Alindia Shakier
Dia adalah cucu pertama dari pemilik Yayasan terbesar di negaranya. Yayasan kakeknya menaungi beberapa Rumah sakit terbesar di beberapa Kota, dan memiliki universitas kesehatan. Meski terlahir dari keluarga yang berada, tidak membuat hidup Alin bahagia, serta semua urusannya di permudah karna dia adalah cucu dari seseorang yang cukup di segani.
Terlahir sebagai seorang perempuan adalah kesalahan terbesar yang menyebabkan dia harus hidup bak sebatang kara. Mamanya meninggal karna mengalami pendarahan saat melahirkannya.
Dan dia hannyalah seorang anak perempuan, bukan anak laki-laki yang di harapkan bisa menjadi penerus untuk yayasan keluarganya.
“Nona Muda!” Langkah Alin terhenti. Ia tak langsung membalikkan badanya Nona muda adalah panggilan keramat menurutnya. Yang mana jika ia di panggil dengan sebutan itu, artinya dia sudah melakukan kesalahan. Hingga Si Kakek tua menjadi geram dan marah olehnya.
“Ada perlu apa kau kemari?” Alin membalikkan badanya dengan malas.
“Silakan ikut saya Nona, Tuan besar sedang menunggu Anda.”
“Laporan apa lagi yang kau terima dari anak buahmu, Dekretaris Jon.” Alin menatap tajam sekretaris kakeknya itu “Aku rasa, aku tidak membuat kesalahan apa pun!” seru Alin.
“Anda akan segera tahu Nona. Silakan ikut saya,”
Alin menghela napas. Ia sangat benci dengan situasi seperti ini. Di mana ia tidak memiliki keberanian untuk melawan kehendak kakeknya. Jika ia berani membantah, maka, ia akan kehilangan kebebasan yang baru beberapa tahun ini ia dapatkan. Dengan malasnya Alin pun terpaksa mengikuti langkah Sekretaris Jon.
“Selamat datang Nona Muda.” sambut Bibi Ella, kepala pelayan di rumah kakeknya. “Tuan besar sudah menunggu Anda di ruang makan.” ujar Bibi Ella.
“Ada siapa saja di sana?” tanya Alin, setelah membalas sapaan dari Bibi Ella dengan anggukan kepala dan senyuman manisnya.
“Semuanya sudah berkumpul Nona.” jawab Bibi Ella.
Alin tidak bertanya lagi. Ia melangkah masuk ke dalam rumah, langsung menuju ruang makan. Di sana dia mendapati seluruh penghuni rumah tengah bersantap makan. Alin memilih langsung duduk di ujung meja makan yang panjang itu, agak jauh dari keluarganya.
“Mengapa kau duduk di sana?” Kakek sudah terlihat agak kesal oleh sikapnya. Alin tidak bergeming, memilih mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. “ Duduklah di samping adikmu. Kita makan malam terlebih dahulu.” ujar Kakek.
“Aku tidak lapar. Ada apa Kakek memanggilku ke mari?” Alin menyandarkan punggungnya. Papa dan Mama tirinya menatapnya tajam, sedangkan David tetap acuh, kembali meneruskan makan malamnya yang sempat terhenti, karna kedatangan Alin.
“Tidak ada acara kelulusan untukmu besok lusa.” Kakek menyeka mulutnya dengan tisu. “Dan kau tidak akan mendapatkan penghargaan seperti yang di sampaikan oleh Direktur Makky tadi pagi.” Ucap kakek. Langsung pada inti persoalan. “Dan besok lusa kau harus menemui seseorang.” Kakek menatap sekretaris Jon, seolah mengerti dengan tatapan kakek, sekretaris Jon menghampiri Alin. Lalu menyerahkan sebuah amplop coklat pada Alin “Temui dia di kantornya besok lusa.” ucap Kakek. Saat Alin sudah mengeluarkan isi dari amplop.
