Setiap perjalanan memiliki batu kerikil yang menjadi saksi tersandung saat berjalan menapakinya. Begitu pula dengan hidup, tidak ada aspalnya namun berlika-liku.Hehe
Oh iya, aku adalah seorang pemuda desa yg hidupnya hampir sebagian besar ku habiskan disawah. Namun semangatku tak pernah pudar seiring dengan banyak hal yg aku butuhkan.Termasuk untuk ngerumat Mbah Kakungku.Oh ya ngerumat disini berarti merawat.
Namaku Yusuf Wicaksono, dan disini biasa dipanggil Ucup. Yah begitulah, entah kebiasaan atau bagaimana,orang desa sering memanggilku seperti itu. Aku pun tidak pernah membenarkannya, mungkin lidah mereka sudah terbiasa untuk memanggil sekenanya dan itu enak di lidah mereka.
Aku hanya hidup berdua dengan simbah ku. Orang tua ku meninggal. Beliau meninggal sesaat setelah terkena musibah bencana longsor. Beliau berada di wilayah diperantauan yang tempat tinggalnya masih banyak tebing-tebing curam. Mungkin karena hal itu Mbah melarang keras aku untuk pergi merantau.
Walaupun masih ada kerabat dekat disini, dan cucu beliau juga bukan hanya aku. Namun mereka tidak begitu dekat dengan simbah. Saat mereka datang ke rumah kami, mereka hanya sekedar berbincang sebentar. Apalagi melihat gubug kami seperti ini, mereka enggan menginap hanya sekedar untuk menemani simbah. Aku tau, rasa sayang simbah pada cucu-cucunya tidak ada yang beda. Namun rasa sayang mereka pada simbah yang kadarnya berbeda, membuat rasa nyaman itu teralih pada yang benar-benar tulus.
Kehidupanku memang layaknya mereka pada umumnya,yah walaupun disisi lain tetap ada perbedaan dalam segi ekonomi maupun pendidikan.Namun hidup siapa yang sangka, hidup penuh dengan keajaiban itu adalah suatu hal yang tidak mampu untuk kita deteksi dimasa mendatang.Dan entah kenapa hidup begitu dramatis ketika apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan apa yang kita ekspektasikan.
Mungkin hanya ada sedikit perbedaan tentang kepribadianku.Aku tidak banyak bicara jika dengan lawan jenis, dan entah kenapa gusti Pengeran memberikanku kelebihan yang aku sendiri tidak tau datangnya.
Mimpi yang tidak pernah aku sadari. Mimpi yang menjadi sebuah petunjuk, gusti menganugerahiku mimpi yang sangat ajaib. Walau kadang aku bingung sendiri, apa maksud dari mimpi-mimpi tersebut, dan harus memecahkan teka-teki itu sendiri. Atau bahkan menemui kejadian yang serupa dikehidupan nyata.
Mungkin karena garis keturunan.Karena setahuku Simbah bisa dibilang orang ampuh kalau orang Jawa bilang.
Akan ku ceritakan semua kisah ini dari awal hingga sampai penghujung.
Dari sinilah kisah itu berawal dan terjadi ditahun 2000.
...**************...
Hari ini matahari begitu terik,aku dan beberapa warga yg bekerja sebagai petani ataupun kuli cangkul,bekerja dengan riang dihiasi dengan candaan.
Sejenak aku minggir ke tepian sawah dengan tekstur tanah yg lembab namun masih bisa untuk diduduki.Disitu sudah lengkap dengan cerek beserta gelasnya.Pun juga dengan tempe goreng.Aku menuang sedikit air putih untuk menghilangkan dahagaku.
"Gimana Kang.. garapan sawahmu sudah selesai belum?"Tanya Rohim kepada Kang Parman.
"Belum Him.. lanjut besok lagi saja, lagian ini sudah mulai sore," sahut Kang Parman.
Menjelang sore satu persatu dari mereka, kang Parman, Rohim dan Ghofar lebih dulu berpamitan pada kami.
"Mbah,Cup,kami duluan ya.."
"Iya..monggo," kami menjawab dengan nada yg serentak.
