NovelToon NovelToon

Playboy

Playboy

Aku menggeliat mendengar suara deringan telepon. Aku mencoba meraih ponsel yang terakhir kali kuingat berada di atas nakas. Dengan mata yang menyipit aku melihat siapa yang menelponku semalam ini.

Kevin.

Aku langsung melebarkan mataku dan akan segera mengangkatnya ketika tangan lain meraih ponsel itu. Aku membalikkan tubuh dan melihat pria yang tidur di sebelahku mematikan panggilan tersebut, bahkan menonaktifkan ponselku juga.

“Itu dari Kevin!” protesku kesal.

“Aku tahu.” ucapnya tanpa rasa bersalah. Ia bahkan kembali merapatkan selimut yang ia gunakan.

Aku segera meraih ponselku yang ia letakkan di nakas sampingnya, dan ia kembali mencekal tanganku. Matanya bahkan masih tertutup.

“Malam ini jangan angkat telepon dari siapapun,” ucapnya dengan suara serak. Ia memaksaku kembali berbaring di sebelahnya.

“Jangan sampai mereka tahu apa yang kita lakukan malam ini, cukup menjadi rahasia kita berdua.” Ia membisiku dengan suara serak yang sangat seksi di telingaku.

Jantungku berdetak sangat kencang. Ia kembali memelukku. Aku bahkan bisa merasakan bibirnya yang tersenyum di permukaan leherku yang memang terbuka. Aku menahan napasku. Ini bukan pertama kalinya aku bersama pria ini, aku bahkan sulit untuk menjelaskan hubungan kami.

“Dimitri!”

Aku mendorong tubuhnya paksa, dan pelukannya terlepas begitu saja. Aku segera memunggunginya. Aku hanya terlalu gugup dengan jarak sedekat itu. Walaupun aku mengatakan kami tak memiliki hubungan apapun, jantungku tetap berdetak dengan kencang dengan sentuhannya.

Siapa yang tidak akan luluh dengan sentuhan seorang Dimitri? Playboy yang aku tahu sangat berpengaruh di Korea itu. Aku sangat sadar dengan reputasinya itu, tapi kedekatan kami sudah di mulai sebelum ia menjadi seorang playboy.

“Dua jam yang lalu kamu bahkan sangat menikmatinya. Apa aku harus mengulangi lagi agar kamu ingat rasanya?” dia kembali berbisik di telingaku, dan tangannya kembali memeluk pinggang telanjangku.

Ah sial! Pria ini benar-benar sangat berbahaya.

Aku membalikkan tubuhku, dan kini aku menatap matanya. Jika saja aku belum mengenalnya, maka aku akan langsung tertipu dengan tatapan teduhnya. Percayalah, di balik tatapan itu terdapat berjuta makna yang hanya dia sendiri yang mampu menerjemahkannya.

“Aku harus tidur. Besok aku harus menghadiri rapat pagi. Bersama Kevin.”

Raut wajahnya sedikit berubah ketika aku menyebut nama itu, dan hanya beberapa detik setelahnya wajah itu segera menunjukkan senyum teduhnya.

“Tidurlah. Tapi aku akan tetap memelukmu.” Ia mencium keningku, lalu kembali memelukku posesif.

**

Jadi sekarang biar aku jelaskan pada kalian tentang hubunganku dengan Dimitri. Kami bersahabat, aku, Dimitri, dan juga Kevin. Ingin tahu hal yang lebih lucu lagi? Kami bertiga bekerja di kantor yang sama.

Kami bersahabat dan hubungan kami sedikit rumit. Aku bahkan tidur bersama Dimitri, dan terhitung semalam adalah yang ketiga kalinya, mungkin? Aku bahkan lupa. Aku tahu seperti apa Dimitri itu, seorang playboy kelas kakap yang sangat tampan. Entah sudah berapa banyak wanita yang ia tiduri di luar sana.

Kalian pasti berpikir aku sangat gila, aku sangat tahu hal itu. Hanya saja aku tak bisa menolak pesona yang ia miliki. Anggap saja kami adalah friends with benefit, karena semalam aku memang sangat membutuhkannya. Terlalu banyak permasalahan yang harus kupikirkan. Aku bahkan berakhir mabuk di klub semalam, dan Dimitri yang datang menyelamatkanku dari kemungkinan pria hidung belang lainnya.

Jangan minta aku menjelaskan secara detail bagaimana kami bisa berakhir di ranjang. Ceritanya sangat panjang dan intens, jika kalian mengerti apa yang kumaksud. Tak perlu di perpanjang, karena aku sangat malu jika harus mengingat kejadian itu.

“Bagaimana perkembangan syuting produk itu, Bu Liliana?”

Aku menatap Kevin yang hari ini memimpin rapat, dia tampan seperti biasa. Dan dia adalah Direktur Umum di perusahaan ini, dan aku adalah Manajer Pemasaran.

“Berjalan lancar sesuai jadwal, siang ini sudah selesai dan bisa di edit lalu di serahkan ke pihak stasiun televisi,” ucapku tenang.

Kevin hanya menganggukkan kepalanya mengerti, lalu mengatakan beberapa kalimat lagi pada peserta rapat. Dia lebih muda tiga tahun denganku, tapi karena ini adalah perusahaan keluarganya, ia bisa dengan mudah mendapatkan jabatan itu. Tapi jangan pernah ragukan soal kinerjanya, ia sangat profesional.

“Baiklah, kalian boleh kembali bekerja lagi, dan Bu Liliana, kamu tetap tinggal, ada yang ingin saya bicarakan.”

Aku mengurungkan niatku untuk beranjak, aku bahkan sudah membereskan berkas-berkas yang kubawa. Ini bukan soal pekerjaan, aku sangat tahu itu.

Setelah semua orang pergi, dan hanya tersisa kami berdua, Kevin langsung menatapku tajam. Benar, kan? Ini bukan soal pekerjaan.