Alin tersenyum sumbang, lalu menatap Kakeknya “Apa Kakek pikir dengan melarangku menghadiri acara kelulusan, akan membuat cucu kesayangan Kakek itu, bisa menggantikan tempatku!” Alin berdiri dari duduknya. “David hanya mendapati tempat ke tiga, dan kakek harus menyingkirkan satu orang lagi agar dia bisa mencapai tempatku!” Alin menatap semua orang yang duduk di ruangan itu. “Ternyata terlahir sebagai Laki-laki tidak membuatnya menjadi pintar.” Alin beralih menatap David yang sedang menatap tajam ke arahnya.
“Jaga bicaramu!!” Hardik papa.
Alin melempar amplop di tangannya ke atas meja. “Aku tidak akan menghadiri acara kelulusan besok, toh papa juga yang akan mendapat penghargaan sebagai orang tua yang paling beruntung karna memiliki anak yang berprestasi, hanya saja si pemeran pengganti yang akan menggantikan tempatku besok, dan Tante Amel.” Alin menatap si Mama tiri, yang terlihat sudah masam dari tadi. “Terimakasih untuk Tante, sudah mau menggantikan Almarhum Mamaku, untuk menerima buket bunga atas prestasiku besok lusa, dan tetaplah menjadi pemeran pengganti yang baik untuk Mamaku.” Alin tersenyum dan membungkukkan sedikit kepalanya.
“Dan untuk Kakek.” Alin beralih menatap Kakeknya. “Aku tidak mau menemui pria itu, mau besok, lusa atau kapan pun itu!” Alin berbalik badan hendak melangkah pergi.
“Kau pikir kau bisa membantahku!” teriak Kakek.
PRANKK!!!
Kakek melempar gelas, melintas tepat di samping Alin, Alin bahkan dapat merasakan hembusan angin dari gelas tersebut.
“Kalau kau tidak menemuinya besok lusa, akan aku hapus namamu dari keluarga ini!” Sambung Kakek.
“Hahaha...” Alin tergelak mendengar ucapan Kakek barusan. “Hapus saja, aku tidak akan rugi apa pun.” Menantang tatapan mata Kakek.
“Kembalikan semua kartu yang kau pegang.”
Alin mengambil dompetnya, lalu melempar tiga kartu ke atas meja. “Ambil saja.” ucapnya.
“Dan kunci apartemen.” Lanjut Kakek. Kakek tersenyum melihat perubahan pada wajah Alin.
“Apa kau baru sadar. Bahwa kau bukan siapa-siapa tanpa keluarga ini.”
Namun jawaban Alin di luar dugaan Kakek “Ambil saja. Sekretaris Jon pasti tahu sandi apartemenku.”
“Tinggalkan semua barang-barang yang kau dapatkan dari uangku.” Ujar Kakek, dia semakin geram dibuat oleh Alin.
Alin tersenyum sinis, melempar tas yang ia kenakan, membuka kalung, cincin dan jam tangan.
“Selamat tinggal Kakek, Papa, Tante dan adik manisku.” Alin tersenyum lebar, menatap semua. Akhirnya dia bisa bebas sebebas-bebasnya.
Saat berbalik badan Alin bertemu dengan Wira, Si Mahasiswa yang menempati tempat ke dua. Ekspresi Wira tampak terkejut. Karna, dia baru tahu bahwa Alin juga cucu dari pemilik yayasan kampusnya.
“Kau juga di sini?” Alin menyapa Wira yang tampak masih bingung.
“Eh, i iya.” jawab Wira terbata.
Alin menepuk pundak Wira, lalu berbisik “Mintalah sebanyak yang kau mau, mereka pasti akan mengabulkannya. Dan ingat! Kau hanya punya satu kesempatan.” Alin menyunggingkan senyumannya. Wira masih terlihat bingung. "Kau pasti sudah mendengar apa alasannya, kau sampai di panggil ke sini” Alin berbalik, kembali menatap Kakeknya. "Kakek akan sibuk mulai sekarang, untuk menutupi semua kekurangan cucu kesayangan Kakek.” Alin mengangkat kepalan tangannya, mengacungkannya pada Kakek. “Kakek fighting.” ujar Alin.
***
Cukup lama Alin menunggu Wira keluar dari rumah Kakeknya, ia bersandar pada mobil Wira sambil menendang-nendang kecil ujung sepatunya ke tanah, tangannya bersedekap untuk mengusir hawa dingin malam.
