NovelToon NovelToon

SUAMI KITA BERSAMA

SALAH SIAPA?

“Danan ambin motol-motolantu!”

Debuk.

Aku ngacir dari arah dapur menuju ruang tengah. Seorang anak lelaki gembul dengan entengnya melayangkan sebuah motor-motoran berwarna merah tepat di atas perut bayi mungil yang tergeletak beralaskan karpet bulu di atas lantai.

“Loh! Bang Refa kenapa?”

Refa. Anak lelaki berpostur balon yang berusia empat tahun. Dia adalah anak sulung sekaligus sematawayang dari pemilik rumah tempatku bekerja saat ini. Pembawaannya yang memang bengis sedari dulu menjadikan kekhawatiran tersendiri bagiku mana kala ia sedang berdekatan dengan Pricilia, putri kecilku yang masih berusia delapan bulan.

Contohnya saja hari ini.

Aku dapat dengan jelas melihat ia menubrukkan benda berbentuk kendaraan itu ke permukaan perut bayiku yang kulitnya pun masih memerah dengan guratan urat-urat halus di bagian atasnya.

“Atu nda cuka dek plicil ambin moton atu!” Refa menghentakkan kakinya penuh emosi. Anak gembul itu menganggap bahwa putriku telah mengambil mainan kesayangannya. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah dia meletakkan benda merah itu di sembarang tempat yang kemudian di raih oleh Pricilia mengingat tempat mereka yang bersebelahan badan.

“Dek Pricil gatatu kalau itu mainan abang.” Kataku menenangkan Rafa. Aku mengangkat tubuh putriku lalu memindahkannya ke dalam gendongan.

“Makanya ibu kacih dia motolan, cupaya dia nda mainin motolan atu!” Anak majikanku ini memang sangat keras kepala. Lagi pula Pricilia juga tidak akan tahu bahwa yang ia genggam di tangannya adalah mainan milik orang lain. Jangankan untuk mengetahui hal seperti itu, untuk berbicara saja pun ia belum bisa. Hanya ocehan-ocehan tidak jelas yang saat ini bisa dihaturkannya.

Mengingat-ingat tentang kebengisan Refa, waktu itu dia pernah berada di atas karpet yang sama dengan Pricil. Aku menidurkan anakku sesaat setelah menyuapi bocah gendut itu bubur ayam favoritnya. Ia melayangkan netra ke arahku, memperhatikan kehikmatanku yang sedang menepuk-nepuk bokong Pricil lembut. Lalu entah setan apa yang mendadak menyambangi isi kepalanya, dengan gamblangnya ia menendang bagian belakang anakku dengan kakinya yang kala itu terlapisi oleh sepatu sneaker.

Gedebuk.

Pricilia menangis hebat. Tubuh belakangnya yang masih lemah itu memar-memar akibat ulah Refa. Dan mirisnya lagi di saat aku bertanya mengapa ia berbuat demikian dengan rasa tak bersalah ia menjawab “Ibu tan teljanya di lumahtu. Jadi ibu nda boyeh dagain dek Plicil. Ibu cuman boyeh dagain atu!”

Astagfirullah.

Sungguh, jika bukan karena pundi-pundi rupiah yang ku peroleh dari pekerjaan ini aku tak akan sudi menghadapkan putri kecilku dengan bocah bengis bin kejam seperti Refa. Aku sadar mencari pekerjaan itu sangatlah sulit, maka dari itu sebisa mungkin aku tetap bertahan di sini meskipun keselamatan anakku yang menjadi taruhannya.

“Iya sayang iya. Nanti ibu belikan dek Pricil motoran ya biar bisa main bareng sama abang Refa.” Aku kembali bersahut ketika bayang-bayang kenakalan Refa selesai melintas dalam ingatanku. Mainan itu telah kembali utuh di tangannya, namun emosi yang sudah terlanjur tinggi membuat ia sangat sulit untuk ditenangkan.

“ATU NDA MAU MAIN CAMA OLANG MIS-TIN-“

Plak.

Hatiku terasa ditampar-tampar.

“Refa apa-apaan kamu! Sini.” Sebuah jeweran kasar mendarat sempurna di telinga bocah tengil itu. Mataku berkelebat mencari siapa gerangan yang berhasil membuat anak gendut itu meringis kesakitan. Ternyata pak Reno, papanya Refa.

“Aduuuh ampun pa ampuuun.”

