Nuha Qanita gadis yang lahir dua puluh tahun yang lalu ini.
Adalah seorang gadis biasa, anak dari seorang pemuka agama bernama Ustadz Irsyad Fadillah, yang cukup terkenal di kalangan masyarakat.
Namun siapa bilang, hidup sebagai anak ustadz itu mudah?
Faktanya, sebagaimana anak gadis pada umumnya. Terkadang ada keinginan dia untuk berkumpul dengan teman-teman, pergi menonton, makan di luar dan sebagainya.
Atau mungkin menyukai lawan jenis. Dan hal itu tidak bisa dia rasakan dengan sangat bebasnya, selayaknya anak remaja yang lain.
Semua sebab dia harus menjaga sekali etikanya sebagai wanita Solehah.
Dan hal itu juga bukan masalah untuk Nuha. karena masih ada keikhlasan pada diri Nuha yang turut menjunjung tinggi syariat Islam, yang ia pegang teguh didalam hatinya. Sebagaimana sebaik-baiknya wanita yang hanya menghabiskan waktu lebih banyak di rumah saja, jika tidak ada kegiatan penting seperti sekolah dan sebagainya. Atau mungkin keluar hanya sekedar membeli sesuatu. Ya... itu pun harus siang hari, kalaupun terpaksa keluar malam, Nuha harus di antar Abi atau kakak kembarnya.
Benar... benar... Dia bukan anak tunggal. Dia punya saudara kembar laki-laki, Rumi Al Fatih namanya.
Jangan tanya dia tampan atau tidak?
Sudah pasti dia tampan, sama seperti Abinya, itu kata orang sih. Bukan kata Nuha yang menganggap dia adalah kakak paling menyebalkan, penyebab perang di atas meja makan, atau di ruang TV.
Namun tidak selamanya kak Rumi itu menyebalkan bagi Nuha. Dia tetap masih memiliki sisi baik, yang membuat Nuha tetap menyayanginya, karena dia juga bisa menjadi dewa penolong, ketika dirinya sedang butuh ijin melakukan sesuatu di luar rumah.
Hingga suatu ketika, sebuah kabar yang seharusnya menggembirakan untuknya. saat ia dengar ada seorang pemuda salih yang mengkhitbah-nya.
Namun justru membuatnya seperti suatu malapetaka.
Bagaimana tidak?
Pria yang yang mengkhitbah-nya itu adalah seorang pria paling menyebalkan yang pernah ia jumpai.
Seorang senior guru di sebuah rumah Tafiz, tempat Nuha mengajar. Pria yang seperti tidak pernah memberinya ketentraman dalam hidupnya, dingin, dan lagi? Lumayan killer juga bagi beberapa murid didiknya.
Namun sebenarnya bukan itu awal mula ketidaksukaan Nuha padanya, melainkan hal iseng dengan tampang datarnya itu yang membuat Nuha selalu dongkol di buatnya.
Entah sudah seperti apa dia saat menerima kabar itu, yang pasti seperti sebuah petir yang menyambar di tengah siang bolong.
Berbagai upaya ia lakukan untuk membujuk sang ayah guna menolak pinangan itu, namun sepertinya sang Abi sudah sangat mantap menerimanya hingga berujung pada sebuah kemenangan bagi sosok pria yang paling malas dia sebut namanya. Ketika hati sangat ingin melontarkan sumpah serapah akibat ketengilan-nya itu, dia malah justru harus menyerahkan kehormatannya kepada pria yang sudah menjadikannya istri.
ya sebut saja...
Faqih Al Malik. Pria berusia dua puluh tujuh tahun, seorang guru Tafiz muda penghafal Al-Qur'an tiga puluh juz.
Pria yang di kenal pendiam, namun lantunan ayat sucinya benar-benar menggetarkan jiwa. Dimana suaranya benar-benar sangat indah dan halus, membuat orang-orang yang mendengarkan kadang ingin menangis saking tersentuh-nya.
Pria itu sebenarnya baik hati, namun memang dia tidak pandai berekspresi. Dan kedisiplinannya sebagai seorang pengajar membuatnya sedikit disegani.