“Kakak tak mengangkat teleponku semalam.”

Panggilan kakak itu sebenarnya sangat mengganggu tapi juga terdengar manis secara bersamaan. Ia menyukaiku, dan sudah sangat sering mengatakannya padaku.

“Aku sudah tidur, kamu menelponku jam satu malam. Kamu juga tahu sebanyak apa pekerjaanku kemarin.” aku menjawab dengan tenang.

Aku sudah memikirkan jawaban itu sejak pagi tadi, karena tahu Kevin pasti akan menanyakannya.

“Bukan karena sedang bersama Dimitri?”

Kevin menatapku tajam, menuntut jawaban sebenarnya.

Oke, apa kalian ingin tahu satu rahasia lagi? Aku jamin ini adalah yang paling mengejutkan untuk kalian. Jadi, Kevin dan Dimitri adalah sepupu. Aku mengenal Kevin dari Dimitri, kami bahkan sering menghabiskan waktu makan dan hangout bersama. Kevin juga secara terang-terangan menunjukkan rasa sukanya padaku di hadapan Dimitri.

Bagaimana? Apa mengejutkan? Atau kalian sudah menduganya?

“Tidak. Bagaimana mungkin aku—“

Aku tidak tahu bagaimana ia bisa melakukannya, tapi sekarang dia sudah berdiri di hadapanku. Ia berdiri sangat dekat denganku, aku bahkan bisa merasakan hangat nafasnya. Seperti yang bisa di duga, jantungku juga berdetak sangat cepat.

Aku tak pernah menyukai pria yang lebih muda dariku, tapi Kevin memiliki aura yang tak jauh berbeda dari Dimitri. Lagipula mereka sepupu, pasti ada kesamaan walau sedikit. Terkadang ingin menyesali persahabatan ini, tapi aku juga bahagia dengan hubungan persahabatan yang sangat aneh ini.

“Apa jantung Kakak berdebar ketika kita berada dalam jarak sedekat ini?”

Aku segera menyadarkan diriku sendiri. Pria dengan nama belakang Aldino yang kukenal ini memang sangat berbahaya. Gadis-gadis di luar sana aku yakin tak mengetahui kelakuan pria yang mereka idam-idamkan ini, mungkin jika tahu, mereka akan langsung meninggalkannya. Atau justru tidak, karena mereka menyukai tipe pria seperti ini? Entahlah.

“Bersikap baiklah pada kakakmu ini. Kita bicarakan lagi nanti siang, Pak Kevin?”

Aku menepuk bahunya pelan dan memberikan senyuman paling manisku padanya, lalu berlari keluar ruangan. Aku tak bisa lebih lama berada di ruangan yang sama dengan pria muda sepertinya. Cukup Dimitri saja yang mengacaukan hatiku.

**

“Lembur lagi?”

Aku mendongakkan kepala, dan menemukan Dimitri sedang bersandar di daun pintu yang terbuka. Aku tersenyum dan menekuni lagi berkas yang sedang kubaca. Sudah pukul sembilan malam, dan harusnya sebentar lagi aku bisa menyelesaikan pekerjaanku.

Apa aku belum menceritakan tentang pekerjaan Dimitri? Maka akan kuceritakan sekarang.

Jika Kevin adalah Direktur Umum, maka Dimitri adalah pemegang saham terbesar kedua setelah Ayahnya. Ya, ia memiliki jabatan setinggi itu, dan dia adalah sahabatku. Friends with benefit, for sure.

“Apa kertas itu sangat menarik sampai kau tak melihat wajahku?”

Aku mendengar langkah kakinya yang berjalan mendekati meja kerjaku. Ia bahkan sudah berdiri di samping kursiku. Melipat tangannya dengan angkuh di dada, bersandar pada meja kerjaku, lalu menatapku dengan intens, seolah aku barang antik yang harus di perhatikan dengan seksama.

“Sayangnya begitu, karena kertas ini mampu memberiku gaji,” ucapku tenang.

“Aku bahkan bisa memberimu lebih dari gaji.”

Aku menatapnya sengit, sepertinya aku salah berbicara, dan masih ada lanjutan dari kalimat itu pastinya.

“Kenikmatan, mungkin?” lanjutnya dengan kerlingan nakalnya.

Lihat! Seharusnya aku tak perlu meladeninya. Jabatannya memang sangat tinggi, tapi percayalah, otaknya sangat butuh untuk di bersihkan.

“Aku harus menyiapkan laporan ini untuk rapat besok, jadi aku tak akan tergoda dengan rayuanmu itu, Dimitri. Sepertinya malam ini kamu harus mencari wanita lain untuk pelampiasanmu.”

Tak ada jawaban. Tapi aku masih bisa merasakan tatapannya. Well, ia tak akan melepaskanku semudah itu, kan? Dimitri Aldino yang kukenal tak akan melakukan itu. Jadi, aku menatapnya untuk memastikan.

Dan itu adalah kesalahan besar. Seharusnya aku hanya fokus pada kertas di tanganku tanpa mempedulikan pria ini apapun yang terjadi.

“Bagaimana jika aku hanya menginginkanmu malam ini? Sepertinya aku sudah kecanduan dengan tubuhmu.”

Dan hanya dengan kalimat itu, mampu menghanyutkan tatapanku padanya. Hanya ucapannya saja sudah membuatku kalang kabut seperti ini, bagaimana jika…?

Dimitri menciumku. Tiba-tiba seperti biasanya, dan itu sangat memabukkan. Ciumannya sangat menuntut, dan membuatku goyah. Beruntung aku sedang duduk saat ini. Well, dan sepertinya malam ini akan berakhir seperti kemarin.

Aku bahkan tak peduli jika laporan ini harus selesai besok, aku sudah terlalu mabuk dengan perlakuan Dimitri. Aku hanya akan mengikuti instingku saat ini.

