Renzi View.
Hari ini, adalah hari yang paling melelahkan bagi Renzi. Gadis itu baru saja keluar dari ruangan rapat yang penuh dengan intrik licik para pemilik saham. Membuatnya muak, ingin menyingkir sejenak dari hiruk-pikuk dan tanggung jawab yang harus ia pikul.
Di usianya yang menginjak 25 tahun, ia tidak sering menyempatkan waktu untuk dirinya sendiri. Selalu saja mengurus perusahaan keluarganya yang merupakan tiga besar penggerak pasar perekonomian negara. Berkat semua kecerdasan dan kompetensi dirinya, perusahaan yang tadinya hampir tidak bisa bertahan itu kelamaan semakin berjaya di bawah kepemimpinannya. Hal ini membuat para sepupunya dan paman maupun bibinya menjadi cemburu. Tentu saja, kekayaan dari warisan yang diterima ayahnya dari kakeknya, cukup besar karena merupakan anak pertama dan yang paling kompeten di antara semua saudaranya.
Renzi, meskipun ingin menyingkir dari kengerian keluarganya, ia tidak bisa lari lagi sekarang.
Saat ini, ia tidak lagi punya mimpi ataupun kehidupan yang ingin ia pertahankan. Satu-satunya yang mendasari tindakannya saat ini adalah kalimat ibunya di masa lalu. Kalimat sakral yang membekas dan tertanam dalam benaknya meskipun ibunya sudah pergi dari hidupnya.
"Serusak apapun dunia, rumah adalah tempat terbaik untuk berlabuh. Seburuk apapun perilaku seseorang, hati adalah alasan paling benar yang mendasari sebuah perilaku. Dan, segalak apapun Papa bersikap padamu, dia tetap ayahmu yang merawat dan menyayangimu sejak dulu meskipun dengan cara yang berbeda."
Waktu itu ia baru saja dimarahi ayahnya karena bukannya belajar, ia malah bermain-main dengan anak kucing yang lewat di depan jendela kamarnya. Hal itu membuatnya dihukum untuk menyalin buku catatan literatur sampai tangannya keriting. Itu pun ia diawasi sangat ketat. Saat tangannya berhenti menulis karena pegal, sebuah tongkat rotan akan mendarat di jari-jari rampingnya. Membuatnya menahan sakit dan berakhir mengadu kepada ibunya sambil menangis tersedu.
Lalu kalimat-kalimat wejangan dan pemberian alasan seperti itulah yang ia terima. Dengan polos, Renzi hanya menerima itu sebagai satu-satunya alasan yang mendasari perbuatan ayahnya.
Di dalam mobil, Renzi menghela napas panjang karena mengingat kenangan berharga itu. Ia sungguh merindukan ibunya, merindukan adiknya, Ranz yang telah tiada, dan merindukan semua kedamaian keluarganya sebelum porak-poranda karena sebuah tragedi yang menyedihkan.
Ada kemarahan di matanya ketika mengingat bahwa Ranz terbunuh karena ayahnya sendiri. Di saat semua anak-anak mendapatkan kasih sayang yang seharusnya, Ranz harus menerima hal lain. Kenyataan bahwa ibunya meninggal pasca melahirkan Ranz, membuat ayahnya gelap mata. Cinta ayahnya pada ibunya sangat besar sampai pada tahap kegilaan tak berdasar.
Adiknya dibesarkan dengan tanpa kasih sayang. Dibenci oleh ayahnya karena Ranz dianggap pembunuh bagi istri pria itu. Sangat miris, mengingat hanya dirinya dan para pelayan yang punya hati nurani yang tetap memperlakukan Ranz dengan baik. Sampai saat usia Ranz menginjak angka 10 tahun, kejadian tragis itu terjadi.
Saat itu Renzi tidak ada di rumah. Menyisakan para pelayan dan ayahnya yang pulang dalam keadaan mabuk. Ayahnya dengan wajah penuh amarah karena masalah perusahaan dan juga rasa dendam, mencari adiknya yang saat itu sedang bermain di kolam renang. Ayahnya menyeret Ranz hingga membuat Ranz tenggelam kehabisan napas di kolam renang dan membuat Ranz meninggal di saat itu juga.