Soal ketampanan? Ohh jangan di tanya, tinggi badannya saja sudah mencapai seratus delapan puluh tujuh sentimeter. Berkulit putih bersih, hidung mancung, dan mata yang sedikit bulat sayu, beliau terlahir sebagai pria keturunan Sunda-Turki.
Ya... dari Abinya yang bernama ustadz Rahmat beliau memiliki kakek berkebangsaan Turki.
Sehingga hidung mancung muka khas Eropa bercampur Asia yang benar-benar sangat di puja para ukhti yang selalu bermimpi untuk di halalkan-nya. Seolah menjadikannya sebagai sang Hafizh Qur'an paling tampan dan keren di negara ini. (Mungkin ya, karena tampan itu relatif... Hihihihi)
Dan ketika sebuah ikrar terucap akankah Nuha mampu melayaninya dengan baik. Sementara dia harus tinggal di rumah suaminya, dan hidup satu atap dengan sang mertua.
Ada satu hal lagi yang membuat Nuha merasa canggung, dimana di keluarga itu seperti menerapkan sistem Nyepi. benar-benar Keluarga yang bertolak belakang dengan keluarganya yang selalu terisi dengan kebisingan.
Sepertinya kesunyian menjadi penghias keluarga mereka. Jadi ya sudah ikuti saja, begitu pikirnya.
Tapi ada yang lain sih di keluarga itu. Yang agak lebih sering membuka suara, dialah Umma Hasna. Iya istri dari ustadz Rahmat atau ibu dari Faqih. Ia jauh lebih banyak bersuara, lebih tepatnya? Dalam hal mengatur atau mengkritik.
Hal itu lebih sering terjadi saat Nuha tengah membantunya, yang terkadang kurang cocok mungkin bagi sang ibu mertuanya, sehingga kadang perdebatan kecil kerap muncul di sana.
Walaupun lebih sering membuat Nuha mengambil sikap untuk diam saja, dan tersenyum.
Namun tetap lah rasa dongkol terkadang ada, manusiawi bukan.
Yah begitulah sedikit gambaran kehidupan Nuha setelah menikah. Akankah Faqih mampu menjadikan penengah dia antara dua wanita yang paling ia cintai di dunia ini...?
Dan mampu menunjukkan rasa cintanya pada Nuha yang menganggapnya tak pernah ada rasa suka terhadapnya, karena lebih dominan sikap diam-diam ngebosi-nya* dari pada perhatiannya. (Ngebikin emosi)*
Kita lihat Saja....
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
hai teman-teman.... assalamualaikum warahmatullahi wabbarokatuh.
sahabat seiman, apa kabar hehehe.
kita ketemu lagi dalam sekuel terbaru Novel Ikrar Cinta Ustadz Irsyad.
dengan judul baru IKRAR CINTA SANG HAFIZH QUR'AN. (novel ini upnya selepas magrib ya... biar ngehalunya nggak mengganggu ibadah puasa kita semua 🤭🤭🤭)
okay kisah yang mengambil tema Komedi romantis ini insyaAllah tak memiliki konflik berat ya.
jadi aku minta kesediaannya untuk berkomentar di setiap bab, hahaha (maksa)
soalnya apa?
aku kalo kalian diem-diem bae bisa tahu-tahu njatohin tutup panci hahahaha, tiba-tiba ada konflik berat aja, biar kalian yang bersembunyi pada keluar.
dan karena novel ini masuk ke kompetisi written, pengen minta bantu vote di papan kompetisinya kasih like gtu.. tapi kalo nggak bisa nggak apa2 yang penting tetep baca nggak bosen.
semoga sih novel ku ttp asik sampai tamat ya amiin ya Allah.
okay segitu saja sapaan ku, selamat membaca teman-teman. dan selamat menunaikan ibadah puasa.
wassalamu'alaikum warahmatullahi wabbarokatuh ❤️❤️❤️
Di sebuah ranjang, dengan seprai berwarna putih bercorak bubble berwarna biru dan pink.
Seorang gadis tengah duduk bersila dengan bantal berada dalam pelukannya. Rambutnya yang lurus dan panjang sebahu ia taruh di belakang seluruhnya, dengan menyematkan rambut itu di kedua telinganya. Ia tengah menatap lurus kedepan, dengan bulir bening terus menetes melalui netranya.