Sore itu kami masih menikmati suasana sebelum senja datang bersama kumandang adzan. Masih duduk-duduk bersama Simbah dipinggiran sawah yang padinya sudah dipanen.
Aku terdiam sejenak tanpa sepatah katapun. Kala itu hatiku benar-benar sedang kalut. Segala sesuatu yang ku rencanakan entah kenapa hilang begitu saja.
"Mbah.. jenengan sudah se renta ini kenapa masih saja kuat dan kukuh untuk melakukan pekerjaan disawah. Ini kan pekerjaan yg berat?" Tanyaku pada simbah.
"Le.. Simbah itu sudah tua, dulu juga punya mimpi juga cita-cita. Sekarang mau apalagi mosok iya Simbah suruh jungkir jempalik kerja jadi buruh pabrik." Jawaban Simbahku mulai agak nyleneh.
"Ya bukan begitu Mbah, aku malu dengan usiaku yang masih muda,belum mampu untuk memberikan sesuatu yang berarti untuk Simbah. Aku ingin sepertimu Mbah, " Mataku mulai berkaca-kaca.
"Le,dadiyo awak lan pribadimu sendiri, karena apa,didalam aliran darah setiap manusia, mengalir pula takdir yg membawa ke arah manapun yg ia mau.Jadilah dirimu sendiri, karena baik buruknya yg keluar dari dirimu itulah hasil olah hati dan pikiranmu sendiri. Kamu tidak perlu memikirkan hasil,itu bukan wilayahmu Le.Sing tenang atimu!"
akupun terdiam untuk beberapa saat.
Dadiyo dalam bahasa Indonesia memiliki makna "jadilah".
Begitulah percakapan ku disaat senja menyelimuti, dan mataku mulai terpana dengan suguhan alam diwaktu maghrib. Sembari ku bersihkan sisa-sisa bercak lumpur yg masih melekat. Dan sayup-sayup mulai terdengar adzan maghrib berkumandang.
"Ayo Le, balik sekarang. Mandilah sesegera mungkin sebelum iqomah berkumandang!"
"Iya Mbah..." Singkat saja jawabku.
Tanpa basa basi ku guyur seluruh badanku yg sedari siang menjelang sore tadi sudah seperti mandi keringat.Cangkul yang ku letakkan didekat sumber air kecil yg mengalir seperti selokan,kini ku raih dan mulai ku langkahkan kaki bersama langkah beliau yg lebih dulu.
Beliau sering dijuluki sesepuh desa. Bagaimana tidak, segala sejarah beliau mengalami. Dari penjajahan, masa PKI hingga masa orde baru berlangsung ditanah Indonesia tercinta ini, beliau merasakan pahitnya hidup. Melihat darah yang mengucur dari tubuh para pejuang yang menjadi saksi, atas kemerdekaan bangsa ini. Getirnya ditinggal pergi oleh orang tuanya yang menjadi korban kekejian tentara Belanda.
Banyak orang yang datang pada mbahku untuk meminta tolong ketika memiliki hajat. Mereka sering meminta untuk dicarikan hari baik. Maklum didesa kami masih lekat dengan tradisi dan budaya Jawanya. Atau bahkan orang yang terkena santet, pernah juga datang ke rumah kami.
Tapi Simbahku bukan dukun lho ya. Beliau sering sekali sowan pada Kiyai sepuh di Magelang yang menjadi salah satu ujung tombak dari ribuan bahkan jutaan orang yang meginginkan negeri ini merdeka.
Oh iya, Mbahku bernama Sukiadi.Sapaan akrabnya Mbah Suki. Beliau pribadi yang kuat sekali tirakatnya. Entah ilmu apa yang dimiliki oleh beliau. Tetapi beliau selalu mengatakan ini padaku. "Le, gakpopo Simbah wae sing ngrasakke rekoso lan prihatin. Mugo suk anak putuku mulyo kabeh dunyo akhirat." Begitu kiranya kata simbah yang artinya "Le, tidak apa-apa Simbah saja yang merasakan susah dan prihatin. Semoga kelak anak cucuku mulia semua dunia akhirat."
