NovelToon NovelToon

Tetangga Jadi Suami

Eps 1 Tak Pernah Bicara

Kharis membereskan kantong kresek yang tak terpakai untuk mengisi sembako itu dengan tangan gemetar, beberapa kali ia menarik napas perlahan menutupi rasa gugup yang sejak tadi menyerangnya.

Jaraknya dengan Lewi yang hanya dua meter membuat jantungnya berdetak tidak normal. Sementara laki-laki penyebab gejala aneh tubuhnya asyik dengan laptop di depannya, tidak terganggu dengan aktivitas Kharis dan dua temannya beberapa jam terakhir, padahal lumayan berisik. Lewi begitu fokus dan tentu saja tidak tahu kondisi hati gadis berkulit putih itu.

"Akhirnya selesai..."

Nivia mendudukkan tubuh lelahnya di sofa single di sudut ruangan. Membagi lima jenis sembako sejumlah tiga ratus kantong hanya bertiga cukup menguras energi.

"Khar, jumlahnya pas kan?" ujarnya memandang hamparan ratusan kantong berwarna merah.

"Iya.. Kak Hansel mana?"

Kharis bertanya sedikit melirik Lewi kuatir percakapan mereka mengganggu sang Ketua Tim Kerja Bakti Sosial yang masih setia menatap laptopnya sambil memainkan mouse di tangan kanannya. Segera ia menjauhkan diri setelah menyimpan kantong kresek di lemari tepat di belakang lelaki bertampang kalem itu.

"Lagi ke toilet, eh, itu dia..."

Nivia menunjuk ke arah pintu belakang.

Hansel masuk dan mengambil ranselnya di meja dekat Lewi...

"Bro, data penerima udah beres kan?"

"Iya.."

Lewi menjawab pendek tanpa mengalihkan pandangan.

"Aku langsung pulang ya, pengen istirahat besok kerjaan kita banyak... kalian mau pulang juga?"

Hansel menatap Kharis dan Nivia, menunggu jawaban.

"Iya kak..." jawab dua gadis itu bersamaan.

"Aku bareng Kharis aja, kak. Tapi besok jemput ya..." Nivia melempar senyum termanisnya dan Hansel hanya mengangguk menyanggupi.

"Pamit bro..."

Hansel keluar tanpa menunggu jawaban diikuti Kharis yang menatap Lewi sejenak saat mengambil tasnya di sebuah kursi, berlalu tanpa kata mengejar Hansel yang sudah mencapai pintu keluar. Kharis menunggu Nivia dekat motor maticnya, entah apa yang masih dilakukannya di ruangan itu. Ia membalas lambaian tangan Hansel yang pergi dengan Brio merahnya.

Kharis menempelkan kedua telapak tangannya, "hah, mengapa setiap bertemu dia, aku selalu seperti ini", batinnya sambil menggosokkan kedua telapak tangan yang masih terasa dingin.

Kembali matanya terarah ke pintu berharap Nivia segera muncul, 15 menit sudah dia menunggu. Sebenarnya ia ingin kembali ke ruangan itu, tapi rasa enggan bertemu Lewi lagi membuat ia urungkan niatnya.

Lewi, sosok yang entah kapan sudah menjadi penghuni hatinya. Apa yang menarik, Kharis tidak mampu menjabarkan yang jelas setiap kali melihat Lewi, ada yang beda di hatinya, selalu ada gemuruh, selalu ingin memandang wajah itu.

Tinggal bertetangga di sebuah perumahan dan meskipun setahun ini sering bertemu dalam berbagai kegiatan di komunitas binaan kantor papa mereka, Kharis dan Lewi tidak pernah saling bicara.

Selama ini Kharis hanya mencuri pandang atau menatap dalam diam setiap kali Lewi memimpin rapat atau mengatur semua kegiatan mereka. Atau memandang dari balik jendela kamarnya, saat Lewi menggelinding dan memasukkan bola ke ring basket yang di tempelkan di dinding luar garasi rumah Lewi.

Nivia muncul kemudian dan segera berlari menghampiri Kharis...

"Sorry... kak Lewi minta bantuan nge-print pembagian area kerja besok."