'Faqih Al Malik, putra dari ustadz Rahmat, adalah pria yang akan mengkhitbah Nuha.' kata-kata Abi saat tengah makan malam tadi benar-benar membuat gadis itu merasa kesal.
Bagaimana bisa Abi Irsyad menerima pinangan mendadak itu, belum lagi A' Faqih meminta pernikahan di gelar selepas terawih pertama.
Bukankah itu sangat terburu-buru, mengingat ia sendiri belum memiliki kesiapan apapun untuk melakoni sebuah pernikahan.
Nuha masih meremas bantal tersebut, akibat belum menerima semua keputusan sang ayah. Hingga getaran ponsel membuatnya menoleh sejenak.
Sebuah pesan singkat dari saudara kembarnya yang tengah mengambil studi di Bandung membuatnya langsung menyeka air matanya, ia juga langsung meraih ponsel tersebut dan membuka pesannya.
📲(Assalamualaikum, lagi apa dek? Bagaimana kabar keluarga.) Begitulah isi pesannya.
Nuha pun membalas pesan dari kak Rumi.
📱(Walaikumsalam, kabar keluarga baik, kecuali aku.) Jawabnya seraya semakin terisak, hingga tak lama ponselnya pun berdering, nama Rumi tertera di layar ponsel itu. Membuat Nuha menggeser logo hijau dalam panggilannya.
"Assalamualaikum." Sapa kak Rumi dari sebrang.
"Walaikumsalam warahmatullah." Jawab Nuha serak. Rasanya ia ingin mengadukan semuanya, menangis sesenggukan kepada sang kakak.
"Kenapa dek?" Tanya sang kakak yang merasakan bahwa kembarannya itu tengah menangis.
"Abi...hiks, Abi menerima pinangan seorang pria yang akan menikahi Nuha kak." Isaknya mengadu.
"Loh, itu kan kabar baik dek. Kenapa malah nangis?"
"Tapi nikahnya di Ramadhan ini. Selepas terawih pertama. Itu kan beberapa hari lagi. Dan Nuha belum siap." Jawab Nuha merengek. Sementara yang di sebrang terdiam sejenak. Memang itu terlalu cepat sih sebenarnya. "Kak, tolong Dede... Bantu bujuk Abi buat tunda pernikahan itu kak. Dede mohon."
"Apa dede tahu, siapa yang akan menikahi mu?" Rumi sedikit iba mendengar rengekan Nuha.
"Hiks, A' Faqih." Jawabnya. Rumi yang mendengar itu pun langsung tersenyum di sana.
"Alhamdulillah." Gumamnya yang masih di dengar Nuha.
"Kok Alhamdulillah sih?"
"Iya lah, kakak setuju kalau dia yang mau nikahin kamu."
Doeeeng...! Nuha membulatkan bola matanya. Alih-alih mendapatkan dukungan, eh... Dia malah setuju, dan mendukung.
"Hei... Jangan berkomplot untuk menjadi pendukungnya ya. Aku tidak mau kak, Demi Allah aku tidak mau."
"Dek, A' Faqih itu laki-laki salih, Hafizh Qur'an terbaik lagi. Kamu beruntung bisa di nikahi dia."
"Beruntung apanya? Yang ada bisa mati berdiri gara-gara tiap hari tegang di buatnya."
"Lebay banget sih, wah...wah... harus beli Koko baru sepertinya ini. Hahaha."
"Apa maksudmu beli Koko baru?"
"Iya lah, untuk jadi saksi di pernikahan mu."
"Apa? Kakak! Mending nggak usah nelfon sekalian, dasar tidak berguna!"
"Hei... Jangan gitu. Aku ini kembaran paling baik hati. Makanya mendukung mu untuk menikah muda. selain itu Kalau kau nikah? Itu sama saja suatu ketentraman untuk ku."
"Ketentraman kata mu?"
"Iya dong, jadi sosis di kulkas rumah akan menjadi milik ku seutuhnya hahahaha." Tertawa jahat tiba-tiba. "Alhamdulillah, tidak ada lagi yang akan mengubur sosis ku diam-diam dalam nasinya."
