NovelToon NovelToon

Harga Sebuah KEHORMATAN

TINGGALKAN GAZA

Mentari pagi menelisik masuk melalui celah celah kecil di kamar Rain. Raina Zemira, gadis berusia 21th yang sedang menempuh pendidikan disebuah universitas ternama di Jakarta.

Rain masih enggan membuka matanya yang terasa berat. Matanya bengkak akibat semalaman menangis. Kata-kata Salma, ibunda Gaza masih membekas jelas dibenaknya.

"Tinggalkan Gaza! Putuskan pertunangan kalian! Hanya kamu yang bisa melakukan ini. Gaza selalu menolak saat aku minta untuk meninggalkanmu." Bagai petir disiang bolong. Tak pernah terbayangkan dibenak Rain jika kata-kata itu akan terlontar dari mulut wanita yang sudah dia anggap sebagai orang tuanya sendiri. Ditambah lagi, kalimat itu terdengar seperti perintah, bukan permintaan.

"Maafkan Rain tante, Rain tidak bisa. Gaza satu-satunya penyemangat hidup Rain. Selain itu, rasanya sangat tidak adil bagi Gaza jika Rain memutuskan pertunangan ini secara sepihak."

Salma memalingkan wajah kearah lain. Keputusannya sudah bulat, dia tak mau kembali ragu gara-gara kasihan pada Rain.

"Apa menurutmu ini adil untuk keluarga kami? Ayah Gaza adalah seorang pejabat. Apa kata orang jika kami mempunyai besan seorang narapidana kasus pembunuhan?" Salma juga tak pernah menyangka jika pertunangan anaknya dengan Rain akan berujung seperti ini. Dulu, dia datang bersama keluarga untuk meminang Rain, bahkan mengadakan acara pertunangan yang mewah. Sayangnya karena satu keadaan, dia harus melakukan ini.

"Tapi Rain dan Gaza saling mencintai tante." Rain masih berusaha mempertahankan hubungannya dengan Gaza. Dia mencintai Gaza. Dan disaat keadaannya sedang terpuruk seperti ini, Gazalah satu-satunya harapannya.

"Aku tidak membencimu, Rain. Aku hanya tidak ingin keluargaku mendapat hujatan karena berbesanan dengan narapidana." Rain meremat bagian bawah kaosnya. Hatinya sakit setiap kali Bu Salma menyebut ayahnya narapidana. "Mengertilah posisi kami, Rain." Salma meraih kedua tangan Rain dan menggenggamnya. "Anggaplah ini sebagai permohonan. Selama ini tante dan keluarga menyayangimu seperti anak sendiri. Jadi tante mohon, janganlah egois untuk kali ini. Tolong lepaskan Gaza. Putuskan pertunangan kalian!"

Kata kata itu menjadi penutup sebelum Salma akhirnya meninggalkan rumah Rain.

Rain tak kuasa menahan air matanya. Kejadian semalam bagai mimpi buruk baginya. Mengingat wajah Gaza membuat dadanya sesak. Rasanya tak sanggup jika harus perpisah dengan pria itu. Pria sempurna yang selalu dia sebut didalam doa. Pria yang dia inginkan melebihi apapun sebagai imamnya.

Ryuga Al gazali biasa dipanggil Gaza, laki laki berusia 27 tahun yang merupakan cinta pertama Rain. Dia tengah menempuh pendidikan S2 di London. Gaza mendapatkan bea siswa S2 dari perusahaan tempat dia bekerja. Gaza adalah tunangan Rain. Mereka berpacaran sejak 3 tahun lalu dan memutuskan bertunangan 6 bulan yang lalu.

Awalnya, keluarga mereka saling mendukung, tapi karena suatu musibah semua jadi berbeda. Ayah Rain dipenjara sejak 1 bulan yang lalu karena kasus pembunuhan.

Rain membuka ponselnya, ada banyak penggilan tak terjawab dari Gaza sejak semalam.