“Berapa kali harus papa bilang jaga ucapan, hah!”

“Huaaaa huaaaa hikss.” Isak tangis pun pecah membuat suasana yang sudah kacau itu menjadi lebih parah. Suara Refa bergema besar hingga menembus bagian paling belakang dari rumah ini.

Aku yang tidak tega melihat telinga bocah yang kian memerah seperti kepiting rebus itu secepat kilat menariknya dalam pelukanku. Meraih tubuhnya yang gembul lalu menyandarkannya pada bahuku.

“Sudah pak sudah. Kasihan Refanya jangan dimarahin.”

“Anak ini semakin lama semakin ngelunjak!”

“Iya mungkin karna dia masih ke-“

“Eh apa-apaan ini hah!” Pekikan lantang seorang wanita dari arah atas memotong kalimat yang belum utuh kuucapkan. Aku dapat menebak kalau suasana rumah akan semakin kacau.

“Farah! Tolong kamu kasih tahu sama anak kamu ini untuk ga sembarangan menghina orang!” Dua manusia yang berstatus sebagai pasutri itu bersitatap dengan luapan emosi yang bersarang di dalam dada mereka. Persis seperti Refa, bu Farah memiliki kebengisan akut yang kapan saja bisa meledak.

“Eh Chevani!” Tatapan bu Farah beralih ke arahku. “ Semenjak ada kamu di rumah ini suami ku jadi suka marah-marahin aku. Memang perempuan ga tau diri kamu!” Mendadak kepala ku terasa nyeri. Aku dapat melihat dengan jelas ada lengan berkuku panjang yang menjambak-jambak rambutku tanpa ampunan.

Sakit.

Sangat sakit.

Refa yang sedari tadi masih mendekam dalam pelukanku pun mendadak terjungkang sesaat setelah tubuhku terombang-ambing karena dorongan yang dilakukan oleh bu Farah. Manusia satu itu memang sudah kehilangan akal, saban hari aku dijadikannya squishy siap pakai. Diuel-uel. Astagfirullah.

“Kamu yang salah!” Tangan yang tadi masih asyik menjambak-jambak rambutku hingga ke akar kini telah beringsut entah kemana. Ada lengan kokoh yang menjauhkan tubuhku dari wong kesetanan itu. Aku lega karena sekarang aku dapat menegakkan kepalaku dengan benar meskipun ada tumpukan helai rambut yang tercecer di atas lantai. Namun ketakutanku dari sisi lain kian mencuat. Setelah berhasil melepaskan keberingasan bu Farah atas diriku pak Reno memboyong wanita itu ke dalam kamar entah untuk diapakan.

Sungguh. Aku juga tidak tahu siapa yang salah dalam hal ini.

Rafa yang tidak bisa menjaga ucapan.

Bu Farah yang emosinya kelewat akut.

Atau malah kehadiranku di rumah inilah penyebab dari semua kemarahan.

“Atu tatut bu huuuuu.” Bocah gembul itu menghamburkan tubuhnya kembali ke pelukanku. Wajahnya memerah padam, buliran air mengembun banyak di kantong matanya.

Aku menyambut pelukan itu dengan hangat. Meskipun hatiku sering sakit akibat ulah ucul satu ini, namun sejatinya ia belum paham bagaimana cara bersikap kepada semua orang dengan benar. Terlebih memang karena bu Farah tidak pernah mendidik ia dengan ilmu-ilmu agama atau sesuatu yang berhubungan dengan budi pekerti.

Pricilia juga terlihat tegang. Aku yakin sekali, meskipun ia belum dapat mencerna setiap kata per kata yang orang lain ucapkan tapi dia dapat merasakan apakah itu sebuah kenyamanan atau malah kemarahan.

Kasihan bayiku.

Dia juga harus ikut menanggung akibat dari perbuatan Hero.

Hero!

Awas saja kau bajingan!

...***...

Suasana sempat hening selama beberapa saat walau pada akhirnya pertempuran itu kembali terjadi. Telingaku dapat menangkap dengan jelas percakapan sepasang suami istri yang sudah bergeser posisi ke lantai dua, tempat di mana mereka mengistirahatkan diri.

“Berapa kali harus ku bilang jadilah ibu yang baik.”

“Apa maksudmu? Aku tidak mungkin memberi anakmu itu uang yang banyak jika aku seorang ibu yang jahat.”

