Lalu lintas di Pasar Rebo malam ini cukup padat padahal sudah lewat jam pulang kerja. Para penumpang mikrolet bernomor 19 sudah mulai turun dan menyisakan sepasang kekasih yang masih saling berbicara. Lelaki berkemeja biru muda itu menatap tajam perempuan berjilbab biru tua yang serasi dengan celana jeansnya.
“Vir, Abang sudah yakin mau nikah sama kamu. Tapi, kamu harus lulus kuliah dulu ya!” ucap Kosa, lelaki berkulit putih bersih.
Perempuan itu diam saja sementara Kosa terus bicara mengenai keinginannya menikah. Dalam hatinya bergumul banyak pernyataan yang tak terlontarkan.
Duuh, koq yah ngajak nikah di angkot sih? Sama sekali tidak romantis. Dirinya membayangkan adegan film dimana si lelaki berlutut dengan menyodorkan cincin berlian dan seikat mawar merah di restoran mewah yang diiringi gesekan biola. Aaaah, mimpi!
Vira menatap Kosa dalam diamnya. Sepertinya Kosa yakin bahwa Vira akan menerima permintaan nikahnya. Ya sudahlah, pikirnya. Biarkan saja Kosa bicara panjang lebar.
Ketika Kosa membicarakan tentang lulus kuliah, Vira jadi memikirkan proposal skripsinya yang dikembalikan oleh Pak Irsyam, dosen pembimbingnya. Semua lembar dalam proposalnya penuh dengan catatan. Teorinya tidak tepat dan Pak Irsyam meminta Vira untuk membaca salah satu buku teori tentang relasi sipil militer terbitan asing yang dia tahu akan susah mencarinya.
Tetiba suara supir mikrolet memecah pembicaraan sepihak ini. “Maaf ya Mbak dan Mas, turun di sini saja! Saya mau putar balik soalnya depan macet banget”, ucap Pak Supir.
Bergegas Kosa dan Vira turun dari mikrolet dan berjalan menuju sisi jalan di seberangnya. Menunggu Bis Kota menuju Bekasi yang relatif lebih sedikit daripada di pertigaan tempat biasanya. Sesekali Kosa membicarakan rencana yang tadi disampaikan dan sesekali pula ditimpali Vira dengan kalimat singkat atau senyuman. Malam yang panjang.
_____________________
Flashback
Elvira Kinanti
Sudah lebih dari satu tahun tahun Vira dan Kosa menjalin cinta. Kosa adalah senior satu tahun di jurusannya, Fakultas ISIP salah satu Universitas milik pemerintah di Depok.
Sebenarnya usia Kosa dan Vira terpaut tiga tahun namun Kosa baru masuk kuliah di kampus berlogo makara jingga saat tahun ketiga setelah dua tahun sebelumnya menjadi mahasiswa Universitas Negeri di Yogyakarta. Meskipun senior dan yunior, mereka baru dekat di tahun ketiga Vira kuliah, saat Vira dan Kosa mengambil mata kuliah yang sama, Politik di Timur Tengah.
Teringat pertama kali interaksi awalnya bersama Kosa. “Vir, boleh bicara sebentar?"
Tetiba Kosa menghampiri Vira yang sedang membereskan buku-buku kuliahnya. Vira dan kelompoknya baru saja menyelesaikan presentasinya yang juga menandakan kuliah berakhir.
“Oh iya, ada apa Kak?” tanya Vira.
Ada perasaan terkejut karena baru pertama kali ini Kosa mengajaknya bicara. Biasanya Vira hanya melihat teman-temannya mengobrol dengan seniornya ini perihal tugas atau penelitiannya. Dirinya sendiri hanyalah tipe mahasiswa yang hanya pergi ke kampus untuk kuliah dan bukan lainnya.
“Teori elit Mosca yang tadi dipakai untuk menganalisis Partai Ba’ath era Saddam Hussein di Irak kurang pas, karena kajiannya tidak struktural hirarkis,” jelas Kosa dengan nada lembut tanpa menggurui.
“Oh gitu ya Kak? Kenapa tadi gak sekalian ditanya pas lagi presentasi Kak?” Tanya Vira sambil menatap Kosa dengan agak sungkan.
“Lebih enak langsung sama lo kayak gini, sahut Kosa sambil tersenyum. Sukses ya nanti perbaikannya!”
