...Selamat datang di karya pertamaku. Maaf jika masih ada banyak kesalahan. Cerita ini hanya fiksi belaka, halu semua....
...Selamat membaca dan semoga terhibur....
...*****...
Disebuah penthouse mewah, dua orang pria tengah menenggak wine.
“Argh ...,” teriak Davis. Ia menjambak rambutnya dengan kasar, menyalurkan kekesalannya setelah melihat foto sebuah keluarga kecil yang tengah tersenyum seolah menggambarkan kebahagiaan. “Mereka bisa bahagia di atas penderitaanku!” rancaunya setelah menenggak wine. “Tambah,” titahnya sembari menyodorkan gelas wine yang telah kosong.
“Sudahlah.” George menuangkan cairan berwarna ungu pekat ke gelas Davis. “Mereka saja sudah bahagia, kenapa kau tak berusaha seperti itu juga?” nasihat George pada atasan sekaligus sahabatnya.
Setiap tahun dibulan November, Davis akan selalu memperingati hari yang tak pernah ia lupakan. Hari dimana menjadi awal dia berubah sifat sebagai seorang pria yang arogan. Dan George sebagai sahabat, selalu menemani.
Davis harus berpisah dengan kekasihnya karena keegoisan orang tua sang kekasih yang menginginkan menantu dari keluarga kaya raya. Sedangkan dirinya kala itu, belum menjadi apa pun, hanya seorang pria yang masih merasakan asam garam kehidupan.
Andai saja orang tua mantan kekasihnya itu mau bersabar, membiarkan untuk terus menemani Davis. Pasti pria itu tak akan menjadi arogan, ia akan tetap hangat dan baik dengan siapapun. Bahkan ia tak akan mencari dan membalaskan perbuatan orang yang membantai keluarganya. Dia akan mengikhlaskan peristiwa kelam itu karena ada seseorang yang selalu di sampingnya. Namun harapan hanyalah harapan. Kenyataannya tidaklah seperti itu.
“Bahagia?” Davis tertawa nyaring hingga keluar bulir bening dari ekor matanya karena terlalu geli dengan ucapan sahabatnya. Bukan tawa bahagia, tapi tawa kesedihan. “Apa orang sepertiku berhak bahagia?” gumam Davis. Ia letakkan kepalanya di meja, memejamkan mata sebentar. Kepalanya sudah mulai pusing akibat terlalu banyak meminum wine.
George menepuk pundak Davis. “Setiap orang berhak bahagia, termasuk kau!” ujarnya.
Davis membuka matanya, tapi tak berniat mengangkat kepalanya dari meja. “Bahagiaku hanya bersamanya, tapi keluarganya merenggut kebahagiaanku,” desah Davis. “Sekarang dia bahagia bersama orang lain, apa itu adil?”
“Sadarlah, kau pikir hanya dia saja yang bisa menjadi pendamping hidupmu!” kesal George. Ia tak senang dengan Davis yang selalu menganggap kebahagiaan hanya dari mantan kekasih yang sudah hampir satu dekade berakhir itu.
“Ya, wanita yang mau menerimaku dan menemaniku apa adanya, hanya dia!” balas Davis.
“Dia, bukan orang yang memperjuangkanmu! Jika dia memperjuangkan cintanya, pasti kau dan dia tetap akan bersama, sebesar apa pun rintangannya,” ujar George sembari membuka tutup botol wine. Sepertinya malam ini akan panjang mereka habiskan. Entah itu sudah botol keberapa yang mereka habiskan.
Davis mengangkat kepalanya dan membuang kasar nafasnya. “Bukan dia yang tak memperjuangkan, tapi aku yang tak memiliki kekuatan apa pun saat itu.” Davis langsung menyambar gelas winenya dan menghabiskan dalam sekali tenggakan.
“Sekarang kau sudah memiliki setidaknya sedikit kekuasaan, apa kau mau memperjuangkan cintamu yang sudah lama berakhir itu?” tanya George penasaran. Namun dalam hatinya menginginkan Davis untuk mencari wanita lain.
Davis mengedikkan bahunya. “Entah.”
