"Okay, tinggal sedikit lagi," gumam gadis cantik bermata biru cerah itu sambil berkacak pinggang, ia menatap barang-barang yang harus ia angkut dari mobil ke rumah barunya.
"Jane, aku bisa mengangkut sisa barang ini sendirian. Kau bisa istirahat sekarang," ujar James, kakak laki-laki Jane yang bekerja sebagai tentara yang berjaga di perbatasan hutan di dekat rumahnya.
"Baiklah, aku akan pergi ke kamar," Jane bergegas menuju kamarnya yang terletak di lantai dua rumah barunya.
"Tunggu!" seru James.
Gadis berambut blond-wavy itu menghentikan langkahnya di tengah tangga dan menoleh ke sumber suara, "Hm?"
"Aku akan mencari makan malam, di desa terdekat, tempat tinggal Leo," terang James, "Dan jangan pernah membuka pintu saat aku pergi," James mengambil jas hujannya dari dalam mobil dan mengendarai motornya.
Jane kembali melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju kamar. Ia membuka pintu kamarnya, namun pintu macet. Ia terus menaik turunkan kenop pintu, namun tak berhasil. Ia menghela napas pasrah.
Beberapa menit kemudian sebuah ide terbesit di otak Jane, ia mengangguk mantab dan--
BRAAKK
Mendobrak pintu kamarnya dengan sekuat tenaga, berulang kali ia mendobrak pintu tebal dengan tubuh mungilnya, berhasil. Namun ia terus memegangi lengan kirinya yang memerah.
Jane duduk di bibir kasur, ia membuka kardus di dekatnya. Ia mengambil benda kotak, sebuah foto keluarganya. Ia memandangi wajah kedua orang tuanya yang menghilang saat berlayar dari luar negeri. Gadis itu meletakkan fotonya di meja dekat kasur.
Ia kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi kamar, iris birunya terkunci pada sebuah jendela yang berembun. Jane mendekati jendela itu dan mengusap embun yang menutupi kaca jendela.
"Siapa mereka?" gumamnya pada entah siapa.
Matanya menyipit tak kala melihat dua orang pria berkelahi, ia menatap setiap pergerakan kedua pria itu dengan saksama.
Heran.
Itu yang dia rasakan, salah satu di antaranya terlihat ingin mengigit leher lawannya, namun berhasil ditangkis.
Tiba-tiba, kedua pria yang berkelahi itu menatap Jane, sontak Jane mundur dari jendela. Setelah merasa aman, Jane kembali melihat keluar jendela, tak ada dua pria itu lagi
Fiuuhh..
Kemudian, datang lagi seorang pria dengan rambut pirang sebahu, ia melambaikan tangan pada Jane.
Gadis yang di lambaikan tangan itu mengerutkan dahi, ia berusaha mengingat pria yang sedang melambai di depan rumahnya dalam keadaan hujan itu.
"Leo!"
Jane langsung berlari menuruni tangga, ia menuju pintu dan membukanya.
"Hai, Jane," sapa Leo sambil tersenyum manis, memperlihatkan gigi yang rapi dan lesung pipi.
"Cepat masuk! Untuk apa kau ke rumahku saat hujan?"
"Aku diminta untuk menjagamu, James panggilan mendadak, katanya ia akan mengatasi pembantaian di perbatasan," terang Leo.
Jane meminta Leo untuk duduk di sofa, gadis itu berjalan menuju kamarnya dan kembali ke ruang tamu dengan handuk. Jane memberikannya pada Leo.
"Terima kasih, cantik," ujar Leo dengan nada menggoda.
Jane memutar bola matanya dengan malas, "Kau benar-benar tak berubah setelah 5 tahun,"
..._______________________...
Kerajaan Abloor, kerajaan yang dipimpin oleh Raja Steve yang terkenal akan ke sadisannya pada manusia, rasa bencinya yang mendalam pada bangsa vampire Wetford, sehingga ia ingin menghabisi seluruh keturunan Wetford.
______________________
______________________
"Yang mulia," ujar seorang pria bertubuh kekar dengan nada santai namun tetap tegas.
"Hm," sahut Steve dengan singkat.
Paul yang semula berdiri berdiri di depan singgasana sang raja kini berada di samping raja.
"Pergilah jika kau tak berniat memberiku kabar gembira," ujar Steve dengan dingin.