Terkadang aku merasa merinding dan takut, disaat melihat simbah berbicara sendiri. Atau saat bersila, memejamkan mata tidak bergerak sama sekali, aku melihat sukma beliau sedang kelua, dan berada di alam lain. Menghilang begitu saja. Apa iya itu yang dinamakan ilmu ngerogoh sukmo? Sebenarnya untuk apa? Tetapi aku tidak menyangkalnya, jika orang jaman dahulu memang banyak yang sakti sampai dibacok aja nggak mempan. Kuat tirakatnya, kuat puasanya, dan masih banyak hal untuk menuju pendekatan pada gusti.
Dusun yang kami tinggali bernama Dusun Lembang. Sebagian besar orang disini memang sebagai petani dan juga buruh. Sedikit orang yg mau merantau jauh meninggalkan tanah kelahirannya.
Disudut dusun dekat dengan pemancingan, terdapat warung kopi yg sangat legendaris, yaitu warung Mbok Inah.Warung favorit ngopinya para warga disini.Tempat Mbok Inah nyaris tidak pernah sepi,karena setiap hari ada saja yang memancing ditempat pemancingan tersebut,seperti tak mengenal waktu.Karena tempat tersebut buka 24jam.
Hari itu aku benar-benar sedang kacau, hati beserta pikiranku melayang-layang entah kemana. Bagaimana tidak, upahku menjadi seorang kuli cangkul disawah tidak mencukupi untuk menghidupi diriku sendiri beserta simbah yg sudah mulai renta dan mulai sakit-sakitan. Bagaimanapun juga aku harus bertanggung jawab atas semuanya.Kasian jika mbahku harus ke sawah setiap hari. Di usianya yang sekarang, seharusnya memang beliau sudah tidak bekerja,istirahat dirumah dan fokus untuk beribadah.
Sambil ku sruput kopi hitam yg sudah ada didepan mata.
"Ssrrrppp.. Ahhh.. Hmm.. Memang ngopi bisa buat aku agak rileks." Gumamku.
Tiba-tiba.. Plaakk.. Aku sedikit kaget karena dengan sengaja ada orang yg menepuk punggungku dari belakang.
"Haiii Cup..." Sapa seorang pemuda yang tidak asing lagi.
Aku pun membalikkan badanku,dan dia ternyata teman lamaku saat masih duduk dibangku SMP. Maklum pekerjaanku saat ini memang karena mencari pekerjaan selain buruh bangunan atau kuli cangkul dengan ijazah SD sangatlah susah.Melamar kerja dipabrik dengan ijazah SD harus ada orang dalam yang membawakan surat lamaran,jika ingin diterima.Alhasil aku lebih memilih pekerjaanku saat ini.
"Oh ..Eh iya.. Oh kamu Ton.. Kapan balik Ton?" tanyaku dengan nada yg masih agak bingung.
"Baru kemarin aku balik Cup.. Kangen simbokku. Bagaimana kabar Mbah Suki?"
Dia memang lama merantau dan tidak pulang. Jadi lama kami mengobrol di warung Mbok Inah.
"Alkhamdulillah Ton baik-baik saja,yah walaupun kondisinya sudah tidak seperti dulu.Doakan saja mbah sehat selalu.aamiin.."
"Oh yha wis syukur... Lha awakmu saiki kerja mring ngendi cup?" khas logat Jawa Anton pun kini terdengar memulai obrolan mereka.
"Aku di sawah bae Ton, mbantu Mbahku yg sudah sepuh, kasihan," imbuhku pada Anton.
"Seandainya saja Cup kau mau ikut aku ke kota, pasti sekarang hidupmu tidak susah seperti ini. Dan sudah punya kerjaan tetap. Ikut aja sama aku, uangnya banyak Cup sebulan bisa dapet 10 juta, tanpa harus kerja keras. Cukup duduk-duduk dan melayani orang yang datang." Anton berbisik dan menawarkan untuk ikut bersamanya ke kota dengan iming-iming gaji yang besar dengan tenaga yang minim.
"Ah tidak Ton,aku disini saja. Aku tidak tega jika harus meninggalkan beliau sendiri disini. Lagian kerjaan apa itu, dapat 10 juta perbulan." Aku merasa kerjaan itu tidak beres.
