah satu sahabat Naya di SMK, Mereka satu kelas plus sebangku. TKJ 2. Jadi kalau ada suara heboh sudah dipastikan itu ulah mereka berdua. Sebenarnya ada 3, satunya lagi beda kelas, TKJ 1. Namanya Widya. Kalau sudah jam istirahat, murid-murid lain lebih memilih jaga jarak, karena 3 sejoli ini sangat amat bising.
Meskipun sama-sama pro-aktif, postur tubuh dan wajah mereka sangat berbeda. Kalau untuk urusan bak model itu ahlinya Widya, karena gadis ini memiliki wajah yang berparas cantik, tinggi, hitam manis, mancung, dan tentunya tipu daya berbicara lembut saat pertama kali berkenalan.
Meski sekali lihat langsung terpesona pada Widya, tapi kalau sudah berteman dengan Dinda, perlahan banyak yang menyukainya. Memang tidak secantik Widya, namun tutur kata, sopan santun, dan kulitnya putih bersih banyak yang akan beralih. Makanya kalau urusan percintaan mereka tak jarang bertengkar kecil-kecilan dan Naya harus selalu jadi penengah sekaligus penghangat diantara kebekuan kedua sahabatnya itu.
Kalau Dinda dan Widya memiliki daya tarik seperti itu, beda dengan Naya. Gadis ini tidak terlalu heboh dalam urusan percintaan. Baginya cukup bahagia dengan diri sendiri, keluarga, dan sahabatnyanya.
Dari penampilan pun, Naya yang terlihat sangat sederhana diantara ketiganya. Tidak memakai bedak kemanapun, apalagi lipstik. Walaupun memiliki segudang prestasi, Naya tidak terlalu dikenal kaum Adam karena penampilannya tidak mencolok.
****
Pulang sekolah.
"Nay, kita berdua ke kost lo lagi ya." ucap Widya, "ya kan Din?"
"Yoi," saut Dinda sembari memasukkan satu tusuk bakso bakar ke mulutnya.
Naya yang menunggu baksonya siap dipanggang pun menoleh, "Gini ya, kalau gue enggak ngijinin kalian main ke kost, besok-besok kurus gue hahahaha"
"Maksudnya Neng?" Nanya sang pedagang bakso bakar yang tidak mengerti maksud gadis yang sedang tertawa itu.
"Si Naya lagi pake bahasa planet lain, jadi susah dimengerti Bang," ucap Dinda yang membuat sang pedagang semakin mengerutkan dahi.
"Gini Bang, Naya kan anak kost, kalau cuman mengharapkan kiriman dari kampung mah cukup 2 Minggu aja udah syukur Bang," Naya menjelaskan, "Jadi dua manusia ini sering kasih Naya makanan gratis dari rumah mereka, plus uang jajan. Kalau Naya macem-macem apalagi ga bolehin main ke kost mau makan apa Naya Bang," lanjutnya mendramatisir.
Setelah mengangguk tanda mengerti dari sang pedagang, kemudian Naya berkata lagi,
"Udah langganan juga, masa sih Abang belum ngerti-ngerti bahasa planet ala kita. Ah, enggak peka Abang ini."
"Makanya Neng, jangan keseringan cuma kasih kode, cowok itu susah ngerti kadang." Balas sang pedagang.
"Bukan kadang Bang, emang susah peka." Balas Widya tak kalah.
Dinda yang malas menanggapi antara kode dan peka, tiba-tiba kepikiran sesuatu.
"Ini namanya bakso bakar, tapi kok dipanggang ya?" Gumamnya dalam hati.
"Bang pake kriuk ya." Ucap Naya saat pesanannya hampir matang.
Setelah memberikan pesanan Naya, pedagang itu bertanya kepada mereka,
"Neng, tahu enggak saat kapan kita ngeliat orang bagaimana pun penampilannya, tingkah lakunya, jalan, lari, makan, tapi tetap terlihat cantik atau ganteng?"