**

Heart Attack

Menjadi Manajer

Pemasaran membuatku sedikit kewalahan, apalagi ketika sedang memiliki projek

seperti ini. Aku diminta untuk menyelesaikannya sesuai tenggat waktu yang sudah

di tentukan. Syuting iklan untuk salah satu produk dari klien kami sudah hampir

selesai, tapi aku tetap merasa belum puas. Mereka sangat perfeksionis, walaupun

aku sudah mengajukan hasil video mentahnya, mereka masih menganggap masih ada

yang kurang pada beberapa bagian.

Perusahaan tempatku

bekerja adalah perusahaan dalam bidang periklanan. Aku sudah bekerja lebih dari

lima tahun, tepatnya ketika aku baru saja mendapat gelar sarjanaku, dan Dimitri

sudah menjabat sebagai Direktur. Dia sudah bekerja sejak baru mulai kuliah atas

perintah Ayahnya, karena memang Dimitri adalah penerus Ayahnya.

Dimitri juga memiliki

beberapa persen saham di perusahaan tersebut atas namanya sendiri. Dia memang

semenawan itu ketika sedang bekerja. Pria pekerja keras, ambisius, keras

kepala, dan pecinta wanita tentu saja. Beruntung ia terlahir dengan wajah

tampan itu, kurasa walaupun ia tak memiliki wajah yang tampan, ia tetap akan

menjadi playboy. Kenapa? Karena ia

memiliki kekuasaan.

Wanita manapun akan

dengan mudah tunduk di bawah kuasa pria itu. Itu juga yang membuat egonya semakin

tinggi. Jika ia bukan sahabatku, aku sudah pasti akan membunuh pria seperti

itu, karena sahabatku itu juga aku belum mendapatkan seorang pacar. Dimitri dan

juga Kevin selalu memiliki sejuta alasan jika aku bercerita tentang salah satu

pria yang aku sukai.

Kalian ingin tahu

alasan yang mereka berikan? ‘Semua pria itu brengsek, jangan dekat-dekat dengan

pria manapun.’ Itulah yang mereka katakan, padahal mereka sama brengseknya dan

aku bersahabat dengan mereka. Aku bahkan sudah tidur dengan salah satunya. Aku hanya

tinggal menunggu waktu untuk tidur dengan Kevin agar aku mendapatkan predikat

sebagai ‘bitch’.

“Hai, Li. Maaf ya,

telat, kamu tahu sendiri jam segini itu jamnya macet.”

Aku tersenyum melihat

kedatangan Nabila yang langsung mendudukkan dirinya di kursi hadapanku. Nabila

ini satu-satunya sahabat yang kumiliki, karena sejak kuliah aku sudah dekat

dengan Dimitri, banyak gadis-gadis lainnya yang tak menyukaiku bahkan sampai

memusuhiku. Aku tak kaget dengan semua itu, aku sudah terbiasa.

Nabila adalah salah

satu editor di majalah fashion, dan

kami berdua sama-sama sibuk. Kami biasanya harus menunggu selama satu bulan

untuk bisa sekedar bertemu seperti ini.

“Biasa aja kali, kayak

baru kenal aja,” ucapku santai. Yang terpenting adalah kami bisa bertemu. Aku terlalu

muak jika harus berbicara bersama Dimitri dan Kevin, karena itulah aku cukup

beruntung memiliki satu sahabat wanita.

“Jadi gimana? Masih

pacaran sama berkas-berkas? Atau berkas-berkas itu udah berubah jadi cowok

ganteng?”

Aku tertawa mendengar

perumpamaannya, aku memang terkenal jomblo akut. Sejak kami mulai berteman, aku

tak pernah sekalipun memiliki pacar, bukan karena pernah patah hati. Dua sahabat

lelakiku sangat posesif, padahal aku juga ingin merasakan pacaran, aku sudah

dua tujuh. Jika tiga tahun lagi aku tak menikah, mungkin orang tuaku akan mulai

menjodohkanku.

“Aku selalu berharap

pemilik salah satu berkas-berkas itu adalah pria tampan, tapi yang ada

bapak-bapak tua nyebelin.” Aku menopang dagu, sangat miris dengan nasibku.

Kalian tahu, kadang aku

berharap klien-klien yang aku tangani adalah pria tampan, muda, dan pemilik

salah satu perusahaan, seperti yang sering aku baca di novel itu. Kenyataannya,

mereka hanyalah pria tua cerewet yang selalu tak setuju dengan konsep yang

kuajukan. Tak semua memang, sebagian besarnya seperti itu.

“Dan kamu beruntung

karena hari ini ketemu aku!” Nabila menjentikkan jarinya dengan semangat, senyumnya

sangat lebar menatapku. “Aku membawakanmu salah satunya.”

Nabila mengeluarkan

sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah foto seorang pria dengan jas dokter sedang

tersenyum pada seseorang yang memakai baju pasien. “Ini Reno?” tanyaku. Reno adalah

pacar Nabila yang berprofesi sebagai dokter.

“Masa iya aku mau

jodohin pacarku sama kamu, Li?” Nabila memutar bola matanya. “Itu temennya

Reno. Dokter bedah, ganteng, dan udah pasti jomblo,” ucap Nabila menggebu-gebu dengan

mata yang berbinar.

Bisa-bisanya dia

nyeritain cowok lain sampai sebegitunya, untung tak ada Reno disini. Kalau ada,

bisa di pastikan Nabila tak akan berani mengatakan hal seperti itu. Reno sangat

posesif, dan Nabila ini terlalu genit ketika membahas pria tampan.

“Bil, definisi cowok

ganteng yang jomblo kayak dia itu, kalo gak gay atau dia pasti udah punya pacar

atau istri tanpa sepengetahuan orang lain. Kamu yakin dia jomblo?”