"Bener Ucup iku Ton, sakno mbah e, sapa sing meh ngerumat?" Mbok Inah ikut nylonong. Maknanya siapa nanti yang akan merawat Mbah.
"Kau kan bisa membawa simbahmu itu ikut juga ke kota." Imbuhnya seraya menghela nafas karena Ucup begitu susah untuk dibujuk. Apalagi Mbok Inah juga ikut-ikutan membelanya.Dia memang pribadi yg teguh akan pendirian.
"Ah tidak Ton, Mbahku tidak akan pernah mau untuk meninggalkan tanah kelahirannya.Tanah dimana pengabdian serta di sisa usianya kini, pasti jiwa raga beliau hanya ingin untuk mengabdi ditanah kelahiran tercintanya ini."
"Ah dasar kau Cup, kau tidak mau hidupmu maju. Cuman gitu-gitu aja, pergi kesawah dengan pakaian yang lusuh dan bau. Lagian gajinya juga nggak seberapa kan?" Lama-lama Anton seperti menghina.
"Gak papa Ton, sing penting berkah." Singkat saja jawabku.
Anton pun tertunduk diam dan tak mampu untuk menjawab lagi. Mereka masih sibuk menyantap mie didepannya, dan menghabiskan kopi yang sedari tadi menjadi dingin.
Ternyata Mbok Inah lamat-lamat mendengar perbincangan kami. Beliau ikut menimpali percakapan kami yang kala itu hampir memanas.
"Wis wis.. Kabeh iku duwe dalane dewe-dewe. Sing akih duite rung mesti ayem uripe, sing ra nde duit rung mesti soro uripe!"
Yang artinya 'Semua itu punya jalannya masing-masing. Yang banyak uangnya belum tentu tentram hidupnya, yang nggak punya uang belum tentu sengsara hidupnya.' Peribahasa yang sangat bijak untuk menengahi percakapan mereka.
Anton hanya terdiam dan melirik ke arah Mbok Inah. Ia merasa dirinya sedang dipojokkan.
'Apa maksudnya, dia pikir hidupku ini nggak tentram? Dasar orang tua suka ikut-ikutan urusan orang!" Batin Anton geram terhadap nasihat Mbok Inah yang sebenarnya ya memang benar.
"Lagian kamu itu kerja apa Ton, sebulan 10 juta itu banyak sekali." Mbok Inah penasaran sekali.
"Adalah pokoknya Mbok Nah, nggak perlu tau!" Anton mulai nyolot. Ia mulai terusik dengan pertanyaan Mbok Inah.
"Nggak jelas sekali kau Ton." Aku ikut menimpali percakapan mereka.
"Ah sudah-sudah, aku jadi nggak selera makan. Jadi berapa semuanya sama punya dia?" Nadanya sangat angkuh sekali.
"Sudah tidak perlu, aku bisa bayar sendiri," sahutku.
"Udah nggak punya songong banget kau Cup." Dia mulai emosi. Tapi sebisa mungkin aku bersikap biasa saja.
"Sudah, jadi punyamu habis 15ribu Ton." Sahut Mbok Inah.
"Ini uangnya, ambil aja kembaliannya." Anton menyodorkan uang 50ribu. Lalu ia pergi begitu saja tanpa sepatah katapun.
"Sombong sekali dia." Mbok Nah melirik sinis ke arah Anton yang sudah melangkahkan kakinya pergi dari warungnya itu.
"Sudah Mbok Nah, tidak perlu dimasukkan ke hati. Kita yang ngalah aja. Dia kan lagi di uji." Sahutku mencairkan suasana yang tadinya memanas.
"Iya Cup. Loh tapi kok di uji?" Tanya Mbok Nah keheranan.
"Ujian kan bukan hanya hal yang menyakitkan. Justru ujian yang berat saat kita diberi kesenangan Mbok Nah." Jelasku pada Mbok Nah.
Aku hanya menjelaskan apa yang ditanyakan Mbok Inah terhadapku, dan tidak ada maksud untuk menggurui.