"Maafkan aku Ga, sepertinya hubungan kita harus berakhir. Aku tak ingin membuat keluargamu menjadi bahan gunjingan. Benar kata Ibumu, kau layak mendapatkan wanita yang lebih baik dariku terutama latar belakang keluarganya. Anak seorang napi sepertiku, tak pantas bersanding denganmu."

Rain membuka jendela kamarnya. Disinilah dia sekarang. Dirumah minimalis satu lantai berukuran 6x10 meter. Tidak ada lagi rumah mewahnya yang dulu. Rain sudah menjualnya karena ia butuh banyak uang untuk mengawal kasus ayahnya dan biaya rumah sakit adiknya.

Rain butuh banyak biaya untuk menyewa pengacara. Dia ingin ayahnya mendapatkan hukuman seringan mungkin. Dia tak sanggup jika melihat masa tua ayahnya habis dibalik jeruji besi.

Tak mau berlarut larut dalam kesedihan, Rain segera beranjak dan bersiap ke kampus. Hari ini dia ada janji dengan dosen pembimbing. Rain harus segera menyelesaikan skripsi agar bisa segera lulus dan mendapat pekerjaan.

Rain sadar hidupnya tak lagi seperti dulu. Rumah mewah dan toko bangunan milik ayahnya sudah habis terjual.

Sekarang Rain sendirian, dia harus berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri dan mencari biaya untuk adiknya yang masih koma di rumah sakit.

Semua berawal dari sebuah kecelakaan hebat yang menghilangkan nyawa ibunya dan membuat adiknya terbaring koma dirumah sakit.

Hari itu hari yang dinantikan oleh Rain sekeluarga. Hari anniversary orang tuanya. Mereka sudah melakukan reservasi di sebuah restoran mewah.

"Happy anniversary Ayah, Bunda." Rain mencium pipi kedua orang tuanya. Tak lupa dia dan Alan menyiapkan kado untuk orang tuanya.

"Ini hadiah dari Alan dan Mbak Rain Bun. Semoga Ayah dan Bunda suka," kata Alan sambil melirik ke arah Rain.

Rani menitikkan air mata saat melihat kado dari anaknya. Sebuah Alquran dengan sampul berwarna emas yang sangat indah.

"Masyaallah Bunda suka sekali hadiahnya. Semoga Bunda dan Ayah makin rajin membaca Alquran." Rani memeluk Rain dan Alan bergantian.

"Awalnya kami bingung mau ngasih kado apa. Tapi mengingat Ayah dan Bunda selalu mengaji tiap habis subuh. Jadi Rain da Alan memutuskan untuk membeli Alquran."

"Terimakasih sayang, kadonya sangat bermanfaat bagi kami," ucap Teguh sang ayah.

"Kau dan Alan harus saling mendukung dan menguatkan. Ayah dan Bunda tidak akan selalu ada untuk kalian."

"Jangan ngomong gitu Bun, kita akan selalu bersama sama," Rain memeluk sang Bunda.

"Alan akan selalu jaga kak Rain dan Bunda," Alan menimpali. Mendekati Ibu dan Kakaknya lalu memeluk keduanya. Teguh tersenyum melihat keluarga kecilnya. Tidak ada yang lebih membahagiakan kecuali melihat mereka bahagia.

Semua berjalan lancar, hingga saat mereka pulang, hujan turun sangat deras. Jarak pandang yang minim membuat mobil yang dikendarai ayahnya bertabrakan dengan sebuah container pengangkut sembako.

Ibunya tewas ditempat. Adiknya yang bernama Alan mengalami luka serius dan koma. Beruntung Rain dan sang ayah hanya luka ringan saja.

Alan mengalami koma akibat kerusakan dikepalanya. Sudah tiga bulan lebih Alan koma. Dan tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan Alan. Ketiga toko milik ayahnya terpaksa dijual untuk pengobatan Alan.

...----------------...

