“Selamat pagi, Agika!”
“Kazu, selamat pagi!”
Aku menyapa sahabat baikku, Kazuma. Pria tinggi berambut blonde ini sudah menungguku sedari tadi untuk berangkat sekolah bersama. Hal ini sudah jadi kebiasaan kami sejak SD. Meskipun setelah masuk SMA kami tidak satu sekolah lagi, Kazuma tetap berangkat bersamaku. Sekolah kami masih satu komplek.
Hari ini awal masuk semester baru setelah satu bulan libur. Tentu saja aku bersemangat. Lagian aku sudah bosan libur sekolah selama itu. Tak ada yang hal menarik yang aku lakukan selama liburan kecuali menemani Kazuma berlatih tae-kwon-do setiap minggu pagi. Sahabatku itu memang senang menekuni seni beladiri. Kudengar ia ingin mengikuti seleksi lomba tae-kwon-do di sekolahnya.
“Kau bersemangat sekali.” Tatap Kazuma. Dia menolehkan wajah manisnya padaku.
“Tentu saja! Aku tak sabar ingin bertemu Reiko dan teman-teman lainnya. Sudah bosan rasanya di rumah terus.” Kujawab rasa penasaran Kazuma dengan semangat yang menggebu-gebu. Ia pasti tahu rasanya menjadi diriku, anak tunggal dari seorang ibu yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Rasanya bosan sekali. Apalagi jika ibu ada shift malam, hampir sering aku sendirian di rumah. Tapi itu sudah menjadi hal biasa bagiku sejak ayah meninggal 3 tahun yang lalu.
“Ah benar! Bagaimana kabar gadis galak itu? Aku lama tak melihatnya denganmu.” Kazuma mengusap-usap dagunya sambil berpikir ketika aku sebut nama Reiko.
“Kau penasaran?” Aku langsung menghadang jalannya hingga ia terkejut dan berhenti tiba-tiba. Kusipitkan mataku. Melihatku tersenyum menyungging Kazuma jadi salah tingkah. Ia menarik tubuhnya menjauh dariku. Wajahnya memerah.
“A...apa? Siapa yang penasaran? Aku hanya...”
“Hanya apa?”
Semakin aku mendekat dan menggodanya, wajahnya makin memerah. Kelihatan sekali kalau ia menyukai Reiko tapi ia tak pernah mau mengaku padaku. Kujadikan alasan ini untuk menggodanya sampai ia kesal. Rasanya menyenangkan. Tak terasa aku tertawa melihat tingkahnya.
“A...apa? Kenapa kau tertawa? Hei!” Kazuma mulai kesal.
“Kenapa tak mau mengaku?”
“Me...mengaku apa?”
“Sepertinya paman sudah membolehkanmu pacaran setelah masuk SMA.”
“Apa? Pacaran?!”
Aku membalikkan badanku dan memunggunginya. Aku sibak rambut coklatku yang kuurai sebagian. Bertingkah seperti seseorang yang paling mengerti Kazuma. Kazuma memang tak pernah terlihat dekat dengan perempuan selain aku. Untung saja Reiko tahu kalau status kami adalah sahabat masa kecil jadi tak akan terjadi salah paham jika Kazuma memintaku untuk “mencomblangkan” mereka. Tapi reaksi Kazuma selalu sama. Ia berpura-pura dengan perasaannya. Padahal aku bisa mendekatkan sahabatku itu dengan Reiko. Aku juga akan senang kalau mereka jadian. Sahabat masa kecilku dan sahabat baikku. Bukankah itu akan menyenangkan?
“Kau sendiri juga segeralah cari pacar! Aku sudah bosan menjadi bodyguardmu sejak SD.” Kazuma membalasku. Ia melipat tangannya seakan ia berhasil membalikkan keadaan.
“Aku tak minta kau menjemputku setiap berangkat dan pulang sekolah!” Aku menimpalinya. Kubalikkan badanku kembali menatap wajahnya yang super mengesalkan.
