Sekilas info terkait sekolah kedinasan ini, perlu disampaikan agar penggambaran dapat lebih terimajinasi dengan mudah.
Terletak di lembah Manglayang, sekolah yang lebih sering disebut Kesatrian (karena dianggap akan lebih sakral) ini mencetak calon-calon pemimpin bangsa pada masa depan di bidang pemerintahan.
Bila dilihat dari satelit maka akan tampak Kesatrian seperti gambar Berbentuk Pena. Kesatrian seluas 280 hektar ini memang sudah dirancang sedemikian rupa, menggambarkan senjata seorang pamong dalam bertugas, yang adalah pena (alat tulis) dalam artian, melalui kebijaksanaan dan keberanian untuk menetapkan setiap keputusan yang perlu diambil dengan cerdas, dalam memecahkan setiap persoalan yang dihadapi.
Mengacu pada kondisi sekarang ini, dimana musuh bangsa kita yang tidak lagi menjajah secara fisik, menggunakan senapan dan sebagainya, melainkan dengan belenggu ekonomi, tekanan diplomasi, rongrongan moral, budaya dan gaya hidup yang sudah tidak sesuai lagi dengan ideologi kita.
Maka filosofi pena di sini mengandung arti, bahwasanya tugas pokok Praja adalah belajar, menuntut ilmu setinggi-tingginya tentang berbagai macam kebutuhan negara baik di masa sekarang maupun di masa depan dengan belajar dari apa yang terjadi pada masa lampau.
Bersembohyankan Abdi Praja Dharma Satia Nagara Bhakti (yang maknanya secara singkat dan tersirat adalah berdedikasi, yakni membaktikan seluruh jiwa raga untuk mengabdi pada tugas-tugas yang diberikan oleh negara untuk masyarakat) dalam kerangka Bhineka Nara Eka Bhakti (“Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu pengabdian", cita-cita yang sangat mulia, merupakan representasi dari tujuan didirikannya Sekolah Kedinasan ini oleh presiden pertama RI, yaitu bpk Ir. Soekarno pada tanggal 17 Maret 1956 di Malang, Jawa Timur).
Murid/siswa di sekolah kedinasan ini disebut Praja, dengan masa pendidikan 4 tahun, terdiri dari 4 tingkatan kelas, mulai dari:
Muda Praja (Tingkat I), setelah melewati masa basis selama ± 3 bulan dengan predikat Calon Praja/Capra, maka mereka akan dikukuhkan sebagai Muda Praja dan diangkat sebagai CPNS, yang setelah mengikuti Diklat Prajabatan selama ± 1 bulan diangkat lagi menjadi PNS Golongan II/a. Muda Praja merupakan tingkat awal atau yang baru memasuki jenjang pendidikan. Sistem pendidikan yang diterima oleh Muda Praja adalah penanaman, artinya pada tahap ini akan diperkuat internalisasi sebuah mindset/indoktrinasi nilai kehidupan berpemerintahan yang baik dan benar.
Madya Praja (tahun kedua), merupakan praja tingkat dua. Dari makna Madya yang berarti menengah, maka di tahap Madya ini para Praja sudah mendapat peningkatan yakni lebih ditekankan kepada pembelajaran dan pelatihan.
Nindya Praja (tahun ketiga), merupakan praja tingkat tiga. Nindya memiliki makna tanpa cela yang artinya pada tahap Nindya ini praja diharapkan untuk bisa menerapkan ilmu mereka. Jadi apa yang sudah didapat ketika menjadi Muda dan Madya dalam kehidupan sehari-hari di dalam kampus IPDN harus dipraktekkan dalam kehidupannya.
Wasana Praja (Tingkat IV), merupakan tingkat kepangkatan akhir. Wasana memiliki arti dewasa yang artinya pada tahap wasana ini praja diharapkan bisa menjadi manusia seutuhnya. Yakni manusia yang dewasa yang bisa menerapkan apa yang sudah didapat ketika menjadi Muda Praja, Madya Praja dan Nindya Praja.
Selanjutnya, ada penyematan status sebagai Purna Praja, yang juga merupakan tahap paling akhir dari status kepangkatan di dunia kepamongan sekolah kedinasan ini. Purna Praja atau juga yang dikenal sebagai alumni Praja APDN/STPDN/IPDN.
Dalam tahap ini, seorang Purna Praja diharapkan dapat mengabdikan dirinya kepada masyarakat yang lebih luas. Purna Praja dilambangkan sebagai sosok manusia yang sempurna, yang bisa menjaga nama baik sendiri maupun almamater.
Purna Praja juga memiliki identitas seperti halnya Praja, namun bukan berupa Evolet Pangkat seperti ketika mengenyam pendidikan di ksatrian, namun sebuah lencana Purna Praja (berbentuk pin dan cincin Purna Praja).
Pin bersegi delapan ini dilatarbelakangi oleh filosofi ajaran kepemimpinan kuno asta brata. Asta brata adalah delapan ajaran utama tentang kepemimpinan yang merupakan petunjuk Sri Rama kepada Bharata (adiknya) yang akan dinobatkan menjadi raja Ayodhya. Astha Brata berisikan delapan sifat yang patut dimiliki oleh seorang pemimpin khususnya seorang Kepala Negara, Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, yakni:
Indra Brata adalah sifat seorang pemimpn (raja) yang dapat memberikan kesenangan material (kesejahtraan atau kemakmuran) bagi yang dipimpinnya.
Yama Brata adalah sifat seorang pemimpin yang dapat menegakkan kebenaran dan keadilan terhadap bawahannya, dengan memberi hukuman kepada yang berbuat salah sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya.
Surya Brata adalah sifat seorang pemimpin yang dapat memberikan penerangan yang menyeluruh dan merata kepada seluruh bawahannya, serta tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.
Candra Brata adalah sifat seorang pemimpin yang harus dapat berwajah tenang, berseri-seri dan ceria, sehingga menyejukkan dan memberi kepuasan bathin bagi rakyatnya. Dewa Candra adalah dewa bulan yang merupakan simbul kesejukan.
Bayu Brata adalah sifat seorang pemimpin yang dalam menerima data atau laporan hendaknya menyelidiki kebenarannya terlebih dahulu.