Sejenak Dinda dan Widya menyimak dan mulai berfikir. Naya yang menyaksikan kedua temannya tampak berfikir, kemudian berkata, "enggak usah berlagak berfikir, gue tahu kok, otak lo berdua tinggal tadi di ruangan cuma tempatnya doang dibawa kesini."
"Sialan", umpat mereka berdua hampir bersamaan, Naya jadi cekikikan lalu menoleh ke arah sumber pertanyaan.
Dengan santai Naya menjawab, "Saat kita jatuh cinta sama seseorang Bang"
"Lah, kok tau Neng?"
"Semua orang ngalamin itu kali Bang." Ucap Naya
"Abang pikir Neng Naya enggak ngerti soal kaya gitu."
"Selow Bang, Naya normal kok. Kuat malah." Ucap Dinda.
"Maksudnya kuat neng?" Tanya sang pedagang.
Kali ini Widya yang menjawab, "iya Bang, si Naya kan udah mendam rasa sama musuh sendiri selama 2 tahun, jadi Naya kuat nahan perasaan sendiri."
Dinda menyahut, "Kuat saat enggak dianggap, kuat saat bertepuk sebelah tangan,"
"Kuat saat pura-pura benci namun menggebu-gebu waktu berpa-pasan yhaaa" Teriak Widya tidak mau kalah menggoda Naya.
Saat mulai gencar mengejek, Naya membungkam mulut Widya,
"Selo Wid, mulutku masih terbuka lebar kok buat ngebahas soal kuat," kata Dinda yang sudah mulai berlari menjauh saat Naya ingin menepuk keningnya.
Dinda mulai berteriak lagi, "Bang, Naya juga kuat kok kalauuuuuuu" mulutnya tiba-tiba gagap untuk melanjutkan perkataannya saat melihat sosok seseorang yang lewat sekilas mengendarai sepeda motor yang tak lain adalah Josua musuh bebuyutan Naya sekaligus idamannya.
Naya yang hendak mengejar Dinda, cepat-cepat mengurungkan niatnya.
Tiba-tiba Dinda teriak lagi, "Kuat buat pura-pura enggak liat dia yhaaaaa"
Naya mencebikkan bibirnya. Lalu mengambil sikap tidak acuh, dan mulai menyantap bakso bakar yang ia pesan tadi.
Sang pedagang masih memandangi kearah jalan yang dilewati oleh musuh bebuyutan Naya, kemudian menoleh pada Naya
"Yang itu orangnya Neng?" Tanya sang pedagang. Naya diam tak menanggapi. "Biasa aja mukanya Neng, kok mau sih?"
Naya mencebik. "Kan ini namanya saat jatuh cinta Bang, gimana sih." Ucap Widya.
Kemudian sang pedagang tersenyum, ingat akan pertanyaan yang ia lontarkan beberapa saat lalu.
Dinda menghampiri mereka kembali, "Dan yang perlu Abang tahu dan ingat, itu orang yang lewat tadi yang buat Naya jadi orang kuat hahaha" Gelak tawanya semakin besar karena Widya juga ikut tergelak
"Neng Naya bisa kuat gitu rahasianya apa?" tanya sang pedagang saat 3 sejoli itu memutuskan pulang ke kost Naya
"Minum obat kuat Bang"
:)
**********
Writer : Hy, para readers. Makasih banget kalau mau mampir ke karya pertama aku.
Butuh saran" dari kalian semua, bantu Author ya:)
kalau suka jgn lupa like dan koment yaaaa... di buat ke daftar favorit lebih bagus malah heheheh
Saat sudah sampai di kost, Naya meletakkan tasnya di tempat gantungan tas, Sedangkan dua manusia yang mengikutinya tadi malah melemparkan tas mereka sembarangan di atas tempat tidur.
"Ih, tasnya jangan letak disitu Wid, Din! Itu tempat tidur buat rebahan, udah kecil malah di sempit-sempitin." omel Naya.
Widya langsung menggantung tas mereka takut jiwa emak-emak Naya kumat.
"Tinggal buang aja sih." Dinda berkomentar.