“Kau masih di sini?” Wira berdiri tiga langkah di belakang Alin.
“Buka kunci mobilmu cepat! Di sini sanga dingin.” ujar Alin mengitari mobil Wira, membuka pintu mobil, langsung menghambur masuk ke dalam, duduk di samping kemudi. Wira terlihat menaruh sesuatu di jok belakang. Lalu duduk di belakang kemudi.
“Lo ngga mau nannya sesuatu gitu ke gue?” tanya Alin, saat mobil yang di kendarai oleh Wira telah menjauh dari rumah kakeknya.
“Kita ngga sedekat itu, untuk menggunakan kata *lo dan gue*.” ujar Wira.
Alin terkekeh. “Ngga usah sekaku itu juga kali. Lo minta apa saja sama si Kakek tua?” tanya Alin.
“Seperti yang kamu sarankan, aku meminta banyak.” ujar Wira. Menunjuk jok belakang dengan kepalanya.
“Wow. Hanya segini? Padahal lo bisa minta lebih dari ini.”
“Bukan hanya itu, yang di belakang hanya tanda jadi.”
Alin tergelak mendengar ucapan Wira barusan. Seperti yang ia duga.
Wira hannyalah laki-laki biasa, dan terlahir dari keluarga yang sederhana. Wira bisa kuliah kedokteran karna mengandalkan beasiswa. Wira tipikal orang yang tidak banyak neko-neko, selama itu tidak menghambat jalannya dia akan menurut saja. Seperti saat ini Wira terlihat biasa saja, tidak marah atau pun senang saat peringkatnya harus di geser oleh David.
Wira hannyalah laki-laki biasa, dan terlahir dari keluarga yang sederhana. Wira bisa kuliah kedokteran karna mengandalkan beasiswa. Wira tipikal orang yang tidak banyak neko-neko, selama itu tidak menghambat jalannya dia akan menurut saja. Seperti saat ini Wira terlihat biasa saja, tidak marah atau pun senang saat peringkatnya harus di geser oleh David.
“Lo ngga marah?” tanya Alin.
“Untuk apa?” Wira mengangkat bahunya. “Sama seperti kamu, aku juga ngga rugi. Malah aku beruntung, bisa dapat pekerjaan, rumah dan uang.” Wira menatap Alin, dia tersenyum tipis, tanda bahwa dia baik-baik saja.
“Enaknya jadi lo, bisa dapat semuanya secara cuma-cuma, lah gue malah di usir seperti ini.” ujar Alin.
“Kamu mau aku turuni di mana?” tanya Wira.
Mendengar pertanyaan Wira barusan membuat Alin tercengang, ia tak habis pikir di buatnya.
Alin menatap Wira “Gue mau numpang tidur di tempat lo malam ini.” ujar Alin, sedikit memelankan suaranya, bibirnya tersenyum semanis mungkin dengan mata yang mengerjap manja menatap Wira.
“Ngga bisa.” jawab Wira cepat, ia mengalihkan kepalanya kembali menatap jalanan.
“Oh. Ayolah Wira. Lo kan sudah dapat banyak uang dari kakek gue. Lagian gue cuma numpang satu malam doang kok!”
“Kamu bukan lagi cucu dari kakek tadi. Jadi tidak ada hubungannya dengan uangku.” ujar Wira.
Alin memejamkan matanya, menghela napas, tangannya mengepal kuat. Ia terlihat sangat kesal sekarang.
“Ok baiklah. Lo memang benar, gue bukan lagi cucunya. Tapi gue mohon, bantu gue kali ini saja, gue bakal ingat selalu dengan kebaikan lo ini, ya!” Alin terlihat memohon dengan sungguh-sungguh, matanya memelas, kedua tangannya menggoyang-goyangkan lengan kiri Wira.
Wira menghela napas, kemudian berucap. “Aku harus pulang ke rumah Mamaku malam ini, dan itu jauh dari Kota.”
“Ngga masalah, Aku ikut!” jawab Alin cepat.
Agak sulit memang, membujuk Wira si anti sosial yang selalu acuh dengan orang-orang di sekitarnya.