Kuwera Brata adalah sifat seorang pemimpin yang harus hemat dan cermat dalam menggunakan keuangan negara dan juga harus rapi, baik dalam berpakaian, berbicara, maupun bertindak.
Baruna Brata adalah sifat seorang pemimpin yang harus berusaha keras dengan segala kemampuannya untuk menyelamatkan bawahannya dari segala hal-hal yang mengganggu kenyamanan, serta berpengetahuan luas sehingga dapat memecahkan segala permasalahan.
Agni Brata adalah sifat seorang pemimpin yang harus berani dalam menghadapi segala rintangan, tuntutan dalam menyelesaikan segala masalah, serta mampu membangkitkan semangat kerja bawahannya.
Ada 3 istilah yang tercipta berdasarkan pengalaman praja pada umumnya:
Pertama
Muda Praja \= menderita banged,
Madya Praja \= mulai mengenal cerita cinta,
Nindya Praja \= merasa sebagai raja/ratu-nya ksatrian,
Wasana Praja \= masa-masanya stres menyusun laporan akhir/LA (semacam skripsi) dan mempersiapkan diri untuk ujian komprehensif;
Kedua
Muda Praja \= sebisanya cari selamat,
Madya Praja \= mulai suka mencari nikmat,
Nindya Praja \= teramat sangat bersemangat,
Wasana Praja \= sibuk mempersiapkan ujian yang mulai terasa menjerat;
Ketiga
Muda Praja \= suka sok jadi Madya;
Madya Praja \= sering belaga jadi Nindya;
Nindya Praja \= suka sok jadi Wasana;
Wasana Praja \= jadi sering merasa dongkol.
Pada setiap tingkatan praja, ada sekitar 900 sd 1.000 orang praja yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia. Perbandingan rata-rata praja laki-laki dan perempuan adalah 5:1 (lima dibanding satu). Jadi kebayang kan bagaimana kompetisi para praja pria untuk merebut hati praja perempuannya?
...***...
Kehidupan di sekolah kedinasan ini juga bisa dianggap sebagai kehidupan Indonesia dalam skala mini, karena praja memiliki lembaga pemerintahan sendiri.
Praja hidup berasrama (biasa disebut wisma, berbentuk seperti barak). Nama-nama Wisma yang ada di ksatrian adalah nama-nama Provinsi di Indonesia, seperti Wisma Kalimantan Tengah/Kalteng, Wisma DKI Jakarta dan lain-lain.
Setiap wisma terdiri dari 2 lantai (Wisma Atas dan Wisma Bawah), masing-masing wisma terdiri dari 5 petak (petak A, B, D dan E, masing-masing berisi 10 tempat tidur praja yang berhadapan 5-5 untuk ditempati 10 orang praja, sementara perak C ditinggali 4 orang pengurus wisma dan ruang kebersamaan/tempat nonton TV).
Jadi dalam 1 wisma itu biasanya ditinggali 88 orang praja (44 praja di Wisma Atas dan 44 praja lainnya di Wisma Bawah).
Sebagai bagian dari fasilitas hidup, pada setiap wisma (atas dan bawah) juga masing-masing terdapat 20 toilet dan 20 kamar mandi serta 2 ruang belajar besar (berisi masing-masing 20 meja belajar) pada sisi kanan dan kiri wisma. Terdapat juga 2 ruang doa (semacam mushola) untuk dipakai bersama.
Dalam satu wisma biasanya diacak penempatan praja-nya, diupayakan terdapat perwakilan praja setiap provinsi se-Indonesia, sehingga diharapkan terjadi integrase budaya, setiap praja dapat memahami karakter, sifat, watak, perilaku dan kebiasaan bhakan adat yang ada di seluruh Indonesia.
Proses Integrasi ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, kalau hanya sekedar kenalan, semua orang pasti bisa. Tapi untuk sampai pada tahap saling memahami, saling menolong dan saling menjaga, Ambeg Paramaarta (mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi/golongan) tentu saja memerlukan proses dan waktu yang tidak sebentar.
Maka di ksatrian, selalu ditanamkan Korsa (rasa sepenanggungan) agar terjadi kesatuan pemikiran/kesepahaman dan rasa saling memiliki antar sesama.
Menjalani kehidupan bersama-sama selama 4 (empat) tahun, mulai dari bangun tidur, makan bersama, melaksanakan perkuliahan dan kegiatan-kegiatan lainnya, hingga istirahat malam, dengan sendirinya akan menumbuhkan semangat kekeluargaan dalam bingkai kebangsaan.
Untuk memberikan latihan praktik mengembangkan kemampuan kepemimpinan bagi Praja, disusun sebuah Organisasi Korps Praja, disebut Wahana Wyata Praja merupakan senat mahasiswa.
Wahana Wyata Praja mempunyai Struktur Organisasi dan Tata Kerja yang disesuaikan dengan Organisasi Pemerintahan Wilayah/Daerah.
Pejabat-pejabat Korps antara lain disebut: Gubernur Praja (pemimpin dari keseluruhan Praja), Bupati Praja (pemimpin dari setiap angkatan, dimana setiap angkatan dianggap 1 wilayah Kabupaten, yang dipimpin oleh seorang Bupati, jadi di ksatrian ada 5 Bupati -untuk Kabupaten Muda, Kabupaten Madya, Kabupaten Nindya, Kabupaten Wasana dan Kabupaten Dwarawati, yaitu kabupaten khusus keputrian, yang warganya adalah praja perempuan dari semua tingkatan), Camat Praja (memimpin praja pada 2 wisma tertentu) dan Kepala Desa/Lurah Praja (memimpin praja pada suatu lantai wisma), dilengkapi dengan sekretariat masing-masing.
Juga terdapat berbagai Unit Kegiatan Praja (UKP) di ksatrian, seperti: Polisi Praja (Polpra), Pasukan Tanda Kehormatan (PATAKA), Drumkorps Gita Abdi Praja (drumband), Paduan Suara Gita Puja Wyata, Band Khatulistiwa, Gerakan Praja Muda Karana, Wapa Manggala (Wahana Praja Mengenal Masyarakat, Gunung dan Alam, praja pencinta alam), Majalah Abdi Praja News, Teater Persada, SAR, Sanggar Seni Praja, Informatika dan Komputer, beberapa klub Olahraga (seperti: karate, satria nusantara, pencak silat, catur, basket, menembak, tenis, badminton, dsb), English Community Union (ECU) atau English Conversation Club (ECC) dan lain-lain.
