Royal College of Art, London. Terdengar suara alunan piano yang begitu merdu. Permainan musik yang dibawakan oleh seorang wanita cantik itu selalu memiliki pesonanya sendiri.
Jemarinya selalu berhasil membawa setiap pendengar untuk merasakan apa yang tengah dibawakan. Ketika acara selesai, wanita itu bahkan mendapat sebuah pujian dari rektor beserta jajarannya, bukan hanya itu, perwakilan dewan dari Bern yang kebetulan tengah melakukan dinas pun merasa tersanjung dengan permainannya.
Seorang dekan memasuki salah satu ruang ganti. Dengan sengaja dia menjemput wanita pemain piano untuk di antar menuju ruang rektor universitas yang tengah dia masuki. Ini kali pertama baginya dipanggil langsung oleh rektor, dan jalan berdampingan dengan dekan yang biasanya akan selalu sibuk mengurusi urusan luar kampus maupun dalam kampus.
“Selamat datang, Eliane Hwang. Aku sudah mendengar kabar tentang dirimu. Tidak kusangka bahwa ternyata kau kelahiran Swiss. Aku sangat bangga padamu, kau dapat mengharumkan nama negaramu sampai ke negeri orang. Rasanya namamu sangat tak asing ditelingaku,” ucap seorang dewan dari Bern tersebut.
“Senang dapat bertemu denganmu, pak. Tetapi, aku memiliki tugas yang harus segera ku selesaikan, jika diperbolehkan aku akan undur diri sekarang,” wanita itu menatap lantai dengan wajah datarnya, ketika rektor mengizinkannya untuk keluar, dia pun segera keluar dari tempat itu.
Keluar dari sebuah gedung, wanita itu melepaskan pita yang sejak tadi dia gunakan saat pementasan, hingga kemudian dua orang wanita lainnya berlari menghampirinya dengan riang, mereka bahkan memeluknya dengan antusias.
“Permainan musikmu selalu luar biasa.” Yang ini adalah ucapan wanita bernama Callista, dia adalah teman pertama bagi Eliane saat memasuki kampusnya. Wanita asli asal London selalu bersikap ramah padanya.
“Aku dengar rektor memanggilmu? Apa yang dia katakan? Kau harus memberitahu kami dan mentraktir kami makan saat ini juga.” Sedangkan yang ini adalah Keyla. Sama halnya seperti Eliane, dia juga merupakan mahasiswi pindahan, hanya saja Eliane datang satu tahun sebelum Keyla datang.
“Baiklah, kali ini pastikan kita akan berpesta,” mereka bersorak bersama setelah mendengar ucapan Eliane, hingga akhirnya mereka pun saling merangkul dan pergi meninggalkan kampus.
Tiga tahun telah berlalu, dan sulit untuk Eliane melupakan segala mimpi buruknya. Sampai hari ini pun bayang-bayang Vero selalu singgah di dalam pikirannya, meski itu tidak terjadi sesering di tahun pertama dia menginjakkan kakinya di London.
Beruntung dia memiliki Callista, wanita itu penyebab Eliane mampu melupakan segala kesedihannya. Yah, Callista adalah wanita pertama yang mendapat kepercayaan dari Eliane, wanita yang tak memilih saat berteman, dan juga baik hati.
Kabarnya, Callista juga sudah memiliki seorang tunangan. Wanita tersebut banyak cerita soal tunangannya itu pada kedua temannya, terkadang Keyla dan Eliane selalu mendengar perbincangan Callista dengan tunangannya melalui panggilan telpon hingga hal tersebut membuat mereka yang single merasa iri.
Mereka berbelanja banyak bahan hari itu. setibanya di apartment Eliane, mereka semua pergi ke dapur bersama, sebelum itu, Keyla tak lupa untuk memandang foto berukuran sedang yang terpajang didinding ruang tengah.
“Hai kak, sampai hari ini aku masih berharap bisa bertemu langsung denganmu,” Keyla memandangi foto tersebut seraya mengedipkan matanya, hingga Callista menyenggol bahunya seraya terkekeh.
“Hei sadarlah, apa kau lupa bahwa kakaknya Elia akan segera menikah? Dia sudah memiliki pasangan, jadi menyerahlah,” ucap Callista yang berlenggang meninggalkan temannya yang masih menatap kagum ke arah Erian.