Rain berjalan menuju ruangan dosen. Dia lebih nyaman menunduk daripada menyapa teman temannya. Rain yang sekarang sangat berbeda dengan yang dulu. Tidak ada lagi tawa ceria yang selalu menghiasi wajah cantiknya. Rain berubah menjadi gadis introvert.

Semua bukan kemauannya, tapi lebih pada usaha menjauhkan diri dari luka. Semua temannya seakan berlomba untuk menggunjingnya. Rain lebih memilih menutup diri daripada mendengar semua gunjingan yang diarahkan padanya.

"Hai Rain," sapa Maya, sahabat Rain satu satunya. Hanya Maya yang tertinggal disisinya disaat semua orang menjauhinya.

Bagi Rain, hanya Maya dan Gaza tempatnya bertukar cerita. Dibalik semua cobaan ini, Rain masih bersyukur karena Gaza tidak meninggalkannya.

Tapi sepertinya tidak untuk sekarang. Dirinya dipaksa untuk berpisah dengan Gaza, lelaki yang sangat dicintainya.

"Kamu mau menemui Pak Jarwo ya?"

"Iya May. Aku harus segera menyelesaikan skripsi, biar segera lulus dan dapat kerja."

"Semoga skripsi mu lancar Rain," ujar Maya sambil menepuk pelan baju Rain.

"Terimakasih, May." Dukungan dari Maya sangat berati bagi Rain. Setidaknya, dia masih merasa punya seseorang yang menyayanginya.

"Bagaimana kabar Alan?"

"Masih sama," sahut Rain sambil tertunduk lesu.

"Sabar ya, Rain. Aku yakin suatu saat, Alan akan sadar."

"Terimakasih, May." Rain masih ingin mengobrol banyak bersama Maya, termasuk menceritakan tentang permintaan Salma padanya. Sayang dia tak ada waktu. "Maaf ya, May, aku harus segera pergi. Pak Jarwo sudah menungguku."

Maya mengangguk sambil tersenyum, membiarkan sahabatnya itu pergi.

CEPAT SADAR

Sepulang dari kampus, Rain menjenguk ayahnya di rutan. Air matanya menetes melihat lelaki tua yang semakin hari semakin kurus itu. Rambut pria itu makin penuh dengan dengan uban. Tubuhnya nampak sangat tidak terurus.

Ayah yang selalu dibanggakannya dulu seketika berubah menjadi laki laki tua yang terlihat rapuh. Anak mana yang tega melihat kondisi ayahnya seperti itu.

"Jangan menangis." Teguh menghapus air mata putrinya. "Bagaimana kabarmu, Nak?" sapanya hangat sambil berusaha tersenyum.

"Alhamdulillah Rain sehat yah."

"Bagaimana dengan Alan?"

"Masih sama Yah, belum ada perubahan."

Teguh mengalihkan pandangan demi menghapus air matanya. Dia tak mau Rain melihatnya menangis. Putrinya itu sudah terlalu benyak beban, jangan sampai air matanya malah menambah beban.

"Hentikan pengobatannya jika memang sudah tidak mampu lagi, Nak." Meskipun berat, Teguh terpaksa mengatakannya. Bukan karena dia tak sayang pada Alan, tapi dia tak tega membebani Rain. "Ayah tak sanggup melihatmu berjuang mencari uang sendirian untuk pengobatan Alan. Maafkan Ayah, seharusnya semua ini tanggung jawab ayah," uarnya terbata-bata karena menahan air mata. Tapi sekuat apapun ditahan, cairan bening itu tetap merembes melalui sudut matanya.

Melihat sang ayah menangis, tak pelak Rain kembali menangis. Digenggamnya kedua tangan ayahnya yang ada di atas meja untuk saling menguatkan.

"Jangan pernah berkata seperti itu lagi, Yah. Ini juga tanggung jawab Rain. Kita satu keluarga, kita harus saling mendukung. Rain akan terus mengusahakan untuk pengobatan Alan." Selama dia masih bernafas, Rain tak akan pernah menyerah untuk kesembuhan Alan.

