Srakk srekk
Suara gesekan daun yang tertiup angin dan seretan langkah tertatih terdengar di tengah hutan rimba. Matahari sudah tenggelam, gelapnya malam mulai mencekam.
Seorang pemuda tertatih, memaksa kakinya yang sebenarnya tak lagi bisa diajak berjalan, untuk terus melangkah. Tangannya memegangi perut sebelah kirinya yang sudah bersimbah darah. Pakaiannya seperti pendekar jawa kuno, yang sudah jelas bukan dari zaman modern seperti sekarang. Beberapa meter di depannya, seorang gadis tergeletak tak berdaya. Tiga buah anak panah menancap di tubuhnya. Pemuda itu sepertinya hendak menuju gadis itu.
Waktu seakan langsung berubah, adegan berpindah. "Lembayung! Lembayung! Bertahanlah Lembayung! Jangan tinggalkan aku!" seru pemuda itu. Ia terlihat sedang memangku kepala gadis yang ternyata bernama Lembayung itu.
Gadis itu sudah sekarat. Tiga buah anak panah yang menembus tubuhnya membuat darah mengalir deras dari luka-luka itu. Kalau bukan karena rasa sakit, gadis itu pasti akan mati karena kehabisan darah. Nafasnya tersengal. Di ujung hidupnya, gadis itu mengusap lembut wajah si pemuda, "Gentala, biarkan aku pergi. Aku sangat mencintaimu. Teruslah berjuang. Aku akan menunggumu. Aku akan selalu menunggumu."
Seketika setelah mengatakan semuanya itu, gadis muda bernama Lembayung itu menghembuskan nafas terakhirnya. Tangannya jatuh terkulai lemas ke tanah. Matanya terpejam untuk selamanya. Menyisakan suasana lengang dan titik air mata yang mengalir di pipi si pemuda. Pemuda itu menatap gadis yang tampak sangat ia cintai itu.
"LEMBAYUNG!!!" teriak pemuda bernama Gentala itu, memecah keheningan yang menyelimutinya beberapa detik lalu.
***
"LEMBAYUNG!!!"
Tett tett teeeeeetttttt!!!
Suara riuh alarm dan juga mimpi buruk yang aneh itu membangunkan seorang pemuda modern dari tidurnya.
"Astaga, mimpi itu lagi! Apaan sih ini?! Adegan zaman kapan itu elah, mana bajunya kuno banget. Aneh-aneh aja dah! Bikin kaget aja pagi-pagi. Ahh!" seru pemuda itu, kesal pada mimpi anehnya tadi.
Pemuda itu bangkit dari tempat tidurnya. Ia masuk ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Dengan wajah yang masih basah dan penuh dengan air, ia menghadap ke cermin dan merenung. 'Kenapa ya mimpi itu sering banget datang ke gue? Dan nama cowok itu sama kayak nama gue. Apa sebenarnya arti mimpi itu?' batin pemuda itu, yang beberapa waktu terakhir ini selalu diganggu dengan mimpi aneh yang terus menerus berulang.
Kringgg!!!
Suara telepon genggam di samping tepat tidur memecah keheningan di kamar apartemen pemuda tampan itu. Ia segera bergegas keluar dari kamar mandi dan mengangkat teleponnya.
"Halo!" seru pemuda itu di teleponnya, sepertinya ia mengenali nomor penelponnya.
"Halo, Ta. Lo bisa gantiin shift gue hari ini nggak?" Terdengar suara panik dari orang yang ada di seberang sana.
"Lah. Kenapa lo? Lo shift pagi apa malam nih?" "Gue shift malam. Gue lupa, malam ini gue ada acara keluarga. Lo kan shift pagi, tukeran ya? Lo kan ganteng, baik, sabar, tidak sombong, dan rajin menabung. Mau ya?!" pinta orang itu sambil memuji-muji si pemuda.
"Ya elah, kalau ada maunya aja, baik ke gue. Iya udah iya. Tapi ntar traktir gue ya. Ganti rugi!" jawabnya pasrah.
"Okelah. Siap kalau cuma nraktir doang. Makasi yaa..." "Iya." Pemuda itu menutup kembali teleponnya.