Vira tersenyum setelah mengucapkan terima kasih atas masukan yang diberikan Kosa. Dalam hati Vira merasa aneh, tidak mengerti mengapa seniornya ini harus menjelaskan teorinya padahal selama presentasi tadi, dosennya pun tidak ada keluhan terhadap makalah kelompoknya.
Ah, sudahlah. Nanti saja dibahasnya, perutnya yang lapar dan rasa capek setelah presentasi menderanya membuat dirinya tidak terlalu berminat mendengarkan penjelasan Kosa. Sudah dua hari ini Vira kurang tidur karena sibuk mempersiapkan makalahnya. Dua teman lainnya tidak terlalu banyak membantu dan dirinya hanya pasrah, tidak banyak berharap.
______________________________
Kosara Dwinanta
Ini adalah tahun keempat dirinya kuliah di salah satu Universitas ternama di Ibukota. Hari-harinya tidak banyak berubah. Selain mengambil seminar pilihan masalah untuk menentukan topik skripsinya, dirinya hanya mengambil beberapa mata kuliah pilihan saja hanya untuk sekedar memenuhi kredit sks yang kurang. Tidak terlalu banyak.
Semester depan dirinya akan fokus dengan skripsi saja. Namun, ada dua mata kuliah yang diasisteninya tapi membutuhkan perhatian yang cukup karena dosen pengampunya terlalu sibuk bekerja di luar kampus. Sepertinya lebih dari separuh semester justru dirinya yang mengajar dibandingkan dosennya. Dan ada beberapa penelitian berjalan di Pusat Kajian yang meminta dirinya sebagai koordinator lapangan di beberapa daerah seperti Serang, Bogor, dan Bekasi tapi itu tidak intensif, hanya diminta membantu saja oleh peneliti utama.
Hari ini ada mata kuliah Politik di Timur Tengah, salah satu mata kuliah pilihan untuk memenuhi kredit sks yang kurang.
Awalnya dia mencari mata kuliah pilihan yang sekiranya cocok dengan topik skripsinya yang fokus pada politik Indonesia. Ternyata semua mata kuliah internal sudah diambilnya. Mau mengambil mata kuliah antar fakultas sepertinya agak merepotkan karena administrasinya harus diurus dirinya sendiri. Membayangkan bolak-balik antar fakultas sepertinya hanya membuang waktu. Akhirnya dirinya memilih mata kuliah politik di luar negara Indonesia.
Mata kuliah Politik di Timur Tengah lumayan menarik. Ada beberapa negara yang dibahas dan presentasi kelompok mingguan. Dosen pengajarnya masih muda, senior lima tahun di atasnya, karenanya minta dipanggil dengan panggilan Mas Syahran saja. Beliau juga aktif di Pusat Kajian.
Kosa merasa, dirinya tidak terlalu susah untuk mempelajari mata kuliah ini. Setelah memperhatikan sekelilingnya, sepertinya hanya dirinya senior yang masuk di mata kuliah ini. Mahasiswa lain ternyata juniornya di peminatan yang berbeda.
Kosa melihat bahwa dirinya mengenali sebagian besar peserta mata kuliah ini khususnya yang perempuan. Beberapa di antaranya seringkali meminta bantuan dirinya untuk memilih teori yang tepat untuk makalah presentasi atau tugas. Beberapa mahasiswa lelaki juga sering ia ajak untuk ikut dalam penelitian.
Kali ini kelompok yang maju presentasi ada tiga mahasiswa, dua perempuan dan satu lelaki. Kosa hanya mengenali salah satu perempuan yaitu Santi, karena sering ngobrol dengannya. Perempuan yang satunya pasti bernama Elvira. Kosa menyadari bahwa dirinya baru kali ini mengenal perempuan itu.
Ketika presentasi, terlihat Vira mendominasi arah diskusi, hampir semua pertanyaan sebagian besar dijawab oleh Vira. Kosa menduga bahwa makalah presentasinya ini dibuat oleh Vira dan dua mahasiswa lainnya hanya sedikit berkontribusi.
Semua orang tampak puas dengan presentasi kelompok ini namun hanya Kosa yang menyadari bahwa teori yang digunakan tidak sesuai. Ingin rasanya bertanya tapi sepertinya ini akan mengurangi rona kepuasan yang muncul di wajah para pemakalah. Akhirnya diputuskan nanti saja bicara langsung secara personal setelah kuliah berakhir.
“Vir, boleh bicara sebentar?"
Kosa menghampiri Vira yang sedang membereskan buku-buku kuliahnya. Mahasiswa lain sudah berhamburan keluar kelas..
“Oh iya, ada apa Kak?” tanya Vira.