Sistem pendidikan yang diterapkan adalah semi militer dan baris-berbaris adalah kehidupan sehari-hari. Pengecekan personel dilakukan 3x sehari, yaitu pada saat:
- Apel pagi (sebelum makan pagi, jam 07.00 WIB) di lapangan Plaza (ada 2 lapangan yang disebut plaza: Plaza Atas dan Plaza Bawah),
- Apel siang (biasanya setelah pembelajaran di kelas dan sebelum makan siang, jam 12.00 WIB, dilakukan di Plaza Atas, persis di depan Menza/ruang makan bersama), serta
- Apel malam (sebelum waktu istirahat malam, jam 21.00 WIB, kecuali di hari pesiar, yang dilakukan sesaat setelah jam pesiar habis, bertempat di Plaza Bawah).
Praja sekolah ini terdiri dari pemuda/pemudi terbaik perwakilan setiap daerah di seluruh pelosok Indonesia, disaring dengan ketat (secara fisik dan psikis) oleh pemerintah daerahnya masing-masing, walau mungkin juga terkadang banyak sisipan "agregasi kepentingan" juga dalam proses seleksinya.
Tapi kita tidak akan membahas hal ini secara detail demi kedamaian internal.
Sistem pengajarannya terdiri dari 3 unsur utama, yaitu:
- Akademis (dengan metode tatap muka di kelas, diarahkan dan mendapat penilaian/evaluasi secara berkala dari para dosen dan tim pengajar);
- Skill/keterampilan (dengan pelatihan-pelatihan dan simulasi kejadian di lapangan, seperti kemampuan berbahasa, berdiplomasi, berpidato, debat/diskusi kelompok, teknik berkebun/beternak, penerapan teknologi tepat guna, seperti pembuatan tempe/kecap dan lain-lain, yang keseluruhannya langsung dipandu oleh para pakar di bidangnya masing-masing dan biasa dipanggil dengan Pelatih dan tim pelatihan); dan
- Kepribadian (dengan penanaman nilai-nilai kehidupan, seperti: kerajinan beribadah, penerapan Peraturan Urusan Dinas Dalam/PUDD, kerapihan dan kebersihan tempat tidur/meja belajar/lemari pakaian/penampilan, sistem senioritas/penghormatan kepada yang lebih senior, keharmonisan sesama teman dsb, dipantau secara berkesinambungan oleh para Pengasuh dan tim pengasuhan).
Jadi setiap praja akan mendapatkan nilai Pengajaran, Pelatihan dan Pengasuhan secara berkala (bulanan, triwulan dan semesteran), dengan sistem drop-out bagi yang tidak bisa mencapai batasan nilai tertentu.
Praja juga tidak bisa seenaknya keluar/masuk kesatrian. Praja hanya diperbolehkan keluar dari ksatrian sewaktu jam pesiar atau dengan izin khusus.
Pengaturan waktu pesiar bagi praja juga berbeda-beda tergantung pada tingkatan masing-masing, antara lain:
- Muda Praja \= pada hari Sabtu dan Minggu, dari 13.00-19.00 WIB;
- Madya Praja \= hari Sabtu dan Minggu, dari 12.00-20.00 WIB;
- Nindya Praja \= hari Rabu, Sabtu dan Minggu, dari 12.00-21.00 WIB (ditambah kesempatan Izin Bermalam/IB yang harus diajukan seminggu sebelumnya, maksimal 2 x sebulan);
- Wasana Praja \= hari Rabu, Sabtu dan Minggu, dari 12.00-22.00 WIB (ditambah kesempatan Izin Bermalam/IB yang harus diajukan 2 hari sebelumnya, maksimal 4 x sebulan).
...***...
Berikut pengenalan sekilas ke-5 tokoh kita:
Han, laki-laki keturunan Batak dengan tinggi 181cm, bernama lengkap Handoko Simangunsong, anak sulung (dari 2 bersaudara) seorang petani kaya di daerah Sumatra Utara, yang juga merupakan asal pendaftaran/asdaf-nya. Saat ini Han telah menduduki tingkat Wasana Praja. Kepribadiannya aga kaku, jarang tersenyum dan suka jaga image. Sangat cocok dengan postur tubuhnya yang tinggi dan besar.
Salah satu hobbynya selain berolahraga membentuk otot adalah bermain musik dan ketika sesekali memperdengarkan suara emasnya, banyak perempuan yang jatuh cinta sampai klepek-klepek.
Han selalu tampil rapi dan suka mengoreksi orang lain, terutama para juniornya yang berani tampil kurang rapi di hadapannya.
Ian, pemuda ganteng pendiam keturunan Tionghoa, asal pendaftaran Jakarta dengan tinggi badan 179cm.
Bernama lengkap Rianeldy Lee, Ian adalah putra bungsu (dari 5 bersaudara) sebuah keluarga konglomerat di Jakarta, yang sebenarnya tidak terlalu merestui anaknya tersebut keluar dari bisnis keluarga mereka. Untungnya, Ian memiliki 2 orang Koko (kakak laki-laki) dan 2 orang Cici (kakak perempuan) yang sudah terlebih dahulu berkecimpung membantu ayahnya mengelola bisnis keluarga, sehingga Ian akhirnya diperbolehkan melanjutkan sekolahnya di sekolah kedinasan ini.
Kesukaan Ian adalah membaca dan membuat karya tulis yang bermanfaat untuk mendobrak stereotif yang ada.
Jiwa sosialnya tidak perlu dipertanyakan, bahkan ia rela meninggalkan kehidupan mewah bersama keluarga, yang selama ini telah memanjakannya dengan segala fasilitas, demi bisa menuntut ilmu dan mewujudkan cita-citanya bisa bermanfaat di bidang pemerintahan. Tingkatan Ian saat ini masih Muda Praja.