"Maafkan ayah nak."

Rain menggeleng sambil menghapus air mata ayahnya.

"Jangan pernah meminta maaf, ayah tak salah apapun. Ini cobaan, insyaallah kita pasti bisa melaluinya. Tuhan tidak memberikan cobaan melebihi batas kemampuan umatnya." Bukan mudah Rain mengatakan itu, karena sesungguhnya, dia juga merasa tak sanggup lagi. Cobaan ini terlalu berat baginya, tapi dia belum mau menyerah.

Bukan tanpa alasan seorang Teguh sampai menghabisi nyawa orang. Teguh mendekam dipenjara demi menyelamatkan Rain. Menyelamatkan kehormatan putrinya dari pria kejam yang ingin merenggutnya paksa.

Siang itu, seorang rentenir bersama dua anak buahnya mendatangi rumah Teguh. Mereka datang untuk menagih hutang.

Teguh dihajar habis habisan karena tak mampu membayar cicilan hutang. Sebenarnya Teguh bukanlah seorang yang terbiasa berhutang. Dia terpaksa berhutang pada rentenir untuk mengobatan Alan.

"Ayah!" Rain terkejut mendapati ayahnya dipukuli dua orang berbadan besar. Dia yang baru pulang dari kuliah dihadapkan dengan pemandangan rumah yang porak poranda dan ayahnya yang babak belur.

Rain segera berlari menghampiri mereka. Tapi siapalah dia, hanya wanita biasa yang tak mungkin melawan ketiga orang pria asing dihadapannya itu. Yang dia bisa hanyalah memohon belas kasihan.

"Hentikan. Tolong hentikan, jangan pukul Ayah saya." Rain menangis sambil memeluk ayahnya yang terduduk dilantai dengan kondisi tak berdaya. Wajahnya penuh lebam dan darah segar mengalir dari hidung dan sudut bibirnya.

"Pergi dari sini, Rain," bisik Teguh. "Bukan waktu yang tepat kamu berada disini." Dia bisa melihat jika rentenir itu terus menatap Rain. Sebagai seorang pria, Teguh paham makna tatapan itu.

Rentenir itu bergeming melihat wajah cantik Rain. Dia seperti singa lapar yang menemuka mangsa. Seketika muncul keinginan besar untuk mencicipi tubuh Rain.

"Kenapa kau tak bilang jika mempunyai anak secantik ini." Rentenir tersebut mendekati ayah dan anak yang tampak ketakutan itu. Berjongkok di depan mereka sambil menyeringai lebar. "Kau tak perlu membayar hutang jika mau menyerahkan anakmu padaku." Matanya tak lepas menatap Rain dan jakunnya bergerak naik turun Tak pelak Rain gemeratan hebat saking takutnya.

"Hai cantik. Siapa namamu?" tanya rentenir itu sambil menyentuh dagu Rain.

"Jangan sentuh putriku!" Teguh menyingkirkan dengan kasar tangan itu lalu mendekap erat tubuh Rain yang ketakutan.

Rentenir itu berdecak kesal mendapati perlakuan kasar dari Teguh. Tangannya mengepal kuat lalu dilayangkannya kepalan itu tepat ke rahang Teguh hingga dekapan Teguh pada tubuh Rain terlepas.

"Ayah!" teriak Rain saat tubuh Teguh tersungkur ke lantai. Rain hendak menolong ayahnya namun rentenir itu menarik kasar tangannya lalu menyeretnya ke dalam kamar.

"Lepaskan anakku Bajingan!" teriak Teguh.

Rain berusaha berontak namun dia kalah tenaga dengan rentenir itu.

"Ayah, tolong Rain, Ayah!"

"Rain." Teguh berusaha bangun untuk menolong Rain. Tapi kedua anak buah rentenir itu kembali menghajarnya.