“Merasa kagum dan memiliki rasa untuk memiliki itu berbeda, Lis. Apa kau tidak bisa membedakannya, huh?” Wanita itu mengerucutkan bibirnya dan mencoba menggunakan apronnya. Dia yang selalu kesulitan mengikat tali apron tersebut, Callista pun datang untuk membantu menggunakannya.
“Baiklah, beritahu aku apa perbedaannya,” gumam Callista yang telah selesai mengikat apron milik sahabatnya.
“Rasa kagum itu berawal dari timbulnya ketertarikan pada seseorang, contohnya seperti aku yang menyukai kak Erian karena bagiku dia memiliki kharisma yang luar biasa, dia cerdas, baik dan tampan tentunya. Kagum itu hanya sebatas senang dengan apa yang tengah dilakukan orang tersebut,”
“Lalu, apa itu rasa ingin memiliki?” Callista menyahut seraya memotong bahan makanan yang akan mereka masak, sedangkan Eliane hanya mendengarkan kedua sahabatnya yang tiada hari tanpa berdebat.
“Lis, biasakan jangan menyela ucapan seseorang sampai orang itu belum menyelesaikan pembicaraannya,” rutuk Keyla kesal dan Callista terkekeh menanggapi ucapan sahabatnya itu. “Rasa ingin memiliki selalu didasari oleh cinta dan terkadang cinta membuat seseorang egois. Beberapa dari orang selalu memaksakan perasaannya demi mendapatkan balasan dari orang yang kita cintai.”
“Singkatnya, cinta selalu membuat orang lupa diri,” Keyla mengangguk menanggapi celetukan Callista saat ini.
Mendengar penjelasan Keyla spontan membuat Eliane menghentikan aktifitasnya, ucapannya mengingatkan dirinya dulu yang begitu bodoh karena selalu memaksakan perasaannya pada Vero, bahkan dia sendiri tahu bahwa pria itu sama sekali tidak akan pernah bisa melihatnya.
Lagi-lagi kenangan mengenai pria itu menghiasi pikirannya, kebersamaannya dulu, perhatian Vero padanya dulu kembali mengisi memorinya hingga tanpa sadar air matanya menetes menembus benteng pertahanannya.
“.... Elia, apa yang sedang kau pikirkan? Hampir saja air panas ditanganmu jatuh,” Callista menarik sebuah wadah berisikan air panas dari tangan Eliane, dan hal itu membuat Eliane kembali pada dunianya.
“Kau sedang memikirkan sesuatu? Apa kau sakit?” kali ini Keyla menghampirinya, dia bahkan merangkulnya dan Eliane menggeleng pelan. “Sebaiknya kau duduk saja, biar aku dan Callista yang menyelesaikan makanan untuk pesta kita. Kau pasti lelah akibat pertunjukkan tadi,” pungkasnya lagi yang disetujui oleh Callista
Merasa tidak enak dengan kedua sahabatnya, Eliane memutuskan untuk membersihkan apartmentnya, dia juga menata ruang tengah agar dapat digunakan oleh mereka makan bersama.
Sesekali dia memandangi foto dirinya bersama dengan orang tuanya serta kakaknya, dia sungguh merindukan mereka semua, ditambah pekan depan adalah pernikahan antara Aurora dan juga Erian.
Ingin rasanya dia menghadiri pesta pernikahan tersebut, namun sangat tidak mungkin untuknya. Pekan depan merupakan ujian untuk kenaikan semester, lagi pula dia takut akan bertemu dengan Vero jika dia harus kembali, dia tidak ingin merusak dinding yang telah dibuat selama ini. Dia harus benar-benar melupakannya, begitulah pikirnya saat ini.
Tidak lama kemudian, ponselnya berdering, panggilan video masuk dan melihat siapa yang menghubunginya membuat Eliane merasa bahagia. Seakan dapat membaca pikirannya, Erian menghubunginya dan dengan cepat dia menerima panggilan dari kakak kesayangannya tersebut.
“Hai adik kecilku, apa yang sedang kau lakukan sekarang? Aku melihat pertunjukanmu hari ini, kolega bisnisku yang berada disana mengirimi videomu,” mendengar suara yang sangat tak asing, Keyla berlari dari dalam dapur untuk menuju ruang tengah.
“Kak Erian, astaga, hari ini pun kau sangat tampan,” Keyla menyeletuk dengan spatula yang masih berada dalam genggamannya, sedangkan Callista yang merasa penasaran itu pun ikut mengekor dibelakang sahabatnya.
“Astaga, apa kalian hendak menyiapkan sebuah pesta?”