“Itu karena aku khawatir. Kalau kau punya pacar setidaknya ia bisa membantuku. Cobalah melirik laki-laki di sekolahmu.”
“Hei, apa maksudmu? Kenapa malah jadi aku yang...”
“Haha.” Kazuma mencoba menghindar dan berlari saat aku mengejarnya. Ia gesit sekali menghindari ayunan tanganku yang berusaha menangkapnya. Itu semakin membuatku kesal.
“Kazu!” Gerutu diriku.
“Ah kita sudah sampai.”
Aku belum sempat mencubit lengan pria mengesalkan ini. Tak terasa perdebatan kami membawa kami sampai di depan gerbang sekolahku. Sekolah Kazuma masih beberapa meter lagi dari sini. Ia mengusap kepalaku dengan lembut.
“Aku akan menunggumu di sini nanti. Sampai jumpa, Agika.” Kazuma melambaikan tangannya padaku dan tersenyum manis seperti biasanya. Ia pergi sambil berlari begitu saja. Ia sepertinya tahu kalau aku sudah bersiap akan mencubitnya, makanya ia segera menjauh dariku. Dasar curang! Kenapa jadi aku yang dibuat kesal?
Aku mendengus. Akhir seperti ini memang sering terjadi pada aku dan Kazuma. Entah kenapa ia selalu menang. Ah sudahlah, sebaiknya aku segera masuk ke sekolah sebelum pak satpam menutup gerbangnya.
Aku balikkan badanku yang sejak tadi menatap Kazuma yang berlari. Belum satu langkah kuambil, pandanganku tiba-tiba langsung tertuju pada seorang siswa laki-laki yang berdiri di seberang sisi gerbang yang lain. Tubuhnya tinggi dan ideal. Sepertinya siapa pun yang memandangnya pasti akan terpesona dengan bentuk badannya yang bagus. Ia menenteng tas-nya dengan bahu, sibuk mengutak-atik handphone-nya. Tangan kirinya memegang sebuah kertas kecil. Dilihat dari gerak mata dan bahasa tubuhnya sepertinya ia sedang mencari alamat. Mungkinkah kertas kecil itu berisi alamat yang ia cari?
Eh?!
Aku terkejut saat ia tiba-tiba menoleh ke arahku. Sepertinya ia sadar aku memperhatikannya. Aku sedikit kaget. Ia menatapku dengan matanya yang biru dan tajam. Ternyata selain tubuhnya yang bagus ia juga memiliki wajah yang tampan. Angin pagi yang sejuk tiba-tiba menerpa rambut hitamnya, membuat laki-laki ini semakin terlihat mempesona. Mimpi apa aku semalam hingga bertemu laki-laki seperti pangeran negeri dongeng begini? Aku baru pertama kali melihatnya.
Tak lama ia menatapku dengan ekspresi datar. Ia langsung memalingkan wajah tampannya dan berjalan masuk ke gerbang sekolah. Ah aku baru sadar kalau ia memakai seragam yang sama denganku. Apa ini berarti kami satu sekolah? Kenapa aku tak pernah melihatnya? Dengan penampilannya yang seperti pangeran harusnya ia sudah terkenal di sekolah. Pertanyaan itu aku abaikan begitu melihat pak satpam sudah berjalan dari arah tempat jaganya dan bersiap akan menutup gerbang. Kuayunkan langkah cepat masuk ke gerbang sekolah. Aku hampir terlambat.
***
Aku sampai di depan kelas dengan jantung berdebar. Bagaimana tidak, gara-gara ribut dengan Kazuma di pinggir sekolah tadi aku hampir saja terlambat masuk kelas. Belum lagi waktuku hilang hanya untuk memandangi seorang pria yang tak kukenal. Akhirnya aku berlari di sepanjang koridor. Untung saja belum ada guru yang masuk kelas. Kelas masih riuh dengan perbincangan dan candaan teman-teman. Aku terselamatkan.