Asisten pribadi sang raja itu menyeringai, seringaian bahagia yang malah terlihat kejam, "Yang mulia, aku mengetahui keberadaan keturunan vampire Wetford," wajah dengan rahang tegas itu menghadap sang raja dan menatap lekat-lekat untuk melihat reaksi tuannya itu.
Sejenak nafasnya terhenti, seisi ruangan bungkam mendengar ucapan Paul. Steve menatap tajam asistennya dengan mata coklat keemasan yang mengkilat, "Ck, leluconmu tak lucu," kemudian ia kembali membuang muka.
"Mereka berada di hutan dekat kota," tambah Paul.
Steve kembali menatap Paul.
"Mereka terlahir sebagai manusia biasa,"
Steve tersenyum remeh, "Kirim pasukan untuk menghabisi mereka dan--"
"Satu lagi, mereka berada di bawah pengawasan bangsa Rebloor," sela Paul dengan nada tajam.
_____________
Rebloor adalah bangsa werewolf yang berada dipihak Wetford
______________
______________
Orang-orang bawahan Paul hanya bisa menatap keberaniannya Paul berbicara dengan nada seperti itu pada sang raja, ya, mereka berdua memang sudah bersama sejak berumur 12 tahun, hingga kini, mereka berusia 46 tahun.
"Ck, enyahlah bangsa lemah, mereka tak ada apa-apanya di banding kita,"
"Rumah mereka sangat dekat dengan vampire golongan Wetford,"
Steve menghela nafas, "Mereka benar-benar merepotkan,"
"Aku pikir, pangeran Peter bisa sangat membantu saat ini," ujar Paul sambil tersenyum ramah.
Steve hanya menatap asistennya lekat-lekat, kini mereka saling bertukar pandang.
Bawahan mereka menatap mereka berdua dengan tegang, karena sepengetahuan mereka, terakhir saat aksi saling bertukar pandangan ini berakhir dengan perkelahian besar, hingga menghancurkan separuh bangunan istana.
"Pangeran Peter bisa merayu anak perempuan itu untuk mencari informasi lain, dan aku akan selalu mengawasi gerak-gerik kedua mangsa kita," terang Paul.
Dahi Steve mengkerut, "Kedua mangsa?" tanyanya.
"Ya, James dan Jane," jawab Paul.
Sejenak raja dengan wajah brewok tipis itu terdiam, ia berusaha mencerna perkataam Paul. Kemudian ia berdiri, menyibak jubah yang membentang dari pundak hingga menyapu lantai, "Ikut aku".
Paul tersenyum ramah, berjalan dengan rasa hormat, bahkan ia terlihat lebih berwibawa dari pada sang raja. Pria bertubuh atletis dan tegap ini tersenyum ramah pada pelayan yang berlalu-lalang di sepanjang koridor istana yang ia lewati.
Sementara Steve tak acuh dengan orang-orang ia hanya berjalan tergesa-gesa dengan mengumbar tatapan dingin, ia tak melihat senyum para pelanyannya, bahkan ia tak ingin melihat.
Kedua langkah pria seumuran itu terhenti pada sebuah pintu besar dengan ukiran kuno dan abstrak.
Steve menggedornya dengan kasar.
Suara decitan pintu besar itu memekak telinga, bersuara bersamaan dengan desahan kesal dari seorang pemuda, "Ah, apa yang kau lakukan Steve?!" pekiknya kasar, pemuda bertelanjang dada ini membuka salah satu pintu kamarnya.
"Pangeran Peter, itu perilaku yang sangat tidak sopan terhadap ayahmu," ujar Paul se ramah mungkin.
"Ck, diam kau,"
"Hm, sudahlah, kau akan bersekolah dengan manusia sekarang, tak perlu membantah, atau tahtaku tak akan ku berikan padamu sepeserpun, aku akan memberikannya pada anak Paul," ujar Steve dengan nada mengintimidasi.
"Oh, kau mengancam,"
"Dan satu lagi, jika kau tak memanggilku ayah lagi, aku akan mengusirmu dari kerajaan ini, akan ku biarkan kau menjadi santapan Wetford," tambahnya.
Peter memutar bola matanya dengan malas, "Baiklah, aku harap tahtamu segera jatuh ke tanganku," pemuda itu menutup pintunya dengan kasar.
BRAAAAKK....