Wajah Vira menunjukkan raut wajah sedikit terkejut. Tidak ada senyum seperti mahasiswi lainnya ketika dirinya bicara dengan mereka
“Teori elit Mosca yang tadi dipakai untuk menganalisis Partai Ba’ath di Irak kurang pas, karena kajiannya tidak struktural hirarkis,” jelasnya.
Kosa lalu menjelaskan perbedaan antara hegemoni dan membangun ketidaksadaran sebagai bentuk kepatuhan kepada penguasa yang harus menjadi tolak ukurnya dengan kajian elit dalam struktur kelembagaan.
“Oh gitu ya Kak? Kenapa tadi gak sekalian ditanya pas lagi presentasi Kak?” tanya Vira yang membuat Kosa agak terkejut.
Wajahnya sepertinya tidak terlalu bersahabat. Apakah Vira mengetahui Kosa ini adalah seniornya. Perlakuan berbeda ini membuatnya seperti bukan Kosa yang biasanya.
“Lebih enak langsung sama lo kayak gini," sahut Kosa sambil tersenyum, menutupi rasa terkejutnya.
"Sukses ya nanti perbaikannya!” Kosa pun berlalu meninggalkan Vira yang sepertinya tidak terlalu peduli dengan bantuannya tadi.
Sejak pembicaraan mengenai teori elit itu, entah kenapa selalu ada Kosa dalam kehidupan kampus Vira.
Minggu berikutnya, Kosa mengajak makan siang bersama usai kuliah dan dengan terpaksa menolaknya karena Vira beralasan bahwa dia sudah makan di kantin sebelum kuliah dimulai.
Kosa juga mengajaknya untuk ikut dalam diskusi kajian rutin mengenai politik Indonesia di ruang baca perpustakaan yang susah untuk ditolaknya.
Awalnya Vira menolak karena peminatan studinya di perbandingan politik dan bukan politik Indonesia tapi Kosa meyakinkan bahwa memahami politik Indonesia bagus untuk memperluas perspektif dalam melihat politik di negara lain. Menurut Kosa apa yang terjadi di negara lain itu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dalam negeri.
Sepertinya Kosa juga tidak menyerah untuk hal lainnya. Ketika bertemu di tempat fotokopi kampus, dirinya ditawarkan untuk terlibat dalam penelitian di Pusat Kajian. Kosa butuh lima orang mahasiswa yang menjadi pengumpul data di Bekasi. Tugasnya hanya mengumpulkan dokumen-dokumen dan membuat kategorisasi data atas dokumen terkait DPRD Kota Bekasi. Kosa bilang butuh mahasiswa yang berdomisili di Bekasi biar mudah dan lancar kerjanya.
Vira yang memang tinggal di Bekasi masih enggan untuk memberikan jawaban. Entah kenapa dirinya memang tidak terlalu tertarik kegiatan kampus di luar kuliah, kegiatan organisasi kemahasiswaan, ikut penelitian ataupun kerja part-time. Kegiatan selingannya di kampus hanya menjadi pengurus perpustakaan di Musholla Kampus. Itu pun karena dia bisa leluasa keluar masuk perpustakaan dan membaca buku yang disukainya.
Keesokan harinya Vira bertemu kembali dengan Kosa di selasar Kampus dan menanyakan kesediaannya terlibat dalam penelitiannya.
“Lumayan Vir honornya, kalau yang ini oke nanti gue tambah penelitian yang di Kabupaten Bekasi juga. Lo bisa bayar uang kuliah sendiri,” Kosa meyakini.
Dirinya yang belum memikirkan mencari uang sendiri pun perlahan mulai tertarik. Selama ini dirinya hanya menikmati kehidupan belajar di kampus dengan buku sebagai dunianya dan kadang mendaki gunung di waktu senggangnya. Uang tidak masalah. Papahnya seorang manajer di perusahaan asing juga tidak terlalu menekannya untuk ikut berbagai kegiatan kampus.
“Baiklah Kak, insya Allah saya mau coba ikut coba. Mohon bantuan dan kerjasamanya Kak Kosa,” jawab Vira sambil membungkukkan setengah badannya.
Kosa menatapnya dengan senyum lebar dan puas
Penelitian lapangannya memang hanya satu minggu, tapi urusan dokumen, narasumber dan segala macam rapat membutuhkan waktu yang cukup banyak apalagi tim pengumpul data yang direkruit Kosa bukan cuma dari jurusan dan angkatan yang sama. Susah untuk mengatur waktu pertemuan di sela-sela kesibukan kuliah.