"It's ok, ayo pulang."

Kharis naik ke motornya dan memasang helm di kepalanya, menekan tombol start engine menoleh ke belakang memastikan Nivia sudah duduk dengan benar.

"Helm dipakai bukan dipangku nona manis..."

"Siap bu driver, gak bau kan helmnya.."

Nivia mengangkat helm pink di tangannya menatap wajah Kharis di kaca spion.

"Nggaklah, baru Kharis laundry," Kharis tertawa kemudian melajukan motornya.

"Kak Lewi nggak pulang, Niv?" Kharis tiba-tiba bertanya.

"Apa???"

Nivia menepuk bahu Kharis, suara Kharis tidak bisa didengarnya dengan baik.

"Ah.. nggak," teriaknya sadar dengan helm menutup kepala plus suara kendaraan bermotor volume suaranya harus ditambah.

"Untuk apa mencari tahu, dia pulang atau tidak bukan urusanku."

Kharis fokus ke jalanan tidak ingin larut dalam lamunan tentang kakak berwajah oriental itu.

*****

Pagi di akhir minggu. Hari H kegiatan Baksos ke daerah terdampak banjir di kota ini, kegiatan yang disponsori komunitas anak-anak karyawan di kantor ini. Kharis memarkir matic-nya bersisian dengan mobil pick up hitam. Gedung satu lantai dengan beberapa ruangan ini tepat di belakang Gedung utama bertingkat tiga kantor papanya.

Ruangan yang ia tuju yang bersebelahan dengan kafetaria itu masih terlihat sepi dari luar. Kharis melirik jam di tangan kanannya, tujuh lewat sepuluh, lebih awal 50 menit dari waktu yang ditetapkan untuk berkumpul. Haha... dia terlalu cepat datang.

Pintu masuk sudah terbuka berarti sudah ada yang datang. Degg, irama jantung Kharis langsung berubah. Seraut wajah yang sangat dikenalnya, si tetangga yang belum pernah absen mengisi lamunannya sedang menatapnya.

Kharis salah tingkah, ragu memutuskan, mau terus masuk ke dalam atau... akhirnya dengan perlahan, memutus kontak dengan sosok berkaos putih itu, sama sih dengan kaos yang ia gunakan seragam saat kegiatan baksos, ia masuk dan duduk agak jauh sambil mengambil ponsel di tas. Lagi-lagi tidak ada sapaan di antara mereka.

"Pagi, hai sayang...."

Suara lembut Peggy sekretaris Tim Kerja Baksos memecah kesunyian tiga puluh menit terakhir. Peggy langsung duduk di sebelah Lewi.

"Aku bawa Nasi Kuning, pasti kamu belum sarapan."

Suara yang mendayu-dayu itu kembali terdengar di telinga Kharis.

"Terima kasih."

Lewi mengambil bungkusan yang disodorkan Peggy.

Kharis segera menundukkan kepala kembali membaca pesan wa grup yang sedang ramai. Sejak tadi sebetulnya dia tidak tenang duduk di situ berdua saja dengan Lewi dan semakin risih sekarang mendengar interaksi dua insan di depannya yang seolah tidak melihatnya, padahal mereka berdua tahu, tadi Peggy sempat melempar senyum manisnya saat matanya bersirobok dengan Kharis.

"Dia tidak pernah mengajakku bicara, tapi dengan yang lain segitu akrabnya. Apa mereka berdua pacaran ya?"

Membatin, Kharis meletakkan helm yang ada di pangkuannya di atas meja dan segera beranjak dengan rasa sesak di hatinya, ia memutuskan menunggu teman-teman yang lain di luar.

Akhirnya mobil Hansel muncul, ada Nivia, Noni dan Melva turun. Bersamaan muncul Yudha, Enrico dan Temmy dengan motor masing-masing. Kharis menghembuskan nafas lega tersenyum menyambut mereka.

"Yud, Rico... langsung dimuat aja sembakonya ya. Gerak cepat teman-teman. Kita usahakan sebelum jam 12 pembagian sudah selesai."