Wira memang tidak terlalu suka berhubungan dengan orang lain. Menurutnya itu hanya akan membuat pusing dan merepotkan. Terbukti sekarang, belum genap satu jam lamanya ia mengenal Alin (tahu namanya sudah lama, hanya saja baru mulai bertegur sapa sejak satu jam yang lalu). Ia sudah di buat repot oleh makhluk yang di sebut orang “wanita” itu.
Malam semakin larut, Alin sudah terlelap dalam tidurnya sejak tadi. Wira menghentikan kendaraannya di halaman sebuah warung nasi, sebenarnya ia agak lapar, hanya saja dia tidak tega membangunkan Alin. Akhirnya Wira memutuskan untuk take away saja. Sebab dia tahu bahwa Alin juga belum sempat makan malam di rumah kakeknya tadi.
Wira keluar dari warung nasi dengan menenteng beberapa kantong plastik, menaruhnya di jok belakang bersebelahan dengan tas yang ia bawa dari rumah kakek Alin tadi. Lalu kembali mengendarai mobilnya.
“Alin... Alin...” Wira menggoyang-goyangkan pundak Alin, berusaha membangunkannya.
“Kita sudah sampai.” gumam Alin. Mengerjapkan matanya. “aaahhh...” Alin menutup mulutnya yang menguap dengan tangannya. Alin keluar dari mobil, hawa dingin pedesaan langsung menerpa kulitnya. “Dingin..” Alin berlari menuju teras rumah, sambil mengusap-usap lengannya.
Wira menyusul Alin yang terlebih dahulu sampai di depan rumahnya, dengan menenteng kantong plastik dan sebuah tas.
CKLEK!!!
Pintu rumah terbuka dari dalam. Seorang ibu-ibu muncul dari balik daun pintu.
“Wira!” Si ibu terlihat sangat senang. “mengapa tidak mengabari Mama kalau mau pulang?” Membuka pintu lebar-lebar agar Wira bisa masuk dengan leluasa.
“Masuk!” ujar Wira menatap Alin yang terdiam di tempatnya.
“Siapa?” tannya Mama pada Wira.
“Teman satu kampus.” jawab Wira.
“Ayo masuk nak! Di luar dingin.” Menarik tangan Alin, menuntunnya masuk ke dalam rumah. “Duduk dulu, Mama buatkan teh sebentar.” Mama Wira berjalan ke belakang, Wira tidak terlihat lagi sejak ia masuk ke dalam rumah.
Alin memperhatikan sekelilingnya dengan saksama, terdapat beberapa foto tergantung di dinding rumah itu. Tapi, dari semua foto hannya tampak gambar wira dan ibunya saja.
“Apa hannya mereka berdua saja yang tinggal di sini” batin Alin.
“langsung ke belakang saja, kita makan dulu!” ujar Wira. Dia baru muncul dari pintu kamar. Alin berdiri mengikuti langkah Wira dari belakang.
“Kalian belum makan malam?” tannya Mama saat melihat mereka berdua masuk ke dapur. “Sudah berapa kali Mama bilang menunda makan itu tidak baik.” oceh Mama, meletakan dua cangkir teh hangat ke atas meja makan. “Duduk dulu, minum tehnya, biar mama panaskan makanan ini sebentar.” Mama mengambil alih kantong plastik dari tangan Wira.
Wira dan Alin pun duduk, seperti yang di perintahkan oleh Mama. “Ayo cepat, makanlah.” Ujar Mama saat lauk terakhir telah di letakannya ke atas meja makan, ikut duduk di samping Alin.
“Mama tidak makan?” tanya Alin saat melihat Mama Wira hannya senyum-senyum menatapnya.
“Tidak. Mama tadi sudah makan, cepat makanlah.” Mama mendekatkan mangkuk nasi pada Alin.
“Siapa namamu nak?”
“Eh. Iya, nama saya Alin Mama.” Alin tertawa menyeringai, dia sudah makan beberapa suapan di rumah itu, namun si pemilik rumah bahkan belum tahu siapa namanya.
“Nama yang cantik. Apa nak Alin pacarnya Wira?”
“Huk Huk!!!” Wira tersedak mendengar perkataan Mamanya barusan.