“Mencintai anak itu bukan hanya perihal uang Farah. Melainkan ada adab yang harus kau didik!”

“Ya kamu jangan salahin aku terus dong. Kamu juga harus berperan buat ngedidik dia.”

“Hah! Apa! Aku kamu bilang? Sadar ga kamu siapa yang selama ini sering ngajak dia bicara? Siapa yang setiap hari ngasih nasehat ke dia? Aku Fa, aku! Dan kamu! Taumu hanya shopping-shopping dan shopping.” Kali ini suara pak Reno mengalahi wanita yang tengah berdebat dengannya itu.

Kalau boleh aku jujur. Bu Farah memang sosok sosialita yang saban hari keluar masuk mall untuk memenuhi hasrat kewanitaannya. Aku dapat melihat deretan tas dan sepatu branded yang sengaja dipajangnya di ruang tengah. Ia juga selalu keluar malam kalau pak Reno sedang bertugas keluar kota. Dan Refa? Ia tidak perduli dengan Refa. Memberi anak sematawayangnya itu materi dalam jumlah banter sudah dirasa cukup untuk melunaskan semua tanggung jawabnya sebagai seorang ibu.

“Ini semua karna Chevani!”

Peperangan belum berakhir.

“Jangan mengkambinghitamkan Chevani atas kejadian ini. Kamu yang tidak becus mengurus anak.”

“Kenapa kamu selalu bela dia hah? Kamu cinta sama dia!”

Plak.

...***...

Bersambung

Penasaran dengan peperangan berikutnya? Ehehe

Stay terus ya 😉

Comment & vote

Supaya author lebih semangat lagi update ceritanya

Semoga kalian sehat selalu 🤗

PERANG BADAR

“Awww!” Sebuah tamparan keras melayang di permukaan pipi entah siapa. Suaranya kentara sekali. Baik bu Farah ataupun pak Reno kini tiada lagi bergelut dengan kata-kata. Aku berteriak histeris, jantungku bisa segera copot bila terus mendengar perdebatan mereka.

“Ibu dangan jelit-jelit shhhht.” Refa meringkus mulutku dengan telapak tangan mungilnya. Tak ada lagi sisi amarah yang keluar dari rautnya. Semua berubah menjadi ketakutan yang tak berkesudahan.

Sepertinya membawa Pricilia dan Refa pergi sejenak dari rumah panas ini adalah ide yang cocok. Karena akan tidak baik rasanya jika mereka mendengar apalagi sampai menyaksikan hal-hal buruk seperti tadi. Aku memboyong Refa dengan tangan kananku sedangkan yang sebelahnya lagi masih kukuh menggendong Pricil. Pintu dapur yang sedari tadi ternganga lebar akan menjadikan celah keluar yang aman bagiku dan anak-anak.

“Tita mau temana bu?”

“Ikut saja ya.”

...***...

“Huuuh.” Hembusan napas kasar keluar begitu saja di saat kami berhasil meloloskan diri dari suasana mencekam itu. Syukurlah. Di sini aku dan kedua bocah ini akan lebih tenang dan damai.

Rerumputan hijau anom dan pinus-pinus kecil menyambut kedatangan kami kala itu. Ujung daunnya yang bergoyang-goyang karena tertiup angin menambah kesan nyaman saat kami menjejakkan kaki di kawasan itu. Biasanya setiap sore akan ada banyak anak yang bermain di sini. Mereka berlari riang bersama teman-teman sebayanya, termasuk Refa.

“Temalam atu main cama papa di taman ini bu.” Bocah gembul itu kembali membuka suara setelah sukses mendaratkan bokongnya di sebuah ayunan mini.

“Ohya?”

“Iya. Atu main cama teman-teman.”

“Kenapa dek Pricil ga diajak bang?”

“Nda mau dek Plicil jelek.” Kurasa segala jenis hinaan dan sumpah serapah telah melekat di dalam diri ucul tengil ini. Jika dihitung-hitung mungkin dalam sehari ia bisa berpuluh-puluh kali melontarkan kalimat hinaan kepadaku atau anakku. Bibirnya yang pedas seperti bon cabe inilah yang kadang membuat Pak Reno tersulut emosi dan akhirnya bertengkar dengan Bu Farah.