Aku menatap Nabila

horor, pengalamanku memang seperti itu. Cowok tampan yang biasa aku temui itu

adalah gay, apalagi di tempatku biasa fitnes. Walaupun aku hanya mengenakan

bikini, mereka tetap lebih tertarik pada pria kekar lainnya. Terkecuali Dimitri.

Nabila menatapku sama

horornya. “Beb, kalo kamu mikirnya kayak gitu terus, gimana kamu bisa lepas

dari predikat jomblonya. Harusnya kamu bersyukur cowok ini ganteng.”

“Aku mau yang biasa

aja, Bil, tapi minimal dia punya satu perusahaan.”

Nabila langsung

melemparkan tisu padaku dengan kesal, membuatku tertawa. Aku benar, kan? Aku tak

butuh cowok ganteng dan sejenisnya, yang penting dia pria pemilik perusahaan dan

belum beristri. Berlebihan, ya?

**

Aku membereskan

berkas-berkas yang sedikit berserakan di meja. Ini hari jum’at dan sudah pukul

lima. Aku akan menemui si dokter bedah yang Nabila tunjukkan padaku fotonya

kemarin. Tentu saja aku tak akan menolak, foto yang hanya terlihat dari samping

saja sudah menunjukkan betapa manisnya senyum itu, bagaimana jika aku bertemu

aslinya. Aku harap dia lebih tampan dari dugaanku.

Aku ini bukan wanita

pemilih sebenarnya, aku lebih menilai karakter pria di banding fisiknya. Wajah tampan

hanya bonus saja. Aku jujur, hanya saja saat ini aku harus mencari pria yang

lebih tampan, lebih kaya, lebih dari segala hal yang di miliki Dimitri. Pria itu

pasti akan dengan senang hati merestuiku untuk berpacaran jika aku menemukan

pria yang seperti itu.

Ini sangat tak adil

untukku, Dimitri bisa mendapatkan wanita manapun yang ia suka, sementara aku

tak bisa melakukan hal itu hanya karena aku sahabatnya. Sangat lucu sekaligus

ironi untukku. Memang ada aturannya aku tak boleh berpacaran karena aku

memiliki sahabat pria?

“Tumben Kakak udah

beres-beres?”

Aku mendongak dan

menemukan Kevin yang berdiri di ambang pintu. Kevin sebenarnya sama saja dengan

Dimitri, ia akan rela aku memiliki pacar jika pria itu lebih dari dirinya. Benar-benar

dua saudara yang konyol. Setidaknya Kevin tak seposesif Dimitri.

Aku sudah menyelesaikan

membereskan meja kerjaku, dan segera mengambil tas dan menghampirinya. “Ini

hari jum’at, dan aku mau menikmati jum’at malamku,” ucapku dengan senyum lebar

di hadapannya.

Kevin menaikkan

alisnya, menatapku penuh selidik. “Kemana lagi Dimitri mau bawa kakak? Kayaknya

hari ini dia punya janji makan malam, apa jangan-jangan makan malamnya itu sama

Kakak?” tanyanya horor.

Kevin ini sangat

ekspresif jika sudah bersamaku, ia bisa menunjukkan seribu wajahnya yang penuh

ekspresi itu, tapi akan sangat serius jika sudah bekerja. Sayangnya aku sudah

menganggapnya seperti adik, aku pun tak memiliki perasaan yang spesial padanya.

“Apa menurutmu aku

hanya akan keluar bersama Dimitri? Dia bukan satu-satunya pria, tahu.” Aku mengerucutkan

bibirku.

“Kak, aku pernah

bilang, kan, kalau Kakak mau kencan—“

“—cari yang lebih

ganteng dari kamu dan bukan brengsek. Aku tahu, aku pastiin dia berkali-kali lipat

lebih baik dari kamu ataupun Dimitri, oke?” potongku.

Kevin tersenyum dan

mencubit kedua pipiku dengan gemas, lalu memutarnya kekiri dan kanan. “Kak Lili

udah dewasa rupanya.” Ia lalu melepaskan cubitannya dan menatapku dengan

serius. “Dan jangan pernah ketemu sama Dimitri di belakang aku, Kakak pikir aku

gak tahu?”

Aku tertawa. Walaupun usianya

sudah dua empat, ia masih suka menunjukkan sifat kekanakannya padaku. Lagipula

aku lebih menyukai seperti itu, di banding ia menunjukkan wajah serius padaku.

Jika sudah seperti itu, ia tak akan jauh berbeda dengan Dimitri.

Aku tersenyum lalu

mencium pipinya singkat sebelum berlalu meninggalkannya. Aku harus menunjukkan

kesan terbaikku di hari pertama pertemuan dengan sang dokter.

**

Sepertinya aku terlalu

bersemangat karena ini adalah pertemuan pertama, aku masih mengenakan blus dan

rok pensilku, karena jika aku pulang ke apartemen yang kusewa akan memakan

waktu, jadi lebih baik aku langsung menemuinya. Aku hanya memperbaiki riasanku

yang sudah mulai memudar.

Entah kenapa jantungku

berdegup kencang sedari tadi, apa karena ini pertama kalinya setelah sekian

lama aku bertemu dengan pria? Aku gugup, tapi aku coba untuk menenangkan diri. Biasanya

yang mampu membuatku berdebar-debar adalah Dimitri, Kevin juga pernah membuatku

berdebar-debar.

Aku bahkan masih

memikirkan pria lain ketika harusnya aku fokus pada pria yang akan muncul ini.

“Selamat malam.”

Aku menatap pria yang

baru saja menyapa. Dia sangat tampan. Aku bahkan berani bertaruh kalau dia

lebih tampan di banding Dimitri. Jantungku semakin berdetak dengan kencang

seolah akan keluar dari tubuhku.

“Liliana?” tanyanya

memastikan.