Satu bulan ini, Vira intensif bertemu dengan Kosa sebagai koordinator lapangan padahal biasanya hanya seminggu sekali di mata kuliahnya Mas Syahran.
Selama penelitian, Vira berhubungan dengan Bu Siska dari bagian arsip dan kesekretariatan di DPRD Kota Bekasi. Vira hanya mengumpulkan data dan membaginya berdasarkan isu yang ditetapkan oleh dosen peneliti utama. Hasil kerjaannya diserahkan ke Kosa. Tidak terlalu susah apalagi jarak dari rumahnya ke Kantor Dewan hanya memakan waktu kurang dari 30 menit.
Tapi terkadang susah ketika menghadapi anggota Dewan yang sibuk luar biasa. Sudah janji dengan staf ahlinya tapi bisa dibatalkan begitu saja. Bahkan tak jarang, Vira harus mengejar anggota Dewan dan staf ahlinya saat hari liburnya ini sampai ke dapil-nya karena sudah masuk masa reses. Capek namun lumayan menyenangkan untuk Vira
Selama sebulan penelitian berlangsung kehidupan Vira mulai banyak berubah. Kosa memperkenalkan dirinya dengan beberapa temannya yang juga aktivis kampus seperti Danu, Pras yang dipanggil Bokep dan Kimmy yang juga terlibat dalam penelitian ini.
Kosa tidak menjelaskan lebih detail posisi para temannya itu dalam penelitian ini. Vira hanya tahu bahwa dirinya berhubungan dengan Kosa seorang saja.
Vira juga mengenal beberapa mahasiswa lintas angkatan dan jurusan yang sering kumpul bersama Kosa seperti Kak Juna yang suka menulis di majalah kampus. Dirinya yang selama ini hanya berkutat dengan buku kuliah sepertinya mendapatkan sebuah pencerahan baru di dunia kampus. Pembicaraan tidak lagi hanya sekedar teori ataupun penelitian tetapi juga hal-hal lain seputar gosip di kampus.
“Kerjaan lo bagus Vir," ucap Kimmy ketika berkumpul untuk wejangan akhir penelitian dan tanda tangan penerimaan honor.
"Tapi nanti kalo dicross-check ada yang salah, elu harus balik lagi ya dan itu gak dibayar lagi transportnya karena sudah include sama yang kemarin,” terang Kimmy lagi sambil mengatakan bahwa honornya akan ditransfer ke rekening masing-masing.
“Siap Kak, tolong saya diberitahu kalau ada kesalahan atau kekurangan datanya ya!”
"Eh, tapi gue salut sama elu Vir. Elu itu kan direkrut terakhir dan gak pengalaman lagi. Koq bisa sih Kosa percaya sama elu,” timpal Danu yang berada di sebelah Kimmy.
“Benar itu Vir. Maaf aja ya Vir, awalnya gue sanksi pas Kosa masukin nama lu. Semua susunan tim pengumpul data itu sudah fix eh, malah dia ngerombak seenaknya gitu. Bikin repot sih tadinya tapi ya gak nyangka juga hasilnya bagus,” ungkap Kimmy.
Vira tersenyum ketika ternyata Kak Kimmy mengungkapkan soal keikutsertaannya dalam penelitian ini. Terus terang saja kalau dirinya pun tidak tahu mengapa bisa diajak oleh Kosa.
“Kosa gak nembak elu kan Vir?” sergah Kimmy.
“Kayaknya si Vira bukan tipenya Kosa deh,” ujar Danu terus terang sehingga membuat muka Vira memerah dan terdiam.
Entah kenapa suasana menjadi agak panas. Sepertinya dirinya menjadi gerah dan ingin pamit keluar dari ruang pusat kajian ini.
Tetiba Kosa masuk ruangan dan menepuk pundak Kimmy.
“Urusannya honornya kelar kan Kim? Jangan lupa buat gue tambahin lima persen, pajak orang ganteng,” canda Kosa kepada Kimmy yang dibalas dengan mulut manyun Kimmy.
"Eh, ada elu Vir, ntar kita ketemuan ya di Takor sama tim pengumpul data lainnya. Jam satu ini, jangan lupa," ucap Kosa ke arah Vira.
“Gue sama Danu gak diajak? Bokep sekalian Kos, biar ramean dikit. Ntar bon makannya gue masukin jadi laporan keuangan biar elu kagak rugi,” ujar Kimmy sembari mengedipkan mata ke arah Kosa.