“Benar kak. Kami akan mengadakan pesta untuk merayakan suksesnya pertunjukan Elia, seandainya kau ada disini, pasti akan terasa menyenangkan bukan?”
“Kak Erian, abaikan saja ucapan Keyla, dia memang sering melantur jika bicara,” tukas Callista. “Jika kak Erian disini, aku tidak yakin kau akan fokus dengan pekerjaanmu, sudah ayo kita kembali ke dapur, biarkan Elia reuni dengan keluarganya,” Callista menarik lengan sahabatnya, sedangkan Keyla hanya mengikutinya dengan wajah yang lesu.
Melihat tingkah mereka berdua selalu berhasil membuat senyum Eliane terukir, meski keduanya sering berdebat tentang hal-hal kecil, mereka tidak pernah kesal atau apapun, karena perdebatan itulah persahabatan mereka semakin terjalin dengan erat.
“Aku senang karena kau bisa mengenal Keyla dan juga Callista. Kau juga pasti mereasa bahagia kan bersama mereka?”
Bersambung ...
Jangan lupa memberikan like, vote serta kritik+saran kalian. Hal tersebut akan sangat memberiku semangat dalam menulis eps selanjutnya😍Tentunya kalian juga harus mem-favoritkannya😉
Tidak ada kata-kata didunia yang bisa menggambarkan bagaimana bahagianya Eliane ketika bersama dengan kedua sahabatnya. Mereka benar-benar orang yang berbeda, disaat orang lain berteman dengannya hanya untuk bisa dekat dengan Erian atau sebatas melihat latar belakangnya, Callista dan Keyla benar-benar tidak memedulikan hal seperti itu.
Hal tersebut terlihat jelas karena mereka bisa berteman dengan siapa saja, keduanya bahkan sangat murah hati dan sangat mudah bersosialisasi dengan baik. Selama berada di London, sebulan sekali Eliane beserta kedua sahabatnya selalu melakukan acara amal.
Keyla, dia jarang ikut andil untuk acara tersebut. Tidak seperti Callista dan Eliane yang berasal dari keluarga berada, Keyla merupakan dari keluarga menengah, dia bahkan mampu masuk ke universitas berkat beasiswa yang didapatnya dan alasan dia jarang ikut serta yaitu karena kesibukannya dengan pekerjaan paruh waktunya.
Meski tidak berasal dari keluarga berada, dia tidak pernah merasa minder ketika sedang bersama dengan Eliane maupun Callista, lagi pula keduanya tidak pernah melihat seseorang dari kasta, karena itulah dia merasa nyaman bersama dengan dua teman lainnya.
Diwaktu yang bersamaan, seseorang ditempat yang berbeda tampak tengah sibuk mengurus segala dokumen-dokumen yang harus dia bawa untuk pertemuan besok pagi. Jam sudah menunjukkan waktu pulang, namun dia tampak tak memedulikannya.
“Jam pulang lewat dari dua jam yang lalu, mau sampai kapan kau disini, Vero?” Julian yang sejak tadi hendak pulang pun merasa tak enak karena direkturnya bahkan masih terlihat enggan untuk meninggalkan pekerjaannya.
“Jika ingin pulang, pulang saja,” mata Vero masih tertuju pada laptop yang berada dihadapannya dan hal itu hanya bisa membuat Julian menghela napasnya.
“Kau belum makan sejak siang tadi, setidaknya pergilah makan terlebih dulu, setelah itu kau bisa kembali bekerja,”
Sudah tiga tahun terakhir direktur yang sekaligus sahabatnya itu menjadi penggila kerja. Yah, hal itu terjadi lebih tepatnya setelah Eliane memutuskan untuk pergi dari sisinya, semua itu dilakukan semata-mata untuk mengalihkan pikiran sepinya.
Selain menjadi penggila kerja, Vero juga menjadi pribadi yang begitu dingin, sangat berbanding terbalik dari sikap yang melekat didalam dirinya dahulu kala. Vero yang dikenal sebagai pribadi yang hangat, ramah itu pun seakan menghilang ditelan bumi, sehingga membuat para karyawan sangat takut jika berhadap dengan Vero untuk sekarang.
“Apa kau sudah menemukan informasi mengenai keberadaan Elia?” Vero terlihat menutup laptopnya, yah setidaknya dia mendengarkan nasihat sahabatnya untuk saat ini.
“Pencarian masih dilakukan seperti biasa, setiap jam aku sudah menyuruh orang-orangku untuk mengecek jadwal keberangkatan maupun kepulangan di bandara, mereka tetap tak menemukan nama Elia disana.”