Karena tak jadi bekerja di shift pagi hari ini, ia memilih untuk duduk bersantai sambil menyeruput kopi panas di balkon apartemennya. Hidup yang sangat menyenangkan. Ia bebas melakukan apa saja, tak ada tekanan, tak punya beban, dan tak punya tanggungan, karena ia juga tak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Ia tak punya saudara, orang tuanya juga sudah meninggal karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Sekarang ia hidup sebatang kara, tapi hidupnya sangat menyenangkan. Ia bekerja sesuai minta dan keinginannya, yaitu menjadi koki di sebuah restoran ternama di Ibu Kota.
Dialah Genta. Pemuda tampan yang terkurung dalam kesendirian dan keasyikannya dalam kesendirian itu. Pemuda yang amat memuja kebebasan dalam hidupnya. Ia tak suka diatur, tapi hidupnya tetap teratur. Ia tak ingin urusannya dicampuri, ia pun tak mencampuri urusan orang. Kalau ada orang di dunia ini yang hidupnya bebas dan kalau ada orang yang bisa bahagia meski ia hidup sendiri, mungkin orang itu hanyalah Genta.
Akibat permintaan rekan kerjanya yang meminta bertukar shift dan karena tak jadi berangkat ke restoran, Genta keluar untuk sekedar berjalan santai di taman dekat apartemennya. Waktu itu, jarum jam baru menunjuk pukul 7 pagi, tapi suasana ramai dan lalu lalang masyarakat sudah memenuhi langit-langit kota Jakarta sepagi ini. Beberapa orang yang mengenalnya menyapa Genta, sekedar untuk basa-basi untuk masyarakat di negara yang terkenal dengan keramahannya ini.
"Pagi Mas Genta! Nggak mampir dulu Mas? Sarapan," sapa seorang bapak pemilik warung di dekat taman.
"Iya Pak! Mau jalan dulu, nanti pulangnya mampir. Monggo!" jawab Genta menyesuaikan diri dengan bahasa yang biasa digunakan bapak itu, yaitu Bahasa Jawa.
Karena sifatnya yang ramah dan santai, Genta sangat disukai oleh banyak orang di lingkungan sekitarnya. Meski tinggal di apartemen, orang-orang kampung yang ada di belakang apartemen Genta dan gadis-gadis kompleks di dekat sekitar apartemen itu selalu ramah padanya. Kalau ada orang datang ke kampung itu dan menyebut nama Genta di sana, semua orang disana pasti bisa menunjukkan dimana dia, karena tak ada seorangpun di sana yang tidak mengenal Genta. Itu semua karena sifatnya yang ramah dan peduli.
Pemuda yang murah senyum ini juga sering dijadikan bahan gunjingan oleh gadis-gadis yang juga sering lari pagi di komplek dekat apartemen itu. Bukan karena hal yang aneh-aneh, tapi karena mereka adalah pemuja ketampanannya. Genta hanya bisa menjawab dengan senyuman, kalau saja gadis-gadis itu mulai menyapanya dengan nada genit mereka. Meski kadang-kadang risih, Genta selalu mencoba untuk bersikap ramah pada mereka.
Hari ini, ada yang berbeda. Ada sesuatu yang membuat Genta heran. Selama ini, ia berpikir kalau semua gadis itu sama, mereka akan membicarakan semua pemuda, apalagi pemuda tampan sepertinya. Memang agak sombong dan terlalu percaya diri. Tapi pagi ini, di antara kumpulan gadis-gadis yang biasa menyapanya, ada seorang gadis yang tampak berbeda. Ia hanya tersenyum dan menyapa dengan anggukan kepala. Memang bukan hal yang aneh melihat seseorang menyapa dengan anggukan kepala, tapi perilaku berbeda gadis itu membuat Genta penasaran padanya. Tapi di tempat itu ada banyak gadis-gadis yang lain, itu membuat Genta enggan mendekati gadis itu. Akhirnya Genta memutuskan untuk pergi dan mencari tahu tentang gadis itu dari orang lain.