Di dalam kamar, Rain masih mencoba memberontak saat rentenir itu ingin memperkosanya. Digigitnya tangan rentenir itu agar cekalannya terlepas, tapi nahas, Rain malah mendapatkan tamparan yang sangat keras hingga tubuhnya terpental keatas ranjang.

"Lepas, tolong, tolong." Teriak Rain saat rentenir itu mencoba membuka pakaian yang dia kenakan secara paksa.

"Tolong, tolong." Teriakan itu sungguh menyayat hati Teguh. Ayah mana yang tak hancur hatinya mendengar jeritan memilukan sang putri. Seolah mendapatkan kembali kekuatannya, Teguh kalap dan balas menghajar kedua anak buah rentenir.

Teguh tak punya banyak waktu. Dia segera menyerobot masuk kedalam kamar dan,

PYAR

Teguh menghantam kepala rentenir itu dengan guci besar. Seketika rentenir itu tumbang dengan kepala bersimbah darah.

Karena peristiwa itu, Teguh diancam hukuman 12 tahun penjara. Rain yang tak ingin ayahnya menghabiskan masa tua dipenjara, berusaha mencari pengacara terbaik untuk meringankan hukuman ayahnya.

...----------------...

Rain keluar dari rutan dengan langkah gontai. Tadi, dia hanya berusaha terlihat tegar dihadapan sang ayah. Padahal hatinya sangat rapuh. Kalau boleh jujur ingin sekali rasanya dia menyerah. Cobaan ini terlalu berat baginya.

Dret dret dret

Rain mengambil ponselnya yang bergetar didalam tas. Ada panggilan dari rumah sakit.

"Hallo mbak Rain. Saya dokter Purnomo."

"Iya dok ada apa?" Suara Rain bergetar karena takut. Dia takut dokter Purnomo akan menyampaikan berita buruk tentang Alan. Tidak, dia belum siap kehilangan Alan.

"Datanglah kerumah sakit, ada yang harus kita bicarakan."

"Baik dok, Rain akan segera kesana."

Rain segera memesan ojek online untuk mengantarnya kerumah sakit. Sepanjang jalan, dia terus berdoa semoga yang akan disampaikan dokter purnomo bukanlah berita buruk.

Sesampainya dirumah sakit, Rain langsung menuju ruangan dokter Purnomo.

"Permisi, Dok."

"Rain, silakan masuk." Purnomo mempersilakan Rain duduk.

"Ada kabar gembira Rain. Organ vital Alan mulai menunjukkan tanda tanda akan kembali normal. Alan memang belum sadar, tapi sepertinya sebentar lagi dia akan sadar."

Cless.

Hati Rain seketika terasa sejuk. Tak ada yang lebih membahagiakan selain kabar ini.

Senyum Rain mengembang, dia berharap jika Alan benar benar akan segera sadar.

"Alhamdulillah, Dokter. Saya senang sekali jika Alan akan segera sadar."

"Hari ini saya juga melihat adanya sedikit gerakan pada jari jari Alan. Sepertinya usaha kita berhasil Rain. Alan akan segera sadar kembali."

Rain tak kuasa menahan tangisnya. Mungkin saat inilah pertama kali dia merasakan bahagia setelah kecelakaan maut yang dialami keluarganya malam itu.

"Apa saya boleh melihatnya, Dok?"

"Tentu saja."

Rain memakai pakaian khusus untuk masuk keruangan Alan. Dia menatap wajah adiknya yang terlihat sangat pucat. Banyak sekali alat alat medis yang terpasang pada tubuh Alan.

Rain menarik kursi dan duduk disebelah Alan. Dia menggenggam tangan Alan yang terasa sangat dingin.

"Al, kamu bisa dengar Mbak kan?" ujar Rain sambil menyentuh kepala Alan.