“Begitu ya,” balasnya singkat, kemudian dia pun menyambar jasnya dan segera mengenakannya. Langkah kakinya membawa dia untuk meninggalkan ruangannya, dia memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan dirumah agar lebih tenang.
“Tidak bisakah kau menyerah untuk mencarinya?” Ucapan Julian berhasil menghentikan langkah Vero yang sudah berdiri di ambang pintu. Melihatnya berhenti, dalam sekejap langsung membuat Julian sedikit merinding, meski tak melihat ekspresi wajanya, dia masih bisa merasakan aura yang menyeramkan melalui punggung pria itu.
Tidak berbalik dan juga tidak menjawab, Vero kembali melanjutkan langkahnya, lalu Julian mengusap dadanya, kini dia bisa bernapas dengan lega lagi.
Tidak tahu apa yang akan terjadi padamu nanti. Aku harap kau bisa melupakannya dan mendapat pengganti yang lebih baik lagi, Vero.
Vero yang saat ini tiba dirumahnya langsung masuk kedalam kamarnya. Membiarkan tubuhnya diguyur oleh air shower yang mengalir, dan bayangan Eliane kembali hadir didalam pikirannya.
Setiap detik, menit sampai jam, tak sedetik pun Vero tidak memikirkannya. Pikirannya selalu mengingatnya, hatinya akan kembali bergetar setiap mengingat senyum dan tawanya. Itulah sebab kenapa dia menjadi gila kerja, rasa sepi itu akan kembali menghantuinya setiap dia sadar bahwa gadis itu sudah tak bersama dengannya.
Setelah membersihkan tubuhnya, pria itu memasak sesuatu untuk hidangan makan malamnya dan betapa terkejutnya dia saat merasakan sebuah tangan melingkar dipinggangnya. Sentuhan itu membuatnya berbalik, senyumnya terukir dengan teramat sangat.
“Aku ingin memakan zurcher geschnetzeltes untuk malam ini, kak.”
“Te.. tentu Elia. Aku akan membuatkannya untukmu. Sebaiknya tunggulah di....,” hilang. Apa yang dilihatnya barusan hanya sebuah bayangannya saja. Setiap kali dia memikirkannya, dia akan selalu melihatnya dan itu sangat menyakitkan untuknya.
Makanan telah dihidangkan di atas meja, lagi-lagi dia melihat Eliane tengah menata piring disana. Bukan hanya itu, dia juga melihat gadis itu tersenyum ke arahnya. Dengan menarik kursi makan, Vero duduk disana dan akan menikmati makan malam bersama dengan gadis kecilnya.
Vero menopang wajahnya menggunakan tangan kirinya, matanya terus menatap Eliane yang tengah menikmati masakannya. Yah, dia selalu senang saat melihat gadis itu memakan masakan buatannya.
“Makanan kak Vero selalu menjadi yang terbaik,” puji Eliane seperti biasa dan Vero tersenyum mendengarnya. Saat hendak membersihkan sudut bibirnya, gadis itu kembali menghilang dari hadapannya.
Elia, aku merindukanmu. Dimana kau sekarang? Tidakkah kau memikirkanku untuk saat ini? Tidakkah kau merindukan makan malam bersamaku? Bukankah kau ingin kembali ke Felsenegg bersamaku? Apa kau melupakannya? Kembalilah padaku jika kau mengingatnya. Aku sudah hampir gila karena mencari keberadaanmu.
Pria itu meremas rambutnya dan mengacak-acaknya dengan kacau. Hatinya terkoyak, dia sudah tidak bisa lagi menahan gejolak rindu yang tertahan di relung hatinya. Dia ingin memeluk gadis itu sampai gadis tersebut menyadari betapa besarnya rindu yang tengah dirasakannya kali ini. Namun, jangankan untuk memeluknya, tahu keberadaannya saja merasa sangat sulit.
Eliane, dia yang saat ini sedang mengambil air didapur pun tiba-tiba mengalami bersin. Menggosok hidungnya dan mengambil air hangat untuknya. “Astaga, aku pasti flu akibat kehujanan kemarin.” Rutuknya yang langsung menenggak habis air digenggamannya.
“Eliiaaa~ cepat kemari! Callista sudah memainkan filmnya, jangan lupa untuk mematikan lampunya,” teriak Keyla dari ruang tengah. Mendengar teriakannya membuat Eliane menyimpan gelasnya dan berlari menuju arah kedua sahabatnya. Tak lupa juga dia mematikan lampu sesuai permintaan Keyla.