Pintu besar dengan ukiran kuno dan abstrak itu hancur berkeping-keping hanya dengan satu hantaman tangan kekar mikih Steve.
Peter hanya menoleh sekilas ke arah pintu dan membanting tubuhnya ke kasur, "Ini yang ke 98 kalinya dia merusak pintuku," gumamnya menatap langit-langit.
"Besok kau mulai kuliah pukul 8, dan bersikap baiklah pada gadis yang akan diberi tahu oleh Paul," ujar Steve, setelah itu ia berjalan dengan kasar meninggalkan kamar putranya, tanpa diikuti Paul.
Paul tersenyum ramah, "Pangeran Peter, aku akan memanggil lagi tukang kayu untuk memperbaiki--maksudku mengganti pintu ini,"
"Hm, sudahlah, ia pasti akan menghancurkannya lagi," sahut Peter sambil memeluk guling.
"Pangeran Peter, aku yakin kau akan menyukai tugas ini, karena gadis itu sangat cantik, bukankah kau menyukai gadis pirang?" tanya Paul, ia tetap berdiri tegap di depan pintu--maksudku di depan kamar Peter.
Sang Pangeran membalik badannya ke arah pintu, "Hm, aku sudah bisa menebak bagaimana rupa wajah keturunan Wetford itu. Tak lebih dari seekor kera bukan?" ia kembali memeluk guling dan menguap.
Paul tersenyum miring, "Aku pastikan kau akan menarik perkataanmu, pangeran. Oh ya, aku harus menyusul ayahmu".
"Cih, terserah saja."
Pemuda itu kembali membalikkan badannya, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi dengan lampu kristal. "Hmph, kalau bukan karena hartamu, aku tidak akan mau menuruti hal bodoh ini, lagi pula mana ada keturunan Wetford berambut pirang!" ujarnya entah pada siapa, yang jelas ia benar-benar dongkol jika harus berurusan dengan hal yang tak ada hubungannya dengan dirinya.
"Permisi tuan," seorang pria tua dengan perkakas di tangannya berdiri tepat di depan kamar Peter. "Astaga, apa lagi?"
"Maaf, aku tukang kayu yang diminta untuk mengganti pintu anda."
"Oh".
"Boleh saya memulai?"
"terserah saja."
"Pagi," sapa seorang pria berkulit pucat dengan iris biru terang di depan kelas.
Jane menatap wajah pria itu, ia tak menyangka, bahwa di kampus ini akan menemukan pria tampan, sangat tampan.
Pria itu menatap kursi kosong di samping Jane, kemudian berjalan menghampiri kursi itu dan duduk di sana tanpa menatap Jane.
Gugup.
Itu yang dirasakan Jane, wangi mint dari pria itu menyengat, namun memberi sensasi kesegaran.
"Aku Jane," ujarnya membuka pembicaraan.
"Alex," sahutnya tanpa menoleh ke arah Jane, pandangannya fokus ke pintu kelas. Pria ini menopang dagunya, menatap dengan pandangan kosong.
Jane tersenyum kecut melihat respon Alex yang sangat sombong itu, "Aku menyesal mengajaknya berkenalan," umpatnya dengan suara selirih mungkin.
Namun suaranya masih bisa terdengar, "Hmph, memang seharusnya tak perlu," sahutnya.
Jane terkejut bukan main, ia melotot menatap Alex, ia terheran-heran dengan kemampuan mendengar Alex yang luar biasa. Padahal ia sudah berusaha bersuara selirih mungkin.
Tak lama kemudian datanglah seorang pria dengan rambut acak-acakan. Mata kuning keemasannya menatap setiap orang di kelas, kemudian berkilat saat menatap Jane. Ia menyeringai puas, kemudian melangkahkan kakinya menuju kursi di depan Jane.
"Hai, aku Peter," sapanya ramah sambil mengulurkan tangannya ke arah Jane.
Gadis yang diulurkan tangan itu sejenak mematung, namun dengan cepat ia meraih tangan berjari panjang itu, "A-aku Jennyfer, kau bisa memanggilku Jane,"
Peter tersenyum ramah, "Senang berkenalan denganmu," ia melepas tangannya.
Peter menatap wajah Jane lamat-lamat, benar kata asisten ayahnya itu, gadis Wetford ini begitu cantik, dan yang membuatnya berbeda dengan wanita Wetford adalah rambut dan matanya. Gadis itu berambut pirang dan bermata biru, tak seperti bangsa itu yang biasanya berambut dan bermata hitam.