"Cepat sadar, mbak sendiri, Al. Mbak butuh kamu. Kamu masih ingatkan dengan janjimu malam itu. Kamu berjanji akan melindungi Mbak. Kalau kamu tidur terus, gimana caranya kamu melindungi mbak. Kamu harus sadar karena mbak butuh kamu. Kamu anak laki kaki, kamu harus kuat." Rain tak kuasa menahan isak tangisnya. Dadanya terasa sangat sesak. Dia butuh seseorang untuk menguatkannya. Tapi saat ini dia tak punya siapa siapa.

"Tinggal kamu harapan Mbak satu satunya, Al. Cepat sadar, mbak butuh kamu."

Satu satunya orang yang Rain harapkan untuk menjadi tumpuannya adalah Gaza. Tapi mengingat permohonan Salma hari itu, Rain jadi ragu untuk menghubungi Gaza.

Rain selalu menolak panggilan dari Gaza. puluhan pesan dari Gaza juga diabaikannya.

Bagaimanapun, benar yang dikatakan Salma. Rain tak boleh egois dengan menyeret Gaza kedalam masalah rumit keluarganya.

Rain tak lagi merasa pantas untuk Gaza. Rain berusaha untuk menerima kenyataan tentang siapa dia sekarang. Rain bukan lagi anak pemilik toko bangunan besar dan punya beberapa cabang. Rain sekarang hanyalah anak seorang narapidana kasus pembunuhan.

PEKERJAAN MAYA

"Permisi mbak, anda diminta untuk ketempat administrasi." Kata seorang suster yang biasa merawat Alan.

"Baik Sus."

Rain sudah paham, ini pasti perihal biaya rumah sakit. Tak banyak lagi uang yang tersisa direkening tabungannya. Pengobatan Alan sungguh menguras isi rekeningnya.

Rumah yang dijualnya memang besar dan lumayan mewah. Tapi karena dirumah itu telah terjadi pembunuhan, sulit sekali mendapat harga yang pantas. Dia harus berbesar hati melepaskan rumah itu dengan harag dibawah pasaran. Tak ada pilihan lain, dia butuh uang. Kesembuhan Alan adalah prioritasnya.

Selain itu, Rain juga tak sanggup tinggal disana. peristiwa itu membuat Rain trauma dan takut masuk kerumah yang dulu dia anggap sebagai istananya.

"Mbak Rain, ini biaya yang harus segera dilunasi. Dan diharapkan untuk menambah deposit." Petugas administrasi menyodorkan sebuah kertas padanya.

Mata Rain membulat sempurna melihat nominal yang tertera disana. 50 juta lebih jumlah yang harus dibayar. Padahal ini hanya tunggakan beberapa hari. Ini lebih mahal dari perkiraannya.

Entah sudah berapa banyak uang yang masuk untuk pengobatan Alan. Kalau disuruh menghitungpun, Rain tak sanggup menghitungnya. Ditambah lagi dia harus memberi deposit agar pengobatan Alan tetap berjalan. Astaga, dia tak tahu darimana lagi mendapatkan uang.

Mengingat keadaan Alan yang terus membaik, rasanya tak mungkin menghentikan pengobatan. Jalan satu satunya hanyalah mencari uang agar pengobatannya tetap berjalan.

Rain menyerahkan kartu debitnya pada petugas. Untuk saat ini dia memang masih ada uang, tapi kedepannya dia bingung harus mencari kemana.

...*******...

Pagi ini Rain merasa kurang enak badan. Mungkin karena tenaga dan pikiran terkuras habis untuk menangani masalah Alan dan ayahnya.

Rain hanya tiduran diranjang kecil miliknya. Dia merindukan Gaza. Dia butuh Gaza saat ini. Andaikan ada Gaza disampingnya, dia pasti tak akan setertekan ini. Setidaknya pria itu bisa mengurangi beban pikirannya. Tapi keputusannya sudah bulat untuk berpisah dengan Gaza.

Tok tok tok

Dengan langkah malas Rain kedepan untuk membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Maya.