“Ibu mau ngomong deh sama bang Refa.” Aku merengkuh bahunya dari arah samping. “Allah ga suka loh bang sama orang yang suka menghina. Tau ga? Diatas sana-“ Kataku seraya membidik langit. “Allah sudah siapkan neraka untuk manusia yang suka ejek-ejek orang lain. Abang mau masuk neraka karna suka ngomongin dek Pricil jelek?”

“Tata papa tu nelaka itu panaaaaaaas telus ada api becal.” Refa merentangkan lengannya lebar seakan memberitahu bagaimana bentuk neraka itu.

“Nah iya bener. Abang mau masuk neraka?”

“Enda.”

“Kalau ga mau makanya abang ga boleh ejek-ejek dek Pricil atau siapapun lagi ya.”

“Atu nda ejek kok. Kan emang benel dek Plicil jelek, mistin lagi.”

Ampun Gusti.

Kalau Engkau tak menitipkan hati nurani pada diriku, mungkin tuyul satu ini sudah ku remas-remas lalu kujadikan makanan bebek. Entah otaknya yang belum bisa menyerap kata-kata atau memang didikan bengis mamanya yang telah menjadi darah daging sehingga nasehat jenis apapun tak mampu lagi untuk mengubahnya.

Aku menatap langit-langit alam. Menarik panjang napasku lalu mengeluarkannya secara perlahan. Pricilia masih anteng dalam gendongan, sesekali netranya berkirap-kirap tersapu angin taman. Dalam detik berikutnya tak sengaja pengelihatanku menangkap beberapa anak kucing yang tengah menyusu pada induknya. Aku memperhatikan hikmat, bayi-bayi kucing itu menyedot gundukan yang ada di perut ibunya dengan lahap. Ummm sepertinya aku punya ide.

“Eh eh bang Refa. Coba liat kucing di ujung sana.” Aku melayangkan jari telunjuk ke pojokan, semoga anak gendut yang tengah bersamaku ini dapat melihatnya dengan jelas.

“Waaah ada tuting. Atu cuka tuting bu.”

“Sini sini ibu kasih tau. Coba liat, kucing-kucing itu saling menyayangi satu sama lain. Mereka ga berantem sama saudaranya sendiri, ga ejek-ejekan. Masak bang Refa kalah sama kucing.”

“Iya tapi itu tan taudalanya. Dek Plicil kan butan taudala atu.”

Dapat ku taksir bila sudah dewasa Refa akan menjadi debater yang hebat. Bagaimana mungkin ia dapat menangkis semua kata-kataku sedari tadi kalau tidak memang Tuhan yang menitipkan keluasan berpikir pada dirinya. Ya meskipun buah pikirannya saat ini masih tidak benar.

Tapi aku tak mau kalah.

“Loh bang Refa sama dek Pricil kan saudara juga. Namanya saudara Seiman. Bang Refa Muslim dan dek Pricil juga Muslim. Nah, jadi saudara dong.”

“Apa iya bu?”

“Iya. Makanya ga boleh ejek-ejek dek Pricil lagi ya.”

“Tapi ejek olang lain macih boyeh tan?”

“Ga boleh juga sayang. Orang lain kan juga saudara Seimannya bang Refa.” Aku menjawil hidung bocah berpipi bakso tersebut. Sepertinya kali ini ia menerima perkataanku.

“Maapin abang Lefa ya dek Plicil. Abang nda ejek adek lagi.”

Alhamdulillah.

Akhirnya si unyil ini nurut juga dengan nasehatku.

Refa mendekatkan tubuhnya pada Pricil hingga menyisakan jarak beberapa centimeter di antara mereka. Kemudian bocah itu mengelus lembut kepala anakku yang belum ditumbuhi oleh rambut.

Ah senang sekali rasanya.

Andai saja bukan karena mulut remesnya, pasti bu Farah dan pak Reno tak akan bertengkar hebat seperti tadi.

Oh iya, apa kabar mereka di rumah?

“Bang pulak yuk.” Kataku seraya menarik lengan Refa. Aku harus pulang. Siapa tahu rumah sudah jadi kapal pecah karena ulah pasutri tersebut.

...***...

Tah ubah layaknya maling. Aku menyembul dari pintu belakang bersama gelagat was-was level tinggi. Menyapu pandangan ke seluruh penjuru rumah, kemudian beringsut menuju zona dapur.

Hening.

Hei, kemana mereka?

Tidak ada sesiapapun di sini.

Syukurlah, batinku.