Mereka duduk dilantai yang telah beralaskan permadani, dengan menyandar pada kaki sofa, Eliane yang berada ditengah itu pun memegang snack berukuran besar untuk dimakan oleh mereka. Yah, seperti itulah pesta yang mereka lakukan selama ini. Menghabiskan malam dengan makan sekaligus menonton film bersama hingga larut.
Bersambung ...
St. Exeter Hospital. Seorang pasien tengah mengalami masa kritisnya didalam ruang operasi, tekanan darah menurun drastis dan detak jantungnya yang dibawah angka normal pun membuat para medis yang terlibat didalam harus segera mencari solusi untuk mengembalikan keadaan seperti sebelumnya.
“Rein, panggil dokter Noam untuk datang kemari, kita membutuhkan saran darinya sekarang juga. Temui dia di ruang lab,” pinta salah satu dokter yang memimpin operasi. “Mark, jepit luka dengan bulldog clamp,” imbuhnya lagi.
Sedangkan dilaboraturium, seorang dokter muda baru saja menerima hasil lab yang sejak dua jam lalu dia masukkan. Dia menelitinya dengan begitu rinci, memilih untuk duduk sejenak diruang tunggu, dia merasa ada yang aneh dengan hasil lab tersebut.
Seorang wanita tiba dengan napas tersengal, hal yang membuat dokter tersebut menoleh dengan senyum khasnya. Senyumannya itu benar-benar bisa membuat seluruh para perawat terpesona setiap kali melihatnya.
“Rein, apa yang membuatmu berlari?” ujarnya yang mencoba berjalan mendekati rekan kerjanya.
“Dokter Carol memintaku untuk memanggilmu, Daniel. Pergilah ke ruang operasi 4 sekarang juga,” ucapnya setelah napasnya teratur.
“Bagaimana hasil lab pasien gadis kecil itu, Noam?” Seorang wanita menghampirinya dengan sebuah senyuman yang tersungging dibibirnya.
“Aku menemukan kejanggalan pada hasil labnya, berikan laporan ini pada dokter Brian dan katakan padanya untuk melakukan MRI pada Via,” dia menyerahkan laporan yang berada digenggaman pada rekan timnya. “Kita harus bergegas, Rein,” tukasnya yang langsung menuju ruang operasi.
Setelah membersihkan diri dan selesai mengenakan pakaian sekaligus kacamata bedah, dia bergegas menghampiri Carol yang sudah menunggunya. Detak jantung pasien masih belum normal dan Daniel melihat apa yang telah terjadi disana.
Dengan memperhatikan setiap organ didalam tubuh tersebut serta mencari penyebab apa yang membuat pasien menjadi tidak stabil. Mengernyitkan dahinya, Daniel mengambil clamp tersebut dan memasukkan tangannya agar dapat melihat lebih jauh lagi.
“Suction,” satu tangannya terangkat ke arah samping, kemudian seorang perawat memberikan alat yang diminta oleh Daniel. “Apa golongan darah pasien? Kita membutuhkan dua kantung untuk transfusi sekarang juga,” tukasnya dengan nada yang terdengar begitu tenang.
Beruntung rumah sakit memiliki stok darah dengan golongan yang sama seperti pasien. Daniel membantu Carol untuk meneruskan operasi, dan mereka kembali lega saat semua sudah kembali stabil.
“Haruskan kita mengangkat tumornya sekaligus?” Carol menatap sebuah tumor yang kini sudah terlihat dengan jelas.
“Jangan lakukan sekaligus, Carol. Jika kau mengangkatnya dalam sekali angkat, kau akan merusak pembuluh venanya, itu akan menyebabkan jantungnya tidak mendapat pasokan darah yang cukup,” Daniel menahan tangan Carol yang hampir mengangkat tumor tersebut. “Gunakan laser untuk menghancurkan sebagian tumor, dan sebagiannya lagi kau bisa mengangkatnya.” Begitulah saran yang dia berikan, sesuai intruksinya, Carol menggunakan cara yang diberikan oleh pria dihadapannya.
Laser telah dilakukan dengan baik, kemudian Carol mengangkat sebagiannya lagi dengan begitu perlahan. Terlihat dari bentuk matanya, Carol tersenyum saat tumor berhasil dikeluarkan dari dalam tubuh pasien, sedangkan Daniel menganggukkan kepalanya menanggapi reaksi wanita di hadapannya.