"Rain, gimana keadaanmu?" tanya Maya cemas. Mendengar Rain sakit, gadis itu segera datang dengan membawa bubur ayam kesukaan Rain.

"Sarapan dulu Rain." Maya memindakan bubur yang dia beli tadi kedalam piring. Dia juga membuatkan teh untuk Rain.

Walau tak ada selera, Rain mencoba tetap makan. Dia ingat pesan ayahnya agar selalu menjaga kesehatan. Dia adalah tiang di keluarganya saat ini. Jika dia sakit, siapa yang akan menjaga Alan. Dan siapa yang akan menjadi penyemangat hidup ayahnya. Jadi, sekuat apapun angin menerpanya, dia harus tetap kokoh berdiri.

"Makasih ya May." Ucap Rain sambil menelan sesuap demi sesuap bubur dari Maya.

"Tidak perlu berterimakasih Rain. Keluargamu sudah banyak membantuku. Sudah saatnya aku ganti membantu kalian."

Maya dulunya adalah pegawai ditoko ayah Rain. Karena maya yang terbilang cerdas, ayah Rain memberinya beasiswa untuk melanjutkan kuliah.

Tapi semenjak Maya sudah bekerja ditempat lain dengan gaji lumayan. Maya tidak mau lagi merepotkan keluarga Rain. Dia mulai membiayai sendiri kuliahnya.

"Kemarin aku menjenguk Paman Teguh. Dia terlihat sangat kurus. Aku tak tega melihatnya." Maya memang menyayangi teguh seperti ayahnya sendiri. Pria itulah yang dulu selalu menasehatinya dan menjadi menyemangat hidupnya. Tanpa dorongan dari Teguh, Maya tak mungkin melanjutkan kuliah.

"Aku lebih tak tega lagi May. Ayahku yang sebelumnya adalah pahlawan bagi keluarga kami. Sekarang dia tak berdaya." Mata Rain kembali memanas. Dadanya sesak, sesaat kemudian, cairan bening meleleh dari sudut matanya.

"Yang sabar Rain, pasti ada pelangi setelah hujan." Maya menghapus air mata Rain dengan ibu jarinya.

"Hujan ini sudah terlalu lama May, rasanya aku tak sanggup lagi untuk menunggu pelangi." Sahut Rain sambil memegangi dadanya yang sesak. Cobaan ini terlalu berat baginya. Karena tragedi malam itu, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat.

"Jangan bicara seperti itu. Kau masih punya aku Rain. Aku akan membantu sebisa mungkin. Bagaimana dengan Gaza. Hubungan kalian baik baik saja kan?"

Rain menggeleng pelan.

"Beberapa hari yang lalu, tante Salma datang kesini. Dia memohon padaku agar aku memutuskan pertunanganku dengan Gaza."

Maya terkejut mendengarnya. Selama ini, yang dia tahu tante Salma sangat menyayangi Rain, rasanya mustahil wanita itu meminta Rain memutuskan pertunangannya dengan Gaza. Padahal tanggal pernikahan mereka juga sudah ditentukan.

"Dan kau menyangggupinya?"

Rain menghela nafas sambil menatap nanar bubur yang ada dihadapannya. Kalau ditanya sanggup, sebenarnya dia tak sanggup. Tapi dia juga tak mau egois. Benar kata tante Salma, nama baik keluarga mereka akan hancur jika pernikahan ini tetap terjadi.

"Aku tak ada pilihan lain May. Aku juga tidak ingin. Tapi aku tak boleh egois. Ayah Gaza seorang pejabat, tak mungkin bagi mereka berbesanan dengan narapidana."

"Aku tak menyangkan tante Salma setega itu."

"Dia hanya ingin menyelamatkan nama baik keluarganya May. Aku tak menyalahkan dia."

"Tapi tak harus dengan cara seperti ini Rain. Kau dan Gaza saling mencintai."