"Si jelek ini ya? Bisa-bisanya bicara seperti itu, di saat aku tengah di Landa gundah gulana!!"
"Ckckck. Betapa nikmatnya hidup kalau kau sudah menikah. Ruang TV akan menjadi daerah kekuasaan ku, lauk meja makan pula. Dan lagi kasih sayang Umma dan Abi jadi milik kakak dong."
"Hiks, jahatnya kau kak Rumi!! Aku pikir kau akan iba dan membantu ku, tapi malah seperti ini. Lebih baik ku putus saja sambungan teleponnya." Ancam Nuha geram.
"Hei...hei.... Jangan dek, maaf... Maaf... Kakak hanya bercanda. Gitu saja ngambek." Ucap Rumi masih terkekeh di sana.
"Pokoknya bantu Dede kak, tolonglah."
"Ya sudah nanti kakak telfon Abi, coba bicara baik-baik."
"Beneran ya. Aku mengandalkan mu kakak ku."
"Hemmm. Ya sudah istirahat saja. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam warahmatullah." Pik... Sambungan telepon terputus. Nuha pun sedikit lega, ia bersyukur sekali kakaknya itu memang bisa di andalkan.
Kini hanya tinggal menunggu hasil dari bujukan sang kakak pada Abinya itu.
––––
Hingga tiba waktu pagi, mereka tengah menyantap hidangan sarapan pagi.
Sedikit keraguan di hati Nuha untuk kembali berbicara membahas kembali pembahasan semalam.
Suara gemerincing sendok yang tengah beradu dengan lauk di atas piring keramik, membuat dia semakin tegang, namun lebih dominan ke rasa tidak semangat bercampur sedih. bahkan nasi di atas piringnya pun hanya dia acak-acak, tanpa di makan se-suapun.
Hal itu yang lantas membuat Umma Rahma mengangkat kepalanya, menatap sendu ke arah sang anak yang masih tertunduk. Dia pun meraih tangan Nuha.
"Dede, kok tidak di makan?" Tanya Rahma, membuat Abi Irsyad mengangkat kepalanya. Nuha pun tersenyum kecut.
"Iya Umma, ini juga Dede mau makan." Mengambil sesuap nasi di ujung sendok lalu memakannya, setelah menoleh ke arah sang Abi sejenak lalu menunduk lagi.
Rahma pun menoleh ke arah sang suami. Sudah terlihat sih, Nuha pasti tertekan sekali dengan keputusan ayahnya.
Dan dia juga sudah mencoba berbicara dengan ustadz Irsyad, untuk memikirkannya lagi. Namun semua keputusan itu seperti sudah mantap, karena sang suami hanya diam saja seolah tak ingin menanggapi lagi.
"Nuha?" Panggil Abi Irsyad lembut. gadis itu menoleh namun bulir kristal langsung saja terjatuh berbarengan dengan itu yang membuatnya langsung menyeka cepat. "Nuha percaya Abi sangat menyayangi mu kan?"
Gadis itu mengangguk-angguk, namun dia masih diam saja. Mendengarkan apa saja yang akan keluar dari mulut sang ayah.
"Abi tidak bermaksud membuat mu sedih karena keputusan ini." Meraih tangan Nuha dan menggenggamnya. "Namun yang perlu Dede tahu, Abi itu tidak sembarangan menerima Faqih nak. Semua sudah Abi pikirkan matang-matang, Abi sholat malam, Abi berdoa. Dan semua petunjuk mengarah kepadanya. Jadi tolong dengan keikhlasan hati mu, terima dia ya."
Sudah jelas dari ucapan sang ayah yang menunjukkan bahwa tidak ada lagi perubahan dalam keputusannya, Nuha pun kembali menitikkan air matanya.
"Abi, Nuha boleh berbicara?"
"Boleh," jawabnya lembut Seraya tersenyum.