Aku berdehem pelan

sebelum menyapanya. Aku benar-benar akan berterima kasih pada Nabila nanti,

karena pria ini benar-benar tampan. Aku bahkan tak mampu mendeskripsikannya

dengan kalimat.

“Y—ya, saya Liliana.”

Aku mencoba menampilkan senyum terbaikku padanya, tapi rasanya wajahku terlihat

bodoh saat ini.

“Saya Richard,” ucapnya

ssembari mengulurkan tangan.

Aku menerima uluran

tangan itu dengan sedikit gemetar. Ah, reaksiku benar-benar payah ketika

bertemu pria, pantas saja aku jomblo sampai saat ini. Aku langsung

mempersilakan ia duduk. Pakaiannya sangat sederhana, hanya kemeja hitam yang

lengannya ia gulung sampai siku dan celana kain berwarna senada, dan hanya

dengan pakaian itu saja ia sudah sangat tampan.

“Kamu baru pulang kerja?”

tanyanya.

“Jarak apartemenku

lumayan jauh, kelamaan kalau pulang dulu jadi aku langsung kesini. Apa terlalu

formal?” tanyaku.

Harusnya aku tadi

mampir di salah satu butik untuk mencari setidaknya dress, aku merasa seperti sedang bertemu klien, bukannya kencan.

“Aku tak masalah, toh

kamu pasti akan terlihat cantik dengan pakaian apapun.”

Ucapannya membuat

pipiku memanas, sepertinya ia terlalu memujiku. Jantungku juga semakin berdetak

nyaring, aku merasa ia bisa mendengar suara debaran jantungku ini. Seharusnya aku

membawa obat sakit jantung agar jantungku tak terlalu berdebar seperti ini. Memalukan

sekali.

“Kamu gak masalah, kan,

kalau kita bicara secara informal, supaya gak terlalu kaku,” ucapnya lagi.

Aku hanya menganggukkan

kepala, aku benar-benar merasa seperti remaja yang baru jatuh cinta. Ucapan Richard

ini terlalu lancar untuk seorang yang sedang jomblo, apa karena ia dokter? Tapi

ia dokter bedah yang aku yakin waktunya lebih banyak di habiskan di ruang

operasi.

Aku meyakinkan diriku

sendiri untuk tenang dan santai, pria ini bukan apa-apa. Aku terbiasa

menghadapi pria lainnya, anggap saja dia klien. Klien yang menawarkan hidup

bersamanya sebagai bayarannya. Jadi aku harus mengeluarkan semua rasa percaya

diri yang tersimpan di dalam diriku.

“Aku ingin tahu tentang

dirimu? Bagaimana rasanya menjadi dokter bedah?”

“Kamu sangat to the point, ya?”

Aku mengangkat bahu

acuh. “Aku sebenarnya tak tahu harus bertanya apa. Aku lebih sering menghadapi

klien di banding menghadapi pria yang sesungguhnya.” Aku memberikan cengiranku

padanya. Kurasa bicara jujur lebih baik, ini sifatku dan aku ingin menunjukkan

itu padanya.

“Apa aku pria pertama? Rasanya

mustahil wanita secantik kamu mustahil melakukan hal itu.”

“Tapi itulah

kenyataannya, dan kamu terlalu memujiku.”

Richard tertawa, dan

tawanya itu menular padaku. “Kalau begitu aku beruntung, pastikan kamu hanya

mengatakan hal itu padaku saja.”

Pipiku kembali memanas

mendengar ucapannya. Ah, ini benar-benar pertama kali dalam hidupku aku

merasakan hal ini. Aku tertawa selepas ini, pipiku memerah, dan jantungku

berdebar sangat kencang. Ingatkan aku untuk membawa obat sakit jantung ketika

bertemu dengannya, agar debarannya tak sekencang ini.

Richard juga pria yang

sangat mengasyikkan, kami tak kehabisan topic sepanjang malam itu. Ia juga

sesekali melemparkan lelucon. Kali ini aku akan sangat berterima kasih pada

Nabila dan pacarnya yang mau menyodorkan salah satu temannya padaku.

**

“Al!”

Aku berteriak ketika

menyalakan lampu apartemen dan menemukan Dimitri berdiri memunggungiku di ruang

tamu. Aku selalu memanggil Dimitri dengan nama belakangnya, Aldino yang

kusingkat Al. Lebih singkat dan tentu saja berbeda dengan yang lainnya, aku

akan memanggilnya Dimitri jika sedang kesal.

Al menolehkan

kepalanya, dan menatapku dingin. Apa aku berbuat salah? Aku bahkan seharian tak

bertemu dengannya di kantor, karena aku sangat sibuk dan dia yang memang sedang

rapat di luar.

“Gimana kencannya? Kayaknya

kamu bahagia banget, pipi kamu bahkan masih merah sekarang,” ucapnya sarkas.

Aku reflek menyentuh

pipiku, bagaimana ia bisa tahu aku sedang kencan? Aku bahkan tak menghubunginya

sejak tadi. “Kamu tahu darimana?”

“Aku gak suka sama

cowok itu.”

Al berjalan

menghampiriku. Aku sontak mundur dari tempatku berdiri, tapi ia malah

melewatiku menuju pintu. Ia pergi? Ia tak menjawab pertanyaanku dan membuatku

bingung dengan sikapnya, lalu hanya pergi?

“Aku gak peduli sama

pendapat kamu, toh kamu selalu gak suka sama semua cowok yang deket sama aku,

dan kamu sekarang pergi gitu aja tanpa kasih penjelasan…,”

Ucapanku terhenti

begitu saja ketika ia dengan tiba-tiba berbalik dan mendorongku ke dinding. Menciumku

dengan keras, intens, seperti menyalurkan semua kekesalannya. “Ya, aku tak

menyukainya dan sebaiknya kamu jangan pernah mendekati pria lain lagi.”