Naya tidak menanggapi, gadis itu kemudian keluar menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan kakinya. Kemudian kembali lagi ke kamarnya.
"Gabut gue" Ucap Naya pada dua sahabatnya yang sedang rebahan.
Dinda langsung duduk, "ke pasar yuk. Gue mau beli sesuatu nih."
"Mau beli apaan? Emang punya duit?" Tanya Widya yang kemudian dijawab sendiri, "eleh, paling cuma beli es krim goreng doang."
"Punya dong, gue kan anak Sultan." Jawab Dinda sambil mengibaskan rambutnya.
Widya mengernyit. "Bukannya nama bapak lo Pandapotan ya, Din?" ucapnya dengan jahil.
"Aduh" Widya langsung mengadu karena kepalanya langsung ditoyor oleh Naya.
"Itu nama bapak Gue ya, anak Johani!" Balas Naya dengan jahil karena Johani adalah nama ayah kandung dari Dinda.
Dinda yang sudah gemas dengan kedua sahabatnya langsung berteriak, "Jimmy, Pandapotan, I love youuuuuuu"
Mendengar itu Naya dan Widya langsung menggelitik gemas Dinda. Bagaimana tidak, Jimmy itu adalah nama ayah kandung Widya.
Ini adalah salah satu kebiasaan tiga sejoli ini yang tidak layak dicontoh. Karena mereka selalu menggunakan nama orang tua (laki-laki) mereka untuk bercanda.
Namun sifat mereka yang ceplas-ceplos dan sederhana membuat mereka tidak terlalu mempermasalahkan hal seperti itu. Asalkan hanya mereka bertiga yang tahu.
Dinda yang ngos-ngosan sehabis dibantai dua sahabatnya itu berucap, "sesama enggak punya bapak, tolonglah. Enggak usah tersinggung gitu kali, kita kan enggak punya."
"Iya, ya." Ucap Naya sedikit cekikikan, "tapi ya enggak apa-apa sih, biar serasa punya."
Ketiga gadis itu kemudian memutuskan untuk pergi ke pasar. Namun saat mereka hendak keluar, Rika, kawan satu kamar Naya muncul.
"Kok lama pulangnya Dek?" Tanya Naya.
"Masih latihan paduan suara tadi bentar kak Nay," jawabnya.
Rika masih junioran mereka, satu tingkat dibawah tiga sejoli ini.
Naya mengangguk, "kita mau ke pasar, mau ikut?"
Rika menggeleng, "enggak ah kak, masih capek mau istirahat dulu."
Naya mengangguk lagi. "Ok. kita pergi ya"
"Ok, kak" Balasnya, kemudian tersenyum pada dua sahabat Naya.
***
Saat memasuki pasar, banyak penjual yang heboh menawarkan barang dagangannya.
"Dek, Dek, ini bajunya bagus-bagus, mampir yuk." Ucap salah satu pedagang.
Dinda membalikkan badannya dan bertanya. "Berapaan harganya Bu?"
"170 aja Dek, udah murah ini," jawab sang pedagang.
Dinda menghela nafas, "belum sanggup beli Bu, soalnya belum dinafkahi sama si Abang yhaaaaa," jawabnya dengan cekikikan yang membuat sang pedagang juga ikut berkata "yhaaaaa."
Dengan sedikit berlari, Dinda menyusul Naya dan Widya yang sudah agak jauh di depannya.
"Kaos kaki, kaos kaki, tiga sepuluh. Ya, dipilih-pilih..."
Karena sedikit berisik, Naya jadi menoleh pada penjual kaos kaki itu. Melihat itu, sang penjual kaos kaki kembali menawarkan dagangannya pada Naya.
"Dipilih Neng, tiga sepuluh."
"Udah punya banyak buat dipake ke sekolah Bang. Kalau saya beli lagi buat apaan dong?" Tanya Naya
"Ya buat jalan-jalanlah Neng." Saut sang penjual kaos kaki.
"Enggak mau ah, Bang." Kemudian Naya berlalu.