Alin menyodorkan gelas berisi air putih ke pada Wira dengan cepat. Ekspresi Alin terlihat biasa saja tidak seperti Wira yang menurutnya terlalu berlebihan.
“Tidak. Dia hanya teman satu fakultasku saja.” jawab Wira cepat, setelah dia selesai minum. “Kami saja baru saling mengenal sejak sore tadi.” lanjutnya. Wira terlihat kurang suka dengan pertanyaan Mamanya barusan.
“Oh, sayang sekali. Padahal Mama akan sangat senang bisa memiliki menantu secantik ini.” ujar Mama, mengabaikan tatapan kesal dari anak semata wayangnya. Alin hanya tersenyum santai, sama sekali tidak terganggu oleh ucapan Wira dan Mamanya. Tetap melanjutkan makan malamnya dengan tenang.
***
“Aww!!” David meringis kesakitan saat Mamanya mengobati luka di punggungnya. “pelan-pelan dong Ma!” ujarnya.
“Awas saja anak sialan itu, akan Mama balas semua ini.” geram Amel. Dia sangat sakit melihat David yang selalu di pukuli oleh suami dan papa mertuanya, jika Alin selalu mengungguli anak kesayangannya ini.
“Sudah, kamu istirahatlah.” Amel membenahi selimut David. Malam ini sepertinya David harus tidur dengan posisi tengkurap, karna luka di punggungnya masih nyeri jika tertindih.
Amel masuk ke kamarnya, ia mendapati Haris suaminya sudah berbaring di atas kasur dengan mata terpejam. Amel duduk berpangku tangan di sisi ranjang miliknya, menatap tajam punggung suaminya.
“Sampai kapan kamu dan Papa memperlakukan David seperti ini?” ucap Amel, dia tahu bahwa suaminya belum tidur.
“Jika kau mau anakmu di perlakukan dengan baik, buat dia menjadi berguna.” Haris bangkit dan duduk, menatap tajam pada Amel. “Apa kau tidak malu di perlakukan seperti tadi oleh Alin? Aku saja sebagai Ayah kandungnya sangat malu di perlakukan seperti itu olehnya. Semua ini karna kau terlalu bodoh untuk menjadi nyonya di keluarga ini. Kalau saja yang melahirkan Davit adalah Diana dia pasti tidak akan sebodoh ini, dan aku tidak perlu mendapat hinaan seperti tadi oleh anakku sendiri.” seru Haris. Dia sudah berdiri dengan tangan mengepal erat.
“Cih. Sekarang saja kau akui bahwa dia adalah anakmu, dan apa kau sadar dengan ucapanmu barusan? Setelah Diana mati dengan mengenaskan karna ulahmu sendiri! Apa kau tidak malu pada dirimu sendiri!” seru Amel, suaranya tak kalah tingginya dengan Haris. “Kau lebih memalukan!” tekan Amel.
“Cih. Sekarang saja kau akui bahwa dia adalah anakmu, dan apa kau sadar dengan ucapanmu barusan? Setelah Diana mati dengan mengenaskan karna ulahmu sendiri! Apa kau tidak malu pada dirimu sendiri!” seru Amel, suaranya tak kalah tingginya dengan Haris. “Kau lebih memalukan...” tekan Amel.
“Kau benar. Dan mulai sekarang aku akan menebus semua kesalahanku pada Diana, dengan menjamin kebahagiaan Alin. Jika perlu akan aku jadikan dia pewaris yayasan selanjutnya, jika putramu yang bodoh itu tidak bisa mencapai tempatnya tanpa bantuan orang lain.” Haris melangkah keluar kamar, menutup pintu dengan kasar.
Amel tampak sangat terkejut mendengar ucapan Haris barusan, tangannya mengepal dengan kuat napasnya terdengar memburu. “Anakku adalah satu-satunya pewaris yayasan. Tidak akan aku biarkan orang lain menggantikannya.” geram Amel.
***
Sudah seminggu lamanya Alin tinggal di rumah Wira. Kegiatan sehari-harinya adalah membantu Mama wira membuat kue pesanan pelanggan. Terkadang, Alin juga menemani Mama pergi ke pasar desa untuk berbelanja. Hampir setiap hari pesanan baru terus berdatangan.