Dina, gadis manis dengan nama lengkap Andi Dinameiriza ini tergolong pemalu dan pendiam. Ia senantiasa menutup diri dari pergaulan dan kegiatan-kegiatan sosial di ksatrian.
Perawakan Dina langsing mendekati kurus, dengan tinggi badan 165cm dan berat badan yang seringnya kurang dari 50 kg.
Saat ini keluarganya hidup kurang berkecukupan, sehingga sebagai anak tengah dari 3 bersaudari, ia terpaksa masuk sekolah kedinasan ini, setelah sebelumnya sempat mengenyam pendidikan di universitas swasta.
Sekolah kedinasan kan gratis sehingga merupakan salah satu solusi agar bisa mengurangi biaya pendidikan, bahkan diharapkan bisa sedikit mendongkrak ekonomi keluarganya, karena lulusannya langsung ditempatkan di bidang pemerintahan.
Ayah Dina adalah mantan kontraktor yang kena tipu. Kehidupan keluarganya yang awalnya lumayan berada, berubah 180⁰ menjadi terpuruk setelah usaha ayahnya mengalami kebangkrutan total. Saat ini Dina berada di tingkat Madya Praja.
Ute, putri tunggal produk broken home asal pendaftaran Kalimantan Timur.
Kedua orang tuanya telah memiliki keluarga masing-masing dan hidup sangat berkecukupan. Ayah Ute adalah seorang Panglima Tinggi/Pati yang telah hidup bersama seorang mantan aktris terkenal (dibaca sensasional, karena minus prestasi/karya, hanya memiliki trade record pemberitaan yang relatif heboh pada masanya), sementara ibunya seorang Direktur Utama/Dirut perusahaan besar yang selalu bersama pengacara pribadinya kemanapun mereka berada.
Gadis cantik bernama lengkap Thia Utami ini memiliki postur ideal dengan tinggi badan 167cm dan berat badan 55 kg.
Ute adalah gadis yang sangat cerdas dan ceria, sebisa mungkin dia selalu mencoba menutupi luka hati-nya dan kenyataan dia mengidap prosopagnosia (ketidakmampuan mengidentifikasi wajah seseorang) dengan celotehan lucu dan lelucon kocak.
Ute berada di tingkat Muda Praja saat ini.
Pras, pemuda sederhana bertinggi 175cm ini keturunan Jawa asal pendaftaran Jepara dengan nama lengkap Marendra Prastyawan.
Dari kecil selalu berprestasi dalam bidang akademik dan olah raga, namun karena keterbatasan ekonomi tidak dapat melanjutkan sekolah setelah tamat SMA.
Pras sempat berkelana ke Jakarta dan jadi kenek kendaraan umum trayek Senen-Grogol. Di bulan keempat ia ngenek, terjadi insiden di angkotnya.
Ia sempat menolong seorang ibu yang hampir menjadi korban pencopetan.
Si ibu yang berterima kasih memberikan brosur sekolah kedinasan ini dan mendoakan dia diterima di sekolah kedinasan ini.
Takdir merestui dan saat ini Pras sudah berada di tingkat Nindya Praja.
...***...
Kisah ini adalah kilasan kehidupan asmara kelima tokoh utama kita ini, mulai dari momen perkenalan masing-masing.. Han - Ian - Dina - Ute - Pras.. HIDUP...
Bagaimana mereka berlima berjuang menjaga eksistensinya masing-masing dalam kehidupan di sekolah kedinasan, yang seakan sering mempermainkan harapan dan kenyataan.. mengecewakan dan membahagiakan.. membangun kepercayaan dan menghancurkannya untuk membangun yang baru lagi..
Bagaimana mereka mulai mengenal debar-debar asmara.. merasakan jatuh cinta (yang namanya jatuh mana pernah enak seh ya? yang ada juga sakit), berjuang dari patah-hati dan bangkit kembali, menyembuhkan luka² yang ada.. terluka lagi dan bangkit kembali..
Bagaimana kehidupan mengajarkan mereka untuk berdamai dengan keadaan, membentuk karakter mereka, mengasah kemampuan untuk jadi lebih baik dan mendorong mereka untuk terus berjuang.. lagi dan lagi dan lagi..
Dan terus melanjutkan hidup..
...***...
Hm.. kembali ke Kesatrian tercinta berstatus senior tertinggi, Wasana Praja.. balik berutinitas semi militer.. melihat baris-berbaris junior lagi.. untung saja ini sudah di tahun akhir ku..
Teringat dulu di awal penggemblengan (kalau masa ospek di kampus lain hanya seminggu maksimal sebulan, di ksatrian ini kami berasa diospek selama 3 tahun).. untunglah semua itu sudah lewat..
Sistem senioritas yang seringkali kelewatan (entah lewat mana saja 🤭).. apalagi bagi Praja yang berbadan tinggi besar, pembinaan berupa kekerasan fisik sudah jadi makanan sehari-hari.. kalau dipikir-pikir, seharusnya itu ditujukan untuk memperkuat tubuh dan mental kami juga seh, yah bukankan "what doesn't kill u makes u stonger" ya? sayangnya setiap angkatan ada aja yang jadi "tumbal/korban" dan harus meregang nyawa karna ga kuat (baik secara fisik maupun psikis), atau memang kontrak mereka di dunia ini sudah habis ya? entahlah.. Setiap tahun, ada saja momen kami berbaris sepanjang jalan ksatrian, untuk memberikan penghormatan terakhir kpd senior/rekan seangkatan/junior yang meninggal dunia. (terjemahan: yang tidak membuatmu mati, membuatmu semakin kuat)
Di tahun akhir ini, sebagai Wasana Praja, kami punya beberapa keuntungan, seperti tidak punya senior yang harus dikasih penghormatan ala militer/ppm, tidak lagi harus baris mau kemana-mana, tidak akan dikoreksi kerapihannya, bisa isengin junior, bisa bebas ngelirik adik-adik manies (mungkin memang benar ada seleksi kecantikan/kegantengan buat masuk sekolah ini, karena perasaan ga ada praja yang jelek deh)..