"Kenapa enggak mau Neng?"
Mendengar pertanyaan itu, Naya membalikkan badannya, "karena jalannya enggak sama Abang"
"Yhaaaa" Sorak pedagang lain yang mendengar percakapan antara Naya dan si penjual kaos kaki.
Widya dan Dinda jadi ikut bersorak kemudian melenggang bersama untuk mencari dagangan yang lain.
Widya teringat sesuatu. "Eh, Din, tadi lo bilang mau beli sesuatu,"
"Kan mau beli es krim goreng yang dua ribuan Wid." Jawabnya dengan cekikikan.
"Itu mah cuman akal-akalan si Dinda aja biar ke pasar.";Saut Naya
"Hehehehe"
Mereka memasuki tempat aksesoris, Naya melirik sebuah kalung yang terlihat menarik.
"Yang itu empat puluh lima ribu aja Dek," ucap sang penjual saat Naya memegang kalung tersebut.
"Buset, mahal amat." Batinnya. Memang sih, Naya punya cukup uang membeli kalung itu, namun rasanya terlalu sayang untuk beli benda sekecil itu.
"Dua puluh ribu ya Bu, anak sekolahan ini." Tawarnya.
"Aduh,,, enggak bisa Dek, ini barangnya bagus, lagi musim, lagi nge-trend"
Mendengar penuturan sang penjual, Naya melangkah pergi. Melihat itu Widya dan Dinda ikut menyusul.
"Eh, Dek, bisa kurang kok, sini. Jadi empat puluh ribu aja" Panggil sang penjual lagi
Namun ketiga sejoli itu tidak menggubris.
"Ya udah Dek 30 ribu."
Mereka tetap melangkah sambil menahan senyum.
"Dek," panggil sang penjual agak berteriak, "Ya udah dua puluh ribu," ketiga sejoli itu semakin berusaha terlihat tidak tertawa.
Kemudian ada satu kalimat lagi yang membuat mereka benar-benar terbahak.
"Dek, ini banyak yang lima belas ribu, sini!" Ucapnya teriak sedikit histeris.
Mereka melangkah dengan cepat agar jauh dari tempat aksesoris itu. Tiga sejoli itu masih memegang perutnya karena tertawa.
"Et dah, dari harga empat puluh lima ribu ke lima belas ribu." Ucap Naya disela-sela tawanya. "Bagus tadi dia kasih gue pas nawar dua puluh ribu, untung lima ribu dia, kan lumayan."
Dinda yang sudah mulai bisa menguasai diri berkata, "Belum punya kenalan Chinese mungkin. Biar murah, asal laris manis."
Widya sudah tenang, kemudian menoleh pada suatu lapak dress yang terlihat cukup bagus.
"Eh, guys. Cantik itu bajunya," tunjuknya pada salah satu baju.
Mereka mendekati lapak tersebut. Naya tertegun melihat satu dress yang selama ini jadi impiannya tuk dimiliki. Payah emang kalau sudah lama dilirik, disukai, dikagumi namun tak dapat dimiliki, yhaaaaa ambyar!
Kembali ke laptop!
Naya melirik sakunya, dia punya delapan puluh lima ribu. "Cukup enggak ya?" Tanyanya dalam hati.
Sementara Dinda dan Widya sudah membeli dress yang mereka sukai.
"Nay, mau beli yang mana?" Tanya Dinda
Ibu penjual dress itu mendekati Naya. "Mau yang mana Dek?" Tanyanya.
Naya menghela napasnya, menunjuk dress impiannya, " itu harganya berapa Bu?"
"Seratus lima puluh ribu aja Dek, udah murah itu loh," jawab sang penjual.
"Delapan puluh ya Bu," tawarnya.
"Enggak dapat Dek, soalnya tadi banyak yang nawar seratus dua puluh Ibu tolak semua."
Naya sejenak berfikir, "gue tinggal, dia manggil lagi enggak, ya? coba ah."
