NovelToon NovelToon

Suami Galak Vs Istri Shalihah

Anak Perempuan

Minggu pagi Adinda duduk di halaman depan rumahnya sambil melihat bunga mawar yang sangat menarik perhatiannya. Sesekali dia tersenyum mengingat kenangan bersama almarhumah ibunya. Tidak lama kemudian suara oma Warsih memecahkan lamunan gadis berparas manis ini.

"Dinda ... dinda ...." teriak oma Warsih yang sedang duduk di ruang tamu.

"Iya Oma ada apa?" Jawab Dinda sambil berlari kecil menuju panggilan tersebut kemudian duduk di samping oma Warsih.

"Apa kamu tidak bosan melamun terus? Mana Dinda yang hari-harinya selalu ceria?" Tanya oma sambil mengelus kepala Adinda dengan sayang.

"Tidak melamun Oma, Dinda hanya kangen sama ibu," jawab Dinda tersenyum walau hatinya bersedih.

"Tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan Dinda. Dengerin Oma, om Faris sama tante Ajeng ingin kamu tinggal di Jakarta bersama mereka dan juga ingin menjadikan kamu sebagai anak perempuan mereka," Dinda terkejut mendengar ucapan oma yang mengenggam kedua tangan Dinda.

"Om Faris sama tante Ajeng yang waktu ibu meninggal mereka dateng, kan?" tanya Dinda penasaran.

"Iya sayang. Kamu harus ke Jakarta, Oma itu ingin kamu punya keluarga yang utuh lagi, Oma ingin kamu bahagia. Lagi pula tante Ajeng juga anak Oma. Kamu mau ya, Dinda?" Oma memohon pada Dinda sambil memeluk Dinda dan menanggis.

Bagaimana ini? Apa aku harus menuruti keinginan oma? Tapi aku masih ingin tinggal di sini. Kalau aku menolak pasti oma kecewa dan aku tidak mungkin selalu menyusahkan oma yang selalu memberikan kasih sayangnya kepadaku. Hemm ... Semoga ini keputusan yang baik untuk masa depanku. Bismillah

"Oma menangis?" Dinda melepaskan pelukan oma perlahan lalu mengusap air mata oma. "Kalau itu yang terbaik menurut Oma buat Dinda, akan Dinda lakukan. Tapi ... Dinda pasti kangen dengan suasana di pondok dan kangen dengan anak-anak di sana juga," ucap Dinda lirih yang awalnya tersenyum beralih ke wajah yang murung.

"Kamu nanti bisa main ke sini kalau kamu kangen mereka, oh ya hari senin kamu mulai berangkat ke Jakarta," jelas oma meyakinkan Dinda.

"Secepat itu, Oma?" panik Dinda.

"Lebih cepat lebih baik, sayang," Oma tersenyum dan mencubit hidung Dinda.

"Emm ... Baiklah Oma," Dinda mengacungkan jempolnya dengan senyum manisnya walau hatinya berbanding terbalik dengan perkataannya.

Adinda seorang gadis 23 tahun yang berparas cantik dan shalihah yang banyak dikagumi oleh banyak orang terutama kaum adam. Keseharian Adinda yaitu berada di pondok untuk mengajar pendidikan agama, mengaji dan banyak juga anak-anak didiknya yang menyukai Dinda karena ketulusan dan kelembutannya saat mengajar.

Adinda anak yatim piatu yang tinggal bersama neneknya yaitu oma Warsih. Ibunya meninggal dunia sebulan yang lalu karena sakit jantung. Oma begitu sayang pada Dinda dan ingin cucunya itu memiliki keluarga yang utuh kembali. Kemudian oma berinisiatif untuk menjodohkan Dinda dengan cucu laki-lakinya dari anak oma Warsih yang pertama.

*****

Senin pagi di ruang makan, papa Faris dan mama Ajeng sudah bersiap untuk sarapan dan tidak lama kemudian datanglah Bima dengan pakaian kantornya.

"Selamat pagi, para orang tua," sapa Bima pada mama Ajeng dan papa Faris lalu menarik kursi kemudian duduk.

"Hei anak ini benar-benar, tidak ada panggilan lain apa?" protes papa Faris.

"Kalian memang sudah tua jadi akui saja, hehehe," ejek Bima sambil memakan nasi goreng yang ada di depannya.

"Sudah-sudah, sarapan dulu, berantemnya nanti setelah ini," canda mama Ajeng.