Satu hal yang mengusik Peter, salah satu vampire yang bangsanya baru saja ia pikirkan ternyata ada di sampingnya. Ia begitu heran, mungkin vampire itu ditugaskan untuk menjaga Jane. Namun, jika memang begitu, mengapa mereka mengutus Alex? Pria yang terkenal dengan sifat dingin dan pribadi yang cuek. Bahkan jika ada bom meledak pun, dia tak bergeming.
Sementara Alex, ia menatap Peter dan Jane bergantian. Ia keheranan dengan munculnya seorang bangsa Abloor di sini, di dunia manusia. Hal itu membuatnya semakin yakin, bahwa ia kemari untuk mencari pangeran dan putri yang hilang juga.
Terbesit di pikirannya, bahwa Jane adalah putri yang ia pikirkan itu, namun ia segera mengalihkan pikirannya, karena ia hanya mengantongi ciri-ciri saja, lagi pula gadis berambut pirang dan bermata biru tidak sedikit jumlahnya di daerah ini. Namun harus diakui, bau darah Jane sedikit familiar di hidungnya.
Mereka semua larut dalam pikiran masing-masing, kecuali Jane, ia hanya melamun dengan pikiran kosong. Ya, itu kebiasaan sehari-harinya, entah untuk memikirkan apa.
"Jane," ujar Peter sambil tersenyum ke arah Jane.
Sang pemilik nama tersentak, "Eh, ya Peter?"
"Kalau boleh tahu, kau tinggal di mana?" tanya Peter, berusaha seramah mungkin.
"Di hutan Moscov, kau hanya perlu mengikuti jalan di sana dan kau akan menemukan rumahku," terang Jane penuh antusias. Ia tersenyum ramah pada Peter.
Peter memanggut-manggut paham, "Mengapa kau tinggal di hutan?" tanya Peter lagi. "Banyak binatang buas di sekitar sana."
"Itu rumah peninggalan kedua orang tuaku, terakhir aku tinggal di sana sekitar 5 tahun yang lalu. Kakakku bekerja di perbatasan, jadi akan lebih dekat jika aku tinggal di sana," jelas Jane.
"Oh, jadi kau memang orang asli sini," Peter mengangguk paham "Oh ya, jarang sekali orang di sekitar sini memiliki rambut pirang," ujar Peter, sebenarnya banyak, hanya saja mereka berasal dari daerah lain yang memang ingin bersekolah di sini.
Jane menoleh ke sekelilingnya, ia tersenyum canggung karna mendapati orang-orang memiliki rambut pirang. "Oh itu, entahlah, aku juga heran. Kedua orang tuaku juga berambut hitam"
"Bagaimana dengan kakakmu?"
"Dia juga berambut pirang."
Alex yang sibuk menatap setiap orang yang melewati depan kelas kini menoleh ke arah Jane, tatapan menyeramkannya berhasil membuat Jane bergidik ngeri.
"A-ada apa?" tanya Jane dengan gagap.
Alex mengalihkan pandangannya, kemudian ia menggendong tas ranselnya, ia berdiri kemudian pergi begitu saja dari hadapan Jane dan Peter.
Jane menautkan kedua alisnya. Ia berfikir, mungkin ada yang salah dengan dirinya, hingga pria bertatapan dingin itu pergi begitu saja. "Pria Aneh, kau kenal dengannya?"
Peter yang menatap kepergian Alex langsung gelagapan dan menjawab asal, "Ah iya-maksudku tidak. Aku hanya pernah melihatnya beberapa kali."
Peter tersenyum miring, betapa bodohnya Alex karena meninggalkan Jane sendirian. Ia akan sangat lebih mudah menggali informasi tentang keluarga Jane tanpa kehadiaran vampire itu.
"You good? kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Jane dengan wajah ngeri.
Entah hanya perasaan gadis itu atau apa, ia merasa orang-orang yang ia temui aneh. Tidak ada yang normal.
"Eh, tidak. Kau cantik juga ternyata." ujarnya mengalihkan pembicaraan.
"Jangan begitu."
"Lain kali kau harus main ke rumahku, aku yakin kau akan suka."
Mata Jane berbinar, "Wah! Aku akan sangat senang!"
Peter tersenyum hingga matanya menyipit, "Nanti akan aku kabari."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!