Itu membuat Renzi menjadi seperti sekarang. Ia menutup hatinya, menutup matanya, menutup telinganya, dan segala hal dari luar selain dirinya sendiri. Mengulang-ulang segala yang tersisa dalam benaknya. Mempertemukan dirinya pada ujung kegelapan dimana terdapat sisa cahaya di sana. Ibunya dan kata-kata yang membuatnya mempertahankan kewarasannya. Membuatnya bertahan meski memiliki ayah seorang narapidana dan keluarga besar behati busuk.
Ia bahkan mati rasa saat dikhianati pria yang selama ini mengejarnya. Membuatnya tidak lagi menaruh harapan pada dunia. Ia hanya menjalani tugasnya sampai nyawanya berhenti suatu hari nanti--yang entah mengapa Renzi mengharapkan hal itu segera terjadi.
***
Diza View.
Diza adalah seorang dokter spesialis kandungan yang bekerja di sebuah rumah sakit besar kota provinsi. Usianya baru 27 tahun, namun berkat kerja keras dan kecerdasannya, ia berhasil menjadi dokter spesialis di usia muda.
Ia cantik, hanya saja pembawaannya sangat dingin dan mengintimidasi. Ia keras kepala dan juga keras hati. Masa lalunya tidak begitu baik dan semua itu menjadi penyebab mengapa Diza hidup seperti hanya untuk bekerja.
Saat Diza berusia 24 tahun, ia harus menjalani operasi pengangkatan rahim akibat infeksi pada dinding rahim. Itu membuatnya depresi dan hampir bunuh diri karena dengan ini, selamanya ia tak akan pernah bisa mengandung. Jangankan mengandung, menikah saja itu hampir tidak mungkin baginya. Pria mana yang mau menerima keadaannya yang sangat tidak sempurna itu? Jangankan membangun keluarga, ia bahkan tidak berani lagi memimpikan sebuah pernikahan sejak hal itu menimpanya.
Untungnya ia memiliki keluarga yang baik. Ayah dan ibunya selalu menjadi penopang semangat Diza untuk tetap melanjutkan hidup. Memberi Diza alasan untuk terus berjuang menjalani hidup dan meraih impiannya.
Semua tidak sia-sia. Meskipun harus menjadi gila kerja karena ia turut membantu ayahnya di perusahaan keluarga, ia tidak mengeluh atau merutuki nasibnya lagi. Hal-hal itu pula yang mengalihkannya dari memikirkan tentang ketidaksempurnaan dirinya. Satu-satunya tujuannya kini hanyalah berguna dan dapat membantu orang tuanya.
Ia cukup bahagia meskipun kerap disindir tetangganya karena masih lajang di usia yang bisa dibilang sudah cukup matang, malah dapat dikatakan tua bila mengingat kultural masyarakat Indonesia. Ia tidak memperdulikannya. Mereka tidak pernah tahu kisah hidup dan penderitaanya, jadi suka bergosip dan membuat sindiran tidak masuk akal. Mungkin, jika mereka mengetahui alasan Diza masih sendiri sampai saat ini, mereka akan malu dan mengubur diri mereka sendiri. Bagi perempuan manapun, tidak mempunyai rahim adalah status yang sangat memprihatinkan bahkan bisa dianggap sebuah akhir hidup jika mereka yang mengalami tidak memiliki mental yang kuat.
Tapi untunglah Diza berhasil melewati fase terpuruknya dan membuatnya menjadi semakin kuat menjalani kehidupan di dunia yang kejam ini.
***
Segitu dulu...
Ada yang bisa nebak nggak, kalo sebenarnya ini bakal jadi cerita semi-komedi?
Oke-oke. Saya memang agak ngadi-ngadi. Maap, maap.
Eh, tapi saya serius.
Kita liat nanti sadja nanti ya...
"Nona, hari ini tidak ada jadwal lagi, Anda bisa pulang dan beristirahat," ujar seorang wanita kisaran 30-an yang menjadi asisten Renzi di perusahaan.
Renzi memandang jam di pergelangan tangannya. Ia berdehem singkat dan menutup beberapa dokumen yang sudah ia tanda tangani. Ia berlalu setelah menyuruh sekertarisnya pulang juga.
