NovelToon NovelToon

Salah Kamar

Tugas Sekolah

"Baiklah anak-anak. Pertemuan hari ini bapak rasa cukup. Jangan lupa kerjakan tugas dengan baik. Dan kumpulkan tepat waktu. Bapak tidak mau sampai ada yang terlambat. Mengerti!?" tegas pak Jono.

"Mengerti pak," jawab serempak para murid.

Hari ini terakhir kalinya murid kelas XII IPA mendapatkan tugas praktik kelompok. Sebelum memasuki semester kedua yang penuh dengan jadwal ujian.

Sepulang sekolah nanti Nana harus segera mengerjakan tugasnya. Karena masih banyak tugas sekolah yang lainnya. Belum lagi ulangan harian mendadak yang benar-benar membuatnya pusing.

"Kalo dipikir-pikir sedih juga, ya, jadi kelas dua belas. Bimbel sana sini. Pulang udah sore banget. Belum nanti kehujanan, kena cipratan mobil."

"Ya lord.. Kapan ini segera berakhir!?" keluh Gita teman sebangku Nana.

"Di rumah cuma numpang mandi sama tidur doang ya, Ta. Berasa anak rantau," jawab Nana menyeruput minumannya.

"Anak rantau mah, enak, Na. Pergi pagi pulang pagi juga nggak papa. Dapet duit. Nah, kita?"

"Pergi pagi pulang sore. Malem berangkat lagi. Dapat duit enggak. Ngabisin duit iya. Capek banget aku, tuh."

"Ya mau gimana lagi. Kalo Lo nggak mau ribet. Panggil doraemon, pinjem kantong ajaibnya. Apapun permintaanmu bakal terkabul. Haha."

"Iya ya, enak banget jadi Nobita."

Bunyi bel sekolah menandakan mereka harus segera masuk kelas. Menikmati beberapa pelajaran terakhir hari ini.

Nana bergegas pulang. Membersihkan diri dan kembali berangkat ke rumah Gita untuk mengerjakan tugas pak Jono tadi.

Jangan sampai berlarut-larut. Sebisa mungkin hari ini harus selesai. Karena nanti selepas maghrib dia masih ada les tambahan. Benar-benar siswi sejati.

Hampir enam jam penuh berada di sekolah. Belum lagi les private yang diambilnya. Menguras banyak sekali tenaga dan pikiran. Layaknya anak rantau. Bekerja keras bagaikan kuda.

Siang ini rasanya panas sekali. Ternyata makan banyak di kantin sekolah tadi tidak membuat perutnya kenyang lebih lama. Baru saja jalan beberapa meter dari rumahnya dia sudah sangat lemas.

Kruuk.. Kruuk.. Kruuk

"Duh.. nih perut kenapa nggak bisa diajak kompromi, sih. Perasaan tadi gue makannya banyak, deh. Kenapa baru dua jam udah laper banget. Haus lagi."

"Makan banyak nggak lebar-lebar juga, nih badan." Gerutu Nana merogoh saku celananya. Berharap ada uang di dalamnya.

Lama mencari-cari di saku kanan, kiri, belakang. Nihil. Dia lupa tidak membawa uang.

"Ah. Sialan!" batinnya.

Belum menyerah. Nana mengistirahatkan tubuhnya di sebuah pos ronda. Mengobrak-abrik isi tas nya. Semoga dia tidak lupa membawa dompetnya.

"Akkkhh.. Kenapa si lupaan banget gue, tuh." Marah Nana membanting buku yang dia pegang.

"Duh, tukang doger jangan kesini jangan kesini."

Tok tok tok

Suara bambu yang dipukul penjual es doger sungguh menggoda Nana. Sial. Gara-gara terburu-buru dia melupakan barang berharganya.

Memang tidak jauh jarak rumahnya dengan Gita. Tapi suasana siang hari yang begitu panas membuatnya tidak bisa menahan dahaga. Dia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya ke rumah Gita.

Awas saja. Sampai sana nanti dia akan meminta sebotol air putih dingin pada Gita. Dia akan balas dendam dengan rasa hausnya.

"Mbak, es doger mbak. Seger banget, loh, ini. Dijamin haus seketika hilang." ucapan penjual es hampir saja menggoyahkan Nana.

"Enggak, Bang. Makasih. Aku nggak haus!. sentak Nana memalingkan wajahnya. Melewati gerobak es doger dengan hati hampir menangis. Menelan ludahnya dengan berat. Berjalan tergesa sambil menghentak-hentak kan kakinya.

"Aku harus segera sampai di rumah Gita. Haus banget Ya Alloh."

Masih dengan drama hausnya. Nana setengah berlari sambil memegang tali tas ranselnya supaya tidak bergoyang ke kanan dan ke kiri.

Setelah sampai di depan rumah Gita. Nana segera berteriak mengucap salam. "Assalamualaikum. Git. Gitaa.."

"Lama banget sih ni anak. Mana sepi banget lagi," gumam Nana lirih.

Rumah Gita yang berada di gang paling ujung membuat keadaan terlihat lebih sepi. Lalu lalang tetangga yang biasa ramai siang ini tidak seperti biasa. Mungkin mereka lagi tidur siang. Begitu pikirnya.

Tidak ada sepuluh menit. Pintu rumah Gita akhirnya terbuka.

"Wa'allaikumsalam. Maaf ya, Na, gue tadi lagi di WC. Di rumah lagi nggak ada orang. Kakakku nggak tau kemana. Paling juga keluyuran. Bapak sama Ibu belum pulang."

"Ayo masuk," ajak Gita menggandeng tangan Nana memasuki rumahnya.