"Bisakah? A' Faqih menunggu sampai satu tahun lagi, Nuha rasa belum siap saja untuk melakoni peran sebagai seorang istri. Nuha masih ingin hidup selayaknya gadis muda, masih ingin tinggal bersama Abi dan Umma, bertengkar dengan kak Rumi. Nuha masih ingin merasakan itu semua." Kembali terisak, rasanya dia tidak bisa lagi menahan derasnya air mata yang sudah ingin keluar sedari tadi. Rahma yang melihat anak gadisnya merasa tidak tega, sehingga membuatnya berpindah tempat duduk, dan duduk di sebelah Nuha guna memeluk tubuh sang anak, seraya turut menangis di sana.
Ustadz Irsyad pun terdiam, beliau tidak bisa menjawab apapun. Melihat sang anak seperti itu, dia seperti merasakan dirinya sudah berbuat kesalahan pada sang anak.
Irsyad pun meraih gelas berisi air putih di dekatnya, menengguknya, dan meletakkan lagi. Setelahnya beliau meraih secarik tissue guna mengusap bibirnya lalu mengecup kening Nuha sejenak dan beranjak dari meja makan itu meninggalkan keduanya yang masih saling memeluk.
–––
di luar, tepatnya di sebuah gazebo. tempat ustadz Irsyad biasanya termenung sembari memberi makan ikan-ikan koi peliharaannya.
ia pun melamun, dengan pikirannya yang mulai berkelana ke masa lalu. mengingat masa di mana sang putri menangis untuk yang pertama kali saat baru dilahirkan.
serta tingkah aktif Nuha kecil, seolah memberinya kesadaran jika waktu sangat cepat berputar. sebenarnya belum ada keikhlasan juga untuk dirinya Melepas Nuha, namun mau bagaimana pun juga Faqih adalah satu-satunya cahaya dalam mimpinya. seperti sebuah petunjuk jika sang maha kuasa pun merestui Keduanyan.
se-bulir air mata menetes.
'abi...Abi... kakak itu jadi mas nya Nuha ya.' (Nuha kecil)
Irsyad terkekeh tiba-tiba sembari mengusap matanya yang basah. saat mengingat kembali ucapan Nuha kecil. ia pun menghembuskan nafasnya panjang, lalu meneguhkan hati dengan keputusannya itu.
Di tempat lain, seorang laki-laki masih betah di atas alas sujudnya. Berzikir selepas subuh tadi hingga pukul 06:30 ini.
Sementara itu tidak henti-hentinya Umma Hasna mengecek sang putra guna mengajaknya sarapan pagi, namun pemuda itu seolah masih belum beranjak dari posisinya, sehingga membuatnya kembali menuju ruang makan, menemani sang suami yang sudah mulai menyantap hidangan paginya.
"Bi, kok Faqih tidak keluar-keluar ya? Lama sekali zikirnya?" Umma Hasna kembali duduk di dekat sang suami.
"Biarkan Umma, dia sedang meminta Ridho sang maha kuasa. Karena hari ini, ustadz Irsyad akan memberikan jawabannya langsung." Jawab ustadz Rahmat.
"Sampai segitunya? Sepertinya spesial sekali, Putri dari ustadz Irsyad itu." Menuang air minum ke dalam gelas lalu menyerahkannya kepada sang suami. Ustadz Rahmat pun hanya tersenyum seraya meraihnya.
Sementara itu, sang Hafizh mulai menitikkan air matanya. dengan tangan Menyentuh bagian dada sebelah kiri, meresapi debaran jantung yang benar-benar tak beraturan.
Bibirnya mulai gemetar. Seolah ia tidak bisa lagi menghalau bayang-bayang gadis yang ia kagumi itu.
"Ya Allah, sang maha pencipta alam semesta beserta keindahannya. Hamba benar-benar mencintai salah satu ciptaan mu Ya Allah. Berikan kekuatan hati untuk tidak berlarut-larut dalam kegundahan ini, yang berujung pada pemikiran haram ku. Serta berikanlah kekuatan yang mampu membuat ku tenang, ketika jawaban tak menggembirakan lah yang akan ku terima." Faqih bergumam, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Serta menyeka matanya yang basah itu, cinta di relung hatinya benar-benar terasa sekali sepertinya. Sehingga sedikit membuatnya terganggu selama beberapa hari belakangan ini. Dan menikah adalah keputusan yang tepat untuk dia, agar tak berlarut-larut dalam pikiran haramnya.