Bima Wiryawan adalah pria yang tampan, bertubuh tinggi dan baik tetapi orangnya sangat galak. Pria yang umurnya 26 tahun ini hanya sibuk dengan pekerjaannya, jangankan pacaran, ngomongin urusan wanita saja dia sangat tidak peduli.

Apalagi sekarang Bima sudah menduduki jabatan CEO di perusahaannya. Jadi tidak ada waktu untuk kencan dan wanita. Bima sewaktu di sekolah memang sifatnya yang terkenal dingin dan galak sehingga banyak wanita yang takut kalau di dekatnya. Dan Bima paling tidak suka dengan wanita genit dan manja. Padahal banyak kaum hawa yang mengagumi ketampanannya.

"Bima nanti kamu pulang kantor jam berapa?" tanya mama Ajeng.

"Biasa, Ma paling jam 5 kalau tidak ada acara di luar, memangnya kenapa?" Jawab Bima kemudian bertanya balik yang masih mengunyah nasi goreng di mulutnya.

"Emm ... begini, Mama nanti siang mau ke bandara jemput Dinda mau datang ke sini. Itu loh anak almarhumah tante Maya adik Mama, dulu kamu pernah ketemu dengan tante Maya di Surabaya saat umur kamu 8 tahun, ingat tidak?" penjelasan mama ke Bima dengan tangan yang sedang memegang sendok dan garpu di sisi kanan dan kiri.

Mama Ajeng adalah kakak perempuan almarhumah ibunya Dinda jadi tepatnya si Bima adalah kakak sepupuhnya Adinda. Dulu Bima pernah ke Surabaya saat umur 8 tahun. Sebenarnya mereka itu sering ke Surabaya tapi karena almarhumah tante Maya dan Dinda tidak menetap di Surabaya dan tinggal di Malang jadi Bima hanya sekali bertemu dengan Dinda itu pun saat Dinda berumur 5 tahun.

Sedangkan ayah Dinda meninggal saat Dinda berumur 16 tahun karena sakit mag kronis. Kemudian Dinda tinggal bersama oma Warsih setelah tamat SMA dan kuliah di Universitas Islam di Surabaya itu pun Dinda ngekos bersama temannya karena jarak kampus dan rumah oma terlalu jauh makanya Dinda tidak pernah bertemu keluarga Bima setelah dewasa, hanya saat libur kuliah baru Dinda pulang ke rumah oma dan lagi-lagi tidak berkesempatan bertemu dengan keluarga Bima.

"Ohhh tante Maya sih inget tapi kalau Dinda tidak ingat tuh," jawab Bima sambil mengingat-ingat semasa kecilnya di Surabaya. "Memangnya kenapa?" tanya Bima balik.

"Adinda akan tinggal di sini dan mau kami jadikan anak perempuan Papa sama Mama," kali ini jawab papa Faris sambil tersenyum melirik istrinya.

"Apa ...? Maksudnya gimana? Anak perempuan?" Bima kaget dan penasaran dengan ucapan kedua orang tuanya.

"Ya sudah nanti saja dibahasnya. Buruan gih kamu ke kantor. Urusan Dinda nanti juga kamu bakalan tahu kok," ucap mama Ajeng sambil mengulum senyuman.

Bima begitu penasaran dan berpikir sejenak, seperti ada kejanggalan dari ucapan papa dan mamanya tersebut. Tetapi Bima tidak peduli dengan apa yang diucapkan orang tuanya, ditepisnya pikiran yang buruk oleh Bima. Akhirnya Bima pun menyudahi sarapannya dan beranjak dari kursi duduknya.

"Ok, Bima berangkat," Bima berdiri dan hendak melangkahkan kakinya tetapi berhenti sejenak sambil melihat ke arah papa dan mamanya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Mama sama Papa itu aneh. Bima benar-benar tidak mengerti ucapan kalian tadi," Bima yang tidak peduli pun melangkah pergi menuju mobilnya ke kantor.

Mama Ajeng dan papa Faris tersenyum melihat tingkah anaknya yang memang tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh kedua pasangan suami istri itu.

Bima tidak menyadari akan ada sesuatu masalah yang besar bagi dirinya. Bima begitu sibuk dengan pekerjaannya sehingga dia lupa dengan dirinya sendiri dan kehidupan pribadinya. Kehidupan yang dijalani Bima saat ini hanya untuk pekerjaan dan kebahagiaan bersama orang tuanya, teman-temannya dan sahabatnya saja.