"Iya juga ya Cup, kebanyakan lupa kalo pas dikasih seneng-seneng. Apalagi duitnya banyak." Celoteh Mbok Nah.
"Udah Mbok Nah, nggak usah pusing-pusing. Biar itu jadi urusan dia."
"Hehe iya Cup.." Mbok Inah malah cengengas cengenges.
Aku paham, perempuan memang suka kebablasan kalau sudah asik ngobrol. Jadi pintar-pintar saja bagaimana kita ngerem saat jadi lawan bicaranya.
"Aku tidak menyangka Anton akan berubah seperti ini. Padahal dulu sebelum ke kota dia tidak sombong seperti itu. Dia pribadi yang supel dan 'entengan' kalau orang Jawa bilang. Dunia.. Oh dunia.. Kau memang pintar membuat manusia berubah kapan saja. Duhh gusti.. aku tidak mau seperti itu. Semoga pekerjaannya itu bukan hal yang menyeleweng." Gumamku dalam hati.
Anton juga termasuk teman seperjuanganku. Bagiku dia tetap teman walau lama tak jumpa nan jauh diperantauan sana. Doa ku akan selalu ada untuknya.
"Dulu ketika meminta berkah, ia memelas. Kini ia bak lupa pada mulanya. Semoga takdir baik selalu mengitarinya. Semoga gusti memberinya jalan yang terbaik."
Langkahku kini mulai meninggalkan warung Mbok Inah. Warung legendaris yang menampung banyak kenangan juga berbagai cerita itu.
Bayang-bayang dimasa lampau masih saja menghantui bersamaan dengan waktu yg terus bergulir. Terbayang bagaimana dulu ditinggal Simbok beserta Bapakku merantau dan kini beliau malah sudah pergi selama-lamanya mendahului kami.
Malam itu aku pergi untuk mengikuti ronda malam dikampung ku. Di pos ronda ternyata mereka sudah menunggu. Sudah ada Ghofar, Pak Harun, Mbah Sidi, dan Kholil. Malam itu seperti biasa kami berlima sudah disuguhi cerek berisi kopi hitam yg aromanya begitu menggoda dan berbagai camilan.Bagaimana tidak jika waktu semakin larut dan hawa yang sudah mulai terasa menusuk tulang,kopi lah salah satu untuk menunda rasa kantuk. Yah.. walaupun kadang tidak ada efek sama sekali, kalau ngantuk yha ngantuk saja walau sudah ngopi. Memang dasarnya ngantukan.
"Oh ya kang, malam ini kok terasa beda sekali ya?" Gumam Kholil seraya ia menengok ke Ghofur.
"Lha beda gimana sih Lil?" Aku og biasa wae.
"Halah.. Wis to itu hanya perasaanmu saja Lil." Mbah Sidi nyelonong menjawab dengan nada menenangkan.
Aku hanya diam seribu bahasa,masih terlintas dengan penawaran Anton untuk pergi ke kota.
"Welahhh Cup.. Kenopo kok kamu ngalamun nggak biasanya?" Pertanyaan Pak Harun membangunkanku dari pikiran dan lamunan yg sedari tadi berputar-putar saja didalam otakku.
"Ah tidak apa Pak Har.. Aku hanya sedang berpikir tentang sesuatu saja." Jawabku tenang.
"Oh ya sudah, jangan ngelamun nanti kesambet .." Celoteh Pak Harun kembali menimpaliku.
"Iya Pak Har.. Oh iya tapi bener juga kata Kholil, malam ini emang agak beda. Dusun kita berasa sepi, yang biasanya jam segini masih pada tongkrong, nggak ada sama sekali warga yang ada diluar kecuali kita yang dapat jatah ronda". Aku pun mengalihkan pembicaraan.
Dan malam itu sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB.
Malam itu memang sunyi, hanya terdengar nyaring suara jangkrik.Aku sebenarnya agak merinding. Tapi aku mencoba untuk tetep terlihat tenang. Karena hawa-hawa seperti ini memang menjadi tanda-tanda.
"Ah opo sih Cup, gak usah nakut-nakutin gitu." Celoteh Ghofar seraya melirik ke aku.