Seperti gadis berambut kemerahan itu, dia terlalu menonjol diantara teman-temannya berkostum hitam-putih yang tampak kepayahan mengangkut kopernya masing-masing. Selain rambut dan postur badannya yang relatif menjulang untuk ukuran perempuan pada umumnya, aura dan sikap santainya juga menarik untuk diperhatikan, seperti tidak bisa tenang anaknya. Benar-benar bukan tipe ideal pasanganku.
Tapi entah bagaimana, makin dilirik makin menarik perhatian tampangnya.. tergolong perempuan yang berani karena tetap membiarkan penampilan uniknya yang menonjol. Atau dia mungkin belum tau aja sistem senioritas di sekolah ini, dimana senior suka sekali “ngerjain” junior yang “berani tampil beda”, karena ada aturan pertama dan utamanya (pasal 1) adalah "Senior tidak pernah salah" sementara aturan kedua yang tidak kalah penting "Jika senior salah, maka silahkan lihat pasal 1", maka sudah pasti bakal jadi makanan empuk senior iseng neh junior cantik.
Sambil mengangkut tas tangan yang tidak terlalu besar (karena semua perlengkapan masih tersimpan baik di lemari dan meja belajar di barak), ku biarkan diriku terlihat gagah memasuki gerbang kesatrian.
3 tahun digembleng di kesatrian ini, tanpa terlalu dipaksakan pun tubuh ini terbentuk dengan sendirinya, kalau kata orang-orang kampung "marbobot" (padat-berisi artinya), bagaimana tidak, kalau dihitung-hitung setiap hari rata-rata push-up 2.000 kali.. belum termasuk sit-up, jungkir, guling dsb, dll binsik (pembinaan fisik) lainnya.
...***...
‘Aish, si rambut merah bahkan tidak melirik ke arah ku sedikit pun.. kelewatan deh, dia malah sibuk menatap kagum pada patung praja di atap gerbang, bersebelahan dengan pemuda seangkatannya yang lebih dulu memandangi patung itu.. Memang ukuran patung tersebut seh lumayan besar, tapi kan senior gagah begini lewat depan mata ya dikagumi dikit juga bisa kan?’ sekelebat pikiran ini terlintas.
‘Hrgm..’ gumamku sambil menghampiri seorang pria paruh baya yang kemungkinan adalah kepala rombongan tersebut (bapak tersebut membawa sebuah map tebal, mungkin berisi data calon praja yang bersamanya).
"Selamat pagi pak, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku ramah walau tetap tanpa senyum.
Akhirnya si rambut merah dan rombongannya juga mulai menaruh perhatian pada keberadaanku.
"Iyah terima kasih de, dimana seharusnya kami melaporkan diri ya?" jawab bapak itu tak kalah ramah.
"Silahkan pak, itu di PKD (petugas keamanan dalam-red) yang ada di pintu gerbang sana, oh sebentar itu ada Nindya Praja di sana, biar saya panggilkan untuk menemani bapak.." kataku kemudian sambil bersiul memanggil seorang juniorku, yang kalau tidak salah namanya Pras.
Ketika Pras menoleh ke arahku, ku serukan: "Hei Nindya, sini sebentar!"
"Siap ka.." jawabnya sambil berjalan cepat mendekat, memberi ppm yang langsung ku balas singkat.
"Tolong antar bapak ini mendaftarkan ulang calon praja yang bersama-nya di pos PKD situ.." lalu aku menolehkan pandangan ke bapak tadi dan berkata: "Silahkan pak, ikuti saja Praja ini.. dan sebaiknya adik-adik ini dibariskan saja supaya tidak terlihat semerawut begini ya pak, bapak kan tau ini pendidikan semi militer. Boleh saya yang bariskan saja?" kataku kalem.
"Oh terima kasih dan silahkan de.." jawab si-bapak sambil bergegas ke arah PKD yang tadi ku tunjuk.
...***...
Menurunkan tas tangan di samping kaki, ku katakan kemudian:
"Perhatian adik-adik semua.. Silahkan tinggalkan koper kalian di trotoar itu dan berbaris 3 sab. SIAP GRAK! Hei kamu yang sipit, jadi komandan pasukan kamu, berdiri disamping kanan pasukan!" kataku kepada pemuda yang tampak sempat berbincang dengan si-rambut merah.
IAN tertulis di papan namanya. Hm nama yang simpel.
Dengan gelagapan namun terlihat kagum, mereka mulai berbaris, si rambut merah tidak terkecuali. sekilas ku lirik papan nama si-rambut merah, kembali terlihat 3 huruf tertulis di situ "UTE", simpel lagi.. sesimpel papan namaku, "HAN". Mungkin nama dengan 3 huruf lagi trend ya?
"ISTIRAHAT DI TEMPAT GRAK.. Perhatian ya adik-adik.. Selamat datang di ksatrian. Selama tinggal di sini akan ada beberapa peraturan yang harus kalian taati, untuk lebih detail akan dijelaskan nanti, namun sekilas saya informasikan: Tidak ada yang bergerak semaunya apalagi jalan seenaknya disini, kalian harus berbaris dengan rapi. Komandan pasukan wajib memberikan hormat, atau istilah singkatnya ppm, kepada setiap senior, dosen, pelatih ataupun pengasuh yang kalian temui.."
Tak sengaja mataku dan mata si-rambut merah bertemu.. sesaat lidahku kelu.. matanya penuh binar dibingkai bulu mata tebal dan lentik (seperti artificial namun tetap natural) dan senyumnya semakin menarik dengan bibir penuh itu serasa minta dikecup..
'Hgrm..' gumamku sebelum melanjutkan: "Untuk sekarang, kalian harus menunggu dalam barisan seperti ini sampai ada pemberitahuan lebih lanjut"
"Maaf ka' Han, apakah kami boleh ke toilet?" sebuah suara cempreng menahan langkah kakiku ketika hendak membalikan badan.
"Silahkan ke arah PKD, bergantian dan yang tinggal tetap berbaris!" jawabku menyadari si-rambut merah yang berkata, sambil keluar dari barisan dan berlari lincah ke arah PKD.
"Berhenti! Kamu bisa jalan tertib kan dek?"