Suara sang Ketua Tim terdengar, ia kemudian masuk ke mobil pick up hitam dan memundurkan mobil itu supaya lebih dekat dengan ruangan tempat sembako disimpan. Dengan cekatan melompat masuk ke dalam mobil terbuka itu, siap menunggu kantong-kantong sembako untuk disusun dengan baik.

Kesibukan pun langsung terlihat, semua hilir mudik memuat sembako, kecuali Peggy yang sibuk dengan kertas-kertas yang terletak di depannya. Beberapa kali tangan Kharis bersentuhan dengan tangan Lewi ketika menyodorkan dua kantong merah di tangannya. Sial untuk Kharis, tangannya yang dingin itu mengundang senyum tipis Lewi.

"Ada apa dengan tubuhku, apa dia tahu tanganku dingin karena dia... kenapa juga dia kadang seperti lupa melepas tanganku, sengaja ya?"

Kharis nelangsa tak bisa menahan debaran di dada.

Ah pasti lebih baik setelah ini. Semangat Kharis...

.

🌤🌤🌤

Eps 2 Pencipta Galau

Perlahan Kharis memacu Matic putihnya meninggalkan kawasan kuliner sepanjang pantai di ujung selatan kotanya. Tak terasa sekitar dua jam dia habiskan di salah satu kafe mungil pinggir pantai. Sendiri saja, bermaksud mengurai gelisah di hati, tapi resah masih mengikutinya belum tertinggal di pantai, galau masih enggan berlabuh padahal sudah lumayan lama mengarungi relung hatinya. Hujan deras tadi pun tak mampu menghapusnya. Berhati-hati dia berkendara, sebab ada banyak genangan air yang harus diwaspadai.

Sekitar empat puluh menit kemudian dia sampai di jalan masuk cluster rumahnya, lumayan lama dia menerobos jalan yang sedikit macet. Dia menyapa satpam yang berjaga di portal.

"Siang pak Roland, tolong portalnya dong..."

"Eh... si nona manis. Baru pulang ya?"

Sapa si satpam ramah, sambil membuka tali yang menahan besi portal.

"Kharis lagi nggak manis pak, Kharis lagi galau."

"Galau karena pacar ya...?"

Pak Roland tertawa.

"Nggaklah. Pak Roland... mau nggak Kharis daftarin ke Manajemen Artis Pelangi di ibukota?"

"Jadi satpam di sini aja non, jauh-jauh ke ibukota profesinya sama aja, kalo jadi manajer sih mau non, hehehe..."

"Bukan pak, jadi artis dong. Pak Roland punya modal buat jadi bintang sinetron, tampang ada, nama keren gak usah di ganti, hehehe..."

"Non bisa aja, silahkan...."

"Makasih ya pak..."

Kharis sering bercanda dengan satpam itu selain ramah dan sopan, senyumnya bikin adem dan nyaman. Jangan salah, Kharis tidak tertarik sama sekali sama pak Roland yang sudah punya anak dua, tapi jika dipikir-pikir dia suka ngobrol sama satpam keren itu karena mirip seseorang.

Mendekati rumahnya Kharis melihat seseorang turun dari sebuah city car berwarna putih dan tergesa masuk ke dalam rumah. Kharis tahu siapa itu.

"Hahaha....."

Masih melajukan motornya melewati mobil H**da Jazz tersebut, Kharis tertawa lagi saat menemukan sebuah kenyataan senyum pak Roland mirip senyum lelaki itu, menenangkan.

Lihat saja, pengaruh senyum pak satpam benar-benar hebat, buktinya dua sudut bibir Kharis masih tertarik ke atas meskipun sekilas tadi matanya menangkap sosok si pencipta galau urutan teratas di sepanjang 21 tahun umurnya.

"Pak Roland selalu senyum setiap bertemu aku, tapi kak Lewi baru sekali selama setahun ini senyum padaku, itupun hanya sesaat dan tipis banget."

Kharis membatin lagi mengingat momen dua minggu lalu saat dia dan Lewi saling menggenggam plastik sembako.