Ada satu orang yang mungkin tahu tentang gadis itu, Bapak pemilik warung. Bapak itu pasti tahu meski sedikit tentang gadis itu. Genta memutuskan untuk mencari tahu pada Bapak itu dan istrinya, maka ia pergi ke warung itu, untuk mencari informasi, sekalian untuk sarapan.
"Pak, pesan nasi uduknya satu ya, sama teh hangat," ucap Genta sambil menarik bangku plastik yang ada di depannya.
"Siap Mas Genta. Tunggu sebentar ya." Bapak itu langsung membuatkan pesanan Genta.
"Pak, Bu, saya mau nanya boleh?" tanya Genta.
"Mau nanya apa Mas?" jawab ibu, istri pemilik warung.
"Itu Bu, tadi di taman saya lihat ada cewek. Itu penghuni baru ya? Kok kayak belum pernah lihat." "Oh itu. Iya Mas, Mbaknya yang itu masih baru di sini. Paling baru seminggu. Yang sering ke sini sih Ibunya," terang Ibu itu.
"Wah gitu ya Bu. Ibu sama Bapak tahu nggak, Mbaknya itu tinggalnya dimana?" "Kalau itu, Ibu nggak tahu Mas. Tapi, Mbaknya itu kalau pagi sama sore suka ke taman. Jadi Ibu lihatnya cuma waktu itu aja." "Sore-sore ke taman Bu? Sendiri aja apa sama temannya? Gitu biasanya ngapain Bu?" tanya Genta penasaran.
"Kalau pagi kan olahraga, lari, sama kayak mbak-mbak yang lain itu. Tapi kalau sore, datang sendirian aja Mas, cuma duduk-duduk di taman. Nggak tahu juga Ibu, ngapain dia sore-sore, cuma duduk-duduk aja. Tapi kalau sore suka aneh Mas, cuma lihat langit terus senyum-senyum sendiri." "Oh gitu ya Bu. Terima kasih ya."
"Ini pesanannya Mas. Nasi uduk sama teh hangat. Monggo silahkan." "Iya Pak. Wah terima kasih ya." Genta mengambil sepiring nasi uduk dan segelas teh hangat yang disodorkan Bapak dan segera menyantap sarapannya itu selagi masih hangat.
Sambil melahap nasi uduk buatan Bapak itu, Genta termenung. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan dirinya, apalagi setelah bertemu dengan gadis itu. Setelah melihat wajahnya, Genta merasa kalau ia pernah melihat gadis itu sebelumnya, bahkan ia juga meras kalau ia mengenali gadis itu.
***
Dukk
"Aduuuhhh..." keluh seorang gadis sambil memegangi dahinya.
"Aduh, maaf. Maaf ya. Saya nggak sengaja. Maaf ya..." Ternyata Genta yang menabrak gadis itu. Ia membantu gadis itu untuk bangun.
Siapa gadis itu? Ya, dia adalah gadis aneh yang sejak kemari pagi mengganggu pikiran Genta. Karena terus kepikirian dan lagi-lagi mendapat mimpi tentang gadis bernama Lembayung itu, yang ia rasa mempunyai kemiripan bentuk tubuh dengan gadis itu. Ia tak bisa memastikan wajahnya, karena dalam mimpinya itu wajah orang-orang seperti disamarkan. Jadi ia tak bisa mengidentifikasi dengan pasti. Tapi demi memuaskan rasa penasarannya, Genta memberanikan diri untuk mendekati gadis itu.
"Ah, iya Mas. Nggak apa-apa, saya juga minta maaf. Tadi jalannya nggak lihat-lihat," ucap gadis itu.
"Ehm, kamu baru ya di sini? Saya kayaknya belum pernah lihat kamu." Genta berusaha mencari topik pembicaraan.
"Oh iya Mas. Saya baru. Mungkin baru satu minggu." "Jangan formal-formal amat dong. aku kamu aja, atau lo-gue. Biar nyantai." "Oh iya, Mas. Aku-kamu aja ya Mas. Soalnya nggak terbiasa kalau lo-gue." Gadis itu meladeni semua permintaan dan pertanyaan Genta.