Al meremas pinggulku,

semakin mendesakku ke dinding dan kembali menciumku. Aku tak bisa melakukan

apapun selain menerimanya. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Aku bahkan

dengan mudahnya melupakan Richard yang baru kutemui, semua percakapan kami

seolah menghilang begitu saja ketika Al menciumku.

**

Explanation

Aku bangun pagi itu

dengan perasaan yang terasa aneh, karena Al tentu saja. Aku merasakan jantungku

berdebar sangat kencang ketika bersama Richard semalam, tapi semua itu hilang

begitu saja ketika Al menciumku. Aku tak akan munafik kalau aku tak

menikmatinya tadi malam, tapi ada sedikit rasa bersalah ketika memikirkan Richard.

Pagi ini aku akan

kembali menghadapi Al, karena ia menginap. Hal yang sangat ia lakukan. Biasanya

ia hanya akan tidur sebentar lalu kembali ke rumahnya sendiri. Pria itu, untung

kami bersahabat, kalau tidak mungkin aku akan memukul kepalanya hingga ia berhenti

bermain wanita dan fokus menjadi pria dewasa.

Dia bahkan masih dengan

sangat tenang tidur di kamarku, padahal hari sudah sangat siang, hampir pukul

sepuluh. Aku berdiri di depan mesin toaster,

menunggu rotiku matang. Aku sangat lapar tapi sangat malas untuk memasak

ataupun memesan makanan. Ponselku bahkan kulupakan sejak semalam dan pagi tadi

aku terlalu malas mencari.

Kalian tahu kenapa? Al

bermain dengan sangat brutal tadi malam, tak seperti biasanya. Brutal dalam

artian sedikit kasar dan menggebu-gebu.

“Aku juga mau roti

bakar.”

Aku menoleh dan

mendapati Al yang tak mengenakan pakaian apapun, hanya celana kain yang ia

gunakan semalam. Itu adalah pemandangan yang sangat indah untuk mengawali hari,

karena tubuhnya yang sangat proposional dan idaman semua pria. Pantas saja

semua wanita itu rela mengantri untuknya.

Aku tak menjawabnya,

lalu kembali fokus pada roti yang belum matang. Beberapa detik kemudian bunyi

dentingan dari mesin toaster mengalihkan

perhatianku. Aku segera meletakkan dua lembar roti itu di piring dan membawanya

pada Al. Rotiku hanya tersisa dua potong itu, dan aku tak ingin berdebat, jadi

aku hanya menikmati segelas susu yang juga ada di hadapannya.

“Kenapa wajahmu? Apa

aku belum memuaskanmu?” tanyanya santai sambil menggigit roti.

Aku mendengus. Dia

sangat perhatian ketika berada di ranjang, tapi sangat cuek ketika sudah

kembali ke dunia nyata ini. “Kamu belum menjelaskan sikapmu semalam,” ucapku

langsung.

Aku bukan tipe wanita

yang suka memberi kode pada lawan jenis. Aku lebih suka menyampaikan apa yang

kuinginkan dan kurasakan. Menurutku memberi kode hanya membuang-buang waktu dan

tak efisien.

“Biasanya kamu tak

butuh penjelasan, kita melakukan seperti biasa.”

“Apa hanya itu yang ada

di otakmu? Darimana kamu tahu aku sedang kencan?”

Al dengan santainya

tetap mengunyah roti itu, bahkan sesekali mengoleskan selai coklat yang juga

memang kusiapkan. Pria ini benar-benar.

“Sudahlah, percuma juga

aku bicara denganmu. Jangan lupa cuci piringnya kalau kamu sudah selesai,”

ucapku. Aku segera beranjak dari dudukku berniat untuk mandi dan mungkin

setelah ini aku akan menghabiskan waktuku di toko buku atau mungkin mall.

“Kamu marah?” Al

mencekal tanganku yang melewatinya.

Aku melepaskan cekalan

tangan itu dan melipat tanganku di dada. “Kalau kamu tetap menyebalkan seperti

ini dan tak memberiku penjelasan, maka jawabannya ya.”

“Apa pria itu begitu

spesial sampai kamu seperti ini?”

“Dan apa harus kamu

kekanak-kanakan seperti ini? Kamu itu udah dua delapan, kamu tak memikirkan

masa depanmu? Kamu akan terus bermain-main dengan wanita?” tanyaku kesal.

Al menatapku dengan

menopang dagunya, menyandarkan tubuhnya di meja bar di sampingnya. “Selama

sebulan ini aku hanya menghabiskan malamku denganmu, aku bahkan tak mengunjungi

klub karena pekerjaan yang tak ada habisnya itu. Lalu sekarang kamu

memarahiku?” tanyanya, tampak acuh seperti biasanya.

Aku menundukkan kepala,

menghitung sampai sepuluh untuk menenangkan emosiku. Lima tahun aku

mengenalnya, dan selama itu aku tak pernah merasakan perubahannya dalam bersikap.

Ia hanya semakin matang dan profesional ketika bekerja.

Awalnya aku bisa paham,

tapi saat ini rasanya sangat kesal. Mungkin karena ini adalah kencan pertamaku

setelah sekian lama Al dan Kevin menghalanginya. Umurku sangat melebihi umur

orang berkencan, setidaknya aku harus memiliki tunangan di usia ini, bukan baru

memulainya seperti ini.

“itu pekerjaanmu dan

aku tak peduli, harusnya kamu bisa menanganinya, kenapa malah merengek? Aku tak

peduli kalau kamu tak menyukai Richard, ini hidupku dan aku tak perlu

persetujuanmu untuk berkencan.”

**

Hari seperti ini sangat

jarang terjadi untukku. Sabtu siang dan aku libur, biasanya aku menghabiskan

sabtuku dengan lembur. Sebenarnya ada beberapa pekerjaan yang harus aku

selesaikan, aku bahkan sudah menyiapkan laptopku. Pada akhirnya aku memang

harus tetap bekerja di sabtu siang ini.