"Ada apa dengan kak Lewi, kok nggak pernah mau beramah-ramah ke aku ya... eh, ada apa denganku, reaksi tubuhku selalu tidak normal, aku kehilangan semua kosakata jika ada di dekatnya, ada apa dengan... hehehe kayak judul film."

Monolog lagi dengan sisa tawanya.

Kharis selesai memarkir motornya tepat di depan garasi, dia akan keluar lagi nanti karena satu jam lagi ada Mata Kuliah. Dia tidak ingin bolos lagi, cukup dua mata kuliah tadi pagi sampai siang ini dia bolos. Bisa bahaya kalau mama Melissa tahu. Setengah berlari dia masuk ke dalam rumah yang tidak terkunci itu.

Percuma memberi salam, papa pasti masih di kantor mamanya apalagi. Profesi mama sebagai dokter dengan kesibukan tingkat dewa membuat Kharis jarang berjumpa mamanya kecuali hari sabtu dan minggu. Sementara kakak lelakinya Revy sedang menyelesaikan S2nya di kota lain. Hanya dua orang ART yang ada, itupun pasti sedang sibuk atau istirahat di belakang.

Sebetulnya Kharis punya seorang kakak lelaki lagi selain Revy, kakak tertua tapi sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu dipanggil Sang Khalik. Kakaknya memang menderita jantung bawaan. Takdir berkehendak lain. Karena itulah mama Melissa mengambil spesialis jantung, spesialisnya yang kedua dan itu justru yang membuat mama semakin sibuk dan jarang di rumah. Rutinitas mama setiap hari kerja pagi sampai sore ada di beberapa rumah sakit, malamnya berpraktek di dua tempat.

Masuk ke kamarnya, Kharis penasaran akan sesuatu. Dia ke jendela mengintip dari balik tirai, tak berapa lama rasa penasarannya terjawab. Lewi terlihat membuka pintu mobilnya sambil senyum, dengan badan yang sedikit dibungkukkan ia seperti berbicara dengan seseorang di dalam mobil.

Kharis curiga ada seseorang di dalam, sebab tadi dia sempat mendengar suara mesin mobil itu dengan kaca tertutup berarti AC tetap hidup. Lewi masih berbicara dan lagi-lagi tersenyum, akhirnya dia bergerak masuk, pintu ditutup dan tak lama mobil pergi menjauh menghilang dari pandangan.

Pikiran Kharis dipenuhi tanya. Siapa yang ada di dalam mobil? Sayang kaca filmnya terlalu gelap jadi Kharis tadi tidak dapat melihat siapapun. Mengapa tidak turun ya? Kok kak Lewi lebih sering bawa mobil padahal biasanya bawa Yama** R25 kesayangannya.

"Mungkinkah Peggy yang ada di dalam mobil? Mereka sudah jadian?"

Sejak Baksos dua minggu lalu Peggy rajin komen di wa grup komunitas yang intinya memamerkan kedekatannya dengan Lewi. Kharis mengambil ponselnya ingin memastikan pikiran yang bermain-main di otaknya. Dia membuka sebuah aplikasi dan mengetik sebuah nama di kolom pencarian.

Duuaaar... hatinya langsung teriris lagi melihat postingan Peggy di Fa**book hari ini, foto selfie dirinya di dalam mobil berlatar rangkulan lengan tertutup kemeja hitam, memang tanpa wajah pemilik lengan tapi jelas itu tangan lelaki.

Captionnya benar-benar membuat galau, When I'm in Love 💙

Tadi itu Lewi memakai kemeja hitam. Ahhhhh.

Kharis membanting tubuhnya ke tempat tidur. hatinya turut terbanting ke dasar. Seminggu ini dia coba membangun harap bahwa tidak ada hubungan spesial itu, kak Lewinya memang supel dan selalu ramah. Banyak gadis yang suka menganggap lebih perlakuan Lewi, terlalu sering ada gosip kedekatan tapi tidak terbukti, dia hanya mudah bergaul mudah akrab dengan banyak orang terkecuali Kharis tentu saja. Ya, memang perlakuan ke Kharis berbeda, entah mengapa.