Wajahnya yang cantik begitu dingin dan kaku. Ia melewati lobi dan menuju parkiran tempat mobilnya berada. Dalam perjalanan, hanya senyap dan hampa yang ia rasakan. Meskipun terjebak kemacetan di lampu merah, ia hanya mampu menghela napas tipis.
Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ia melirik sekilas dan mendapati nama pria yang baru kemarin mencampakkannya. Renzi enggan menjawab. Hatinya mati hanya untuk memberi kesempatan. Tapi sayangnya telepon itu tidak berhenti. Hal ini membuatnya berdecak pelan sebelum mengangkat teleponnya.
"Renzi! Demi Tuhan akhirnya kamu angkat panggilanku..., kamu nggak papa, kan?" tanya sosok di seberang sana membuat Renzi heran.
"Ada apa?" sahutnya dingin dan datar. Ia tak ingin berlama-lama menelepon makhluk satu ini.
"Ah, maaf. Tapi, aku mau kasih informasi penting. Kamu lagi di jalan pulang? Kalo iya, aku mohon berhenti di pinggir jalan dulu. Dengerin aku baik-baik. Seseorang ngerencanain sesuatu dan bakal bikin kamu celaka. Aku nggak yakin apa yang bakal dilakuin orang itu, tapi itu pasti melibatkan kecelakaan yang bikin kamu terluka. Aku mohon kali ini dengerin aku, Renzi. Aku nggak mau kamu kenapa-napa."
Renzi hanya diam menanggapi kalimat sok perhatian dari pria di seberang telepon.
"Siapa yang rencanain?" tanya Renzi tanpa nada.
"Aku nggak terlalu yakin siapa dalang sebenarnya, tapi sekertaris CEO Jeco Group terlibat dalam rencana ini. Kamu harus hati-hati, Renzi."
"Hmmm."
Renzi segera menutup telepon dan mematikannya. Ia mendengarkan nada pria itu bersungguh-sungguh. Itu artinya, cepat atau lambat nyawanya akan berada dalam bahaya.
Entah mengapa Renzi dalam benaknya, sama sekali tidak merasakan takut. Renzi juga tidak berencana menghindar. Seperti biasa, ia akan menjalani takdir sesuai jalurnya. Jika ia selamat, ia akan menerima. Jika ia tidak selamat, ia juga akan pergi dengan tenang. Tidak ada emosi apapun yang tercampur di dalam sana.
Renzi mengambil tabletnya. Mengirim sebuah email pada seseorang yang paling ia percayai. Bisa dikatakan, itu adalah wasiat terakhir yang Renzi tinggalkan untuk orang yang setia padanya. Ia bukan manusia yang tak tahu balas budi. Dan ketika ia menerima sebuah kesetiaan dari seseorang, Renzi tidak akan berpaling atau membuangnya. Itu terlalu berharga untuk dibuang.
Setelah mengirimkan email. Ia langsung mematikan apapun alat komunikasi yang ada di mobilnya. Ia melihat jam di pergelangan tangannya menunjukkan waktu pukul lima sore.
Lampu hijau menyala. Renzi melajukan mobilnya sambil melihat sekitar. Beberapa meter di depan, ia akan melewati lalu lintas jembatan. Di saat yang sama, sebuah truk yang sangat cepat dan sedikit ugal-ugalan melaju ke arahnya yang mengemudi dengan santai.
Itu sangat jelas. Targetnya adalah ia yang saat ini mengambil jalur kiri jalan. Truk itu oleng ke arahnya. Menabrak dengan sangat keras bagian samping mobilnya hingga terpental keluar jembatan. Sempat menabrak pembatas dan meluncur ke jalanan di bawahnya.
Renzi di dalam mobil menikmati momen terakhirnya. Tubuhnya terluka parah seiring mobilnya yang ringsek dan terbalik. Rasa sakit yang ia rasakan sungguh ada di tahap tak tertahankan. Pandangannya sangat gelap karena ia menunduk akibat lehernya tak bisa digerakkan. Bau darah dan bensin yang bocor menjadi aroma terakhir yang dapat ia rengkuh.
Air matanya perlahan jatuh. Kilasan hidupnya berputar cepat. Mengatur memorinya pada masa-masa kehidupannya dulu. Di tengah tangisnya ia tersenyum.