“Agika! Kenapa baru datang?”
“Reiko?”
Perempuan berambut lurus pendek sebahu itu menghampiriku. Wajahnya kelihatan sedikit cemas. Sepertinya ia menungguku datang sejak tadi. Pikiranku baru tersadar saat ia menyentuh lenganku. Aku bahkan lupa menyapa teman-teman sekelas. Sekian detik aku hanya berdiri di depan pintu kelas. Apa pesona pria itu membuatku sampai linglung begini?
“Untung saja aku sudah mencarikanmu tempat duduk di sampingku. Lihat! Aku carikan tempat paling nyaman.”
Reiko menarik lenganku menuju ke sebuah bangku yang ada di barisan kedua dari belakang. Ah benar, ini hari pertama masuk sekolah pasti teman-teman sengaja berangkat awal untuk mencari tempat duduk yang diinginkannya. Aku sudah berencana begitu sejak semalam menelpon Reiko. Kami memang berencana duduk bersebelahan. Tapi ternyata aku malah datang terlambat. Untung saja Reiko sempat mencarikanku tempat duduk.
“Bagaimana?” Reiko menunggu reaksiku atas hasil kerjanya mencarikan tempat duduk.
“Ah di sini juga nyaman. Terima kasih, Reiko.” Kataku sambil tersenyum padanya.
“Duduklah. Aku dengar guru Oshin masih menjadi wali kelas kita.”
“Benarkah?” Aku duduk sembarangan dan memasang wajah penasaran menanggapi ceritanya.
“Katanya sih begitu. Dan aku dengar juga kelas kita akan kedatangan murid baru. Murid pindahan.”
Reiko makin terlihat antusias bercerita. Rasanya bibirnya sudah tak tahan untuk bicara setelah sekian lama tidak bertemu denganku. Kebiasaan menggosip dan up-to-date dengan berita sekolah adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari Reiko. Ia hampir mengetahui semua hal terbaru yang terjadi di sekolah.
“Selamat pagi, anak-anak”
Belum sempat aku menanggapi satu persatu cerita Reiko, guru Oshin sudah berdiri di depan pintu kelas. Suasana kelas menjadi hening. Pria yang masih muda ini melambaikan tangannya pada kami dengan senyum manisnya. Ah kenapa guru semanis ini belum menikah juga? Apa gaji guru begitu kecil? Kami pun memberi hormat pada guru Oshin dengan berdiri dan membungkuk. Jam pertama untuk kegiatan belajar kali ini adalah pembinaan dari wali kelas. Berhubung guru Oshin ada di sini sudah bisa dipastikan ia menjadi wali kelas kami lagi.
“Benarkan kataku.” Reiko melirik ke arahku sambil tersenyum.
Kami duduk setelah guru Oshin menuju meja gurunya. Tapi pandanganku dan teman-teman tertuju pada seseorang yang berjalan mengikuti guru Oshin dari belakang. Aku sedikit terkejut saat melihatnya. Ia adalah pria yang ku perhatikan beberapa menit yang lalu di depan gerbang sekolah. Sudah kubilang, ia sangat menawan. Beberapa temanku di kelas bahkan terpukau padanya, terutama yang perempuan. Tapi ekspresi wajah pria itu masih datar sama seperti tadi pagi. Ia bahkan tidak tersenyum. Apa dia adalah murid baru yang dimaksud Reiko?
“Kalian pasti sudah tahu kalau aku tetap menjadi wali kelas kalian. Sebelum kita mulai kelasnya, aku akan kenalkan kalian dengan seseorang. Ia akan menjadi teman baru kalian di sini.” Kata guru Oshin.