Dan ternyata kali ini dia salah kak Lewinya sudah punya pacar. Sediiiih, keran airmatanya jebol sekarang... 😭😭

Hilang sudah niat untuk kuliah apalagi untuk sekedar membersihkan diri. Tawanya tadi tak tersisa. Di waktu yang sama seseorang bisa menjadi penyebab dia tertawa bahagia dan semenit kemudian menangis pedih. Tadi dia tertawa karena sebuah senyum duplikat, sekarang dia menangis untuk sebuah senyum pemilik asli tapi bukan untuk dirinya. Sedih dan sakit...

*****

Hampir dua tahun Kharis mengenal Lewi saat keluarga Lewi menempati rumah sebelah. Om Peter papanya Lewi menjadi GM baru di kantor papa Didi, sebuah instansi pengelola pelayanan energi di kota kecil ini. Papa Didi sendiri adalah salah satu Manager Senior. Kharis tidak mengerti struktur kantor itu yang jelas om Peter bos papa.

Entah bagaimana keluarga om Peter menempati rumah sebelah yang sudah lama kosong, mungkin saja papanya yang memberi info tapi bukan urusannya, yang menjadi urusan Kharis sekarang adalah anak om Peter ganteng banget....

Berkulit putih, tubuh tinggi lebih tinggi dari kakaknya Revy. Wajah dengan garis yang sempurna; dahi, alis tebal, mata, hidung, bibir, tercetak dengan bentuk sempurna. Menurut Kharis kadar kegantengan Lewi jauh di atas barisan boy band negeri ginseng.

Dan baru sekarang Kharis menyukai lawan jenis. Mungkin karena di kompleks itu kebanyakan anak-anak para tetangganya masih bocah, hampir tidak ada yang seumuran Kharis, eh mungkin Kharisnya saja yang tidak tahu --nggak pernah nanya Pak Roland si dia, padahal pak Roland itu kenal semua penghuni kompleks-- jadi ketika ada cowok kategori ganteng maksimal yang sangat enak dilihat, Kharis jadi suka...

Meskipun awalnya Lewi hanya sekali-sekali berkunjung karena dia kuliah di ibukota, tapi rasa suka itu tetap ada dan terus tumbuh sejalan waktu, menjadi pengagum rahasia, karena Kharis tidak punya keberanian untuk mendekati pujaannya itu, apalagi menunjukkan rasa sukanya.

Dan... rasa sukanya itu kini malah menusuk hatinyaaa...

.

🌧🌧🌧

Eps 3 Rela Aku Rela

Pertama kali dalam hidup Kharis merasa sangat sedih dan tidak bersemangat. Rasa nyeri di dada datang saat mengingat Lewi dan itu menyebabkan airmatanya turun. Semakin pedih karena ada Peggy sekarang bersama cowok itu.

Tidak ingin bertemu Lewi, tapi di saat lain rindu juga hadir. Ahhh... apakah ia telah jatuh cinta? Jika ini cinta berarti cinta yang salah. Mengapa dia harus jatuh cinta pada seseorang yang tidak pernah sedikitpun ada perhatian untuknya, seseorang yang sudah memiliki kekasih.

Ada berapa kali tanpa sengaja Kharis bertemu pasangan itu. Melihat kemesraan pasangan mereka membuat hatinya gundah gulana dan tak ada obatnya.

Sabtu pagi...

Tak selamanya mendung itu kelabu nyatanya hari ini... lupa lirik milik siapa, tapi mungkin itu gambaran hati Kharis saat ini. Setelah satu bulan patah hati sebelum jadian, dia tak ingin lagi menangis sia-sia. Hari ini ia mendapat pencerahan setelah bersaat teduh dan menyampaikan keluh-kesahnya kepada Sang Khalik, dia ingin move on.

Kharis menyibak tirai mencari grendel untuk membuka jendela kamarnya. Lama dia tidak melakukannya, dia tidak peduli kondisi kamarnya yang pengap dan tidak rapih seperti hatinya belakangan ini. Saat ini jendela dia buka lebar, dua daun jendela terbuka kiri-kanan.