Naya melirik baju itu. "Enggak jadi Bu, uang saya kurang." Naya menunjukkan uangnya pada sang penjual, "tinggal segini Bu, enggak ada lagi." Naya beranjak pergi.
Baru beberapa langkah, Naya sedikit tersentak saat tangannya di tarik oleh Ibu penjual dress tadi.
"Ya udah, harganya sesuai isi kantong kamu aja, Ibu bungkus ya." Ucap sang penjual yang langsung membungkus Dress tersebut.
Naya mengerjap beberapa kali. Ia masih tidak percaya. Berhasillllll. Ingin rasanya gadis berteriak saat itu juga.
"Makasih Bu," ucap Naya lalu pergi, dan disusul oleh dua sahabatnya.
Ditempat yang agak jauh, Naya menghela nafas, kemudian mulai cekikikan karena melihat raut wajah dua sahabatnya yang manyun.
"Dress gue harganya seratus tujuh puluh ribu cuma dikasih potongan sepuluh ribu." Ucap Widya kesal.
Dinda mengangguk. "Jiwa emak-emak yang Lo punya Nay, emang paling berguna disaat kek gini, nyesel gue menjiwai kegadisan ini."
Naya cekikikan lagi. "Rezeki anak Pandapotan." kali ini Naya menyebut nama ayah kandungnya. Dan itu sontak membuat mereka tertawa.
"Sebenarnya, ini tuh pengalaman pertama gue beli baju sendiri, biasanya emak gue yang beliin plus nawarnya," jelas Naya.
Widya menoleh, " Terus kok bisa berhasil pas tadi nawar?"
Dinda memegang pundak Widya. "Positif aja, si Naya kan punya muka kasihan jadi nampak sengsaranya." Naya langsung refleks memukul pelan tangan Dinda.
"Gue juga enggak tahu kali, selama ini gue cuma dengar-dengar dari orang lain aja, ternyata praktek lebih mudah daripada teori," ucap Naya. "Pulang yuk." Ajaknya.
Kedua sahabatnya itu hanya mengangguk.
Saat hendak pulang, kering ditenggorokan pun menghampiri. Mereka singgah di salah satu lapak penjual minuman.
Naya melihat-melihat menu rasa minuman, tanpa sengaja gadis itu menoleh dan menangkap sosok seseorang yang membuatnya membulatkan mata.
"Astaga!" Pekiknya.
"Mau rasa apa Neng?" Tanya sang pedagang minuman.
Naya masih belum konsentrasi, dia melirik lagi memastikan apa yang dilihatnya itu benar atau tidak. Ah, ternyata benar, Josua.
"Neng rasa apa?" Tanya sang pedagang lagi yang tadinya dikacangi oleh Naya.
"Rasa yang pernah ada Bang." kemudian tersadar dengan apa yang diucapkannya, "eh, maksud saya, rasa jeruk Bang. Iya, jeruk." Jawabnya gugup.
"Si Naya salah tingkah lihat musuh rasa pengeran Wid." Sindir Dinda.
Naya jadi kelabakan. "Apa sih"
Widya jadi cekikikan dan memanggil pemuda itu. Kemudian Josua menoleh dan menghampiri mereka.
Hubungan pertemanan antara Josua dan Naya cukup dingin, namun tidak dengan dua sahabatnya, mereka tetap akur. Karena bagi Josua, Naya yang punya masalah dengannya bukan temannya. Sedewasa itu.
"Ngapain Jo?" Tanya Dinda sambil mendekat.
Josua menunjukkan selembaran kertas daftar belanjaan.
"Beli pesanan Emak."
"Anak Mami masa mau di suruh belanja ke pasar sih, enggak malu Jo?" Tanya Widya.
"Taruhan nyawa ini." Jawabnya.
Dinda mengernyit, "maksudnya?"
"Kalau gue enggak nurut, Emak gue enggak masak dong. Kalau ga masak, mati kelaparan kami sekeluarga." Ucapnya.
"Ini Neng, rasa yang pernah ada Abang kasih jeruk biar ada kenangan." Ucap sang penjual minuman sambil menyerahkan pesanan Naya.