Akhirnya kelas sedikit berisik karena semuanya saling berbisik mendengar pengumuman dari guru Oshin. Yep. Semua berita dari Reiko memang benar. Reiko pantas menjadi ratu berita di sekolah. Semua informasinya selalu akurat. Tapi aku tak menyangka laki-laki bermata biru ini akan menjadi teman sekelasku. Mungkinkah tadi pagi ia sedang memastikan lokasi sekolah lewat handphone-nya?
Pak guru Oshin langsung terlihat berbisik pada laki-laki itu. Ia menyuruhnya berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. Laki-laki itu diam sejenak hingga membuat suasana menjadi hening.
“Namaku Hideki. Takizawa Hideki.”
Mendengar ia memperkenalkan nama semuanya membatu. Termasuk aku. Selain tubuhnya yang bagus dan wajahnya yang tampan, ia juga memiliki suara yang agak berat. Benar-benar laki-laki sempurna. Tapi ia kelihatan kurang ramah. Ia bahkan tak berbasa-basi dengan menyapa “Hai” “Hallo” ataupun “selamat pagi”. Setelah itu pun ia tak memandang teman-temannya lagi. Mata tajam itu langsung berpaling dari kami. Apa ia malu?
“Ehem, jadi namanya Hideki. Kalian boleh memanggilnya begitu. Agar kalian semakin mengenalnya, apa ada yang ingin kalian tanyakan pada Hideki? Aku persilakan.” Pak guru Oshin berusaha mencairkan suasana.
Jujur saja semuanya hanya memandangi laki-laki di depan kami ini tanpa bicara apa pun. Laki-laki yang sedikit aneh bahkan di awal perkenalan. Tapi setelah pak guru Oshin menyuruh kami menanyakan sesuatu, akhirnya semuanya saling berbisik.
“Hideki, sebelumnya kau sekolah di mana?” Akhirnya ada salah seorang temanku yang mau bertanya padanya.
“Homeschooling.” Jawab Hideki pendek.
“Eh? Berarti kau orang kaya ya?” Sahut teman yang lain.
“Tidak.”
“Kau suka pelajaran apa?” Kini ada teman perempuanku yang mau bertanya.
“Olahraga.”
“Wah, kau juga suka olahraga? Kau senang bermain apa?” Salah seorang teman dari klub ekskul.
“Sepak bola.”
“Hei, kenapa kau pindah ke sekolah ini, Hideki? Apa ayah ibumu baru saja pindah ke kota ini atau bagaimana?”
“Ah, aku...”
Wajah Hideki tiba-tiba terlihat pucat. Ia memalingkan wajahnya lagi dari teman-teman. Aku bisa melihat ia seperti memikirkan sesuatu. Aneh sekali. Laki-laki yang tadinya terlihat baik-baik saja menjawab pertanyaan teman-temannya dengan cepat, pendek dan dingin, tapi kali ini ia kelihatan menutup diri. Mungkin ada alasan yang tidak bisa ia jelaskan. Guru Oshin yang melihat pun langsung berdehem mengalihkan perhatian teman-teman yang masih menunggu jawabannya.
“Ah ku rasa sudah cukup tanya-tanyanya. Kita mulai pembinaan. Kalau kalian ingin bertanya pada Hideki lagi, nanti saja saat jam istirahat. Duduklah di tempat yang kosong itu, Hideki.”
Pak guru Oshin menunjukkan bangku kosong ke arah ku. Ah aku baru sadar kalau di sisi sebelahku yang dekat jendela masih ada tempat duduk yang kosong. Kenapa tadi tidak kelihatan? Hideki berjalan ke arahku. Sesekali ia melirikku dengan mata birunya yang tajam dan bersinar. Aku salah tingkah lagi. Agaknya ia ingat kalau tadi pagi kita sudah bertemu.
Hideki menarik kursi kosong itu setelah meletakkan tasnya di laci. Ia duduk persis di sampingku. Kini aku mencoba memberanikan diri meliriknya. Jika dilihat dari dekat begini ia memang kelihatan sangat tampan. Rambutnya sangat hitam. Matanya biru nan tajam. Aku yakin tak sampai satu bulan ia akan menjadi idola di sekolah ini.