Drake Davis Dominique, pria berusia tiga puluh lima tahun. Ia hidup sendirian selama lima belas tahun. Seluruh anggota keluarganya sudah dibantai tanpa jejak entah oleh siapa. Hanya Davis yang tersisa karena kala itu ia sedang menempuh pendidikan di Harvard University.
Peristiwa mengerikan itu membuat bisnis keluarganya hancur. Perusahaan yang dibangun susah payah oleh orang tuanya lenyap begitu saja setelah peristiwa itu.
Davis yang masih muda dan sebatang kara harus menghidupi dirinya sendiri. Ia banting tulang demi makan sehari-hari dan mencoba mendaftar beasiswa agar tetap bisa melanjutkan pendidikannya di Harvard University, perguruan tinggi impiannya.
Hanya dua orang yang ada disisinya kala itu, George sahabatnya dan seorang wanita yang kini menjadi mantan kekasihnya. Mereka yang selalu menemani dan memberikan support kepada Davis untuk tetap tegar dan kuat menjalani hidup tanpa keluarga lagi.
Davis berjuang mati-matian untuk membangun bisnis keluarganya lagi yang sudah lenyap. Jatuh bangun ia alami, hingga akhirnya selama tiga tahun belakang bisnisnya sudah berkembang dengan pesat. Belum menjadi yang terbesar, namun bargaining position perusahaannya sudah tinggi.
Davis memiliki ambisi untuk membuat perusahaannya menjadi yang terbesar di benua Eropa bahkan jika bisa hingga seluruh dunia. Ia ingin melihat bagaimana orang-orang yang pernah memandang dirinya sebelah mata akan menyesali perbuatan mereka.
Ia merubah nama perusahaan milik keluarganya yang sudah gulung tikar bahkan gedungnya pun sudah berpindah kepemilikan menjadi Triple D corp. Ia sengaja mengganti nama perusahaannya dan menyembunyikan identitas dirinya sebagai pimpinan perusahaan karena ia yakin jika yang melakukan pembantaian terhadap keluarganya adalah kompetitor perusahaan keluarganya. Ia melakukan itu demi melindungi dirinya dan juga kelancarannya dalam membangun kembali usaha yang didirikan oleh orang tuanya itu. Lebih baik sekarang semua tahu dirinya hanya orang biasa tanpa kekuasaan, sehingga tak ada yang menilai dirinya sebagai ancaman.
...***...
...Untuk visual tokohnya bisa dilihat ke instagram aku ya @heynukha...
Sebagai seorang sahabat, George tak ingin jika sahabatnya Davis merusak hubungan harmonis rumah tangga mantan kekasihnya hanya demi kesenangan pribadi. Meskipun ia ingin melihat kembali kebahagiaan Davis, tapi tentu saja menggunakan jalan lain.
“Jangan pernah kau berpikir untuk merusak rumah tangga orang lain! Carilah wanita selain dia, masih banyak yang cantik dan baik di Finlandia. Jika kau mau, aku akan membantumu mencari,” nasihat George lagi. Meski sudah banyak wine yang ia minum, tapi kesadarannya masih melekat. Tingkat toleransi alkoholnya sangat tinggi.
“Kau terlalu banyak bicara!” Davis menjejalkan segenggam potato chips ke mulut sahabatnya hingga George yang akan memberikan nasihat lagi kepada Davis tak dapat berucap.
Ketika George akan berbicara setelah berhasil menelan potato chips dengan susah payah, ponsel miliknya berbunyi. Ia berdiri menjauh dari Davis, lalu mengangkat teleponnya. Membiarkan Davis menuangkan dan meminum alkohol sendirian.
“Aku harus pulang, kau jangan keluar karena menurut perkiraan cuaca malam ini akan terjadi badai salju,” pamit George, ternyata yang menelpon adalah kekasihnya meminta dia untuk pulang karena baru saja menonton siaran berita cuaca dan menghawatirkan George. Ia memakai kembali jaket tebal yang dilepas ketika masuk ke dalam penthouse dan mengambil kunci mobilnya, lalu pergi meninggalkan Davis seorang diri.