Ia menutup matanya tepat di saat kesadarannya benar-benar terenggut. Bersamaan dengan itu mobilnya meledak. Menghancurkan raganya berkeping-keping hingga tak lagi dapat dikenali.
Hidup Renzi Galuh Permana, CEO Permana Group berakhir di saat itu juga.
***
Sisi lain kota, di sebuah rumah sakit besar, seseorang baru saja dilarikan ke UGD. Wanita hamil yang memiliki paras rupawan, hendak melahirkan. Ia terlibat dalam kecelakaan mobil yang jatuh dari jembatan dan terkena dampak ledakan dari mobil yang jatuh itu.
Wajahnya pucat, perut buncitnya berkontraksi dengan rasa sakit yang tiada tara. Ada noda darah yang mengalir dari balik pakaiannya.
"Segera bawa ke ruang operasi satu."
Saat ini, Diza bertindak menangani pasien bersalin itu. Raut wajahnya sedikit khawatir karena kondisi pasien yang sangat buruk.
"Apa Anda bisa mendengar saya?" tanyanya pada pasien yang masih setengah sadar, kesakitan.
Pasien itu mengangguk.
"Nama saya Diza, dokter kandungan yang akan menangani Anda. Anda akan memasuki ruang operasi. Bayi dalam kandungan harus segera dikeluarkan karena akan berbahaya jika tidak segera diambil tindakan. Kami akan melakukan sesuai prosedur persalinan sesar. Apakah Anda menerima prosedur ini?"
Lagi-lagi pasien mengangguk.
"Bagus." Diza terus mendorong ranjang pasien menuju ruang operasi. Ia membersihkan diri sebelum memasuki ruang operasi.
Tidak sampai satu jam, proses persalinan sesar berhasil. Seorang bayi perempuan prematur lahir. Tubuhnya lemah, seolah bisa pergi kapan saja. Bayi itu ditempatkan di inkubator.
Pasien yang merupakan ibu dari bayi tersebut semakin kritis. Ia sempat sadar sejenak. Menghentikan apapun yang sedang dilakukan tim dokter untuk menyelamatkannya. Ia menggenggam lengan Diza. Menyampaikan hal terakhir sebelum napasnya tercekat dan terhembus untuk yang terakhir kalinya.
"Tolong... rawat anakku. Aku hidup sebatang kara. Tolong berikan ini pada putriku. Itu adalah haknya dan harta warisanku untukknya. Waktuku tidak banyak," ujar pasien terbata sambil menyerahkan sebuah kotak beludru berwarna biru.
Lalu setelah Diza melihat status dan ketahanan pasien begitu lemah, ia mengangguk untuk berjaga-jaga. Ia harus berusaha menyelamatkan pasiennya. Namun, sayangnya pasien pergi selamanya setelah menerima persetujuan Diza. Di hembusan napas terakhirnya ada kelegaan yang mengiringi kepergiannya.
Di saat yang sama, bayi dalam inkubator mengalami kejang. Tim medis berusaha bekerja keras dan pada akhirnya berhasil menyelamatkan bayi itu meskipun bukan lagi jati diri si bayi yang menjadi jiwanya.
***
Steril Room, inkubator.
"Apa yang terjadi? Kenapa aku malah berada di sini?" ujar jiwa Renzi yang bingung karena ia malah sedang melayang-layang di sebuah ruangan yang berisikan tiga bayi dalam inkubator. Ia berdiri--maksudnya melayang-- di dekat salah satu kotak inkubator yang dikelilingi para dokter dan perawat. Ia menduga-duga bahwa bayi itu dalam keadaan yang kurang baik.
Masih kebingungan dengan sekitar, tiba-tiba Renzi di kejutkan dengan suara dari balik punggungnya.
"Halo, Renzi!"
Renzi berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan pakaian asap. Maksudnya setengah tubuhnya ke bawah adalah asap, sedangkan bagian atasnya hanyalah selembar kain yang tersampir di pundak kanan pria itu. Dia tersenyum manis dan jika Renzi benar-benar bukan berhalusinasi, dia akan menganggap lingkaran putih yang melayang di atas kepala pria itu sebagai eksistensi mitos.
"Siapa kamu?" Renzi kebingungan dengan ini. Ia sadar dengan benar bahwa dirinya saat ini adalah arwah. Jadi, ia hanya bisa menduga-duga bahwa pria di depannya juga merupakan arwah atau paling mungkin malaikat penjemput arwah gentayangan.