Aku bisa saja meminta

Richard untuk menemaniku, kami sudah bertukar kontak kemarin. Ia bahkan

menawarkan diri jika aku tak memiliki teman untuk jalan-jalan seperti ini. Tapi

aku masih merasa bersalah, walaupun Richard juga tak akan tahu, tetap saja

rasanya aneh. Bayangkan, aku baru saja menghabiskan malam panasku bersama

sahabat priaku, lalu siangnya aku meminta pria lain menemaniku keluar. Aku

sudah sama seperti pelacur di luar sana, lompat dari satu pria ke pria lain.

Sangat berlebihan sekali perbandingannya, ya? Aku hanya merasakan hal itu, dan

aku belum bisa bertemu Richard dalam waktu dekat ini.

Jadi setelah aku tak

memiliki pilihan lain, aku berakhir di perpustakaan umum mengerjakan

pekerjaanku yang sangat kucintai ini. Benar-benar belum ada yang bisa

menggantikan posisi laptop sebagai pacarku. Lebih baik berpacaran dengan

laptopku, tak akan ada masalah berarti yang akan kuhadapi.

“Kenapa tak

meneleponku?”

Aku mendongak dan menemukan

Richard berdiri di samping mejaku mengenakan kaos oblong putih dan juga celana jeans. Padahal hanya pakaian sederhana

seperti itu, mampu membuatnya bersinar dengan tampan.

Sebenarnya hidupku ini

sangat beruntung karena di kelilingi pria-pria tampan, tapi yang dua lainnya

menyebalkan. Jika Al dan Kevin memiliki sifat seperti Richard, maka aku tak

perlu terlalu pusing untuk menghadapinya.

“Kamu kenapa ada di

sini?” tanyaku keheranan. Ini memang hari sabtu, tapi dokter tak biasanya

memiliki jadwal libur tetap, apalagi dokter bedah sepertinya yang menghabiskan

harinya di ruang operasi.

“Surprise?” tanyanya dengan senyum lebar.

Aku tertawa. Padahal

baru tadi aku katakan kalau aku merasa bersalah pada Richard, dan sekarang aku

sudah mampu tersenyum lebar padanya. Sepertinya aku harus mencari obat yang

mampu membuatku mengurangi rasa kagumku pada pria tampan. Mereka benar-benar

jenis yang sulit di tolak.

“Apa kamu bisa

memeriksa kondisiku?”

“Kamu sakit?” tanyanya

dengan panik.

“Ya, aku sepertinya

butuh obat agar tak terlalu terpesona padamu. Jantungku berdebar sangat kencang

hanya melihatmu.”

Ia tertawa malu,

pipinya sedikit memerah karena sangat kontras dengan kulit putihnya. Apa ia

baru saja tersipu karena gombalanku yang tak bermutu itu? Kenapa itu sangat

terlihat manis untukku? Ada kesenangan tersendiri ketika melihatnya seperti

itu.

“Lalu bagaimana

denganku? Aku sepertinya sudah jatuh cinta padamu.”

Ah, jadi kami akan

saling melemparkan gombalan seperti ini? Aku bahkan bisa melakukan lebih dari

ini jika dia ingin.

“Kamu makin cantik kalo

merona gitu, Lian.”

Oke, aku harus

menyadarkan diriku. Ini Richard, bukan Al.

Panggilan Lian itu,

belum ada yang memanggilku seperti itu. Mereka biasa memanggilku Lili, Ana,

atau Liana. Itu mungkin hal yang biasa, tapi terasa sangat luar biasa untukku,

karena itu Richard yang melakukan. Jika bukan, rasanya akan sangat biasa.

Kurasa aku sudah jatuh

cinta padanya. Jantungku yang selalu berdebar kencang ketika melihat senyumnya,

ketika kami mengobrol, semua yang ada pada dirinya membuatku takjub. Sepertinya

kami berbagi perasaan yang sama, kan?

**

Senin. Aku sama seperti

orang lain yang sangat tak menyukai dengan datangnya senin. Banyak rapat yang harus

kuhadiri, memeriksa berbagai laporan yang ada, lalu mengecek proses syuting

dari salah satu produk klien, dan aku yakin daftar pekerjaanku masih akan terus

bertambah. Sekretarisku belum memberikan jadwalku untuk hari ini.

“Eka, bagaimana

jadwalku hari ini?”tanyaku ketika baru saja tiba di depan ruanganku.

Eka—sekretaris andalanku—mengecek

buku catatannya. “Hari ini sedikit free,

Mbak. Rapat sama Pak Dimitri jam satu siang, setelah itu jadwal Mbak kosong.”

“Kamu serius?” tanyaku

tak percaya. Yang benar saja, sangat jarang sekali jadwalku kosong seperti ini.

“Serius, Mbak. Mungkin ada

beberapa laporan yang bakal Mbak periksa,” ucapnya tenang. Eka adalah

sekretarisku sejak pertama aku menjabat sebagai manajer. Dia cekatan, tak

banyak bicara dan bergosip seperti sekretaris lainnya, dan dia sangat memahami

keinginanku.

Well, beberapa laporan

yang ia bilang biasanya itu bisa mencapai sepuluh hingga lima belas laporan. Jadi

itu sama saja artinya jadwalku tak kosong, aku hanya akan mendekam di ruanganku

sampai jam pulang nanti. Tak buruk juga, setidaknya aku tak perlu pusing harus

keluar kantor di tengah cuaca yang terik ini.

“Oke, bawain langsung

semua laporan yang harus di periksa, ya?”

Eka hanya menganggukkan

kepalanya, dan aku langsung memasuki ruanganku. Oke, mari kita selesaikan ini. Aku

adalah pekerja keras yang sangat tahan banting, memeriksa ‘beberapa’ laporan

hanya hal kecil, aku sudah pernah menghadapi yang lebih dari ini.