“Pergilah ... pergilah ... semua orang pasti akan pergi meninggalkanku sendirian.” Davis mengibaskan tangannya. Entah ia mendengarkan ucapan George tentang perkiraan cuaca malam ini atau tidak.
Setelah kepergian sahabatnya, Davis meminum wine langsung dari botolnya seperti orang meminum air mineral yang tengah kehausan. Namun ia bukan tengah kehausan, melainkan sedang meratapi kehidupannya yang dilampiaskan dengan meminum wine.
“Sial! Sudah habis,” rancaunya ketika wine yang ada di tangannya telah tandas tak menyisakan setetes pun. Ia lemparkan secara asal botol kosong itu ke lantai.
Entah sudah berapa banyak wine yang dihabiskan, banyak botol berserakan di ruang tengah penthouse. Seolah tak ada puasnya ia minum, dia berjalan ke dapur untuk mengambil wine lagi. Tangannya membuka salah satu lemari penyimpanan, kosong. Habis sudah persediaan minuman alkoholnya, semua sudah diminum.
“Sepertinya aku harus membuat ruang penyimpanan khusus wine yang sangat besar,” seloroh Davis dengan nada seperti orang gila khas dengan cekikikannya dan menggerakkan kedua tangan membuat bulatan besar.
Tak ada yang bisa Davis lakukan lagi, sendiri tanpa teman di penthouse sebesar setengah lapangan sepakbola itu. Semuanya perlahan meninggalkannya, bahkan sebotol wine pun tak ada yang sudi menemaninya.
Bosan, itulah yang ia rasakan kini. Hanya berdiam diri, ingin tidur pun mata tak mendukung. Terlalu sering meminum wine membuat toleransi alkoholnya tinggi.
“Lebih baik aku keluar saja mencari udara segar.” gumam Davis.
Dengan keadaan sedikit mabuk, ia mencari-cari kunci mobilnya. Setelah menemukan apa yang ia cari, kakinya langsung menuntun menuju basement dan menancap gas mobil, keluar tanpa tujuan jelas.
Sepertinya Davis tak pernah menonton perkiraan cuaca atau mengecek weather yang ada di ponselnya. Bulan November merupakan musim salju. Kaca mobilnya dipenuhi dengan salju yang turun. Awalnya hanya sedikit, namun semakin lama Davis melaju, salju pun turun semakin deras.
Ia baru menyadari jika sepanjang perjalanan tak melihat satu pun kendaraan yang melintas. Jalanan pun sudah semakin tertutup oleh setumpuk es berwarna putih akibat badai salju.
Ternyata Davis tak mendengarkan apa yang dikatakan George ketika berpamitan pulang. Kini ia harus terjebak di dalam mobil yang tak bisa bergerak. Ban mobil sudah tertutup oleh salju tebal.
“Sial! Mengapa tak ada satu pun orang yang memperingatkanku jika akan ada badai salju, bahkan televisi dan ponselku pun tak mengingatkanku!” umpatnya menyalahkan siapa saja akibat kebodohannya sendiri yang terlalu kalut dalam kesedihan hingga melupakan hal penting yang harus diperhatikan sebagai penduduk di negara dengan empat musim.
Jaket yang tak seberapa tebal itu tak dapat mengurangi rasa dingin yang menusuk menembus hingga ke kulit. Davis terus menggigil di dalam mobil sendirian. Ingin keluar lalu berjalan kaki menuju penthousenya tapi ia urungkan karena itu tak mungkin. Kini ia sudah terlalu jauh dari kediamannya. Ingin mencari penginapan juga tak mungkin, sebab jalan yang ia lalui semuanya adalah bangunan ruko tak ada penginapan satu pun.
“Betapa malangnya diriku, bahkan disaat terakhirku pun aku sendirian,” gumamnya sembari mengigil. Ia sudah pesimis dengan keadaan dirinya saat ini. Ia hanya berharap akan ada orang yang melihat dan menolong. Jujur saja, ia belum ingin mati karena belum menemukan orang yang membantai keluarganya dan belum membuat orang-orang yang pernah menghinanya menyesal.