“Kuy lah, tapi ntar elu lapor ke Mas Syahran ya! Bungkusin sate kambing lah biar gak komplain.” Kosa tertawa lebar.
Sesampainya di Takor, kantin kebanggaan kampus berlogo Makara jingga ini, mereka mengambil dua meja depan belakang. Kantin masih tidak terlalu ramai membludak.
Jam satu ini adalah jam mahasiswa masih di kelas karena kelas berakhir jam setengah dua dan mulai kembali jam dua siang. Ada beberapa kelas yang memang selesai jam satu namun tidak banyak. Para pegawai juga sudah selesai makan siang karena istirahat mereka sudah dari jam 12 siang sampai jam satu ini.
Vira duduk di sebelah Melati yang sama-sama tim pengumpul data. Tidak disangka Kosa mengambil tempat duduk di depan Vira yang kemudian diikuti oleh Danu yang duduk di samping Kosa.
“Kalian makan apa? tanya Kosa ke Vira dan Melati.
Sudah pesan?”
“Sudah Kak, tadi kita pesan nasi pecel sama es teh manis,” sahut Melati yang kemudian dianggukkan Vira.
“Belum bayar kan? Nanti disatuin aja struknya sama Kimmy, biar gampang buat laporannya,” ujar Kosa sambil senyum ke arah Danu yang tertawa nyengir.
Makanan yang dipesan sudah datang. Kosa ternyata memesan nasi Imbi dan Danu memesan soto ayam. Tidak terlihat Kimmy dan tim pengumpul data lainnya memesan apa karena posisi mereka ada di belakang Kosa dan Danu.
“Vir, minggu depan itu deadline perbaikan makalah kelompok. Sudah dikerjakan?” tetiba Kosa bertanya dengan mulut penuh saat mereka makan.
“Eeeh, belum Kak,” jawab Vira dengan agak malu.
“Sebaiknya pertimbangkan masukan gue dulu. Elu bisa ganti teori dan tetap menggunakan data kelembagaan partai yang sudah ada atau elo tetap pakai teori Mosca tapi fokus di hegemoni partai. Lo cari data baru lagi."
"Saran gue sih mending ganti teori aja biar gampang. Elo pasti punya bukunya SP Varma tentang teori elit, gampang lah,” ujar Kosa lagi sambil makan nasi imbi, jajanan khas kampusnya ini.
“Oh, iya Kak, nanti saya diskusikan dulu dengan Santi dan Aldo, sahut Vira dengan menyebut nama teman kelompoknya itu meskipun dirinya yakin toh dia sendiri yang akan mengerjakan perbaikannya.
“Eh Vir, cobain deh nasi imbinya, tumben si Mang Kosim, koq enak banget bikinnya,” Kosa menyodorkan sendok berisi nasi dengan topping suwiran ayam, bakso, sosis dengan sayuran berbumbu tepat di depan mulutnya.
Vira terkejut. “Eh, gak usah Kak, ini masih ada koq makanan saya.” Vira berusaha menolaknya. Dirinya kaget setengah mati dengan adegan barusan.
“Coba dulu, ntar lo pasti kaget rasanya bisa seenak ini. Beneran, gue gak bohong.” Kosa keukeuh menyodorkan sendoknya di depan mulut Vira.
Karena tidak ingin memperpanjang urusan tolak menolak, akhirnya Vira membuka mulutnya dan menerima suapan dari Kosa.
Aaah, ternyata rasanya biasa saja, seperti nasi imbi yang biasa dia makan, rutuknya dalam hati meski dia justru tersenyum simpul saat memandang Kosa yang kemudian sibuk kembali memakan nasi imbinya.
Vira tidak menyadari, bukan hanya Melati dan Danu yang kaget melihat kejadian ini tapi ada banyak mata tidak percaya yang memperhatikan dan mengawasi mereka.
Setelah penelitian selesai, Vira kemudian menampakkan dirinya di salah satu ruangan kecil di samping Musholla. Sudah satu bulan dirinya minta izin untuk tidak mengurus perpustakaan Musholla karena penelitiannya yang dilakukan bersama Kosa ini.
Dilihat tumpukan buku-buku memenuhi sebagian besar lantai ruangan dan perlu penataan ulang. Rencananya Vira akan membuat arsip digital yang akan memudahkan pengunjung Musholla mengakses buku yang akan dibaca atau dipinjam.
Tidak banyak pengurus Musholla yang tertarik mengurus perpustakaan. Hanya dua orang saja, Vira dan Lia dari jurusan Kessos.