Hari semakin gelap, malam sudah menjelang, warna langit mulai beralih ke warna ungu berpendar jingga dan merah, taman itu makin sepi. Sudah setengah jam lebih mereka berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi kalau dilihat-lihat pintar juga Genta mencari topik pembicaraan. Biasanya susah untuk bisa berbincang selama itu apalagi dengan orang yang baru kita kenal. Tapi gadis itu sepertinya juga paham dan satu frekuensi dengan Genta.
"Nduk ayo pulang! Dicari Bapak!" Tiba-tiba terdengar suara seorang Ibu dari arah pintu taman.
Gadis itu menoleh, "Iya Bu. Sebentar!"
Ternyata Ibu itu adalah ibunya. Gadis itu segera berdiri, "Mas, saya pulang dulu ya. Sudah dipanggil Ibu, sudah malam juga. Permisi."
"Eh nama kami siapa?!" seru Genta.
"Senja! Lembayung Senja!" jawab gadis itu sambil berlari pulang.
Genta tersenyum tipis. "Senja," gumamnya.
Genta merasa puas. Ia berhasil berkenalan dengan gadis itu. Hari sudah semakin senja, Genta kembali pulang ke apartemennya. Dalam pikirannya hanya ada nama Senja, Senja, dan Senja.
Saat masuk ke apartemennya, Genta mengganti pakaian dan bersantai sejenak di balkon kamar. Matahari terlihat sudah hampir hilang dari langit Jakarta. Pemandangan indah yang cukup langka terlihat di Ibu Kota. Warna lembayung, perpaduan merah jingga terlihat di ufuk barat Kota Metropolitan itu.
'Lembayung Senja. Nama yang indah. Seindah langit Jakarta sore ini.' Genta membatin, melihat langit sambil memikirkan gadis bernama Senja itu.
Tapi tak lama kemudian, sesuatu membuat Genta terhenyak. Raut wajahnya berubah dalam sekejap. 'Lembayung?!' batinnya lagi.
Genta mengingat nama itu. Lembayung. Ya, nama itu adalah nama gadis yang diteriakkan oleh pria di mimpinya. Namanya sama, bentuk tubuhnya juga mirip. Siapa sebenarnya gadis ini? Siapa Lembayung? Mengapa nama itu terus menerus muncul dalam pikirannya?
Pertanyaan baru muncul di kepala Genta. Apakah ini hanya kebetulan atau ada apa sebenarnya?
Hari sudah menjelang sore. Hari ini Genta dapat shift siang dan sebentar lagi, jatah waktu kerja Genta akan segera berakhir. Tinggal satu pesanan terakhir yang harus diselesaikan sebelum ia bisa pergi.
"Genta, mana pesanannya?! Hurry up!!" teriak seorang Head Chef.
"Ready!" Genta memberikan piring berisi makanan spesial pada Chef itu.
Sekarang, pekerjaannya selesai. Genta membersihkan area dapurnya supaya teman di shift berikutnya bisa leluasa. Belum selesai ia membereskan semua itu, ia mendengar seseorang dari dinning area berteriak, "Makanan apa ini?! Gue udah bilang, nggak pakai kentang, kenapa ada kentang di sini?! Hah?!"
"Maaf Pak. Sekali lagi, kami minta maaf. Akan kami ganti makanannya." Seorang pelayan terlihat sangat ketakutan menghadapi pria itu.
Genta yang merasa penasaran juga terganggu dengan keributan yang itu segera keluar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Kenapa Le? Ada apa ini Pak?" tanya Genta pada Ale, pelayan itu dan pria yang berdiri sambil melotot di depannya. Saat itu, Genta masih mencoba untuk bisa bersikap ramah.
"Siapa lo? Ngapain ikut campur urusan orang?" bentak orang itu.
"Maaf Pak. Saya yang memasak makanannya. Apa ada masalah dengan makanannya? Kalau ada, biar saya ganti dengan yang baru sesuai permintaan Bapak. Kami juga akan memberikan desert gratis sebagai ungkapan permintaan maaf kami." Genta mengangkat piring itu dari meja dan hendak melangkah kembali ke dapur untuk menyelesaikan masalah ini.
"Heh, lo nggak usah sok pahlawan. Sini lo!" teriak pria itu lagi. Tapi kali ini, teriakannya disertai dengan pukulan kencang yang mendarat di wajah Genta.