Ia memang agak penakut orangnya. Sebenarnya punggungku mulai bergidik. Dengan keadaan badanku yg sebenarnya malam itu kurang fit. Aku putuskan untuk tidak ikut keliling bersama mereka.
"Ah sudahlah sana ikut keliling aja Far! Lagian kalau kau yang disini sendirian pasti takut. Nanti ngompol aku nggak bawa pempers. Haha.." Ejekku dengan gelak tawa penuh kemenangan.
"Asem kamu Cup.. Awas nanti ya, tak undang lelembut kesini biar kau tau rasa Cup." Balas Ghofar.
"Lah ngundang piye Far, awakmu wae wedi. Nek lelembute teko mesti goleki ne kowe Far. Hahaha.." (Lah manggil gimana Far kau aja takut. Kalau lelembutnya datang pasti nyanrinya kamu Far) Aku terbahak-bahak melihat Ghofar terlihat semakin kesal.
"Sudah-sudah, sekarang keliling ngronda wae daripada gak jelas gitu". Ajak Mbah Sidi.
"Aku disini aja Mbah, badanku kok sedang nggak enak buat keliling, aku jaga di pos sini aja Mbah". Sambil ku sruput kopi didepanku.
"Yho wis Cup, kita keliling dulu, kamu hati-hati disini sendiri ya, jangan lupa beli pempers, kalau kunti datang kamu nggak perlu repot-repot ke semak-semak. Haha.."
Gelak tawa mereka membuatku masih kuat untuk tetap di pos ronda malam itu.
"Haha.. Ah Pak Har jangan gitu, nanti tak kenalke sampean, sampean takut."
Hahaha..
Mereka tertawa bersama-sama sampai suara mereka lirih riuh hilang bersama kabut malam yg sudah mulai turun.
Dan aku mulai merasakan hawa-hawa dingin yg membuatku tak kuasa menahan kantuk. Aku memang dikenal sebagai sosok pribadi yg berani dengan hal-hal gaib. Jadi sendirian itu bukan menjadi masalah.Hmm agak sombong ya.
Malam itu tak terasa mataku mulai berasa berat, dan akupun tertidur. Entah kenapa malam itu aku begitu pulas tertidur dipos ronda. Mungkin karena badan sedang tidak fit dan kecapekan karena seharian sudah berada disawah.
Tak lama kemudian, muncul seperti lorong berkabut putih. Ya.. Ternyata aku sedang berada dialam mimpi. Semua begitu nyata, ditemui oleh sosok yg sudah tidak asing bagiku.
"Le, yen awakmu pingin selamet, ojo lungo!"
Ternyata sosok almarhum Bapak yg menemuiku dalam mimpi itu. Beliau sambil tersenyum dan memberi isyarat entah apa aku tidak begitu paham. Hanya kata-kata itu yg muncul sebagai pesan dari almarhum Bapakku lewat mimpi tersebut.
Lama setelah aku tertidur pulas, sekitar satu jam berlalu mereka sudah kembali dari keliling dusun kami.
"Cup.. Bangun Cup, ternyata malah tidur". Sambil menggoyang-goyangkan badan, Kholil membangunkanku.
Akupun kaget dibuatnya, ia membangunkanku dari mimpi itu. Aku masih malas untuk membuka mataku.Tetapi mereka semua sudah kembali.
"Hahh hmm.. Iya aku tertidur Lil" Jawabku seraya mengelus-elus mataku yg baru saja terbuka.
"Gimana Cup.. Ketemu sama kunti nggak?"
"Haha ah Pak Har baru aja aku bangun sudah diledek." Jawabku sambil ku tuang lagi kopi hitam ke dalam gelas kecil didepanku.
"Wiihh.. A**mbleg men turumu Cup". Mbah Sidi seakan ikut meledekku. Kalau dalam bahasa Indonesia Wihhh .. Pulas sekali tidurmu.
"Iya mbah, kalau nggak tidur, nanti semua makanan habis tak makan sendiri, gimana???"
"Yo wis bener ngono wae Cup." Ghofar ikut-ikutan nyeloteh. Kalau dalam bahasa Indonesia ya sudah benar gitu aja. Mereka tertawa bersama, bersamaan dengan malam yg sudah mulai larut.