Naya menunduk malu menggigit bibir bawahnya. Dia lupa uangnya kan udah habis buat beli dress. Ia menoleh pada Widya dan Dinda secara bergantian kemudian cengengesan.
"Lo kenapa? Kesambet?" Tanya Widya.
"Bayarin dong, gue lupa duit gue udah habis tadi hehehe." Jawabnya cengengesan.
Belum sempat salah satu dari dua sahabatnya itu mengambil uang, Josua sudah lebih dulu mengeluarkan lembaran lima ribuan dari sakunya. "Nih Bang buat rasa jeruk yang di campur dengan rasa yang pernah ada," ledeknya. Kemudian dia pamit pada mereka namun tidak memandang Naya sedikit pun. Dan yang lebih parah, mau mengucapkan terimakasih pun lidah Naya susah sekali untuk digerakkan.
Widya jadi baper. "Ahhh, meleleh gue."
"Diem-diem perhatian." Ucap Dinda.
Widya menatap Naya sambil senyum-senyum, "Kalau Josuanya gue ambil boleh ya?"
"Auk gelap." Jawab Naya ketus
"Kayaknya persahabatan kita harus diakhiri guys, karena kita bakalan bersaing mendapatkan cintanya."
"Aduh." Dinda langsung mengaduh karena Naya kali ini pake tenaga menoyor kepalanya.
"Pulang." Ucap Naya ketus.
"Iya, Mak" jawab Dinda dan Widya bersamaan.
Diperjalanan pulang, Naya tampak sedikit bingung. Dahinya berkerut seperti memikirkan sesuatu.
"Josua gila!" Ucapnya tiba-tiba, sontak membuat dua sahabatnya jadi bingung, mereka memasang wajah ingin sebuah penjelasan.
"Kalau misalnya uang belanja dia kurang, terus Emaknya marah gimana?"
Dan pertanyaan itu membuat dua sahabatnya tersenyum. "Cie perhatian." Ucap mereka bersahutan.
Naya mencebikkan bibirnya. "Bukan apa, taruhannya coret nama dari kartu keluarga."
Widya langsung merangkul Naya, "Iya deh, iya. Percaya."
"Percaya, kalau lo enggak khawatir dan enggak perhatian sama musuh lo." timpal Dinda yang membuat mereka cekikikan.
"Kawan gila!"
***
Dilain tempat, Josua yang baru sadar akan sesuatu memukul keningnya,
"Buset, uang minyak motor gue." Gerutunya.
"Cewek gila!"
"Kenapa gulanya cuma setengah kilo?" Omel Ibu Josua.
"Anu, Bu"
"Anu-anu! Ngomong yang jelas!"
Josua menghela nafas, "tadi teman aku enggak punya duit beli minum, ya aku kasih Bu." Ucapnya jujur.
Eh, ralat. Musuh, bukan teman.
Ibunya mengangguk sedikit tersenyum.
"Ibu enggak marahkan?" Tanya pemuda itu hati-hati.
Dengan lembut Ibunya mengelus sayang kepala anaknya, "kalau ngebantu kawan, itu bagus namanya, meski bantunya enggak pakai uang sendiri."
Josua mendecak. "Kalau akunya udah kerja, ya pakai uang aku atuh, Bu"
"Ya udah, makan gih."
"Bentar lagi aja Bu, masih kenyang."
Pemuda itu beranjak ke kamarnya. Mengambil gitar dan mulai memetik tali benda itu, suara gitar itu pun melantun merdu.
Keseharian pemuda itu tidak terlalu ribet, pulang sekolah kalau tidak main gitar ya main game. Dia juga tidak terlalu sering menyentuh buku seperti dugaan teman-temannya.
Josua termasuk siswa yang berbakat dan berprestasi. Dibandingkan dengan kemampuan Naya, Josua jauh diatasnya. Namun karena Pemuda itu lebih kalem dan tidak terlalu aktif, Terkadang Naya memiliki nilai lebih di mata para guru saat memberi nilai.