Kesempatan emas tak boleh disia-siakan. Aku menidurkan Pricilia di kamar khusus pembantu kemudian mengamankan Refa kembali di ruang tengah. Memberi ia beberapa snack yang ada di dalam kulkas dan membiarkannya bermain playstation tanpa batas waktu.

Ritual kepembantuan pun segera kulaksanakan. Piring-piring yang masih tercuci setengah akibat gangguan dari perang Badar tadi saat ini kusambung lagi guna menghindari amarah baru.

Aku masih ingat betul kala itu bu Farah pernah memarahiku habis-habisan perkara piring kotor yang belum sempat kucuci. Tidak-tidak, bukan salahku. Wanita itu memintaku untuk membuatkannya selai nanas. Dan dengan egoisnya ia mentotol kepalaku dengan gagang sapu saat tak sengaja matanya menangkap pemandangan tumpukan piring yang belum tercuci di atas wastafle. Ah seram sekali. Amit-amit. Aku tak ingin lagi bertemu dengan kejadian itu.

Lelah sekali. Pinggulku rasanya ingin mencelos dari tempat. Menyapu rumah lalu mengepelnya, membersihkan debu-debu yang melekat diguci, menyiram tanaman, menyetrika gunungan pakaian, merapikan mainan Refa yang berserakan bak puingan pesawat yang baru meletup, mencuci piring plus bonus tambahan menonton perang dunia ketiga di rumah ini telah kugeluti sejak pagi tadi hingga sekarang.

Nasib menjadi babu di rumah orang, ya seperti ini.

...***...

Tiga bulan yang lalu

“Awww aduh.” Aku meringis kesakitan saat sesuatu yang tajam menembus telapak kakiku secara mendadak. Suasana yang gelap mencekam waktu itu membuat aku bergidik ngeri dan tak bisa meminta bantuan pada siapapun. Aku terduduk lemah di bibir trotoar, menyambangi telapak kakiku yang mulai mengeluarkan cairan merah kental.

Berjam-jam berlalu. Hatiku semakin kalut. Bagaimana jika ada penjahat yang akan memperkosaku di tengah-tengah malam begini. Atau mungkin ada komplotan sundel bolong yang akan menelanku hidup-hidup.

Memekik dan menangis. Hanya itulah yang dapat ku lakukan di kegelapan yang aku sendiripun tidak tahu entah sedang berada di mana. Ingin sekali rasanya aku bunuh diri. Tapi itu mustahil. Karena jika aku mati bagaimana dengan bayi lima bulan yang saat ini tengah terlelap pulas dalam gendonganku.

Bajingan kau Hero!

Aku bersumpah! Akan kucari kau sampai dapat!

...***...

Bersambung

Hero siapa sih?

Ikuti terus biar tau jawabannya ya 😉

Comment & vote guys

Supaya aku semakin semangat updatenya

Sehat selalu readers🤗

SEDIKIT KISAH

Keajaiban pun terjadi malam itu. Aku melihat pendar-pendar kekuningan dari arah Timur. Awalnya hanya semburat cahaya biasa, namun lama kelamaan sinar itu semakin terang dan aku dapat sangat jelas menyaksikan dengan mata kepala ku sendiri.

Sinar terang kekuningan itu adalah lampu mobil yang datang dari ujung jalan. Aku bahagia sekaligus khawatir. Bagaimana jika mobil yang melaju itu diisi oleh bandit-bandit jahat yang siap membawaku ke markas mereka. Atau mungkin seseorang yang dititipkan Tuhan untuk menyelamatkanku.

Ya Rabb, kupasrahkan hidupku hanya pada-Mu.

Jika pun malam ini aku akan mati, aku mohon selamatkanlah putri kecil yang tidak berdosa dalam gendonganku ini.

Mobil terhenti sesaat sebelumnya aku melihat seorang pengemudi mengucek-ngucek matanya seraya melihat ke arahku. Kemudian aku mendapati sepasang kaki manusia berbalut celana hitam keluar dari dalam sana. Tubuhnya besar. Langkahnya semakin terdengar bersama posisinya yang kian mendekat.

Aku takut.

Sangat takut.

Kenapa suasana terasa semakin mencekam?

“Hei. Apa yang kau lakukan malam-malam di sini?”

Srrrrr.

Darahku berdesir deras. Mataku menerawang jelas bahwa sosok pria yang tengah berdiri di hadapanku ini bukanlah penculik nakal. Dia berpakaian khas orang kantoran, mungkin baru pulang dari pekerjaannya. Aku memberanikan diri menatap pemilik suara tersebut, semoga ia bisa menolongku saat ini.