***
Senja mulai bergulir, memunculkan sinar mentari senja yang masih nampak dari celah-celah awan yang sedikit menutupi. Menemani para ustadz dan ustadzah keluar dari masjid, juga beberapa anak-anak didik yang langsung berhamburan keluar, dan berlarian di sana.
di dalam Faqih masih betah pada posisinya, ia malah berpindah duduk tepat di depan tirai hijau, pembatas antara jamaah pria dan wanita. Sejenak ia menoleh, ia masih melihat bayangan seorang wanita di belakang. Sepertinya dia Nuha, Karena dia merasakan berdebar-debar sedari tadi.
Dan benar saja, gadis itu masih di sana, setelah berzikir cukup lama. Dia pun mengusap wajahnya. Di lihatnya sebuah bayangan pria di balik tirai hijau itu, Nuha pun menghela nafas sejenak.
'Dia A' Faqih bukan ya?' gumam Nuha dalam hati, ia pun menurunkan kepalanya hanya untuk memastikan, mengintip dari celah bawa tirai hijau itu dengan hati-hati tanpa suara.
hingga sebuah dehaman seorang pria yang tak ia ragukan lagi bahwa itu adalah A' Faqih membuatnya langsung terkesiap dan beranjak pada posisi semula.
'benar A' Faqih rupanya, emmmmm.... berbicara pada Abi sama sekali tidak mengubah keputusannya, bagaimana jika aku berbicara langsung padanya ya?' ada sedikit keraguan namun dia putuskan untuk mendekat dua jengkal dari posisi duduknya.
"Emmm... A' Faqih...?" Panggil Nuha ragu, pria di depan pun menoleh sedikit.
'akhirnya membuka suara juga dia.' tersenyum sangat tipis. "Apa?" Jawabnya datar.
"A...anu, aku... Aku mau bicara, boleh?"
"Bukankah kau memang sudah bicara ya? Kenapa mesti izin lagi?" Jawabnya dingin, membuat Nuha semakin ragu untuk membuka suaranya lagi. "Cepat bicara!"
"Iya... Itu... Emmm?" Nuha gelagapan, 'ngomong Nuha, ayo ngomong.' mendorong dirinya sendiri agar mau berbicara.
"Ck, buang-buang waktu saja." Hendak beranjak.
"Anu, jangan dulu pergi. Aku ingin bicara serius. Tolong beri waktu mu, dan dengarkan aku."
"Baik.... Lima menit."
"Iya deh."
"Cepat..! Berjalan loh ini."
"I...ni.... ini juga mau ngomong." mendengus. 'tidak sabaran sekali sih jadi orang.'
"masih mau diam?"
"ini soal, lamaran!" potong Nuha cepat.
Degg..! Faqih bungkam.
"A...apa A' Faqih tidak salah melamar seseorang?"
"Maksud mu?"
"Itu, kakak kenal ustadzah Nafisah kan? Salah satu guru di sini juga? Di...dia Soleha ya, cantik, anak Gus Arfan. Hafalannya apa lagi, sudah lebih banyak dari pada Nuha. Cocok loh sama?"
"Langsung saja, tidak usah berbelit-belit." Potong Faqih, yang sudah tahu inti perbincangan ini. Nuha pun terkesiap.
"Iya deh, aku boleh jujur? Kalau aku shock saat tahu, A'a melamar ku?" Gumam Nuha lirih, jari telunjuknya mengusap-usap karpet mengikuti bentuk lingkaran kecil di sana.
'lebih shock lagi, nikahnya sebelum ramadhan.' batin Nuha, Sementara pria itu pun hanya diam saja, di balik tirai. "Aku bukannya wanita yang tidak kau sukai ya?"
"Kesimpulan dari mana itu?" Tanya Faqih tiba-tiba.
'lah, apa maksudnya dia suka pada ku?' (Nuha)
"Begini loh A', aku kan selama ini selalu menjadi bahan Bully-an mu. Ehhh... Tidak, maksudnya sebagai wanita yang selalu kena masalah, kenapa bisa A'a memutuskan untuk menikah dengan ku. Tiba-tiba lagi, kan aneh."