“Hm?”
Hideki tiba-tiba menengok ke arahku. Aku terkejut sampai hampir meloncat dari tempat dudukku. Ia sepertinya mulai sadar kalau ada yang memperhatikannya sejak tadi. Ah apa yang ku lakukan? Aku bahkan sampai memikirkan rambut dan matanya. Wanita macam apa aku ini?
“Hi ... Hideki, perkenalkan. Namaku Shinjio Agika. Kau bisa memanggilku Agika. Salam kenal.”
Aku menyodorkan tanganku dan tersenyum semanis mungkin padanya. Sesungguhnya itu adalah reaksi akibat salah tingkah karena aku sudah ketahuan mencuri-curi pandang. Pasti wajahku sudah memerah seperti tomat. Mungkin juga Hideki juga tahu kalau aku hanya berbasa-basi.
“Ya. Salam kenal.”
Hideki membalas uluran tanganku dan merespon kata-kataku. Aku lega akhirnya bisa menyelamatkan salah tingkahku dengan basa-basi yang sudah basi begini. Ia langsung melepas tangannya dan memalingkan pandangannya ke arah jendela. Tak apa meskipun sikapnya dingin setidaknya ia tidak mengabaikanku. Syukurlah.
***
“Aku sangat sibuk, Agika. Lihat, baru masuk sekolah sudah jadi panitia di acara ini.”
Reiko malah menyodoriku sebuah pamflet saat kuajak makan siang bersama. Sebuah pamflet lomba antar kelas yang diadakan tiap tahun, sekaligus untuk memeriahkan pesta perpisahan dengan kakak-kakak kelas 12 setelah lulus nanti. Sahabatku yang senang menyibukkan diri di ekskul ini memang ikut OSIS dan kebetulan untuk lomba ini dia jadi panitianya. Astaga, baru juga masuk sekolah lagi. Untung saja aku mengambil ekskul olimpiade, ya meskipun aku jarang ikut kompetisi tapi setidaknya tak akan sesibuk Reiko. Kelas 10 memang harus mengambil satu ekskul untuk nilai keterampilan.
“Jadi aku tak bisa makan siang denganmu. Maaf ya, Agika.” Lanjutnya.
Reiko mengatupkan kedua telapak tangannya sebagai permohonan maaf. Hari ini aku membawa bekal yang cukup banyak dan rencananya aku ingin memakannya dengan Reiko. Tapi ia sedang sibuk. Ya sudah, mau bagaimana lagi.
“Ah tidak apa-apa jika kau sedang sibuk.” Jawabku.
“Ya benar. Selain belajar, sekolah juga membebaniku dengan tugas yang berat seperti ini.” Reiko menggerutu sambil memasang wajah cemberut hingga membuatku tak tahan untuk tidak tertawa.
“Haha. Semangat!”
“Aku harus pergi. Lain kali kita makan siang bersama, oke?”
“Iya. Selamat berjuang!”
“Bye-bye, Agika.”
Reiko pergi sambil melambaikan tangannya padaku. Aku membalasnya dengan senyum manis. Aku sedikit kecewa, Reiko adalah satu-satunya orang yang dekat denganku di kelas. Meskipun aku punya banyak teman yang bisa diajak makan siang tapi semuanya sibuk sendiri-sendiri. Ah entah apa yang mereka lakukan?
Aku berjalan menuju tempat sepi untuk melanjutkan rencana makan siangku. Aku tahu satu tempat di sekolah ini yang jarang dikunjungi orang. Tak ada orang yang bisa ku ajak makan bekal sebanyak ini jadi terpaksa aku makan diam-diam. Mungkin saja sisanya akan ku bawa kembali ke rumah. Aku sampai di bawah pohon tua besar di taman sekolah.
