Aku balik lagi dengan kisah yang.. yang biasalah tidak jauh-jauh dari romance. Bucin sih.. meski aku sedang jomblo. Saat memutuskan untuk tidak pacaran, malah yang deketin enggak ada yang menjurus ke hal-hal romantis.. 😖😖
Karena menjomblo ria, mari tuangkan kisah imajinasi akut bucin ke dalam cerita dan berbagi untuk semua.
😅😅
.
.
.
Oh iya, dalam diskripsi jelas ini inspirasinya dari drakor Princess Hours.
Judul: MELODI CINTA: Tiba-Tiba Nikah
Genre: romantis
Alur: Gaje kagak jelas.
Cast: Melody Hwang, Kazehaya Yudha.
Setting tempat: JEPANG!
Jangan heran meski aku orang Indonesia bagian pantai selatan Jawa tapi aku kalau bikin cerita pasti memakai 4 season country. Aku benar2 menyukai 4 musim itu sebagai latar ceritaku.
.
.
.
Yang suka drama romance indah dan manis, ini bisa membuatmu merasa terhanyut karenanya. KAYAKNYA 😂😂
.
.
.
Berikan cinta dan dukungan untukku, maka aku balas dengan doa agar kebahagiaan selalu menyertaimu. Tuhan menyayangimu seperti DIA menyayangiku..
Selamat membaca..
"Ya Tuhan, kalau begini terus, aku benar-benar akan dipecat. Haduh. Telat! Telat!" Gerutu sepanjang jalan seorang gadis yang baru beranjak dewasa. Terus berlari menyusuri trotoar jalan tengah kota metropolitan. Dialah Melody Hwang.
Melody adalah seorang gadis yang ramah, ceria, dan sangat cuek dengan penampilannya. Selalu tampil natural dan menerima apa yang telah Tuhan anugerahkan padanya.
Disadari atau tidak, Melody memiliki tubuh ideal dan rupawan. Tak sedikit orang yang bilang bahwa dirinya itu cantik. Sangat malahan.
Tetapi apa responnya?
Melody bahkan tak pernah merespon, dalam benaknya hanya konsen dengan study-nya dan kerja sambilan untuk membantu menopang beban Ibunya.
Ayahnya sudah meninggal saat ia masih sekolah menengah pertama. Mulai sejak saat itu, ia tumbuh menjadi gadis yang tegar dan kuat.
Seorang mahasiswi ekonomi ini juga merupakan tipe gadis yang tidak gampang menyerah dengan keadaan yang sedang dihadapinya.
Selalu berusaha membuat orang di sekitarnya bahagia. Itulah dia, Melody sosok unik yang menarik yang berharap suatu saat akan menemukan sebuah kebahagiaan hidupnya. Setidaknya, juga kisah cintanya.
.
.
.
Jam tangan sudah menunjukan pukul 19:20, sekitar sepuluh menit lagi jam masuk kerja. Tempat kerja masih jauh. Sepuluh menit bukanlah waktu yang cukup untuk menempuhnya, sekalipun harus berlari kencang secepat pelari Olimpiade.
Sepanjang jalan, entah kata-kata apa yang Melody ucapkan, intinya berharap agar ia tidak terlambat masuk kerja lagi.
Lagi?
Ya lagi, ini bukanlah yang pertama ia terlambat masuk kerja, sudah sekian kalinya. Bukan ia yang tidak bertanggung jawab akan pekerjaannya. Bagaimanapun ia hanyalah manusia biasa yang berharap bisa dengan sempurna membagi waktunya.
Siang berkuliah dan malamnya bekerja. Siang hari, dia adalah mahasiswi yang kuliah di salah satu universitas ternama di kotanya, sedangkan malam hari, dia adalah seorang pelayan Cafe paruh waktu di Cafe elit di kotanya juga.
Berlari dan terus berlari, meski sudah tahu akan terlambat, tapi setidaknya sudah berusaha berangkat.
Lebih baik telat daripada tidak sama sekali? Ayolah, pepatah lama yang digunakan untuk sebuah alasan ketidak mampuan diri dalam berdamai dengan waktu.
Adakah yang berani memakai pepatah ini? Lebih baik datang lebih awal daripada tepat waktu.
Itu sungguh keren!
.
.
.
Saat di perjalanan, tiba-tiba Melody mendengar rintihan minta tolong. Suaranya sangat pelan dan melemah seiring waktu. Membuat bulu kuduk Melody berdiri menengang. Antara takut dan khawatir juga.
Tapi juga penasaran ingin tahu.
Karena merasa penasaran iapun mencari sumber suara tersebut, dan benar, di hadapannya terlihatlah seorang kakek yang terkapar lemah.
Kakek tua itu rebahan di trotoal jalan.