“Banyak juga ya Ma, pesanan yang masuk,” ujar Alin saat menyusun kotak-kotak kue ke atas meja.
“Iya nak Alin. Kalau nak Alin cape pergilah istiraha, Mama tidak apa-apa, biar Mama yang bereskan, ini kan tinggal sedikit lagi.” ujar Mama. Mengusap punggung Alin.
“Eh, aku bukanya mengeluh kok Ma. Cuma heran saja kok pesanannya sampai sebanyak ini he he he...” Alin menyengir merasa tidak enak pada Mama Wira.
“Iya, ini biasanya Mama ada yang bantu, Cuma anaknya lagi pergi keluar kota, ada acara keluarga katanya.” ujar Mama.
“Oh, baguslah kalau Mama ada yang bantu, kalau tidak, Mama pasti bakalan rempong mengurus ini semua sendirian.” imbuh Alin. “Untung ada aku saat dia cuti. Iya kan, Ma.” seru Alin.
“Hahaha. Iya, iya Mama sangat beruntung ada nak Alin di sini yang mau bantuin Mama.” Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis yang tinggal di rumahnya selama seminggu ini selalu membuatnya tertawa dengan kepolosannya.
Wira yang pergi sejak hari kelulusan, tidak pernah menampakkan batang hidungnya di rumah itu lagi. Saat di telepon oleh Mama, alasannya karna dia sudah mulai bekerja di rumah sakit besar di kota. Wira bahkan tidak mengizinkan Mamanya datang di hari kelulusannya.
“Kok Mama ngga pergi sama Wira?” tannya Alin bingung, saat melihat Wira pamit pada Mamanya pagi itu.
“Acaranya ngga penting juga.” jawab Wira sekenanya.
Karna masih penasaran Alin pun mengulangi pertanyaannya pada Mama.
“Kata Wira acaranya ngga penting gitu, cuma buat foto-foto doang. Ngapain Mama susah-susah ke kota, jauh juga.” jawab Mama. “Apa nak Alin tahu Wira mendapat banyak hadiah, karna dia lulusan terbaik ke dua, Hadiahnya uang satu goni, Mama tidak perlu lagi membuat kue dua tahun ini.” Mama terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kamu ngga pulang ke kota?” tannya Wira saat mereka berada di teras rumah, hendak mengantar kepergian Wira.
Alin mengerlingkan matanya, menatap sinis pada Wira “ Pelit amat sih lo. Perasaan gue ngga banyak makan, malah sering bantu-bantu Mama beberes. Kasih gue waktu sebentar lagi napa!” Alin menggerutu.
“Janji kamu kemarin cuma satu malam, ini su_”
“Sudah, sana pergi nanti telat lagi ke acara kelulusannya.” Mama memotong ucapan Wira. “Biarkan nak Alin tetap tinggal di sini sepuasnya. Kapan lagi Mama bisa punya anak secantik ini.” Mama menggandeng tangan Alin. “hati-hati di jalan!” Mama melambaikan tangannya, dan masuk ke dalam rumah bersama Alin, padahal Wira belum berangkat, bahkan masuk ke mobil pun belum. Sejak hari itu lah Wira tidak pernah pulang ke rumahnya lagi.
*
“Mama sepertinya ada yang datang!” seru Alin, dia mendengar ada sebuah kendaraan berhenti di halaman rumah. “Pasti ingin mengambil kue ini. Alin liat ke luar bentar ya Ma!”
“Loh, Wira! Hmmm... Gue kira jemputan yang datang.” Alin dengan malasnya berbalik badan, hendak kembali masuk ke dalam rumah.
“Aku mau ngomong!” ujar Wira.
Alin menghentikan langkahnya. “Ngomong apa? Kapan Gue pergi dari sini?”
“Ngga. Kamu kenal sama orang ini?” Wira menunjukkan sebuah foto pada Alin.
Dengan cepat Alin merebut foto itu dari tangan Wira, matanya terbelalak. “Lo kok bisa punya fotonya Bibi Fatma!?”