Tempat Tinggal Baru

Pukul 14.00 Dinda sampai di Jakarta dengan selamat hingga tidak terasa mobil yang membawa tante Ajeng dan Dinda telah berada di kediaman keluarga papa Faris pukul 16.00 karena sebelumnya mereka mampir ke restoran untuk makan siang. Mereka pun keluar dari mobil yang dibantu oleh pak Joko sang supir pribadi menuju pintu masuk yang disambut oleh bik Minah pembantu di keluarga itu.

"Nah Dinda ini rumah Tante, karena kamu sudah ada di sini anggap saja ini rumah kamu juga ya, sayang," ucap tante Ajeng ramah dengan senyuman.

"Dan ini Bik Minah yang bantu-bantu di rumah ini, nanti kalau kamu perlu apa-apa panggil saja Bik Minah," Tante Ajeng memperkenalkan bik Minah yang berada di sampingnya.

"Selamat datang Non Dinda, mari Bibik bantu angkat kopernya," ucap bik Minah yang hendak mengangkat koper Dinda.

"Nggak usah Bik biar Dinda aja," tolak Dinda halus.

"Ayo kita masuk, sayang," Ajak tante Ajeng dan melangkah masuk ke rumah besarnya sambil merangkul Dinda menuju kamar yang akan ditempati Dinda.

Wah ... besar sekali rumah ini, baru tahu kalau rumah tante Ajeng segini mewahnya

Dinda begitu semangat melangkahkan kakinya untuk pertama kali berada di rumah semewah ini. Dinda begitu kagum pada rumah yang akan ditinggalinya mulai saat ini dengan keluarga Wiryawan. Dan hingga langkahnya terhenti di lantai atas yang berada tepat di depan kamar dengan pintu yang berwarna putih kemudian mereka memasuki kamar tersebut.

"Dinda ini kamar kamu, maaf ya kalau kamarnya seperti ini. Pokoknya atur saja ruangan ini sesuai keinginan kamu, sayang," ucap tante Ajeng mengelus rambut Dinda.

Dinda melihat semua isi yang ada di dalam kamar itu dengan takjub. Karena apa yang ada di depan matanya saat ini adalah sesuatu yang belum pernah dinda rasakan saat bersama kedua orang tuanya dulu.

"Ini sih bagus Tante, Dinda seneng, kok," jawab Dinda tersenyum.

" Ya udah kamu mandi gih, sholat ashar terus istirahat biar Bik Minah yang rapihin baju-baju kamu, nanti malam kita makan bareng om Faris sama Bima. Oh ya, di sini ada anak Tante namanya Bima. Dia sama om Faris belum pulang masih di kantor kalau jam segini."

Senyuman pun terukir diwajah mereka berdua seperti sepasang ibu dan anak yang saling menyanyangi.

"Kalau begitu Tante tinggal dulu ya, selamat istirahat dan semoga kamu betah di sini, sayang," Tante Ajeng yang hendak melangkahkan kakinya untuk menuruni tangga.

"Iya Tante, terima kasih untuk semuanya," Tiba-tiba Dinda memeluk tante Ajeng dan merasa bersyukur karena begitu sangat menyayanginya.

"Sama-sama Dinda. Sudah seharusnya Tante melalukan ini sama kamu. Kamu keponakan Tante jadi kamu anak Tante juga," Tersenyum sambil mengelus kepala Dinda.

Akhirnya Dinda melakukan ritual mandinya kemudian melaksanakan sholat, dilanjutkan dengan istirahat di kamar barunya dengan kasur yang super empuk bergulingan ke kanan dan ke kiri seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru.

Tiba saatnya kedua orang pria dewasa berdatangan di kediaman Wiryawan. Ya ... siapa lagi kalau bukan sepasang ayah dan anak yaitu Faris Wiryawan dan Bima Wiryawan. Mereka pulang bersama tetapi tidak dengan satu mobil. Karena papa Faris disopiri oleh pak Joko sedangkan Bima lebih suka menyetir sendiri.

"Mama ...!" Teriak papa Faris saat memasuki rumah.

"Ihhh ... Papa apaan sih teriak-teriak, seperti di hutan saja," Mendekati papa Faris yang sudah masuk di ruang tamu.

"Mana Dinda? Sudah datang kan anak itu?" Bisik papa Faris ke telinga istrinya dengan kedipan mata nakal.

"Ada di kamar atas, lagi istirahat Dinda," Bisik balik mama Ajeng sambil mencubit perut suaminya.