Genta terhuyung karena pukulan keras itu. Kesabarannya habis, ia mulai emosi. Meski terkenal orang yang ramah, tapi Genta adalah orang yang keras juga. Ia paling tidak menyukai orang yang suka mencari masalah. Genta tak pernah segan untuk berkelahi dengan orang yang berani mengganggunya. Ia tak akan pernah memulai perkelahian, Tapi jika ada orang yang memulai perkelahian dengannya, ia akan meladeninya. Tangannya mengepal kencang. Detaknya jatungnya semakin cepat.
Bakk Gubrakk
Sepersekian detik kemudian, kepalan tangan Genta mendarat di wajah pria itu. Tubuhnya jatuh ke lantai seketika. Pria itu semakin marah, pun juga beberapa orang yang datang bersamanya. Mereka tidak terima dengan perlakuan Genta. Hanya dengan satu seruan saja, empat orang termasuk pria itu sudah memasang kuda-kuda untuk menyerang Genta.
Bakk Plakk Bukk
Hanya dalam hitungan detik saja, Genta berhasil membuat tumbang keempat pria itu. Bukannya menyerah dan menghentikan perkelahian, mereka berempat malah menantang Genta. Lagi-lagi, mereka berdiri mengepung Genta. Sebenarnya mereka bukan lawan untuk Genta. Lihat saja, tidak ada satupun pukulan mereka yang berhasil menyentuh Genta, justru mereka yang malahan babak belur karena serangan dan hajaran dari Genta. Tepi entahlah apa yang mereka pikirkan sampai-sampai mereka ingin meneruskan pertarungan, yang itu artinya mereka mengantarkan diri mereka untuk mendapat hajaran Genta.
Pria yang tadi marah-marah berteriak lagi. Ia seperti memberi komando pada ketiga temannya. Tapi kali ini, mereka menyerang bersamaan, tidak seperti tadi yang maju satu per satu. Mereka maju bersama, mengepung Genta, dan mendorongnya dari segala arah. Genta terhimpit, ia sudah terdesak, tapi mereka bukan tandingan genta. Dengan begitu mudahnya, Genta mendorong mereka semua dan melepaskan diri. Keempat pria itu terlempar beberapa meter karena dorongan dari Genta.
Meski sudah dua kali kalah telak oleh Genta, keempat pria itu masih belum jera. Mereka masih belum puas. Tapi saat mereka baru saja ingin memulai kembali serangan mereka, pemilik restoran yang juga adalah sahabat baik Genta datang ke sana, dan menghentikan perkelahian itu.
"Pak Pak, tolong sabar dulu. Kita bisa selesaikan ini dengan baik-baik." Pemuda mepilik restoran itu mempersilahkan para perusuh itu kembali duduk di kursi mereka. Tapi mereka tetap kukuh tidak mau duduk.
"Genta, Pulang! Gue bilang pulang! Cepet!" serunya pada Genta.
Tanpa banyak kata dan perilaku lain, Genata melangkah tegas kembali ke dapur dan mengambil tasnya. Bukannya keluar lewat pintu belakang, ia malah sengaja keluar lagi ke dinning area. Tatapan tajam matanya memperingatkan orang-orang itu untuk tak lagi bernai macam-macam.
***
Genta membanting pintu keluar restoran. Ia berjalan dengan amarah yang masih membuat rahangnya mengeras. Tatapannya yang masih tertuju pada kaca transparan yang membuatnya masih bisa melihat orang-orang itu di dalam restoran. Dengan kasar, dia menyalakan sepeda motornya. Genta sengaja menggeber motornya di depan restoran sebagai bentuk kekesalannya, lalu kembali ke apartemen sambil mengemudia dengan kecepatan tinggi.
Kemarahannya masih memuncak. Genta masih sangat kesal dengan keonaran orang-orang itu. Ia tak ingin membawa amarahnya itu pulang ke rumah. Jadi ia putuskan untuk pergi ke taman dan menenangkan diri dulu. Genta duduk di salah satu bangku kosong yang ada di taman itu.