Aku membuka pintu

ruanganku, dan hal yang pertama kulihat adalah Kevin. Sepertinya menjadi

Direktur itu sangat menyenangkan, karena tak perlu melakukan banyak pekerjaan

sepertiku. Wajar saja, secara tak langsung Kevin juga termasuk pemilik

perusahaan ini. Ayahnya memiliki saham di sini walaupun jumlahnya tak banyak,

dan ia adalah sepupu Al.

“Mau bertukar posisi

denganku, Vin? Sepertinya kamu tak memiliki banyak pekerjaan karena sudah

menjadi Direktur,” sapaku sembari melemparkan senyum padanya yang masih berdiri

di depan meja kerjaku.

“Apa Kak Liliana

sekarang sedang mengejekku? Kalau ya, maka aku sangat tersinggung.”

Aku hanya tertawa, lalu

segera duduk di kursi kebesaranku. Masih pukul sembilan, harusnya aku sudah

menyeduh kopiku untuk menemani pekerjaanku, tapi yang kulakukan sekarang malah

menyandarkan kepalaku ke kursi dan mulai memejamkan mata.

“Aku di jodohkan, Kak.”

Mataku langsung membuka

kembali mendengar ucapan Kevin. Menatapnya yang memang sedikit murung tapi

masih mencoba untuk memberikan senyumnya. Lagipula siapa yang akan senang di

jodohkan pada saat sekarang ini, tapi bukankah para pengusaha memang melakukan

itu demi kepentingan usaha? Aku sering membacanya di novel-novel.

“Kamu serius? Kenapa bukan

Dimitri saja yang di jodohkan? Kamu masih terlalu muda untuk menikah.”

“Ternyata pikiran kita

sama, Kak. Sebenarnya ini adalah perjodohan Dimitri, tapi dia menolak, katanya

dia sudah ada calon dan saling mencintai.”

Aku mengangkat alis

heran. Aku tak salah dengar, kan? Dimitri punya pacar, dan saling mencintai? Kami

bahkan baru kemarin bercinta dan dia sudah punya pacar. Pernyataan macam apa

itu?

“Kenapa terdengar

sangat mustahil,Vin?”

“Kak, tolong bantu aku,

aku tak ingin di jodohkan. Aku bahkan belum pernah bertemu dengan gadis yang

akan di jodohkan. Aku juga tak suka jika terikat dengan satu wanita,” ucap

Kevin memelas.

Keluarga Aldino itu

memang satu gen, jika yang satu pemain wanita, maka yang lain juga akan

mengikuti jejaknya.  Kenapa aku tak kaget

lagi mendengar pernyataan seperti itu? Dan bagaimana aku bisa membantunya? Apa aku

harus pura-pura menjadi pacarnya? Ah, aku terlalu sering membaca adegan seperti

di novel.

“Terima saja, Vin. Bisa

jadi gadis itu sangat cantik, kamu akan menyesal jika tak menerimanya. Lagipula

tak seburuk itu kalau di jodohkan,” ucapku berusaha menenangkannya.

“Tapi aku masih

menunggu Kakak menerimaku, bagaimana kalau kita pacaran saja? Kakak sudah

mengenalku cukup lama, dan aku yakin Dimitri tak akan berani mengganggu lagi

jika kita pacaran.”

Aku memutar bola

mataku, siapa yang bisa menjamin semua itu? Dengan pria lain saja Al sangat tak

menyetujuinya, apalagi dengan Kevin. Semua itu hanya akan berakhir dengan

perang dunia ketiga, dan aku hanya akan menonton semua itu sambil menikmati popcorn.

“Pak Kevin Aldino,

sepertinya Bapak harus kembali ke ruangan karena saya harus bekerja,” ucapku

sambil tersenyum.

“Setidaknya beri aku

alasan, Kak,” rengeknya.

Untung dia sangat

tampan, karena yang dia tunjukkan saat ini sangat menjijikkan. Aku akan

melemparinya dengan vas bunga jika itu bukan Kevin yang melakukan. Padahal aku

sudah sangat sering memberikan alasan itu, dan dia berkali-kali masih

memintanya lagi, berharap aku mungkin akan berubah pikiran.

“Karena kamu lebih

muda, kita satu kantor, kamu atasanku, kamu sahabatku, dan aku tak pernah

menganggapmu lebih dari seorang sahabat dan adik. Kamu ingin mendengarnya untuk

berapa kali lagi? Aku bisa mengulangnya lagi jika kamu belum puas.”

“Bagaimana dengan

Dimitri? Aku tidak bodoh, dan aku tahu apa saja yang sudah kalian lakukan,”

ucapnya sinis.

Tanganku berhenti

ketika akan menyalakan laptop. Dimitri. Kami hanya sahabat, sahabat yang

berbagi kehangatan di ranjang tepatnya. Aku terkadang tak mengerti dengan apa

yang kulakukan, dengan hubungan kami juga. Jika aku bisa melakukannya pada

Dimitri, maka harusnya aku juga bisa melakukan hal yang sama pada Kevin.

“Sudahlah, pada

akhirnya Kakak akan tetap memilih Dimitri di bnadingkan aku. Aku hanya akan

menunggu sampai kalian saling mengungkapkan.”

Kevin segera beranjak

menuju pintu, dan aku masih belum bisa berhenti memikirkan ucapannya barusan. Harusnya

aku juga memiliki jawaban itu semua untuk diriku sendiri.

**

Ini pertama kalinya aku menyapa disini. Hai, aku penulis baru di mangatoon. terima kasih sudah membaca karyaku, semoga kalian menikmatinya. Berikan vote kalau kalian memang menyukainya, dan berikan kritik jika kalian merasa ada yang kurang. Aku sangat terbuka pada kritikan yang kalian sampaikan.

Selamat membaca^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!