"Hayo ... Mama mulai genit, ya?" ucap papa Faris menggoda istrinya.

Tanpa disadari sepasang suami istri itu ada seseorang di belakang mereka yang diam-diam diperhatikan oleh anaknya, Bima.

"Ehmm ... kalau mesra-mesraan jangan di sini, tidak lihat apa dari tadi Bima di sini," kesal Bima memecahkan kemesraan suami istri itu.

"Makanya nikah dong biar bisa seperti Papa sama Mama ya nggak, Ma? Haha!" Ledek papa Faris ke Bima sambil tertawa.

Bima yang sedikit tersinggung akhirnya langsung meninggalkan orang tuanya dan pergi ke kamarnya dengan kesal akibat ucapan papa Faris yang meledeknya.

*****

Anggota keluarga Wiryawan sudah berkumpul di ruang makan kecuali Dinda yang belum muncul di sana. Kemudian mama Ajeng pun berjalan menemui Dinda di kamarnya untuk makan malam.

Tok...tok...tok...

Tidak ada sahutan dari Dinda lalu mama Ajeng pun membuka pintu yang ternyata tidak dikunci lalu menuju kasur dan duduk di tepi ranjang. Dinda pun baru menyadarinya sehingga dia pun menyelesaikan tadarus Alquran yang dia baca.

Dinda benar-benar anak yang shalihah, baik, ramah dan sopan. Beruntungnya Maya mempunyai anak seperti Adinda

"Maaf ya, Tante ganggu kamu. Tante nggak tahu kamu sedang baca Alquran," ucap tante Ajeng sedikit menyesal.

"Nggak apa-apa kok Tante," Senyum Dinda sambil melipat mukenah yang dia pakai.

"Oh ya Dinda, om sama Bima udah nunggu kamu di bawah, kita makan malam dulu sekalian Tante kenalin kamu sama Bima," Mama Ajeng menggandeng tangan Dinda menuntunnya menuju ruang makan.

Papa Faris dan Bima yang sibuk dengan ponselnya masing-masing dikejutkan oleh suara mama Ajeng dan kemudian kedua pria dewasa itu pun menghentikan aktifitasnya.

"Papa ... Bima ... ini Dinda," Mama Ajeng memecahkan kesibukan suami dan anaknya.

"Hei Dinda apa kabar? Bagaimana dengan suasana di sini? Semoga kamu betah, ya?" tanya papa Faris tersenyum.

"Baik Om, suasana di sini nyaman kok," Jawab Dinda sedikit canggung karena kenyataannya dia baru pertama kali datang di kediaman Wiryawan.

"Oh ya Dinda itu Bima, dulu kamu pernah bertemu dengan Bima saat umur kamu 5 tahun. Ya ... mungkin kamu sudah lupa," Tante Ajeng menunjuk kearah Bima yang sedang melihat Dinda.

"Bima, ini Dinda anaknya almarhumah tante Maya," ucap mama Ajeng dan Bima hanya menganggukan kepalanya.

Bima tidak peduli dengan adanya Dinda, dia hanya memasang muka yang sulit diartikan oleh Dinda.

Kenapa sih muka laki-laki ini, dingin banget nggak ada senyum-senyumnya sedikit. Apa dia tidak suka sama kehadiranku di sini? Hemm ... ya sudahlah

"Duduk Dinda, ayo kita makan," Dinda yang masih berdiri dengan suara hatinya kaget saat mendengar ajakan tante Ajeng.

"Oh ya Tante," Jawab dinda kemudian menarik kursi dan duduk di sebelah tante Ajeng.

Suasana makan malam hening yang ada hanya suara sendok dan piring. Dinda masih canggung kemudian gerak-geriknya yang sesekali dilihat oleh Bima tanpa sepengetahuan mereka yang ada di meja makan.

Selesai makan malam mereka berempat berkumpul di ruang keluarga karena ajakan papa Faris dan mama Ajeng.

"Bima, ada yang mau Mama omongin sama kamu," Ekspresi mama Ajeng sedikit bingung.

"Apa?" Jawab Bima dingin.

"Emm ... begini, Mama sama Papa ada niat untuk menikahkan kamu sama Dinda," ucap mama Ajeng sedikit gugup dan perlahan.

"APAAA ...?"

Teriak Bima dan Dinda bersamaan.