"Ya ampun, Kakek? Kakek! Hei kakek, sadarlah!" Kata Melody panik karena melihat kakek sudah pingsan.
"..." Kakek itu terkapar tak berdaya. Melody sudah tak bisa mendengar sepatah katapun keluar dari mulut si kakek.
"Haduuhh, kakek, sadarlah!" Melody yang gemetaran mencoba menyentuh tubuh si kakakek. Ia semakin gemetaran ketika mendapati tangannya berubah memerah dengan bau anyir.
"..."
"Astaga, darah? Kek, Kakek! Ya Tuhan, kumohon sadarlah, Kek! Apa yang harus kulakukan?" Lanjutnya yang mulai bingung.
"..."
"Bagaimana ini? Haruskah aku menolongnya dulu, lalu baru berangkat kerja?" Melody berpikir keras.
"..."
"Ah... suasana sepi, aku kan bisa pura-pura tidak melihatnya? Tapi, kalau kakek ini kenapa-kenapa bagaimana? Kalau kakek ini sampai meninggal, terus hantunya gentayangan mendatangiku dan meminta pertanggung jawaban karena aku tidak menolongnya saat dia hidup bagaimana? Ah, tidak-tidak, ayolah Melody, kau masih waras, kan? Ok, tolong kakek, urusan kerja nanti sajalah. Setidaknya aku masih punya hati."
Melody memutuskan untuk menolong kakek itu. Kakek tua yang tak ia kenal. Ia menelpon ambulance dan untungnya rumah sakit tak jauh dari tempat kejadian.
.
.
.
Prime Hospital.
"Tunggulah di luar, Nona! Kami akan berusaha menolongnya." Kata seorang suster.
Melody hanya bisa mengangguk dan suster perawat segera menutup pintu ruang oprasi.
Lampu ruang oprasipun menyalah ON.
Melody duduk di kursi tunggu dan berdoa demi keselamatan kakek. Meski ia tidak mengenalnya, tapi rasa khawatir terpancar jelas di raut mukannya.
Melody mencoba menenangkan dirinya. Apa yang baru saja ia alami tidak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya jika suatu saat akan mendapatkan pengalaman seperti ini.
Bertemu kakek misterius yang tertusuk?
Ini sangat menakutkan, dimana ia harus beroacu dengan jantunganya yang berdetak tak karuan. Ia gelisah, ia khawatir. Bagaimana jika terjadi hal buruk dengan kakek itu?
Bagaimana perasaan keluarga di rumah yang ditinggalkannya? Bukankah itu akan sangat menyedihkan? Ditinggal pergi kerja, pulang-pulang tinggal nama.
Melody menunduk, ia bahkan sampai mengeratkan kedua takupan tangannya dan kembali mengucapkan kata doa agar kakek yang ia tolong itu selamat.
"Tuhan, aku tahu yang aku lakukan selama ini hanya memohon dan memohon. Dengan kutanggalkan harga diriku, dengan dosa yang menggunung, mohon selamatkan nyawa kakek itu. Kumohon."
Melody ingat, jika ia tidak pernah tahu mengenai kakek kandungnya. Jika saat ini ia terbawa suasana, maka itulah kenyataannya. Mungkin seperti ini rasanya memiliki seorang kakek? Bolehlah dianggap seperti itu. Namun intinya, apapun yang Melody lakukan saat ini murni demi kemanusiaan.
.
.
.
Sekitar setengah jam, seorang suster keluar dengan wajah panik.
"Bagaimana keadaan kakek, Sus?" Tanya Melody.
"Kami butuh darah golongan A, pasien mengeluarkan banyak darah. Sayangnya kami kehabisan stok untuk golongan tersebut. Apakah Nona keluarganya?" Tanya Suster.
"Saya bukan keluarganya, tapi ambillah darah saya! Golongan darah saya juga A." Tawar Melody tanpa pikir panjang. Yang ia harapkan hanyalah sang kakek yang tertusuk parah itu selamat dan pulih agar keluarga yang menunggu di rumah tidak khawatir.
"Baiklah, mari ke laboratorium untuk mengikuti prosedur pendonoran darah! Kita tidak punya banyak waktu."
Melody mengangguk dan mengikuti suter menuju laboratorium.
Setelah mengikuti prosedur pendonoran darah, tubuhnya terasa sangat lemah. Ia harus beristirahat agar kondisi badannya stabil. Ini wajar dialami oleh pendonor darah, yang penting nyawa kakek tua selamat. Setidaknya itulah yang ada di benaknya.
"Bagaimana, Dok?" Tanya Melody usai mendapat kabar jika oprasi kakek itu sukses.
Dokter tersenyum. "Berkat darah Nona, kakek Nona selamat. Sekarang ia sedang tertidur karena obat bius." Jawab Dokter.