Mereka masih asik ngobrol seputar malam yg begitu dingin dan sepi sunyi. Dan aku pun masih dengan pikiranku yang mulai mengingat-ingat lagi mimpi yg tadi jelas bahwa almarhum Bapakku menyuruhku untuk berhati-hati.
'Tapi apa ya maksud dari mimpi itu?' Gumamku dalam hati.
Malam semakin larut, waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Kabut pun samakin tebal, dan kami semua sudah merasa kedinginan. Maklum dusun kami memang termasuk dataran tinggi, jadi musim kemarau tiba ya malam terasa sangat dingin seperti di kutub.
Satu persatu dari kami pamit pulang. Pak Harun bersama Mbah Sidi mereka pulang bersama karena searah. Dan kami bertiga Kholil, Ghofar pulang bersamaku karena rumah kami juga searah.
"Cup.. Kamu merinding nggak sih?" Tanya Ghofar dengan nada agak takut. Dia memang agak penakut orangnya.
"Ah enggak.. Aku biasa aja Far.." Sebenarnya merinding. Tapi aku bilang saja tidak, daripada mereka berdua jadi parno.
Sambil berjalan kami mengobrol seputar sepak bola Piala Dunia. Kami begitu asik. Sampai tiba melewati semak belukar, punggungku mulai bergidik. Batinku, "Ini pasti akan ada sesuatu yang tidak beres."
Dan benar saja baru sampai setengah perjalanan dari semak belukar terdengar suara.
"Krreekkkk... "
Maklum kami pulang memang lewat jalan pintas agar cepat sampai rumah. Jadi ya minim penerangan.
"Apa itu Far..?" Tanya Kholil sambil menengok ke arah kanan disebelahku, mulai panik dia berjalan agak cepat.
"Gak tau aku Lil.. " Jawab Ghofar lirih dan sekenanya. Sambil ia melirik ke arah Kholil. Melihat ke kanan kiri sambil mencari-cari sebenarnya berupa apa sumber suara itu.
Mereka sudah panik. Aku hanya diam dan terus berjalan.
Dan tiba-tiba....
"Aaaaaaaa......... apa ituuuu." Ghofar menjerit kencang, saking paniknya dia lari sambil menarik celana Kholil. Alhasil celana Kholil melorot. Ghofar berlari kencang sampai terbirit-birit.
"Woyyy.. Asem kau Far,.celanaku melorot.. " Sambil membenarkan celananya dia menengok ke arah dimana tadi Ghofar terlihat panik takut dan akhirnya kabur duluan.
"Ada apa sih? Hmm, gitu aja takut.."
Dan benar saja, lima langkah kedepan, ia pun menengok.
" Cup.. Apa itu Cup? Pocc... poccc... "
Seketika ia menjadi gagap.
"Apa sih Lil??? " Jawabku dengan santai.
Tiba-tiba Kholil ikut lari.
Broookkkk...
"Auuuuu... Sial sekali aku malam ini, sudah jatuh bau apalagi ini?" Ia menggerutu sendirian.
Ternyata bau itu berasal dari kotoroan kambing.
Lagi-lagi aku sebenarnya ingin tertawa, tetapi kasihan mereka. Haha.
Kami melewati jalan yg masih banyak rumput liar, dan disitu terkadang ada warga yg mengangon kambingnya.
"Kau kenapa Lil? Kau baik-baik saja kan?" Dari jauh ku tanya kenapa si Kholil.
"Tidak Cup.. Aku tidak apa-apa. Aku duluan ya" Teriaknya sambil nafasnya terengah-engah.
Setelah mereka tak terlihat aku mulai sendirian. Ternyata benar kan, sesosok seperti permen sugus berwarna putih itu muncul tiba-tiba. Merinding bercampur dingin, aku melihat ke arah pocong itu berada. Lama-lama pocong itu menghilang. Aku pun mempercepat juga langkahku agar cepat sampai rumah.
...*********...
Warung Mbok Inah
Pagi harinya, Kholil meluncur menuju warung Mbok Nah yang legendaris itu.Pukul 09.00 dia sudah tongkrong ditempat itu.