Rencana Pernikahan

Mata Bima dan Adinda saling bertemu pandang. Jangan ditanya, kalau saat ini mereka terkejut dan bingung dengan apa yang telah diucapkan perempuan yang disebut mama oleh Bima itu. Sesuatu yang tidak Bima inginkan akhirnya terucap juga oleh orang tuanya.

Tentang pernikahan, Bima masih nyaman dengan kesendiriannya. Ibunya tahu jika sang anak adalah pria yang dingin dan galak, mana ada wanita yang menyukainya apalagi mendekat walaupun wajahnya tampan. Mama Ajeng berfikir mungkin dengan sosok Dinda yang lembut bisa merubah sifat keras sang anak menjadi baik.

"Lelucon apa ini, Ma. Hah? Menikah? Yang benar saja, cih!" Bima kaget dan kecewa atas apa yang diucapakan mama Ajeng.

"Benar, Bim kami memang ingin menikahkan kamu sama Dinda. Ini pun sudah dua minggu lalu direncanakan sama Papa, Mama dan juga oma," Kali ini papa Faris yang menjelaskan.

"Apa? Hah ...." Bima tersenyum sinis. "Papa tahu kan kalau Bima belum mau menikah, Bima masih muda. Berapa kali lagi harus Bima katakan dan kalian seharusnya tidak perlu merencanakan pernikahan konyol ini," protes Bima yang tidak terima dengan pernikahan sepihak.

"Umur kamu itu sudah sepantasnya untuk menikah, Bim. Dan Mama juga ingin kamu dapat istri yang baik seperti Dinda yang jelas asal usulnya, keluarganya dan akhlaknya. Pokoknya kalian harus menikah ...!" ujar mama Ajeng memaksa.

"Tante sepertinya ada yang salah di sini. Maksudnya apa sih Tante? Dinda tidak mengerti," tanya Dinda dengan suara paniknya.

"Apa kamu tidak dikasih tahu sama oma?" tanya mama Ajeng balik.

"Nggak ada Tante, oma bilang Tante dan Om Faris ingin aku jadi anak perempuan kalian. Itu aja, kok," jawab Dinda sambil berfikir atas perkatannya tadi kemudian menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Ya Allah, jangan-jangan yang dimaksud oma anak perempuan itu adalah aku yang akan jadi menantu di rumah ini? Oma ... mengapa tidak bilang dari awal sih. Begini kan jadi ribet.

"Nah itu! Anak perempuan itu ya maksudnya kamu akan jadi menantunya Tante sama Om, jadi anak perempuan kami seutuhnya, sayang," ucap mama Ajeng lembut sambil mengelus kepala Dinda.

"Tapi Tante ...." Belum sempat Dinda melanjutkan kata-katanya, Bima pun memotongnya.

"KETERLALUAN" Teriak Bima sambil menendang meja di depannya kemudian melangkah pergi ke lantai atas.

Semua orang di ruang keluarga pun terkejut oleh kelakuan Bima. Orangnya galak tapi kelakuannya seperti anak kecil kalau sedang kesal dan marah. Apa saja barang yang ada di di dekatnya besar kemungkinan sebagai pelampiasannya yang terkadang barang itu dipukul, dilempar atau ditendang. Ya ... seperti itu lah Bima.

"Bima, apa yang kamu lakukan? Dasar anak nakal," kesal papa Faris oleh kelakuan Bima yang memalukan.

"Maaf Tante ini semua salah Dinda. Dinda tidak tahu bakalan begini jadinya. Mas Bima marah sama Dinda. Dinda tidak enak sama mas Bima."

"Sudah, tidak apa-apa sayang, memang Bima gitu orangnya. Bentar juga baik lagi, kok," jawab mama Ajeng meyakinkan Dinda.

*****

Dinda pun akhirnya menuju kamarnya kemudian membuka pintu dan pada saat memasuki kamar, Dinda terkejut mendapati sosok laki-laki duduk di pinggir ranjangnya sambil memangku tangan di dagunya dan sesekali memijat alisnya yang tidak sakit.

Dinda bingung apakah dia salah masuk kamar atau memang Bima yang dari awal salah memasuki kamar Dinda? Akhirnya Dinda pun memastikan bahwa kamar yang ia masuki adalah benar. Saat ia hendak membuka pintu kamar tiba-tiba ada suara dingin memekik dengan keras.

"Mau kemana kamu?" Suara dingin itu memberhentikan langkah Dinda seketika.

"Hah ...? Hanya memastikan saja bahwa saya tidak salah kamar."