***
Alin langsung menghambur keluar dari mobil, saat Wira masih berusaha untuk memarkirkan mobilnya di parkiran Rumah sakit. Berlari sempoyongan ke arah pintu masuk.
“Akhirnya lo muncul juga!” Alin menghentikan langkahnya, melihat ke arah suara, ternyata David si adik tiri yang menyebalkan. Alin meneruskan langkahnya. “Lo mau kemana! Gue lagi ngomong!” David menahan tangan kiri Alin.
Alin menghembuskan napas, mata sembabnya menatap tajam pada David. “Lepas!”
“Lo mau nengokin pembantu kesayangan lo? Ngga usah repot-repot. Mending langsung lo siapin acara pemakamannya. Karna, sebentar lagi dia bakal.” David menggerakkan tangannya seperti memotong lehernya sendiri, kemudian memiringkan kepalanya, menatap Alin dengan senyuman kemenangan. Alin tidak menyia-nyiakan kesempatan.
“Aww...” Alin menjambak rambut David, lalu menghadiahkan tamparan bertubi-tubi pada wajah David. Tenaga Alin yang tadinya hampir terkuras habis karna menangis sepanjang perjalanan, kembali membara saat memukuli David dengan membabi buta. Karna Alin menyerangnya secara dadakan, David di buat tak berkesempatan untuk membalas, bahkan untuk membebaskan diri pun dia tidak ada kesempatan.
Banyak orang yang menyaksikan pergulatan mereka, namun tak ada yang berani melerai. Mungkin itu hari kesialannya David, security yang biasanya nongkrong di pintu masuk pun tak terlihat batang hidungnya, mungkin sedang kebelet. sehingga penyiksaan yang dia alami berjalan cukup lama.
“Alin. Hei, cukup!!” Wira berlari mendekati Alin dan David. Mendekap tubuh Alin dari belakang, mengangkatnya sedikit, dan menjauhkannya dari David. Alin masih meronta mencoba melepaskan diri dari dekapan Wira. “Alin Stop! Kamu ngga liat ini rumah sakit. Banyak orang yang mengenali kamu dan David, jangan memperburuk keadaan!” Wira berkata sedikit berbisik namun tegas. Itu berhasil, Alin sedikit tenang di buatnya. “Ayo aku antar kamu ke ruangan Bibi Fatma.” Wira menarik tangan Alin, menjauh dari TKP.
Mata Alin masih menatap tajam pada David, hidung David tampak mengeluarkan darah, si empunya tampak meringis.
Alin menyunggingkan seringainya.
Alin melihat Bibi Fatma dari balik jendela kaca, tubuh kurus Bibi Fatma di gerayangi banyak kabel dan selang, Wajahnya terlihat sangat pucat. Air mata Alin kembali mengalir deras. Ia membungkamkan mulutnya dengan tangan agar isakannya tak terdengar oleh orang lain. Perasaan haru dan sedih menyelimuti hatinya, hampir sepuluh tahun lamanya mereka terpisah, dan dia bisa bertemu kembali dalam keadaan Bibi Fatma seperti ini.
Seorang dokter keluar dari ruang Bibi Fatma. Alin buru-buru menghampiri dokter tersebut.
“Dokter! Bagaimana keadaan Bibi Fatma dokter?” Desak Alin, menyeka air matanya dengan telapak tangan.
“Apa Anda keluarga pasien?” tanya dokter. Alin mengaguk cepat.
“Silakan ikut ke ruangan saya.” Alin dan Wira mengikuti dokter dari belakang. “Silakan duduk” Ujar dokter saat mereka telah sampai di ruangannya. “Saya akan langsung saja. Pasien Fatma harus segera melakukan Transplantasi ginjal. Selama di rawat di sini tidak ada kemajuan terhadap kondisi pasien, jadi kita harus segera mencari pendonor dan menentukan jadwal operasi untuk pasien.” Terang dokter.
“Saya dokter, ambil ginjal saya.” ujar Alin.
“Tidak ada tindakan apa pun terhadap Fatma!”
Alin, Wira dan dokter sontak melihat ke arah suara. Dokter langsung berdiri dari duduknya, dia tampak terkejut dengan kedatangan direktur tempatnya bekerja.
“Papa!” pekik Alin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!