Sebenarnya mereka berdua juga bingung kenapa mereka tidak akur. Memang tidak bertengkar secara terang-terangan. Namun saat bertemu, atau berkumpul mereka saling canggung.
Meskipun sikap mereka seperti bermusuhan tapi terkadang saling perhatian, namun tidak secara langsung. Seperti saat beberapa bulan lalu, Naya hendak pergi ke rumah salah satu teman sekelasnya untuk kerja kelompok. Dan kebetulan Josua lewat dengan motornya, Maya menoleh, tersenyum sedikit.
Ya, walaupun musuhan disekolah, setidaknya diluar tidak. Naya.
Kira-kira 10 meter, Josua berbalik menghampiri gadis itu.
"Ayo, naik. Mau kemana?" Tanya pemuda itu.
Dengan canggung Naya menjawab, "ke rumah Ella."
"Ya, udah naik."
Naya menurut.
Pernah lagi sewaktu mereka belajar, Guru kimia mereka menyuruh mencatat tulisan yang ada di papan tulis. Josua tampak kebingungan.
"Lo kenapa Jo?" Tanya Harry, kawan sebangku Josua sekaligus sahabatnya juga.
Pemuda itu menggaruk tengkuknya, "pena gue enggak ada. Enggak bisa nyatat. Pinjamin ke si Naya, dong."
"Ya ngomong sendiri lah ke orangnya, noh."
"Oh, gak mau, ya? pulang sekolah enggak gue anterin lo!" Ancamnya.
Harry mendecak kesal. "Naya." Panggilnya kemudian. Naya langsung mendongak menanggapi. "Si Josua enggak punya pena. Katanya pinjem."
Mendengar itu, Naya jadi sibuk mencari pena di tasnya. Gadis itu sadar, penanya satu lagi sudah Ia pinjamkan ke Dinda.
Aduh gimana, ya?
Naya berdiri. "Man-teman, ada yang berkenan meminjamkan pena?"
Teman satu kelasnya mengambil sikap pura-pura tidak dengar. Gadis itu jadi kesal, kemudian berkata, "ulangan fisika Minggu depan jangan ada yang manggi-manggil gue."
Sontak membuat satu kelas jadi riuh, "oh, pena ya, Nay?" Tanya salah satu temannya yang takut tidak diberi contekan.
Kemudian ada lagi yang menyahut "eh, ini ada punya gue banyak, mau pilot atau standard? atau faster juga ada nih?"
"Ini Nay, buat lo aja, enggak usah dibalikin juga enggak apa-apa, kok." Sampai-sampai ada yang mengantarkan pena ke meja Naya, tepat di hadapan Gadis itu.
Naya jadi mendecak.
Giliran diancam baru gerak deh tuh bibir. Gerutunya dalam hati.
"Harry, nih tangkap." Naya melempar pena itu dan membuat Harry refleks menangkap.
Harry menyodorkan pena yang diberikan Gadis itu. "Nih, Jo."
"Bilang makasih ke dia, Ry." Ucap Josua.
Lagi-lagi Harry mendecak, namun tetap menurut.
"Nay, kata Josua makasih."
Naya menoleh, "bilang sama-sama, Ry."
Harry berbalik lagi, "kata si Naya sama-sama."
Josua berucap lagi, "bilang ke dia, entar gue balikin."
Harry memanggil Naya lagi, "kata si Josua entar di balikin."
Naya hanya mengangguk.
Dan Niel salah satu sahabat gila Josua sedari tadi menyimak drama tiga orang di kelasnya itu jadi mengernyit kesal.
Ini yang **** siapa, sih.
Begitulah sekilas cara mereka untuk saling peduli dalam status bermusuhan.
***
Dirumahnya, Josua tampak sedikit bingung melihat sang Ibu yang mondar-mandir.
"Ibu kenapa, sih?"
"Ayah kamu belum pulang."