"Ya, memang Ini kamar kamu," Kata Bima dingin. "Apa saya tidak boleh kemari?" Tanya Bima ketus dan sedikit menyindir.

"Bukan begitu Mas, saya hanya bingung ngapain kamu di...si...ni?" tanya balik Dinda sedikit gugup.

Bima pun berdiri kemudian mendekat kearah Dinda dengan wajahnya seperti harimau yang ingin menerkam mangsanya.

"Hei ... dengarkan saya!! Pokoknya saya tidak mau tahu, kamu harus bilang ke mama sama papa bahwa kamu menolak menikah dengan saya!!" Paksa Bima yang begitu menakutkan.

"Dengan alasan apa saya menolak pernikahan ini, Mas?"

"Terserah!! Bilang saja kalau kamu tidak suka sama saya atau bilang kamu sudah punya pacar," bentak Bima membuat mata Dinda membulat.

"Tapi saya tidak punya pacar, Mas."

"Apa? Kamu begini tidak punya pacar? Hahaha."

"Kenapa? Aneh ya? Pacaran itu dosa, Mas. Mendekatkan kita pada zina. Apa salah kalau saya nggak pernah pacaran? Bagaimana sama kamu, Mas?" kesal Dinda yang tidak terima ditertawakan oleh Bima.

Hah ... dia tidak pernah pacaran? Masa sih? Bodoh amat, ah tidak peduli aku, toh aku juga tidak pernah pacaran. Ah ... sial.

"Jadi bener kamu tidak pernah pacaran?" selidik Bima penasan tidak percaya, menurut Bima Dinda hanya alasan supaya bisa menikah dengannya.

"Tidak pernah, Mas. Terus kalau kamu gimana?" tanya Dinda tidak mau kalah dengan wajah masamnya.

Pertanyaan Adinda membuat Bima sedikit murka karena dia paling tidak suka ada orang yang bertanya tentang pribadinya.

Kemudian Bima pun melangkah lebih dekat ke arah Dinda yang mundur perlahan. Dinda pun ketakutan hingga tubuhnya bersandar pada pintu kamarnya dan tidak ada celah sedikit pun untuk menghindar.

Ada apa ini? Kenapa dia mendekat seperti ini sih. Sungguh ini tidak nyaman. Apa yang akan dilakukannya. Apa aku salah bicara hingga membuatnya tersinggung? Ya Allah tolong aku ... aku takut

"Itu bukan urusan kamu, tidak usah banyak tanya, kalau kamu mau tinggal di sini jangan pernah menyeret saya ke pernikahan yang tidak berguna ini, mengerti?" bisik Bima di telingga Dinda dengan penuh penekanan sambil menyeringgai mematikan.

"A...apa maksud kamu, Mas," Gugup Dinda. "Saya tidak tahu apa-apa soal ...." Belum sempat Dinda bicara tiba-tiba ada panggilan dari tante Ajeng di luar pintu kamar.

Tok...tok...

"Dinda ...." Panggil tante Ajeng dari luar kamar.

Adinda dan Bima pun terkejut di dalam kamar berdua dan masih dengan posisi yang sama saling berdekatan.

"I...iya Tante," jawab Dinda ketakutan.

"Lagi apa kamu, Dinda? Ada yang mau Tante bicarakan sama kamu."

"Iya Tante, Dinda ke kamar mandi dulu. Nanti Dinda samperin Tante di bawah," Gugup dan bingung itu lah yang dirasakan Dinda.

"Baiklah, Tante tunggu di bawah, sayang."

Dinda menjauhkan dirinya pada Bima dan membalikan badannya menggapai gagang pintu untuk keluar. Kemudian suara dingin Bima pun keluar perlahan.

"Ingat, tolak pernikahan ini, mengerti?" Bima menarik tangan Dinda saat hendak keluar kamar.

"Jangan sentuh saya dan jangan pernah masuk ke kamar saya lagi secara diam-diam karena kita belum halal, mengerti?" Melepaskan tangan Bima kemudian keluar dari kamar.

"Hei kamu berani-beraninya."

Tiba-tiba pintu pun di buka kembali oleh Dinda yang mengatakan pada Bima.

"Keluar dari kamar saya sekarang juga, sebelum ada yang melihat," Menutup pintunya kembali kemudian melangkah pergi.

"Ahhh sial, perempuan itu sudah berani seperti tadi di rumahku sendiri," kesal Bima memuncak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!