"Maaf ka, sudah kebelet.." katanya tanpa berbalik sambil terus berlari. Rambut merahnya yang masih dibiarkan panjang itu tampak berkibaran di setiap mata yang memandang kepergiannya dengan penuh senyum kekaguman. 'Menarik..' pikirku pun tak kuasa ku bendung.
"Ok yang lain tetap dalam barisan!" perintahku tegas sambil melangkah mengikuti arah si-rambut merah.
Muda Praja memang awal-awalnya begitu, masih polos dan belum terkontaminasi kejamnya sistem pendidikan semi militer. Yang dibayangkan masih yang baik-baiknya saja.
Nanti setelah mereka memasuki Madya Praja, akan lain lagi sikapnya. Walau sudah punya junior, tapi mereka tetap memiliki 2 senior di atasnya. Keinginan untuk membalas-dendam pada junior masih harus ditahan semaksimal mungkin, demi untuk tidak mendapat teguran lanjutan dari senior.
Seperti contohnya Madya Praja perempuan yang ku lihat berjalan menunduk ke arah luar kesatrian. Ia tampak tidak menghiraukan keriuhan barisan Muda Praja di luar gerbang PKD.
"Dari mana dan mau kemana kamu de'?" tegurku lugas setelah membalas ppm-nya.
"Siap, dari wisma mau keluar ka.." jawabnya tak kalah lugas. Tampak terpaksa berhenti demi menunggu tanggapanku selanjutnya.
Ku lirik singkat papan namanya, tertulis DINA. Sebenarnya wajah gadis ini lumayan manis ku perhatikan, walau kulitnya tidak terlalu putih, namun tatapan matanya sangat tajam, tampak kontras dengan lesung pipi di kedua sisi wajahnya yang muncul setiap kali dia berbicara, atau mungkin setiap dia tersenyum.
'Sebagai Madya Praja, Dina seharusnya kan sudah setahun ini hidup berasrama di sekolah yang sama denganku, tapi kenapa rasanya kami belum pernah bertemu ya? Kalau saja wajahnya tidak ditekuk sedemikian rupa seakan menghalangi seisi semesta mengetahui isi pikirannya dan jika saja pandangannya dibuat sedikit lebih ramah, mungkin Dina bisa jadi idola para senior neh.' batinku sesaat.
"Iya kakak tau de, kamu itu mau keluar kemana maksudnya?" tanyaku lambat-lambat, sambil sedikit tersenyum, mulai memancing keramahannya.
"Siap, mau cari makan siang ka." jawabnya kembali tak sabar dan tetap tanpa senyum barang sedikitpun, seakan menegaskan perasaan terganggu yang ia rasakan dengan pertanyaan-pertanyaan remeh-temeh yang ku layangkan dan sebisa mungkin mencari cara/alasan untuk segera pamit dari hadapanku.
'Wih, jarang-jarang hal ini terjadi? Biasanya kan praja perempuan itu sebisa mungkin mencari seribu satu alasan untuk bisa sekedar bertukar-sapa apalagi bercengkrama denganku.' batinku kembali menerawang.
Mata kami sempat bertatapan sepersekian detik, namun Dina kembali menunduk, mungkin sedang mencari alasan atau mengolah kalimat selanjutnya untuk segera beranjak dari hadapanku. Entah mengapa, ego mania-ku tersentil dengan sikap acuhnya.
...***...
"Oh, ka'Han sedang menungguku ya?" tiba-tiba celoteh si-rambut merah memecah keheningan yang sempat tercipta diantara kami.
Dina sempat melirik si-rambut merah, mendelik sesaat dan berpaling kembali ke arah ku sambil berkata: "Kalau boleh saya permisi ka!" lalu ia melakukan ppm dan berlalu tanpa ragu sedikitpun.
Sempat mengamati keduanya sesaat, namun perhatianku segera teralihkan dan terfokus kembali pada si-rambut merah.
"Geer.. jangan sok akrab memanggilku ka'Han ya! Junior itu tidak punya hak menegur senior. Kalau ditanya pun kamu cukup jawab 'siap ka' atau 'siap tidak ka' mengerti?" kataku dengan nada ketus.
"Siap ka.." jawabnya lugas, pandangannya menggoda dengan sikap menghormat yang asal-asalan dan senyum dikulum.
'Sial, senyumnya semakin diperhatikan semakin manis saja, bikin tangan ini gatal meraih tubuhnya yang ramping dan mengulum bibir itu secara paksa, biar tau rasa.'
Apa daya ya, banyak mata yang juga memperhatikan kami dari kejauhan, image diri (sebagai senior yang tegas) yang sudah terbangun ini kudu wajib harus dijaga dan sambil menahan dongkol (akibat hasrat yang tidak kesampaian), keluarlah kalimat : "Hrgm.. saya hanya mau memperingatkan kamu, jangan terlalu menonjolkan diri, kamu akan menderita, camkan itu!" kataku tegas sambil melangkahkan kaki menuju wisma..
'Hm perlu istirahat neh badan sepertinya.. aga kremek juga dari Soeta tadi sambung naik bus Damri sampai ke tempat ini.' batinku.
Setelah 4 langkah, aku balik-kanankan badan ini dan melihat si-rambut merah sudah berlari lagi ke barisannya dengan ceria.
'Hrgm.. aku bertaruh dalam hati, dalam waktu 1 bulan lagi, pasti pembawaan dirinya yang ceria itu akan mulai luntur, digantikan dengan penampilan penuh ketakutan yang minta dikasihani. Mungkin bahkan akan menjadi seperti Madya Praja bernama Dina tadi.'
'Hm.. kenapa kedua gadis tadi melekat erat dalam pikiran ini ya? 2 orang gadis yang perbedaannya bagaikan matahari dan bulan, namun sama-sama meninggalkan kesan mendalam dan menarik perhatian..' batinku kembali bertanya-tanya.
...***...
Menuju wismanya Han masih berkelut dengan pikirannya.. Hidupnya akan semakin menarik di lembah manglayang ini..
...***...
《Foto ini inspirasi penulis menggambarkan karakter seorang Han》
"Setiap orang bersalah untuk setiap hal baik yang bisa dilakukan namun tidak dilaksanakannya" kalimat sederhana itu terngiang terus di telingaku..