'Anj*ng! Apa sih maunya tuh orang?! Udah gue baik-baikin malah ngajak berantem. Bikin kesel aja,' batinnya.
"Genta." Tiba-tiba seseorang dengan suara yang asing memanggilnya. Genta terkejut kala mendengar suara itu. Ia menoleh. Ketika itu, ia melihat seorang pria dengan pakaian yang aneh, penampilannya mirip dengan penampilan orang-orang yang dia lihat di mimpinya. Celana kain panjang dengan kain batik melingkar di pinggang. Lalu atasannya adalah pakaian yang disilangkan seperti kimono tapi tidak panjang. Dan ditutup dengan semacam blaser berwarna biru gelap. Dengan ikat kepala dan kerudung yang tersambung dengan blaser itu.
Melihat penampakan orang dengan pakaian aneh itu, Genta sangat kaget dan heran. Siapa yang akan memakai pakaian serumit dan setebal itu di dunia modern seperti ini.
"Siapa lo?!" tanya Genta sinis.
"Perkenalkan, aku Bimantara." Saat orang itu mulai bicara, tiba-tiba saja suasana taman berubah menjadi seperti hutan. Genta sudah tak lagi bisa mengenali tempat ia berada sekarang.
"Heh! Dimana ini?! Lo bawa kemana gue? Mau ngapain lo?!" seru Genta semakin bingung.
"Ini adalah Tanah Jawa, ratusan tahun yang lalu. Di zaman ini, banyak pendekar sakti yang hidup di tanah ini." Pria bernama Bimantara itu mengucapkan sesuatu yang semakin membingungkan untuk Genta.
"Terus ngapain gue di sini? Kenapa lo bawa gue ke sini?! Balikin gue!" Genta mendesak pri itu untuk mengembalikannya ke taman tadi.
"Kau hidup di zamanmu, membawa sebuah misi. Kau harus menuntaskan misi itu. Demi dirimu, dan demi kebenaran. Kau harus memperbaiki apa yang tidak bisa kaulakukan di kehidupanmu yang sebelumnya."
"Misi? Misi apa??" Saat Genta masih bertanya-tanya soal kalimat dari Bimantara, pria misterius dan susana hutan itu sudah lenyap. Genta sudah kembali ke taman seperti semula.
"Hei, dimana lo?! Hei!" Genta terus berteriak mencari keberadaan pria itu, tapi sia-sia. Ia tak menemukan apapun.
***
Suara riuh sorak sorai banyak orang terdengar.
"Hidup Tuan Hariwangsa!" "Hidup!" "Hidup!"
"Tenanglah saudara-saudaraku! Hari ini kita akan berpesta. Kita telah berhasil merebut tanah di Jatiwalu. Sebentar lagi, kita akan sampai di tujuan kita!!" seru seorang pria berpakaian seperti bangsawan dengan perhiasan emas mengitari sekujur tubuhnya.
"Kurang ajar. Ia telah berhasil mengasai Jatiwalu. Kita harus bergegas, jangan sampai Hariwangsa tiba di Kota Raja." Seorang pria tampak cemas melihat pemandangan itu.
"Gentala! Ayo!!" seru pria itu.
"Gentala!" seru Genta lirih.
Lagi-lagi mimpi-mimpi aneh itu mengganggu tidur Genta. Tapi kali ini, adegan yang ditunjukkan tak lagi sama dengan adegan menyedihkan yang kemarin.
"Mimpi ini lagi. Tapi kali ini beda. Mimpi ini kayak puzzle. Gue masih nggak ngerti. Lembayung, Bimantara, Hariwangsa, siapa mereka??" Genta makin penasaran dengan semua ini.
Semakin hari, semakin banyak hal aneh yang mendatangi Genta. Hidupnya yang bebas, sekarang tertekan. Ia tertekan dengan semua mimpi dan teka-teki takdirnya ini. Ia berharap kembali bertemu dengan pria aneh bernama Bimantara itu lagi. Ia ingin menyudahi semuanya ini. Tapi yang dia inginkan tak pernah terjadi. Sepertinya ia harus menemukan satu per satu bagian dari puzzle-puzzle ini, dan menemukan apa sebenarnya tujuan hidupnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!