Dia menggeser tirai membiarkan sinar matahari masuk, matanya mengerjab menghalau silau lembut matahari pagi. Udara fresh pagi hari masuk dan perlahan bau khas kamarnya berganti, semoga demikian juga rasa dihatinya.

Dan sosok yang belakangan dia hindari tertangkap matanya. Lewi sedang memainkan basketnya. Suara bola menyentuh ring terdengar, demikian juga gesekan sepatu sportnya di lantai.

Dulu kombinasi dua suara itu sangat merdu di telinganya dan sangat dinantinya. Jika suara itu muncul berarti Lewi pulang berkunjung. Dan setelah Lewi Wisuda S1 kemudian meneruskan S2nya di sini di universitas yang sama dengannya, suara itu menjadi nyanyian merdu setiap pagi. Menonton dan menghitung berapa banyak bola yang melewati ring, menjadi aktivitas wajib setiap pagi, suporter rahasia dibalik tirai.

"Hai... selamat pagi."

Kharis membeku. Tidak menyangka pagi pertama membuka kembali jendelanya disambut sebuah sapaan yang tak pernah ada sebelumnya. Dulu, berkali-kali dia membuka jendela yang sama, jika telihat lelaki tinggi itu paling-paling hanya melirik sekilas.

Jarak dari jendela kamar Kharis dengan area garasi Lewi mungkin sekitar enam sampai delapan meter, sebuah area terbuka yang ditutupi rumput gajah yang menghampar di masing-masing sisi kedua bangunan rumah. Batas antara rumah mereka hanyalah pagar tananam pendek yang selalu dipangkas rapih oleh petugas taman perumahan ini. Konsep perumahan tanpa pagar tembok, membuat tetangga bisa saling berinteraksi seperti pagi ini...

"Pagi Kharis..."

Tersadar, Kharis mengerjapkan matanya kembali, sosok itu masih ada menatap ke arahnya dan... dia tersenyum. Mata dan telinganya masih normal, dia sudah bangun sepenuhnya karena sebelum membuka jendela dia sudah sikat gigi jadi ini sebuah kenyataan.

"Kak Lewi menyebut namaku dan senyum padaku, tapi..."

Kharis tidak tahu harus bereaksi seperti apa juga bingung menafsirkan perasaannya.

"Pagi Kharis..."

Masih di tempat yang sama dengan senyum yang masih sempurna, nampak jelas sedang menunggu respon. Niat banget dia menunggu jawaban bayangkan sampai tiga kali...

Ahh... apalagi ini Kharis...

"Pagi juga kak..."

Sadar dari bengongnya Kharis menjawab pelan dan segera meninggalkan area favoritnya dulu. Dia tidak peduli apakah Lewi mendengar suaranya tadi yang dia tahu dia harus segera menyingkir. Dia menghela napas beberapa kali kemudian membuka pintu kamarnya.

"Pagi pa, pagi ma..." sapanya saat berada di ruang makan. Orang tuanya setiap sabtu pasti menghabiskan waktu di rumah saja.

"Pagi Darling, ayo sarapan. Udah selesai semedinya..."

"Mama, ihh... siapa yang semedi."

"Kamu lah, tuh liat muka kamu pucat, nggak pernah kena matahari."

Kebiasaan setiap sabtu pagi di rumah, mereka bertiga akan sarapan bersama, banyak cerita akan mengalir di sana. Dan pasti mama Melissa yang menguasai obrolan tanya ini tanya itu, kadang-kadang menginterogasi sang papa Didi, bercanda, video call dengan Revy. Kadang sampai jam makan siang mereka masih di situ, paling-paling bergeser sedikit ke sofa ruang keluarga. Dan Kharis sudah melewatkan kebersamaan hari sabtu berapa kali ya...

"Kenapa kamu, mengurung diri di kamar, cerita jangan disimpan..."

Giliran papa Didi yang bersuara sambil menatap penuh selidik.

"Ada apa Darling... kurusan kamu. Ayo makan yang banyak."

Mama menggeser piring berisi roti yang sudah diolesi coklat ke depan Kharis.

"Minum air putihnya dulu..."

"Ada masalah apa... nggak mungkin nggak ada sebab terus kamu lebih betah di kamar..."