Mahasiswa membaca buku itu biasa tapi membereskan buku dan menyusunnya itu tidak biasa. Awalnya pihak Musholla ingin mempekerjakan staf profesional untuk mengurus buku-buku koleksi yang kebanyakan adalah hasil sumbangan mahasiswa dan alumni tapi sayang uang kas Musholla tidak banyak apalagi harus membayar marbot secara mandiri karena marbot dikategorikan bukan pegawai kampus.
Untung saja Vira dan Lia menyanggupi ketika diminta mengurus perpustakaan Musholla tanpa dibayar dengan keuntungan bisa memiliki akses masuk ke ruang perpustakaan Musholla kapan saja.
Ada bunyi ketukan yang kemudian disusul dengan terbukanya pintu kayu perpustakaan Musholla ini. Perempuan berkacamata yang mengenakan gamis warna hitam dan hijab abu-abu muda masuk ke dalam ruangan.
“Ukhti Vira, afwan apakah antum mau ikut rapat pengurus Musholla? Kalau mau nanti mulainya jam dua siang sampai ashar. Ruangannya akan pinjam di ruang rapat kemahasiswaan lantai dua,” tanya Ukhti Hanna, bagian keputrian Musholla.
“Oh, mohon maaf Mbak Hanna. Saya di sini saja, masih banyak kerjaan soalnya,” jawab Vira seraya menunjuk tumpukan buku di depannya.
Vira sama sekali tidak suka dengan segala macam rapat-rapat. Keterlibatannya di Musholla pun karena kecintaannya dengan buku-buku yang ada di perpustakaannya. Dirinya memang tidak ingin terlibat dengan banyak urusan di luar kuliahnya.
“Vir, afwan sekali lagi ya. Bukan bermaksud ingin mencampuri urusan pribadi tapi mungkin salah satu hal yang ingin disampaikan dalam rapat ini ada hubungannya sama anti” lanjut Hanna.
“Maksudnya Mbak? Saya sama sekali gak ngerti.” Vira tampak kebingungan dengan perkataan Hanna.
“Soal suapan di kantin kemarin siang. Ada banyak ikhwan yang melihat kamu main suap-suapan sama senior. Mungkin akan dibahas mengenai adab berperilaku di kampus,“ lanjut Hanna pelan berharap Vira tidak tersinggung dengan perkataannya.
Vira kaget luar biasa. Tidak menyangka sama sekali bahwa hanya sekali suapan itu sudah membuat dirinya menjadi bahan rapat penting.
“Oh gitu ya Mbak? Sebaiknya saya tidak usah ikut saja,” ujarnya singkat. Tidak ingin memperjelas atau melakukan klarifikasi macam artis karena memang sesungguhnya tidak ada hal memalukan yang terjadi.
Usaha membereskan buku-bukunya belum juga selesai karena terpotong adzan ashar. Ah, besok saja dilanjutkan, nanti tinggal laporan ke Lia apa saja sisanya yang harus dilakukan, batinnya.
Segera Vira menuju tempat wudhu perempuan. Sesampainya di sana, dibuka peniti yang tersemat di dagunya dan bersiap untuk membasuh wajahnya. Tak disangka Vira bertemu dengan Yuni dan Laila teman satu jurusannya.
“Vir, gila lo, heboh banget deh, koq bisa sih?” tanya Yuni sambil menepuk pundak Vira
“Beneran lo sama Kosa?” sahut Laila menegaskan kembali pertanyaan Yuni.
Vira mengernyit. “Maksudnya apaan sih?” ucapnya heran, tidak mengerti maksud pertanyaan kedua temannya.
Suasana di tempat wudhu tidak ramai karena baru jam setengah empat kurang. Kelas siang baru selesai jam empat atau setengah lima sore.
“Katanya elo pacaran sama Kosa ya? Kemarin pake acara suap-suapan segala di kantin. Gila aja lo bikin heboh satu kampus. Parah lo,“ tuding Yuni dengan berapi-berapi.
“Apaan sih? Enggak lagi, itu mah karena disuruh nyicipin doang. Ngaco deh. Udah ah, gak usah dibahas lagi, gosip gak benar itu,” Vira hanya menjelaskan singkat lalu segera meneruskan maksudnya untuk berwudhu.
Astagfirullah, kenapa bisa begini sih? Vira merutuki kejadian kemarin sore. Sepertinya besok harus jauh-jauh dari Kosa, bikin repot saja, batinnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!