Sepenggal kalimat kotbah seorang pemuka agama yang pernah ku dengar dulu, terpatri secara permanen tidak hanya di pikiranku, namun juga di loh hati ini.
Itulah sebabnya aku merasa tidak bisa tinggal diam di istana megah di rumah keluargaku, tidak juga senang dengan segala fasilitas mewah yang ku miliki dan selalu ditakut-takuti akan diambil kalau tidak bisa jadi pelengkap dalam keluarga.
Memang seh tuntutan sebagai anak bungsu dari 5 bersaudara, tidak seberat beban yang dipikul Koko tertuaku, yang harus serba bisa dan jadi teladan bagi adik-adiknya, tapi sesuatu dlm hatiku seringkali memberontak.. terlebih ketika melihat begitu banyak uang yang dihambur-hamburkan keluargaku untuk mendekorasi rumah secara unik dalam setiap acara.. belum lagi bahan pangan dan lain-lain yang terkesan terlalu berlebih, padahal tak jauh dari komplek rumah kami, banyak sekali keluarga dan anak-anak yang membutuhkan dan akan merasa terbantu dengan diberikan sedikit saja bagian dari kemewahan berlebih ini.
Memang keluargaku, tidak hanya terkenal kaya raya, namun juga tergolong dermawan dengan kerap memberikan sejumlah sumbangan tetap dan bantuan sewaktu-waktu melalui beberapa yayasan dan panti sosial, namun semuanya hanya terasa semu dan terkesan rutinitas untuk pencitraan semata.
Masa ngasih sumbangan bawa-bawa media dan harus ada peliputan? Belum lagi publish nominalnya (ria banged ga seh?) dan tentu saja sejumlah kerepotan yang terjadi dalam rangka mempersiapkan acara pemberian sumbangan tersebut (EO, sewa gedung, bikin undangan, katering, bayar wartawan dsb), yang sekilas dilihat saja pastinya memakan dana lebih besar daripada jumlah yang disumbangkan..
Sedari kecil, aku sering kabur dari acara-acara keluargaku, bukan hanya karena aku merasa bosan dicubitin pipi ini dan dipuja-puji sebagai kesayangan keluarga (terutama oleh orang-orang yang menjilat orangtuaku), tapi jg karena aku tidak rela melihat begitu berlimpahnya makanan yang lebih banyak terbuang daripada yang sanggup tamu-tamu orangtuaku habiskan. Sedari kecil aku sering membawa tas kain berisi cemilan-cemilan yang aku sembunyikan dari acara dan ku bawa ke perumahan belakang komplek rumah kami.
Teringat kembali kenangan sore itu, aku masih cukup kecil namun sudah dapat mengingat betapa rasa bosan membuatku keluar dari rumah kami yang ramai oleh para tamu dengan gemerlapnya pakaian mereka masing-masing.
Aku menyelinap dari penjaga rumah yang sibuk mengatur parkiran mobil-mobil mewah dan tampak sampai menguar ke jalan depan rumah kami.
Sebenarnya aku hanya berencana ke taman komplek untuk bermain ayunan sesaat sambil membuka kancing-kancing rompi dan dasi kupu-kupu yang dipakaikan pelayanku beberapa jam sebelum acara dimulai.
Tapi tiba-tiba saja perhatianku tertarik pada seorang anak seusiaku yang sepertinya diajak ayahnya (tukang kumpul sampah komplek kami) untuk bekerja.
Aku melihat betapa lusuhnya pakaian dan alas kaki si anak dan ayahnya tersebut. Namun mereka tampak tetap tersenyum riang dan sesekali sang ayah mengelus kepala anaknya sambil tergelak, seakan yang disampaikan anaknya tersebut sangat menghibur hatinya.
Aku teringat pada hardikan dan makian dari Papa dan Mama yang seringkali terlontar bagi Koko, Cici dan dirinya. Mereka dituntut selalu tampil sempurna, berkelas dan indah dipandang, yang artinya tidak bertindak sembarangan, tidak boleh lari-lari, apalagi loncat-loncatan sampai berkeringat dan mengotori pakaian, tidak menggunakan bahasa yang tidak sopan, tidak membantah kata-kata orang tua, tidak... tidak... tidak... dan banyak tidak-tidak lainnya.
Untuk mendapatkan sekilas senyum dari Papa ataupun Mama, mereka harus memiliki prestasi tertentu yang membanggakan, seperti ketika Ian berhasil menjadi lulusan terbaik di TK-nya, atau ketika menang kejuaraan mewarnai.
...***...
Perlakuan si-tukang sampah kepada anaknya mengusik keingintahuanku. Apa yang sudah dilakukan atau dihasilkan si-anak yang membuat ayahnya tampak bangga dan bahagia demikian. Ian kecil pun mengikuti mereka dari kejauhan.
Mereka berjalan santai mengelilingi komplek mewah tersebut sambil mengangkat plastic-plastik sampah yang sudah dipilah di tempat-tempat sampah depan rumah-rumah mewah yang jumlahnya tidak terlalu banyak ini (sampah sore memang tidak sebanyak sampah pagi).
Setelah semua sampah terangkut, tiba-tiba si-ayah mengangkat anaknya ke bahunya yang tampak tergelak dan terlihat senang sekali. Sambil mendorong gerobak sampahnya, si-ayah berjalan ke arah pembuangan sampah di belakang komplek dan dengan sabar mendengarkan celotehan si-anak.
Sungguh pemandangan yang langka buat aku yang masih kecil kala itu.
"Hei, kamu si-wajah sedih, mau bermain bersamaku?" teringat aku pada sebuah suara kecil yang menyapanku tak lama kemudian.
Selanjutnya yang aku ingat, aku kemudian menjadi tamu tetap anak-anak di perumahan kumuh itu. Aki selalu merasa bahagia bermain bersama mereka, apalagi ketika aku datang membawa panganan di tas kainku. Aku bahagia ketika merasa dibutuhkan dan hatiku berdendang jika bisa berbagi.
Tidak terlalu ku pedulikan omelan pengasuh bahkan makian kedua orangtuaku ketika mengetahui kebiasaan baru-ku tersebut. Bahkan aku hanya sempat merasa sedih sesaat ketika suatu sore aku melihat perumahan kumuh tersebut telah rata dengan tanah dan tidak ada lagi teman-teman kecil yang menyapa ku riang, menunggu pembagian kue dari tas kainnya.