“Sa- saya ga tau ini dimana.”

“Kamu nyasar?”

Ia beralih posisi menyejajarkan tubuhnya dengan ku yang masih terduduk lemah di tepi jalan. Tak ada sahutan, aku hanya menganggukkan kepala pertanda iya.

“Rumahmu di mana?”

“Di desa Sukajadi pak.”

“Sukajadi? Itu hanya memerlukan waktu 45 menit dari sini.”

Apa?

Jadi sebenarnya rumahku dekat dari sini?

Jadi mengapa aku harus sampai tidak tahu seolah aku sudah nyasar sampai Afrika. Hei aku baru ingat. Malam ini hatiku baru saja hancur oleh seseorang yang sangat kucintai. Aku frustasi lalu memutuskan diri untuk segera pergi dari rumah kami. Aku lewat melalui pintu belakang dan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi oleh semak belukar hingga tanpa sadar langkahku semakin jauh dan aku menemukan jalanan berbatu yang saat ini tengah kujejaki. Namun aku tidak tahu ini di mana.

“Kamu bawa bayi?” Lelaki itu kembali bersuara. “Kamu mau saya antar pulang?”

Kepalaku refleks menggeleng setelah mendengar kata ‘pulang.’ Tidak, aku tidak mau pulang. Hatiku masih sangat sakit dan butuh waktu untuk menyembuhkannya. Biar saja mereka yang ada di rumah kewalahan mencariku, aku tak perduli. Ah tapi sepertinya tak akan ada yang mengkhawatirkan keberadaanku yang telah menghilang dari rumah.

Pria itu mengajakku ke sebuah tempat yang aku sendiripun tidak tahu mau kemana. Apa dia ingin menculik lalu memutilasiku? Batinku meronta-ronta ingin tahu. Aku tak dapat menolak ajakannya karena aku sangat tidak mungkin membiarkan anakku tersapu angin malam di gelita ini. Ya walaupun sebenarnya aku juga tidak tahu apakah kami akan aman bersama bapak berdasi ini atau malah sesuatu yang lebih buruk lagi menimpa kami. Aku mengikut saja.

Mobil melesat jauh meninggalkan bulir-bulir air mataku yang mungkin belum kering di tempat tadi. Malam kian larut, aku dapat merasakan angin darat yang menyelubung dan membuat bulu-bulu roma berdiri tegak.

“Kenapa kamu bisa nyasar?” Aku membuang muka ke sebelah kemudi, tempat di mana sumber suara itu berasal. Namun entah mengapa dengan begitu gamblangnya aku menceritakan setiap detail kejadian yang ku alami malam ini. Kata orang jika kita menahan sesuatu dalam hati suatu saat sesuatu itu akan keluar dengan sendirinys. Mungkin ini lah waktunya. Aku menyemburkan segala beban yang kutanggung dengan seorang pria yang sama sekali belum kukenal. Sial sekali. Harusnya aku tak membocorkan masalah pribadi pada sembarang orang.

Ia mendengarkan keluh kesah serta sumpah serapah yang keluar dari mulutku malam itu. Cecair putih mulai mengembun di kantong mataku, sakit sekali rasanya. Lalu ia memberiku hidangan malam berupa nasehat tentang apa yang ku alami saat ini. Banyak sekali. Hingga tanpa terasa kami telah sampai di sebuah bangunan mini berwarna cokelat muda.

“Kau tinggallah di sini dulu.” Mobil berhenti. Pria yang bahkan belum ku tahu namanya itu segera membukakan pintu dan membawa satu tas besar yang ku tenteng-tenteng sejak di jalanan tadi.

“Ini rumah siapa?”

“Ini rumahku. Rumah kecil yang kubangun khusus untuk menenangkan diri. Tinggallah di sini sampai kau mau. Aku yakin, beberapa hari kemudian segala beban pikiranmu akan perlahan menghilang.” Dari penuturannya aku dapat dengan jelas menangkap bahwa gedung mungil ini adalah tempat yang selalu ia gunakan bila mana sedang berada dalam zona masalah dan perlu ketenangan. Tampak sekali dari desain rumah dan perkarangannya.