"Aneh bagaimana? Mengajak nikah itu bukan hal yang buruk kan? Karena bisa memberikan ketenangan hati."
'masalahnya diri mu itu ustadz bikin emosi dengan segala ke tengilan mu tahu! Bagaimana bisa memberikan ku ketenangan hati?' mengelus dada pelan, seraya beristighfar dalam hati.
"Kau tidak bermaksud menolak kan?"
Ehh...? Nuha terdiam.
"Aku serius melamar mu. Jadi tolong terima saya." Nada bicara Faqih berubah serius walaupun masih terdengar datar. Ia pun beranjak setelah mengibas-kibaskan Koko di bagian dadanya, lalu pergi dari sana.
'astagfirullah al'azim, aku tidak tahan di dalam.' gumam Faqih dalam hati seraya memakai alas kakinya dan melenggang pergi menjauh dari masjid itu.
Sementara Nuha yang masih berada di dalam termenung. Pria itu benar-benar serius rupanya? Namun mau bagaimana pun menikah secara terburu-buru seperti ini tidak baik kan, Bahkan dia belum mempunyai kesiapan secara mental.
Dan di tempat lain juga, dua orang bapak tengah saling berpelukan haru, saat Ustadz Irsyad sudah memberikan jawaban menerima Faqih juga kesetujuannya untuk menikahi putrinya saat malam selepas terawih pertama.
Ustadz Rahmat pun langsung menyampaikan kabar bahagia itu pada sang putra melalui telfon genggamnya. Sehingga langsung membuat Faqih tersenyum haru. Ia mendongakkan kepalanya menatap langit-langit, serta menghela nafas berkali-kali. matanya yang mulai memerah itu pun basah.
"Alhamdulillah ya Allah." Gumam Faqih mengucap syukur.
Kini persiapan pun segera di urus ustadz Irsyad, dan ustadz Rahmat. Mendaftar anak-anak mereka, di kantor urusan agama, serta meminta izin pada pengurus masjid di dekat kompleks perumahan tempat tinggal ustadz Irsyad untuk menggelar prosesi ijab Qabul di sana.
––––
H-1 sebelum pernikahan, Nuha benar-benar gugup, hal wajar bukan?
sebagai calon pengantin wanita. mungkin juga di rasakan sama oleh calon pengantin pria.
ada rasa gugup bercampur takut seolah masih saja berkecamuk di hati Nuha, dia bahkan masih saja mengurung diri di kamar, sementara di bawah sanak saudara sudah mulai berdatangan, membantu Rahma dan ustadz Irsyad membuat persiapan pernikahan Nuha besok.
Sebuah ketukan di kamarnya membuat Nuha menoleh.
"Assalamualaikum." Kak Rumi baru saja pulang, dengan jaket dan tas Ransel masih di gendongan. ia tersenyum menyapa sang saudara perempuannya. Nuha pun beranjak, lalu menghampiri Rumi seraya memeluk tubuh sang kakak.
"Semangat dek, kan mau nikah." Mengusap-usap kepalanya.
"Iya." Jawabnya lirih, seolah tidak perlu lagi dia mengutarakan apapun. Semuanya bahagia, semuanya bersemangat.
Mungkin hanya dirinya lah yang merasakan sedih sebagai seorang calon pengantin yang sebenarnya belum ingin menjalaninya.
Walaupun saat ini dia menolak. sebagai seorang insan, ia tetap akan menikah bukan?
Iya... Itu benar, namun tidak sekarang. Tidak secepat ini juga. Nuha kembali menitikkan air mata, dia ingin menunda ini. Sungguh dia ingin menundanya.
Rumi pun Melepaskan pelukannya, lalu mengusap air mata sang adik.
"Jalan-jalan yuk," ajak Rumi.
"Kemana?" Tanya Nuha seraya merengek.
"Kemana saja, kamu boleh beli apapun. Kakak traktir," jawab Rumi. Nuha pun mengangguk mau. "Ya sudah, pakai hijab mu. Kakak kekamar dulu meletakkan tas ini."
"Iya," jawab Nuha mengiyakan.
Rumi pun berjalan keluar sembari menarik handel pintu itu, menutupnya.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!