"Mbok Nah kopi satu ya, sama mie spesial buat aku." Pinta Kholil.
"Iya, sebentar.." Sambil menata-nata Mbok Nah dengan sigap membuatkan pesanan Kholil.
Kebetulan dia adalah pelanggan pertama yang datang kesitu.Biasanya warung mulai ramai jam 10.Jadi masih lengang dan leluasa.
"Mbok Nah, katanya ada Gadis cantik di dusun sebelah.Aku dengar-dengar baru ramai diperbincangkan." Kholil membuka pembicaraan.
"Iyaa memangnya kenapa, jangan ngimpi Lil mau mendapatkan gadis itu." Mbok Nah meledek.
"Lah kenapa Mbok Nah??? Sepertinya banyak kok dari kalangan mana aja yang ingin memilikinya. Kan optimis Mbok Nah..Hehe" Kholil sambil cengengas cengenges.
"Lah dia keturunan darah biru, korelasinya banyak Lil. Ngimpinya jangan kejauhan. Dan kau kan tidak tau latar belakang keluarganya bagaimana." Sambil melirik ke arah Kholil.
"Ah Mbok Nah payah bukannya nyemangatin. Memangnya dia sebenarnya seperti apa Mbok Nah?" Kholil mulai penasaran.
"Ah sudahlah, kamu tidak perlu tahu Lil!"
"Yahhh.. Nggak asik banget Mbok Nah, masak nggak mau kasih tahu." Kholil cemberut.
"Haha biarin, biar kau ngimpinya nggak kejauhan Lil, yang deket-deket aja." Mbok Nah tertawa penuh kemenangan.
'Ah sudahlah, Mbok Nah kan penjual, bertemu orang banyak, mungkin dapat informasi dari orang-orang yang tahu persis bagaimana latar belakang gadis itu. Hmm aku jadi sangat penasaran.' Gumam Kholil dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, warung itu ramai pembeli. Sampai-sampai beliau terlihat kerepotan.
Yang tadinya masih lengang, kini menjadi riuh. Sambil menunggu pesanan ada yang baca koran, ada yang sambil merokok. Dan ada juga yang sambil ngobrol.
"Eh katanya ada gadis cantik didusun sebelah?" Tanya bapak-bapak berbaju merah pada laki-laki muda berbaju biru.
"Iya, katanya orangnya putih, bening, tinggi, pinter lagi."
"Sikat aja...Haha." Kata bapak itu sambil tertawa.
"Nah kan.. Tuh kan.. Mbok Nah dengar sendiri kan? Ahihi.." Ledek Kholil.
"Iiihhh.. sama aja, ngimpi jangan ketinggian." Mbok Nah hanya melirik.
Saat semakin ramai dan mulai kewalahan, datang seorang gadis berparas manis, tingginya sekitar 160cm. Rambutnya lurus tergerai indah.
"Mbok, aku bantuin ya.." Gadis itu menawarkan bantuan.
"Oalah kamu Nduk, pas sekali, Simbok kewalah, sini Nduk bantuin."
"Mbok Nah itu anaknya ya??? Emm cantik juga ya." Sahut Kholil sambil melirik genit.
"Awass ya kau macam-macam, jangan godain anakku!" Mbok Nah jadi melotot ke arah Kholil.
"Haha ah baru aja tanya udah dimarahin sih. Mbak namanya siapa???" Bertanya dengan nada genitnya.
"Hussssttt.. Sudah jangan dijawab nduk! Biarin aja."
"Gimana kalau anaknya Mbok Nah aja yang tak jadiin istri? Haha.." Kholil terkekeh-kekeh.
"Idiiihhhh... Ogah.." Jawab Mbok Nah singkat.
"Yeee Mbok Nah gini-gini aku pegawai tetap dikelurahan lho. Hmm.." Mulai menyombongkan diri dia. Hihi.
Sedangkan anak Mbok Nah hanya diam seribu bahasa sambil meladeni pesanan pembeli dan sesekali tersenyum kecil. Lesung pipinya, aduhai membuatnya terlihat sangat manis.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!