Yang pasti, aku tidak membiarkan hati ini bersedih-sedih terlalu lama, karena dalam perjalannya pergi-pulang sekolah, aku kerap melihat bahwa ternyata banyak perumahan-perumahan kumuh lainnya.
Aku selalu membawakan hadiah-hadiah.. seperti peralatan sekolahku yang selalu berlebihan tersedia, makanan/minuman yang ku ambil dari gudang rumah kami, baju-baju yang sudah tidak terpakai bahkan kain sprai dan sarung bantal-guling yang bisa ia temukan.
...***...
"Hei kamu si-wajah sedih.. jangan bengong, itu ada senior yang menyuruh kita baris.." sapaan riang itu membuyarkan lamunannya.
Aku melihat pada seorang gadis cantik berambut kemerahan yang nyengir di sebelahku, yang langsung bergerak lincah ke barisan.
'Apa sapaannya tadi? Si-Wajah Sedih?' batinku aga sedikit teringat dengan masa lalu.
Tak jauh dari kerumunan teman-teman seangkatannya, tampak seorang senior menurunkan tas tangannya di samping kakinya dan berkata tegas: "Perhatian adik-adik semua, silahkan tinggalkan koper kalian di trotoar itu dan berbaris 3 sab, SIAP GRAK!"
Melihat ke arahku dia kembali berkata "Hei kamu yang sipit, jadi komandan pasukan kamu, berdiri disamping kanan pasukan".
'Sial neh senior, mentang-mentang badannya besar, seenaknya aja ngatain orang sipit, ga tau apa dia kalau ada yang namanya UU anti-body-shaming?' batinku lirih.. Namun tak urung ku lakukan juga 22yang diperintahkannya.
"ISTIRAHAT DI TEMPAT GRAK.. Perhatian ya, selamat datang di ksatrian, selama tinggal di sini akan ada beberapa peraturan yang harus kalian taati, untuk lebih detail akan dijelaskan nanti, namun sekilas sy informasikan, tidak ada yang bergerak apalagi jalan seenaknya disini, kalian harus berbaris dengan rapi. Komandan pasukan wajib memberikan hormat/ppm kepada setiap senior, dosen, pelatih ataupun pengasuh yang kalian temui.." perintah si senior galak, kata-katanya sempat terhenti sesaat, namun dilanjutkan: "Untuk sekarang, kalian harus menunggu dalam barisan seperti ini sampai ada pemberitahuan lebih lanjut."
"Maaf ka' Han, apakah kami boleh ke toilet?" sebuah suara cempreng dan ceria menahan langkah kaki si senior ketika akan berbalik.
"Silahkan ke arah PKD, bergantian dan yang tinggal tetap berbaris!" jawabnya sambil melotot ke arah sumber suara, yang tak lain ternyata si gadis berambut kemerahan tadi, yang langsung keluar dari barisan dan berlari lincah ke arah PKD.
"Berhenti, kamu bisa jalan tertib kan?" tegurnya galak.
"Maaf ka, sudah kebelet.." gadis berambut kemerahan tadi menjawab tanpa menoleh dan terus berlari lincah. Gadis yang ceria dan berani.
"Ok yang lain tetap dalam barisan!" perintah si-senior, kembali melirik ke arahku, seakan memerintahkan supaya aku bisa mengontrol pasukanku. Ia tampak dongkol ketika melangkah mengikuti arah lari si gadis berani tadi.
Di kejauhan, ku lihat bapak pimpinan rombongan kami bersama seorang senior lain, yang tampak lebih manusiawi (karena badannya tidak sebesar badan ka'Han dan terlihat ramah, sama sekali tidak seperti ka'Han yang selalu pasang "muka ngeden lagi pup"), berjalan menuju yang disebut pos PKD.
Lalu tampak seorang senior putri lewat dengan menekuk wajahnya di depan barisan kami.
Wajahnya sebenarnya lumayan enak dilihat, tapi keacuhannya akan sekitar menguar jelas.
Ia sama sekali tidak mengindahkan keberadaan kami. Tatapan tajamnya ketika sekilas melihat ke arah kami pun tampak seakan melihat semak di pinggir jalan, yang tidak terlalu indah untuk menyita perhatiannya dan tidak terlalu perlu juga untuk dipedulikan, karena memang tidak bermanfaat apa-apa buat dirinya.
...***...
Baru sesaat kami tiba disini, bahkan melewati gerbang depannya pun belum, sudah ada 3 karakter senior yang ku temui.
Wasana Praja yang merasa diri berkuasa, Nindya Praja yang ramah berwibawa dan Madya Praja yang acuh dan tampak tertekan.
Ini pengalaman pertamaku hidup dalam sekolah kedinasan. Beragam karakter manusia akan aku pelajari di tempat ini.. Konon sekolah ini sering dianalogikan sebagai Indonesia mini, semua suku bangsa, semua agama dan semua karakter manusia Indonesia ada di sini.. benar-benar tempat yang tepat untuk menimba ilmu dan belajar tentang keberagaman.
Slogan yang kubaca ketika mencaritahu tentang sekolah kedinasan ini pun sangat keren "ABDI PRAJA DARMA SATIA NAGARA BHAKTI".
'Kalau nanti sudah mulai pendidikan, aku berjanji pada diri sendiri untuk menjadi seperti senior yang manusiawi tadi, lebih banyak mengolah otak daripada otot, menyebarkan kebaikan bukan ketakutan, mengunggah rasa hormat dari para junior dan bukan memaksakannya.. peduli kepada kepentingan orang lain dan tidak terfokus pada diri sendiri saja.. Semoga aku bisa menjadi semakin bijak dan menjadi semakin bermanfaat bagi banyak orang.. semoga tidak ada masalah lanjutan dari orang tua dan keluargaku yang lainnya, semoga.. semoga... dan semoga...' batinku lirih.
Hidupnya di ksatrian akan segera dimulai, mari berjuang demi hidup itu sendiri..
...***...
《Foto ini inspirasi penulis menggambarkan karakter seorang Ian》
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!