“Kau bisa menutup lukanya sekarang,” begitulah ucapnya sebelum dia meninggalkan ruang operasi.
Daniel Noam, dia yang dahulu bercita-cita menjadi seorang dokter bedah pun telah mewujudkan mimpinya tersebut. Semester pertama dia berkuliah, dia benar-benar membuat para dosen serta petinggi disana dibuat kagum oleh kemampuan berpikirnya, sehingga tak membuat mereka merasa sia-sia telah memberikan beasiswa kepadanya.
Berkat keterampilan serta kecerdasan yang dimilikinya, Daniel membuat salah seorang pemimpin rumah sakit tertarik padanya. Yah, setelah setahun berkuliah, Daniel dan salah satu temannya langsung dibawa untuk melihat proses magang, bahkan ikut serta dalam operasi. Hal tersebut tidak semua orang dapat melakukan itu.
Hingga setelah tiga tahun berkuliah, dia menjadi seorang dokter magang disalah satu rumah sakit bedah ternama. Pemimpin rumah sakit sangat memercayainya hingga menimbulkan banyak rasa iri dari staff rumah sakit yang sudah bekerja lama, meski merasa memiliki saingan yang luar biasa, mereka selalu bersaing dengan sehat.
“Bagaimana? Apa Carol masih saja meminta bantuanmu? Bukankah dia pemimpin operasi itu, lalu kenapa dia tidak...”
“... bagaimana hasil MRI Via?” Daniel yang masih berjalan tampak tak menggubris pertanyaan dari wanita di sisinya.
“Paru-paru kanannya mengalami kebengkakkan dan dipenuhi dengan cairan. Dokter Brian sedang mengurus prosedur untuk membawa Via menjalani operasi,” setelah mendengar penjelasan rekannya, Daniel bergegas menuju ruangan gadis kecil disana.
Setibanya dia disana, dia tidak menemukan Via didalam ruangannya sehingga Daniel memberikan tatapan yang penuh tanya pada wanita disisinya. Yah, dia adalah teman yang dimaksudkan tadi, seseorang yang memiliki kemampuan sama seperti Daniel, tidak, tidak sama, Daniel jauh di atasnya.
“Via masih berada di ruang MRI bersama dengan dokter Brian, kau...” belum dia melanjutkan ucapannya, Daniel sudah lebih dulu berjalan meninggalkannya. “Kenapa dia selalu bersikap dingin padaku? Apa aku pernah membuat salah padanya?” Rutuknya kesal dan kembali mengekori Daniel.
Ditempat yang berbeda, Callista merasa lelah karena sejak tadi terus mendengar salah satu sahabatnya menghela napasnya terus menerus. Dia bahkan tidak fokus dalam pelajaran tadi, sehingga membuat dia harus mengerjakan beberapa tugas yang diberikan oleh dosen pembimbingnya.
“Apa terjadi sesuatu?” Callista menyahut seraya mengapit lengan sahabatnya, namun dia benar-benar tidak mendapat jawaban darinya. “Hei Eliane Hwang, apa yang terjadi?” Imbuhnya lagi yang kini mencubit lengan Eliane.
“Aku ingin ikut serta dalam pernikahan kakakku,” rengeknya dengan mengerucutkan bibirnya, itu pertama kalinya Callista melihat Eliane merajuk seperti itu hingga membuatnya sedikit terkekeh.
“Lalu, kenapa tidak pergi saja? Orang tuamu dan kak Erian pasti akan sangat senang melihat kehadiranmu disana,” ucapnya yang dibalas dengan gelengan oleh Eliane. “Kenapa?” tanyanya seraya mengernyitkan kedua alisnya.
“Apa kau lupa bahwa pekan depan adalah ujian kenaikan semester?” Kini rengekkannya kembali terdengar, bukannya kasihan, Callista justru tertawa menanggapi keluhan sahabatnya.
“Kenapa harus memusingkan itu, seminggu kemudian kau bisa mengajukan susulan, dan aku yakin jika ketua fakultas akan memberi izin padamu, kau adalah mahasiswi kesayangannya, selain itu...”
“... tidak, aku tetap tidak akan pergi. Selain ujian, aku memiliki alasan lain untuk tidak datang kesana.”
“Alasan lain?” Lagi-lagi Callista mengernyitkan kedua alisnya dan menerka-nerka alasan apa yang membuat sahabatnya tidak bisa pergi, padahal itu adalah acara pernikahan saudara kandungnya.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!