"Panggil saja Malaikat. Aku bertugas mencabut nyawa," ujar si pria tanpa menghilangkan senyum. Tandanya, jiwa yang akan dibawanya pergi adalah jiwa yang baik.
"Oh, begitu. Jadi kamu akan membawaku pergi?" Tanya Renzi penuh harap.
Namun sayangnya bukan anggukan yang ia dapatkan, tapi sebuah gelengan kepala. Renzi dengan bingung dan terkaget-kaget menjadi bisu seketika. Dia berusaha mencerna penolakan itu dengan otak pintarnya. Raut wajahnya berubah-ubah seolah itu kembali menjadi normal sejak ia berpisah dari tubuhnya.
"Bukan kamu yang akan aku bawa," ujar Malaikat semakin menjelaskan kebingungan Renzi.
Jika bukan dia, lalu siapa?
***
Hai. Mau cerita dikit bahwa aku terinspirasi dari novel terjemahan yang mengangkat tema rebirth untuk balas dendam. Ceritanya bagus banget sampe aku pengin bikin penulisnya nyiptain spin off. Tapi sayangnya aku ngga kenal doi. Wkwkwkwk.
Jadilah, aku bikin ini untuk mengobati kerinduan sama tokoh utama.
Semoga kalian suka. Dan mohon kebijaksanaannya dalam menilai cerita.
Juga.... ini cerita semi-komedi. Kali ini beneran. Tapi nggak tau bakal berhasil atau nggak. wkwkwk
Ini murni karya spontanku. Kalo ada kesamaan dengan karya lain, tolong diberitahu. Terima kasih.
Mohon dukungannya.
Akan update lagi pada bulan Juni.
Renzi masih membeku di tempatnya. Ia memandang si malaikat yang tengah mengamati bayi dalam inkubator. Dari sana, Renzi menyimpulkan sesuatu.
Jangan-jangan..., bayi itu...
Wah, beruntung sekali dia. Bahkan dunia tidak membiarkannya terkena dosa maupun siksaan dari kejamnya hati manusia. Pantas saja wajah malaikat begitu berseri menyambut si bayi. Bayi itu masih murni dan begitu suci. Berbeda dengannya yang sudah berlumur dosa.
"Renzi. Kemarin aku mengunjungi alam dimana ibumu tinggal."
Renzi menoleh lagi demi mendengar ibunya disebut-sebut. Dia ingin segera bertemu dengan ibunya. Itulah tujuannya mati dengan tenang. Jika bisa berkumpul bersama ibu dan adiknya lagi, ia akan menjadi manusia--ralat--arwah paling bahagia.
"Tenang saja, ibumu orang baik yang selalu berperilaku berdasarkan hati nurani selama hidupnya. Ia berada di tempat yang baik dan menjalani penantian kiamat dengan damai. Dia hanya memendam cemas padamu." ujar Malaikat membuat Renzi lega mendengarnya.
Tapi kalimat selanjutnya membuatnya tercekat. "Sayangnya, kamu belum layak untuk datang ke tempat yang lebih baik itu." ujar Malaikat memandangnya.
Renzi masih membatu.
"Selama hidupmu, kamu tidak menyayangi dirimu sendiri. Kamu terluntang-lantung tanpa sadar apa yang kamu jalani selama hidupmu. Kamu bahkan menantikan sang maut, bukan?"
Hal-hal yang di sampaikan Malaikat membuat Renzi merenung.
"Tapi, Renzi. Ada satu hal yang membuatmu berbeda dengan jiwa berdosa lainnya." Malaikat menjeda. Lalu melanjutkan, "Kamu sama sekali tidak memiliki dendam pada setiap orang yang menyakitimu. Kamu hanya membalas apa yang menjadi kebaikan orang lain padamu dengan kebaikan saja. Sisanya, yang jahat padamu, kamu eliminasi dari pembalasan. Kamu membiarkan mereka bertemu karmanya sendiri, mungkin suatu hari nanti. Seperti yang terjadi hari ini. Kamu mengampuni begitu saja sosok yang merencanakan kecelakaan itu. Kamu malah bersyukur bukan karena hal itu?"