Kharis tidak menjawab. Ia menarik piring roti, setelahnya ia tunduk memohon berkat. Lebih dahulu menghabiskan segelas air putih miliknya kemudian mulai menyantap roti yang sudah dipotong mama tadi tanpa mengangkat kepala.

Mama papanya juga tidak mendesaknya. Mereka hafal benar watak anak perempuan satu-satunya itu. Bila dipaksa malahan tidak mau cerita. Biasanya Kharis akan menceritakan sendiri sama mama beberapa waktu kemudian.

"Kamu nggak pernah bolos kuliah kan..."

"Nggaklah Ma, lagi malas aja di luar, makanya pulang kampus langsung masuk kamar, lagi banyak tugas juga..."

Kharis mencoba tersenyum pada mamanya, dia tahu mama sedang kuatir.

Sedikit takut juga, karena sebenarnya banyak bolos kuliah. Tapi segalau-galaunya Kharis, ia tetap menghitung presentase absen semua mata kuliah yang ia kontrak semester ini biar bisa lulus nanti.

Putus cinta memang dahsyat efeknya. Kharis bercita-cita lulus sarjana dengan predikat Summa Cumlaude, boleh dong bercita-cita, tapi nampaknya semester ini dia tidak bisa mempertahankan IP-nya tetap 4.

Apalagi banyak tugas yang tidak masuk. Nah Kharis tidak mau nilai-nilainya anjlok, makanya hari ini dia pengen hidup normal lagi, minggu depan Ujian Akhir Semester, dia mau belajar sungguh-sungguh supaya bisa mengejar ketertinggalannya.

-Eh, kok putus cinta kan nggak pernah jadian, di sini kasusnya Kharis hanya mencinta sendiri kan???-

"Selesai sarapan mama periksa kamu..."

"Ini... sebentar jangan lupa minum vitaminnya, minum air putih yang banyak..."

"Iya, iya ibu dokterku..."

Kharis meminum segelas coklat panas yang baru saja diletakkan tante Mince si ART centilnya.

"Darling, boleh gak motor kamu mama kasih ke Nurse Lani. Kasihan dia, suaminya lagi sakit, terus kena PHK karena gak masuk kerja karena cuma pegawai kontrak. Motornya udah dijual... katanya nutupin hutang. Kalau kendaraan sendiri kan dia bisa hemat uang transport."

"Nurse Lani, asisten mama di Klinik?"

"Iya... boleh ya, hitung-hitung kamu menolong orang. Soalnya mama perhatikan kamu suka pakai mobil Revy sekarang..."

Ya, Kharis seperti ingin sembunyi dari Lewi, tidak ingin melihat atau terlihat, makanya kalau keluar rumah dia menggunakan mobil kakaknya mumpung nganggur di garasi. Dia ingin menyembunyikan perasaannya sedalam-dalamnya, salah satu caranya, tidak memperlihatkan diri, jadi kalau keluar lebih aman di dalam mobil, semua tertutup rapat. Logis tidak?? Terserah Kharis.

"Darling...." mama menunggu jawaban.

Kharis tidak ragu jika menolong orang, tapi sebenarnya dia lebih nyaman ke mana-mana dengan Maticnya. Ke kampus apalagi, di Fakultasnya slot parkir prioritas buat dosen dan pegawai, slot untuk mahasiswa yang sedikit diperebutkan oleh mahasiswa. Siapa cepat dia dapat. Beberapa kali ia harus parkir jauh banget.

"Iya ma, kasih aja."

Kharis menetapkan hatinya untuk memberi.

"Makasih darling, tapi ikhlas kan? Nggak jadi berkat kalau nggak ikhlas loh...?"

"Iya, aku ikhlas kok..."

Prinsip menolong orang lain memang harus Ikhlas. Kharis ikhlas... seikhlas-ikhlasnya, rela serela-relanya. Sama seperti nasib cinta pertamanya, dia harus melepas rasa itu dengan rela, mengakui cintanya bertepuk sebelah hati eh tangan. Rela aku rela, biar dada ini bisa plong, tidak ingin berlama-lama merana ....

🛵🛵🛵

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!