Di tempat ini terbentang rerumputan hijau yang bagian permukaannya ditumbuhi oleh bunga berbagai jenis. Merah, kuning, putih, biru, ungu, jingga kesemuanya adalah kumpulan dari warna bunga yang saat ini sedang bermekaran.

Meskipun kecil, rumah ini sangatlah bagus dan enak dipandang mata. Di sebelah kirinya terdapat kolam kecil beserta ikan-ikan cilik yang berlarian ke sana dan ke mari. Serta kerucukan air yang menyembur dari lubang kecil yang berada di dasar kolam. Sempurna.

“Aku tidak ingin merepotkan bapak. Besok aku akan segera mencari tempat tinggal.” Kataku sembari menepuk-nepuk bokong Pricilia yang mulai tampak menggeliat. Mungkin percakapan kami telah mengusik tidur lelapnya.

“Ini kunci rumah dan-“ Bicaranya sempat terhenti takkala ia sedang meraih benda persegi panjang dari saku celananya. “Ini untuk pegangan kalian selama satu minggu ke depan.”

Hah!

Apa aku sedang tidak bermimpi?

Ia memberiku lembaran-lembaran merah yang jumlahnya banyak sekali.

“Jangan pak. Saya ga mau ngerepotin bapak. Besok saya akan segera mencari kerja.” Aku melayangkan kembali gepokan benda-benda merah itu ke tangannya. Bisa mengistirahatkan diri di tempat senyaman ini juga sudah lebih dari cukup bagiku.

Tanpa berpikir panjang, uang yang telah kukembalikan itu diletakkannya di atas lipatan lengan Pricil yang berada dalam gendonganku. Aku tak dapat memberiknnya kembali karena sesaat setelah itu ia segera pergi dan melesat bersama mobilnya entah kemana.

Aku bergidik ngeri.

Malaikat mana yang kau perintahkan untuk menjelma menjadi manusia dan menolongku saat ini Ya Rabb.

...***...

“Eh.“ Aku tersadar dari kilatan memori beberapa bulan silam ketika percikan-percikan air yang keluar dari bibir keran wastafle merembes masuk membasahi bajuku. Ya ampun, ternyata aku belum beranjak dan masih anteng berdiri di sini.

Seorang lelaki bernama Reno yang ku kira adalah jelmaan malaikat membawaku tinggal dan bekerja di sini setelah tujuh hari aku menetap di rumah mungil miliknya itu. Jujur saja, aku sempat mengira dulunya ia belum memiliki istri alias lajang. Namun setelah ia memboyongku ke rumah besar ini, maka pada waktu itu juga lah aku mengetahui bahwa selama ini ia tinggal satu atap bersama nenek lampir dan anaknya yang gendut itu.

Tidak terasa 90 hari sudah aku mengabdikan diri pada pemilik bangunan megah ini. Dan selama itu pula lah aku sering merasakan hadiah berupa repetan panjang dan gagang sapu yang senantiasa tertotol di sekujur tubuhku. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si gerandong ganas.

Sebenarnya kerap kali pak Reno menasehati istrinya agar tidak selalu memperlakukanku layaknya binatang. Namun semakin suaminya itu berkata yang sedemikian, maka semakin gila pula lah reaksi yang ia berikan. Bahkan pernah suwaktu-waktu ia menuduhku telah bermain mesum dengan suaminya itu. Ia sangat terbakar dan mengira bahwa pembelaan Pak Reno terhadapku adalah semata-mata karena dia menoreh cinta kepada pembantunya ini. Mustahil! Mana mungkin ada majikan yang mencintai jongosnya sendiri. Harusnya bu Farah peka terhadap itu.

Ah sudahlah. Aku tak perlu memikirkan semua bentuk KDRT di rumah ini. Toh, walaupun aku selalu dijadikan squishy oleh betina ganas itu aku juga masih hidup sampai detik ini. Karena walau bagaimanapun dari mereka lah aku mendapatkan sumber penghasilan yang dapat kugunakan untuk kelangsungan hidup. Aku yakin bahwa Sang Pencipta telah menyiapkan yang terbaik untukku dan juga Pricil.

“Chevani.” Suara besar khas lelaki mengagetkanku dari arah belakang.

...***...

*Bersambung

Comment & vote guys

Dukungan kalian semangat buat aku

Sehat selalu yaa🤗

Ohiya baca cerita aku yang judulnya "AKU KAU DAN ISLAM" yuk

Ceritanya ga kalah menarik loh 😍*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!