Renzi mengangguk. Mengakui bahwa sebenarnya ia bahagia menyambut kematiannya.
"Dan karena itulah, aku memberimu kesempatan untuk menjalani hidup sekali lagi. Kamu akan hidup sekali lagi sebagai manusia. Tentu saja dengan ingatan dari masa lalu dan percakapan kita sekarang akan tetap kamu ingat."
"Malaikat, apa setelah aku dilahirkan kembali, di kematianku yang selanjutnya, aku akan bisa bertemu dengan Mama?" tanya Renzi harap-harap cemas.
"Ya, kamu bisa. Asalkan di hidupmu yang selanjutnya ini, kamu tidak mengharapkan kematianmu seperti yang sebelumnya. Berusahalah untuk tetap hidup. Kamu akan memiliki orang tua baru. Bahagiakanlah dia dan sayangi dia seperti kamu menyayangi keluargamu sendiri. Dan juga ada satu hal yang akan menyertaimu dalam kehidupan ini." Malaikat menjeda sejenak. Renzi menunggu cemas.
"Kamu akan mendapatkan gelar tak tertulis sebagai pembawa keberuntungan kemana pun kamu melangkah pergi. Kamu akan diberi penglihatan berbeda dari manusia lainnya, yaitu melihat masa lalu orang lain. Dan kamu memiliki tugas di dunia ini. Berbahagialah dengan keluargamu yang baru. Lindungi mereka sekuat tenagamu. Jangan mengabaikan orang lain lagi. Sekarang waktuku habis untuk negosiasi."
Malaikat mengambil nyawa si bayi yang tersenyum itu. Lalu, Renzi dalam bentuk arwah, tanpa bisa menolak tersedot ke dalam tubuh si bayi.
Gelap untuk sementara. Telinganya mendengar samar suara berisik kemudian semakin jelas. Ia dapat merasakan detak jantungnya lagi. Ia juga dapat melihat langit-langit putih dengan beberapa kepala dokter di atasnya dengan jelas.
"Aku benar-benar kembali hidup!" batinnya terkejut.
"...sebagai bayiii?!!!" teriaknya kemudian. Namun, yang terdengar hanya tangisan dan rengekan yang keluar dari bibirnya.
"Detak jantung kembali. Pasien selamat." ujar salah seorang dokter yang tepat berada di dekatnya.
Renzi terdiam kemudian. Kepalanya bergerak-gerak mengamati wajah-wajah di sekitarnya. Tubuhnya yang telanjang dan hanya berpopok menjadi pikirannya selanjutnya. Bagaimana bisa mereka memperhatikannya yang telanjang seperti tontonan?
Renzi merasa sangat malu. Tangan mungilnya bergerak-gerak susah dikendalikan. Beberapa saat kemudian ia baru sadar bahwa ia sekarang hanyalah seorang bayi yang kurang wajar jika merasa malu pada orang-orang dewasa ini.
Tapi, tetap saja. Jiwanya adalah jiwa orang dewasa berusia 25 tahun. Wajahnya memerah, ditambah ada dokter laki-laki diantara pekerja medis itu.
Hal ini disalahpahami oleh tim medis atas reaksi si bayi.
"Apakah dia demam atau mengalami gejala lain? Wajahnya sangat merah. Yah, meskipun dia masih bayi merah. Tapi terlalu merah di bagian wajah." ujar salah satu dokter perempuan yang ada di sampingnya.
Demi mendengar hal itu, Renzi a.k.a si bayi, mencoba menormalkan wajahnya. Ia mencoba tidak peduli dengan rasa malu yang tersisa. Ia bahkan mulai menganggap para pekerja medis itu buah-buahan. Hal ini menimbulkan tawanya pecah karena benar-benar membayangkan mereka sebagai buah-buahan.
Tawanya mengejutkan sekaligus menggembirakan bagi para dokter dan perawat yang melihatnya. Tiba-tiba saja, Renzi si bayi menjadi idola dan primadona bangsal pediatri karena tawa pertamanya begitu menyenangkan didengar. Bahkan efek gelar tak tertulisnya sudah mulai berlaku saat itu juga.
***
Diza baru saja selesai mengurus prosesi dan laporan tentang pasien yang meninggal. Karena pasien sebatang kara dan anak dari pasien dititipkan padanya, Diza yang mengurus administrasi persalinannya.