"Rumah tangga tidak hanya dibangun dengan cinta May. Masih banyak aspek lain yang menjadi pertimbangan."

"Aku akan mendukung semua keputusanmu Rain." Maya memeluk Rain untuk memberinya dukungan.

"Terimakasih May."

Rain melanjutkan makan, dia tak ingin larut dalam kesedihan karena Gaza. Ada Alan dan ayahnya yang lebih membutuhkannya.

"Bagaimana kondisi Alan sekarang?"

"Sepertinya aku lupa memberitahumu, perkembangan Alan sangat bagus. Dokter Purnomo bilang kemungkinan besar Alan akan segera sadar."

"Alhamdulillah Rain, akhirnya usahamu membuahkan hasil." Maya tersenyum senang. "Kenapa kau tak terlihat bahagia Rain?" Maya melihat kesedihan dimata Rain.

"Aku bingung May, tabunganku sudah semakin menipis. Tapi pengobatan Alan masih harus berlanjut. Saat Alan sadar nanti, dia juga masih harus menjalani proses pemulihan yang tidak sebentar. Selain itu biaya pengacara juga sangat mahal. Kau tahukan jika aku menyewa pengacara terbaik. Aku hanya ingin memberikan keadilan untuk ayah." Rain berkata sambil terisak.

"Aku akan berusaha membantumu Rain. Walaupun mungkin tidak banyak."

Rain menggeleng cepat.

"Kau sudah terlalu banyak membantu May. Aku tak bisa lagi menerima bantuanmu." Rain tiba tiba teringat tentang pekerjaan yang pernah dimintanya pada Maya.

"Bagimana dengan pekerjaan itu May, kau sudah bicarakan dengan bos mu kan? Bagiamana, aku bisa ikut bekerja denganmu kan? Aku sangat butuh pekerjaan May." Desak Rain.

Maya menelan ludahnya dengan susah payah.

"Ma, maaf Rain, sepertinya tidak bisa. Sulit untuk masuk diperusahaan tempatku bekerja. Seleksinya sangat ketat."

"Kau meragukan kemampuanku? Aku akan mencoba May. Aku tak peduli apa hasilnya. Kalaupun aku tidak diterima, seengaknya aku pernah mencoba. Tolong May, bantu aku." Rain menggenggam tangan Maya. Tampak sekali diwajahnya jika dia sangat berharap perkerjaan itu.

Maya ragu untuk mengatakan, tapi dia tak bisa terus membohongi Rain.

"Kau belum tahu pekerjaanku Rain."

"Kamu bekerja kantorankan? Di sebuah perusahaan real estate. Kamu udah pernah cerita dulu." Rain masih mengingat cerita Maya kala itu.

Maya menggeleng. "Maaf Rain, sebenarnya saat itu aku berbohong."

"Ma, maksud kamu?" Rain mengerutkan keningnya.

"Aku takut kamu akan membenciku jika tahu pekerjaanku yang sebenarnya." Ujar Maya sambil menunduk.

"Yang sebenarnya? A, apa maksudmu May, aku tak paham. Jangan berputar putar. Aku sudah pusing May, aku sudah banyak masalah." Desak Rain.

"Aku... aku..." Maya menggigi bibir bawahnya sambil memejamkan mata. Berat sekali untuk mengatakan yang sebenarnya pada Rain. Karena konsekuensinya, Rain akan kecewa dan mungkin membencinya.

"Apa May?"

"Aku seorang mucikari ."

Rasanya seperti petir yang menggelegar. Mata Rain membulat sempurna, mulutnya menganga saking kagetnya. Dia terus menggeleng karena tak percaya.

"Tidak, tidak, kau pasti becanda kan?" Tanya Rain sambil menatap kedua manik mata Maya.

"Aku tak becanda Rain, aku seoarang mucikari."

Tubuh Rain melemas mendengarnya. Maya tidak sedang becanda, dia bisa melihat kejujuran dimatanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!