"Perasaan semalam bapak pulangnya juga jam-jam segini kok Bu. Palingan bentar lagi. Emang kenapa sih, Bu? Ibu kangen, ya?" Godanya.
"Bukan."
"Terus?"
"Bapak gajian hari ini." Josua melengos.
Bunuh aja aku Bu.
Pemuda itu membiarkan Ibunya menunggu sang bapak pulang kerja. Ia masuk kamar dan meraih hpnya. Membuka WhatsApp, dan melihat notif grup 'ANAK TARZAN' yang beranggotakan tiga orang.
Harry : besok jemput gue, Jo.
Niel : jangan mau, Jo. Si Harry ke sekolah enggak pernah mandi, bau dia. Entar elu malu bawa dia, mending jemput gue aja :v
Josua : rakyat missqueen.
Niel : ngehina si Bambang. Hajar Ry.
Harry : enggak level gue ngehajar orang kayak dia.
Josua : Dih.
Josua meletakkan hpnya, memilih mengabaikan teman-temannya yang otak nya agak tergeser sedikit alias kurang waras, baginya.
Ditempat lain, Naya terlihat sedang menyendiri di teras kostnya sambil menuliskan sesuatu dibuku diary nya.
"Bencimu menyiksa ku, Jo."
Gadis itu selalu berfikir bahwa Josua yang dianggapnya musuh bebuyutan itu sangat membencinya. Apalagi ketika mengingat momen dimana Ia terpilih jadi juara umum, Ia sangat merasa bersalah pada pemuda itu. Dan hal itu sempat membuat Naya tidak belajar beberapa bulan agar nilainya hancur dan membiarkan Josua naik tingkat lagi. Dan ya, hasil raport menunjukkan Josua pemenangnya pada semester itu.
Setelah masa itu pun, tetap saja hubungan keduanya tidak membaik sama sekali. Malah semakin runyam.
Permusuhan halus yang terjadi ini jadi bahan ledekan di kelas. Setiap ada momen dimana mereka berdampingan, semua akan berteriak 'cieeee' dan hal itu membuat dua manusia ini semakin canggung.
Seperti saat menjawab pertanyaan, mereka sama-sama mengangkat tangan, dan benar saja semua jadi ricuh.
Saat Naya mengingat semua kejadian itu kepalanya jadi pusing.
Huff
Ting!
Notif WhatsApp di hp gadis itu membuat nya mengalihkan perhatian, kemudian membukanya. Ada seulas senyum di bibirnya.
Grup 'BAPAK MANA, BAPAK!'
Widya : Eh, tau ga caranya bikin orang gila penasaran?
Dinda : gimana emang?
Widya : besok gue kasih tahu.
Dinda : kenapa enggak sekarang?
-Hening-
Dinda : dih, gue dong.
Widya : astaga, lo begonya ga ketulungan. Naya mana ini?
Dinda : nyari bapak baru mungkin.
Naya : Disini aku masih sendiri, merenungi hari-hari sepi, aku tanpamu oooo, meski tanpa mu. JANGAN SAMBIL NYANYI!
Dinda : yah, jadi nyanyi kan gue.
Widya : gila emang.
Naya : eh, Bambang, gue kadang heran deh liat cewek-cewek jaman sekarang.
Dinda : ngapa, dah?
Naya : muka glowing leher dakian😅
Widya : lah, ahahah
Dinda : gue sih lebih bingung sama diri gue sendiri, bosen hidup mati belum siap.
Naya : bused, dah. Emang belum siap mati karena apa coba?
Dinda : karena belum siap ninggalin si Harry yhaaaaa
Widya : dih!
Naya : terus bosen hidup karena apa lagi dah?
Dinda : males gue, tiap hari cuman liat lu berdua doang!
Begitulah percakapan absurd itu terjadi tiap malam. Maklum, tiga sejoli ini Jones(jomblo ngenes).
Widya : Oi, gue mau kasih tau sesuatu.
2 menit
5 menit
10 menit. Tidak ada yang merespon chat gadis itu.
Dih, ditinggal tidur nih gue, pasti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!