"Hah, syukurlah kakek selamat. Lega." Melody menghela nafas lega. "Sebenarnya dia bukan kakek saya. Saya hanya menolongnya."
"Hmm, rupanya masih ada kasih di tengah keegoisan kota ini."
"Ah, terima kasih, Dok." Dokter mengangguk dan meninggalkan Melody.
Setelah itu, rupanya ia teringat akan sesuatu.
"Astaga! Cafe?" Katanya menepuk jidatnya. "Jam sembilan malam lebih lagi. Ini sih bukan hanya telat, tapi telat banget!" Lanjutnya yang langsung beranjak menuju Cafe tempat ia bekerja. Ia berharap ia tidak akan dipecat.
Melody kembali berlari sekuat tenaga menuju Cafe tempat ia bekerja. Dengan sisa tenaganya yang belum pulih sama sekali usai donor darah tentunya. Sudah seperti biasanya, ia memang suka memaksakan diri dan terlalu keras pada dirinya sendiri.
"Telat! Telat!"
Ini tidak hanya telat, tapi telat banget.
Pantaskah ia berharap jika malam ini ia tidak akan dipecat oleh bossnya? Berharap apapun itu pantas-pantas saja dan hak setiap manusia. Biar nanti nasib, takdir, dan Tuhan yang menentukan keputusannya.
.
.
.
Cafe Blink Blink..
"Melody, kamu pikir Cafe ini milik nenek moyangmu? Jam berapa sekarang, hah?" Teriak kesal menejer Cafe, Shion.
"Maaf Shion-san, tadi ada masalah besar di jalan." Jawab Melody jujur. Ia tidak menyukai kebohongan. Sebisa ia berkata jujur, maka ia akan mencoba untuk berkata jujur.
Munafik juga, soalnya kadang memanfaatkan kedaan untuk mengarang indah demi menyelematkan diri sendiri. Manusia biasa memang tak luput dari bekata bohong rupanya.
Note: sufix -san dalam bahasa Jepang digunakan untuk menunjukkan rasa hormat pada orang yang lebih tua, orang baru, intinya ditunjukkan sebagai bentuk rasa hormat dan kesopanan.
"Jalannya kali yang besar. Hahh.. baiklah-baiklah, ini yang terakhir. Kalau sampai telat lagi, aku tak segan untuk memecatmu!"
Shion merasa iba karena ia tahu bagaimana Melody itu.
Meski sering telat tapi Melody itu pekerja keras dan melakukan kerjaannya dengan baik. Gara-gara kecantikan Melody juga omzet Cafe miliknya bertambah. Banyak pengunjung yang menyukai Melody dan bersedia berkunjung kembali untuk sekedar memesan minuman dan mengagumi kecantikan Melody.
"Be-benarkah, Shion-san? Ah, terima kasih banyak, Shion-san. Aku pastikan ini yang terakhir! Aku akan bekerja lebih giat lagi!"
"Ganti pakaianmu dan segera bekerja!"
"Iya, arigatou gozaimasu, Shion-san." Melody tersenyum senang.
Arigatou gozaimasu: Terima kasih banyak.
.
.
.
Dengan semangat cerianya, Melody menjalankan tugasnya sebagai seorang pelayan Cafe. Menanyai pesanan, membawakan pesanan, mengelap meja, seperti itulah kerjaan Melody di Cafe. Berat memang. Menjadi pelayan Cafe tidak semudah itu. Perlu tenaga extra dan fisik yang kuat. Tentunya mental juga karena tidak semua pelanggan itu ramah.
Bagi Melody, meski pekerjaan itu cukup kasar, tapi ia bahagia melakukannya. Hal itu membuat gembira hatinya. Uang juga sih tujuannya.
Buat apa munafik, nyatanya ia memang butuh uang banyak untuk menghidupi dirinya dan sang ibu di rumah. Uang menempati tida besar dalam tatanan tujuan Melody di masa depan!
.
.
.
Rupanya hari ini memang bukan harinya Melody. Ada saja masalah yang menghampirinya. Sudah telat, berurusan dengan kakek misterius yang tertusuk, dan lagi, apa ini?
Saat Melosy sedang membawa nampan berisi pesanan pengunjung Cafe, seorang pengunjung Cafe berjalan terburu-buru, tanpa sengaja menyenggol lengan Melody. Melody yang kaget, tak kuasa menahan beban dirinya, nampan yang ia bawa tak urung mendarat indah di gaun salah seorang pengunjung lain.
Gaun itu sangat cantik dan yang memakainya juga sangat cantik.
"Hei pelayan sialan, matamu buta, hah? Kalau tidak becus, tidak usah bekerja! Apa yang sudah kau lakukan pada gaun mahalku?" Bentak seorang wanita pengunjung Cafe yang gaun indahnya ketumpahan minuman yang Melodu bawa.