“Ah disini sejuk sekali!” Aku menghirup napas panjang dan merenggangkan sendi-sendi tanganku. Memang tempat ini adalah tempat paling nyaman untuk menyegarkan pikiran setelah berkutat dengan pelajaran.
Aku bersiap akan duduk sambil menikmati bekalku tapi tak sengaja aku melihat ada orang lain selain diriku di balik pohon. Aku sedikit penasaran. Siapa yang bisa menemukan tempat sepi tersembunyi seperti ini selain aku? Aku berjalan pelan hingga sosok itu terlihat. Aku sedikit terkejut, seorang laki-laki sedang tidur siang disana. Aku mendekat lagi untuk memastikan siapa dia karena wajahnya tertutup oleh lengan.
“Eh?”
Tapi tiba-tiba laki-laki itu terbangun. Mendadak aku kaget sampai memundurkan langkahku ketika laki-laki itu bangun dan menyingkirkan lengannya dari wajah. Aku tak lagi penasaran siapa dia. Dia Hideki, murid baru di kelasku tadi pagi. Aku jadi salah tingkah melihat wajah tampannya yang baru bangun dari tidur siang. Ia menengok ke arahku.
“Ma ... Maaf, apakah aku mengganggumu?” Tanyaku terbata-bata.
Hideki tak menjawab. Ia memalingkan wajahnya lagi. Aku sampai berpikir sebaiknya aku mencari tempat lain. Aku takut dia marah karena aku membangunkan tidurnya.
“A .... Aku hanya ingin makan bekalku disini. Maaf jika mengganggumu. A ... Aku akan mencari tempat lain.”
“Aku sudah selesai.”
Hideki menghela napas panjang. Ia bangkit dan berdiri. Sepertinya yang dimaksud adalah sudah selesai dengan tidur siangnya. Ia berjalan pelan melewatiku tanpa bicara apapun setelahnya.
Aku memperhatikannya yang pergi memunggungiku. Ada sesuatu yang membuatku selalu penasaran padanya. Entah apa. Tapi rasanya aku ingin mengenalnya. Tanpa disadari tanganku meraih tangannya yang akan pergi hingga membuat langkahnya tertahan. Ia melirikku. Aku segera melepas tangannya. Apa yang baru saja ku lakukan? Kenapa tanganku bergerak sendiri seperti itu? Cepat-cepat aku memperbaiki sikapku.
“Ah a ... Aku hanya ingin menawarimu, apakah kamu mau makan bekalku? Kebetulan aku membawa cukup banyak, tadinya aku ingin makan bersama Reiko tapi dia sedang sibuk.”
Hideki masih diam tak merespon apapun. Ia masih menatapku dengan mata birunya yang tajam. Aku sedikit takut. Ku tundukkan wajahku untuk menghindari matanya. Aku pikir berbagi bekal dengan murid baru akan membuat kita makin mengenalnya atau setidaknya ada yang membantuku menghabiskan bekal. Tapi rasanya aku salah orang. Apa ia melihatku seperti perempuan yang mencoba mendekati pria tampan? Aku bukan orang semacam itu.
“A ... Aku sungguh tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin ...” Lanjutku.
“Aku akan pergi.” Katanya pendek.
“Ah, B .... Baiklah. Tidak masalah, Hideki. Sampai jumpa!”
Hideki berpaling lagi. Aku lambaikan tanganku dengan senyum terpaksa. Aku balikkan badanku. Aku hanya bisa menghela napas. Entah lega atau kecewa ia menolakku, tapi laki-laki itu ternyata dingin sekali. Aku langsung duduk dan ku buka bekal makan siangku yang banyak ini. Ya Tuhan! Mana bisa ku habiskan semuanya?
“Kau ... Siapa namamu?”
Tiba-tiba suara berat laki-laki itu terdengar lagi. Aku menoleh ke belakang. Sosok berwajah tampan itu menghampiriku. Aku terkesiap.