Ia merenung sejenak. Ia berpikir tentang haruskah ia menitipkan bayi itu di panti asuhan? Kemudian ia menggeleng. Bayi itu dititipkan padanya untuk ia rawat. Pasien juga meninggalkan wasiat dan warisan untuk anak itu.
Setelah berpikir panjang, Diza memutuskan untuk merawat bayi itu. Ia kemudian mengunjungi bangsal pediatri khusus dimana bayi yang diinkubator ditempatkan. Beberapa tim medis baru saja keluar dan berpapasan dengannya.
"Apa ada sesuatu terjadi?" tanya Diza melihat wajah berseri para dokter dan perawat itu.
Salah seorang dengan name tag Susan memberitahu Diza. Menceritakan dengan seru bagaimana bahagianya mereka melihat tawa pertama si bayi. Meskipun di awal mereka panik karena si bayi sempat kehilangan detak jantungnya, tapi kemudian masih bisa diselamatkan.
Diza yang penasaran pun akhirnya masuk ke ruangan steril dengan menggunakan masker dan pakaian steril. Ia menuju inkubator dengan label nama "Putri Ny. Hannah". Yups, itulah nama ibu kandung si bayi.
Melihat ke dalam inkubator, Diza tertegun ketika pandangan si bayi bertemu dengannya. Dalam batin Diza bertanya-tanya, bisakah penglihatan bayi yang baru lahir sejelas itu? Apalagi dia prematur dan dilahirkan saat usia kandungan ibunya belum mencapai sembilan bulan. Tapi, bukan hanya itu saja yang membuat Diza kemudian menjadi terpaku. Pasalnya saat ini, mata indah itu menatapnya dengan binar cerah, bibir mungilnya terbuka dan tawa lolos dari sana. Membuat Diza lupa berpijak. Sibuk terpesona.
Lalu di dalam batinnya tumbuh perasaan sayang. Ada keinginan untuk melindungi dan merawat bayi mungil nan rapuh itu sebagai putrinya. Diza tidak tahu mengapa, tapi air matanya jatuh karena terlalu bahagia.
"Terima kasih sudah bertahan hidup. Mulai sekarang aku adalah Bundamu, anak manis." ujar Diza setelah keputusan dalam benaknya mencapai kesepakatan.
Si bayi tertawa lagi melihat ke arah Diza. Hal ini membuat Diza sangat bahagia dan ikut tertawa. Senyuman dan tawa yang jarang terlihat itu pada akhirnya ia umbarkan semua kepada si bayi. Mungkin jika rekan-rekannya melihat, mereka tidak bisa mempercayai penglihatan mereka. Pasalnya, Diza yang asli adalah kulkas empat pintu. Sangat dingin dan membekukan.
Namun, hari ini, berkat kehadiran si bayi, Diza tersenyum dengan tulus. Ia benar-benar merasa bahagia melihat bayi yang akan ia angkat menjadi putrinya itu.
Setelah berlama-lama di bangsal pediatri dan menunggu hingga si bayi tertidur, Diza segera keluar dan menghubungi orang tuanya. Mengatakan keputusannya bahwa ia akan merawat seorang anak dan mengangkatnya menjadi anaknya. Ia tidak merasa membutuhkan sebuah pernikahan atau suami, saat ini yang ia rasakan hanyalah nalurinya sebagai seorang ibu. Dia benar-benar ingin merawat bayi itu dengan setulus hatinya.
***
Chit Chat Rebirth:
Renzi : Kapan aku punya nama? Dari tadi disebutnya si bayi mulu perasaan.
Saya : Hmmm... Nanti Bunda Diza yang ngasih nama. Bukan saya.
Malaikat : Hilih. Lempar batu sembunyi tangan.
Saya : Permisi Tuan Malaikat. Anda hanyalah cameo di sini. Kontraknya sudah selesai ya... mohon segera meninggalkan lokasi cerita.
Malaikat : Dasar manusia penuh dosa! *pergi dengan kaki menghentak-hentak*
Renzi : Kapan Bunda Diza ngasih nama?
Diza : Siapa Renzi ini?
Saya : *tertawa sambil guling-guling*
...
Sekian, terima kasih. Jangan lupa like dan subscribe ya teman-teman.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!