"Ma-maaf, Nona. Saya tidak sengaja, tadi ada pengunjung yang menyenggol saya, minuman yang saya bawapun akhirnya tumpah." Jelas Melody.
"Tidak sengaja? Kau pikir dengan kelakukannya yang tidak sengaja itu bisa dimaafkan? Alasan saja untuk menutupin kerjaanmu yang tidak becus."
"Maafkan, saya." Melody tidak berniat membalas ucapan wanita pengunjung Cafe itu karena saat ini ia berada di posisi yang salah. Bukan berati tidak becus, tapi percayalah, senggolan dengan pengunjung lain tadi itu tidak bisa ia hindari.
Ini murni kecelakaan yang tidak disengaja!
"Ada apa ini?" Tanya Shion yang tiba-tiba datang karena mendengar kegaduhan.
"Lihat gaun saya! Kotor karena perbuatan pelayan tidak profesional seperti dia!" Pengunjung wanita itu menatap Melody dari atas sampai ke bawah. Ia lalu memincingkan matanya.
"..."
"Orang miskin mana bisa profesional." Kata Wanita Pengunjung Cafe pedas.
Melody panas, tak tahan dihina. Ia memang miskin, tapi ia sudah bekerja sangat keras dibandingkan orang lain. Hanya karena kesalahan yang tak disengaja itu lantas orang lain dengan seenak jidatnya merendahkan harga dirinya itu keterlaluan!
Melody tidak terima harga dirinya diinjak-injak.
"Ya, saya memang miskin! Orang kaya tidak boleh menghina orang miskin! Apalagi dengan hinaan tidak profesional seperti Anda!" Balas Melody lebih pedas.
"Kau..." Geram Wanita Pengunjung Cafe.
"Melody!" Bentak Shion.
"Kau harus memecat pelayan tidak profesional seperti dia! Orang miskin tidak berpendidikan tidak pantas menghirup udara di kota elit ini! Orang-orang seperti dia ini hanya membuat mata sakit. Sampah tak pantas di sini!" Kata Wanita Pengunjung Cafe itu galak.
"Tolong pergunakan bahasa yang sopan, Nona Menor!" Kata Melody yang rupanya ikut tersulet emosinya karena pengunjung eanita itu benar-benar membuat panas telinganya.
"Apa kau bilang?" Pengunjung wanita naik pitam.
"Nona Menor." 🙄 Jawab Melody santai
Wanita Pengunjung Cafe itu semakin kesal dan naik darah. Bisa-bisanya dirinya dikatai menor oleh orang miskin yang bahkan gaji sebulannya tidak akan mampu untuk membeli kosmetik perawatan wajahnya.
"Nona, Anda tidak hanya menor, tapi dandanan Anda melebihi dandanan tante-tante girang di pinggir jalan. Tidakkah Anda mengaca sebelum Anda keluar rumah?" Melody semakin berani.
"Tarik ucapan nistamu itu, jal@ng!"
Shion meradang. Dua insan manusia di depannya itu benar-benar membuat tensi darahnya naik. Hari ini Cafe sangat rame, ia lelah fisik dan batin. Kenapa pertengkaran Melody dengan pengunjung Cafe menjadi-jadi dan tidak ada satupun yang mengalah? Menjengkelkan!
"MELODY!" Bentak Shion
Melody sudah siap dengan apapun yang akan ia terima malam ini. Ia lepas kontrol jika harga dirinya terlukai.
"Baru setengah jam yang lalu berjanji tidak akan membuat kesalahan. Sekarang apa? Kau DI-PE-CAT! Silahkan keluar dan bersihkan isi lokermu!" Kata Shion.
Melody melepaskan kain celemeknya di pinggangnya. Ia lalu menaruhnya di meja dekat dengan bossnya.
"Terima kasih sudah menampungku! Permisi!" Kata Melody lalu meninggalkan mereka menuju loker gantinya.
"Bye orang miskin."
Rupanya Shion lebih mengutamakan pengunjungnya daripada kemampuan Melody bekerja. Shion harus ambil resiko karena pengunjungnya itu adalah orang-orang elit yang bisa dengan mudahnya meruntuhkan Cafenya jika ia berbuat masalah.
Memecat Melody adalah pilihan terbaik.
Tanpa bantahan, Melody meninggalkan Cafe itu. Rasanya cukup berat. Gaji yang lumayan tinggi adalah alasannya bertahan. Rasanya juga ingin sekali meminta Shion untuk memaafkannya dan tidak memecatnya. Tapi kalau menginggat betapa seringnya ia terlambat, memang dipecat rasanya pantas juga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!