“Aku?” Aku bertanya balik.
“Ya.”
“Agika. Shinjio Agika.”
Aku kembali memperkenalkan diri padanya meskipun sedikit kebingungan. Apakah ia sudah lupa dengan namaku? Padahal baru tadi pagi aku berkenalan dengannya di kelas. Ia tiba-tiba duduk di sampingku. Ia fokus pada isi bekal yang ku bawa.
“Aku akan membantumu, Agika.” Katanya.
“A ... Apa? Kau mau membantuku...”
“Menghabiskan bekalmu. Kau bilang ini terlalu banyak.”
Hideki mengambil sekepal onigiri buatanku tadi pagu lalu ia segera memakannya. Aku meliriknya. Ternyata pria tampan ini makannya lahap juga. Apa sebenarnya ia belum makan siang? Rasanya jantungku berdegup kencang. Ternyata laki-laki ini tak terlalu dingin juga. Ia masih mau berteman denganku.
“Iya!” Kataku bersemangat.
Rasanya aku dapat energi baru melihatnya makan. Aku jadi bersemangat menghabiskan bekal ini. Aku melempar senyum padanya. Wajahnya jadi memerah. Ia cepat-cepat memalingkan mukanya dariku. Aku tertawa kecil. Ini pertama kali aku melihat ekspresi wajahnya yang lain selain datar dan dingin.
“Ada apa?” Hideki bertanya untuk menghentikan tawaku yang mulai membuatnya tersinggung.
“Ah ti .... tidak. Biasanya tak ada yang kesini selain aku.” Jawabku mengalihkan topik pembicaraan.
“Aku menghindari mereka.”
“Mereka?”
Hideki memandang sekumpulan siswa perempuan yang ada di depan ruang kelas kami. Bahkan ada banyak kakak kelas yang ikutan disana. Mereka sepertinya sedang mencari seseorang. Sejak tadi berkumpul di depan pintu. Apa yang mereka cari adalah Hideki? Lalu Hideki sengaja menghindari mereka?
“Aku tak mengerti, mereka terus mengintipku dari jendela.” Lanjutnya malas. Mood-nya mulai memburuk begitu bercerita soal siswa-siswa perempuan itu.
“Ah ternyata kau malu pada mereka?”
“Tidak. Aku hanya tak nyaman.”
“Menurutmu, kenapa mereka seperti itu?”
“Tidak tahu.”
Aku memperhatikannya. Kali ini ia sedang memakan jeruk. Angin sejuk dari pohon ini menyapu rambutnya yang hitam. Membuat siluet wajahnya semakin terlihat tampan. Persis saat pertama aku melihatnya di jalanan pagi tadi. Dia tidak tahu kalau perempuan-perempuan itu hanya ingin melihat wajahnya yang tampan. Pasti berita adanya murid baru sudah terdengar sesekolahan. Tentu saja semua orang akan penasaran hanya dengan mendengar beritanya. Termasuk kakak tingkat.
“Aku sudah selesai.” Hideki membangunkanku dari lamunan-lamunanku yang konyol.
“Eh?”
Aku terkesiap. Karena terus memperhatikannya, aku tak sadar kalau Hideki sudah makan setengah bekalku. Sedangkan aku satu onigiri saja belum habis. Hideki berdiri dan bersiap akan pergi lagi.
“Aku akan kembali ke kelas. Terima kasih.” Lanjutnya.
“Ah iya! Terima kasih kembali, Hideki.”
Aku melempar senyum lagi padanya tapi ia tak membalas. Hanya menyembunyikan kedua tangannya ke saku celana sambil berlalu begitu saja. Sayang sekali, Ia tak pernah membalas senyumku. Padahal aku yakin kalau ia mau ramah dan senyum sedikit wajahnya pasti akan kelihatan makin tampan. Ah kenapa ia dingin sekali?
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!