Sementara itu, seorang wanita tengah menikmati salju di balkon tempat tinggalnya. Ia sangat senang dengan musim dingin karena tak akan ada yang menganggapnya aneh ketika menggunakan pakaian tertutup seperti saat musim panas.
Ia memandangi jalanan yang sepi tak ada kendaraan yang lewat dan tak ada orang berjalan kaki disekitar jalan. Semua orang seakan enggan menantang maut keluar ketika akan ada badai salju yang diperkirakan malam ini.
Ia bermain-main dengan salju yang menumpuk di balkonnya, menengadahkan tangannya agar salju menumpuk di tangannya. Ketika salju datang mulai deras, ia mengambil air panas dan ingin ia siramkan di udara agar menjadi es.
Ketika ia hendak menyiramkan air panas ke udara, matanya terbelalak melihat sebuah mobil yang berhenti di tengah jalan.
“Sejak kapan ada mobil disana?” gumamnya. Ia heran karena sedari tadi memang tak melihat ada kendaraan satu pun, bahkan mobil itu menjadi satu-satunya yang ada disana.
Ia tak memperdulikan keberadaan mobil itu, asyik bermain dengan salju. Dia tak tahu jika di dalam kendaraan roda empat tersebut ada sebuah nyawa yang sedang mengharapkan adanya malaikat baik yang mau menolong.
Cukup lama ia bermain salju, hingga merasa puas dan ingin masuk kedalam kediamannya. Sebelum melangkahkan kaki, manik indahnya mengamati mobil yang berada di jalan itu. Matanya menangkap cahaya dari dalam mobil yang artinya ada orang di sana.
Jiwa keingintahuannya membuncah. Ia ingin melihat siapakah orang gila yang berani keluar ketika badai salju sudah diperkirakan.
Ia keluar menuju jalanan, mendekati mobil itu. Betapa kagetnya wanita itu ketika mengintip dari kaca mobil, ternyata ada seorang pria yang tengah terlelap meringkuk. Jiwa kemanusiaannya langsung keluar ketika melihat hal tersebut. Ia mencoba membuka pintu mobil. Ternyata tak dikunci dari dalam.
“Tuan ... tuan ... apakah bisa mendengar saya?” Ia menggoyang-goyangkan tubuh pria yang sudah tak sadarkan diri itu. Dilihatnya wajah pria tampan di hadapannya, sudah pucat dengan bibir yang membiru.
“Astaga ... dia terkena hipotermia, sudah berapa lama terjebak badai salju? Kenapa ada orang gila seperti dia di dunia ini! Sudah tahu perkiraan cuaca malam ini buruk, tapi nekat keluar.” Ia berdialog dengan dirinya sendiri. Mencoba memegang nadi di tangan dan leher pria yang sedang berada diantara hidup dan mati itu, ternyata masih hidup.
“Tuan ... aku akan menolongmu tapi tolong bangun, aku tak kuat mengangkat tubuhmu yang sangat berat seperti patung batu,” pintanya dengan menggerutu. Ia sudah mencoba ingin mengangkat tubuh pria itu yang tak lain adalah Davis, namun ia tak kuat.
Tak ada respon apapun yang ditunjukkan dari Davis. “Oh astaga ... aku akan menjadi pembunuh jika membiarkan dirinya terkena hipotermia di sini,” gumamnya.
Ia masuk kembali ke tempat tinggalnya yang tak lain adalah sebuah ruko yang sudah disulap sebagai kantor dan tempat tinggal. Dia mengambil jaket yang sangat tebal dan selimut yang hangat.
Ia masuk ke dalam mobil Davis. Dengan telaten menyelimuti dan memakaikan jaket tebal ke tubuh Davis. Namun tak ada perubahan, tubuh pria itu tetap dingin seperti es.
“Tak ada cara lain selain skin to skin, aku tidak mungkin meninggalkan pria ini sendirian meregang nyawa karena hipotermia.” Meskipun sedikit ragu untuk menyalurkan kehangatan langsung dari tubuhnya, tapi dia tak ada cara lain untuk menyelamatkan nyawa pria di hadapannya itu. Hanya dengan saling bersentuhan kulit yang menghantarkan panas alami akan mengurangi rasa dingin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!