"Haus banget, Git, gue. Mana dompet ketinggalan. Biasanya di saku celana ada uang. Eh, ini tadi nggak ada sama sekali. Sial banget emang."

"Ya udah. Tunggu sini. Gue ambilin minuman kesukaan Lo," jawab Gita berlalu ke dapur.

Nana mendudukkan diri menyandarkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Menaruh tas nya sambil menunggu Gita membawakan setidaknya minuman manis segar untuknya. Beruntung sekalian camilan ringan.

Tanpa dipersilahkan Nana langsung mengambil alih botol besar berisi air dingin di tangan Gita. Meminumnya hingga buliran air jatuh di dagu dan bajunya. Seketika hausnya benar-benar terobati. Lega rasanya.

"Kirain Lo mau buatin jus atau apalah minuman manis. Eh, ternyata. Lagi lagi air dingin doang sebotol gede," sindir Nana.

"Hee. Ya, maaf, Na. Adanya cuma itu. Lagi mager," ngeles Gita menggaruk tengkuknya.

Mereka memulai mengerjakan tugasnya dengan sangat fokus. Mengamati penelitian ekosistem. Melakukan observasi di sawah belakang rumah Gita. Sesekali beradu debat. Menyatakan opini masing masing.

Gita yang mendapat bagian mencatat hasil observasi. Dan Nana yang bertugas mengamati. Mereka berkutat beradu hasil pemikiran. Berdiskusi bersama. Agar hasil yang akan dilampirkan di laporan nanti sesuai.

Belum selesai menulis laporan. Tidak terasa adzan maghrib berkumandang. Nana yang memang ada jadwal les. Segera mengabari guru les nya bahwa hari ini dia tidak bisa datang. Memutuskan untuk ikut mandi di rumah Gita. Dan pulang setelah tugas mereka selesai.

Jarum jam dinding menunjukkan waktu setengah sembilan malam. Seringnya bercanda ria dan tentunya ghibah yang dimaksud untuk menghilangkan rasa kantuk. Membuat mereka belum menyelesaikan hasil laporannya.

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar.

Tok tok tok

Gita yang saat itu membuka pintu hanya mengira kalau bukan tamu lah yang datang. Paling kakak kalau bukan orang tuanya.

Belum sampai pintu terbuka lebar dengan gerakan cepat beberapa orang berbaju hitam, memakai penutup kepala mendorong pintu dengan kerasnya. Membuat Gita seketika terjatuh di lantai.

Gita yang saat itu mengaduh kesakitan, mengelus bokongnya. Hingga suara bariton menyadarkannya.

"Angkat tangan kalian! Diam. Atau kami akan membunuh kalian!" gertak salah satu rampok.

Gita mendongakkan kepala dan diam. Tidak berani bergerak. Salah satu dari mereka membungkam mulutnya.

Nana yang saat itu fokus menulis laporan seketika ketakutan. Gemetar seluruh tubuhnya. Dia belum mau mati. Dia masih ingin bekerja dan menikah. Memiliki anak dan cucu yang cakep dan cantik.

Kehabisan akal. Nana berlari. Semakin masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Gita yang tidak tau bagaimana nasibnya.

Memasuki sebuah kamar. Mengunci diri dari dalam. Mendorong meja kecil di dalam kamar itu hingga mentok membentur pintu. Perampok itu pasti tidak bisa mendobrak pintu ini. Begitu pikirnya.

Nana mendudukkan tubuhnya dilantai bawah tempat tidur. Menggigit kuku-kukunya panik.

"Ya Alloh gimana ini? Gimana keadaan Gita sekarang. Lindungi kami Ya Alloh. Semoga Gita nggak diperkosa sama mereka," doa Nana sambil memeluk kedua lututnya, bersembunyi.

Di tempat lain. Barang berjatuhan dimana-mana. Rumah yang semula rapi kini seperti kapal pecah.

Barang berharga seperti tv, guci-guci besar dan lukisan mahal di dinding telah raib digondol rampok. Mereka benar-benar nekat. Belum jam sembilan malam sudah melancarkan aksinya.

Para rampok segera pergi dari rumah itu setelah mendapatkan barang berharga. Melepaskan Gita yang tengah pingsan dan menidurkannya di sofa ruang tamu.

Petaka

Sudah setengah jam Nana berada di dalam kamar itu. Dia ingin sekali keluar. Dia ingin tahu bagaimana keadaan Gita. Tapi sungguh dia tidak berani.

Dia memberanikan diri menarik meja kecil tadi. Menempelkan telinganya di daun pintu. Berusaha menangkap suara dari luar. Apakah perampok itu masih ada di rumah? Atau sudah pergi?

Dia menarik kunci yang masih menggantung di pintu. Mengintip dari lubang kunci. Berharap dapat melihat keadaan luar. Namun sayangnya dia tidak bisa melihat apa apa.

Menggigit kuku jarinya dan mondar mandir di belakang pintu. Itu yang bisa dilakukannya sekarang. Keluar pun dia benar-benar tidak berani. Tapi disisi lain dia begitu khawatir dengan Gita.

Di depan rumah terlihat Ega telah pulang dan memarkirkan mobilnya sembarangan. Kondisinya yang mabuk berat tidak fokus dengan sekitar.

Pintu rumah yang terbuka lebar membuatnya dengan mudah masuk begitu saja. Dengan berjalan sempoyongan dia langsung menuju kamarnya. Sekilas melihat adiknya yang tidur di sofa tanpa membangunkannya. Keadaan rumah yang sudah seperti kapal pecah tidak dipedulikannya.

Sesampainya di depan pintu kamar. Dia segera menarik gagang pintu.

"Siapa di dalam? Hei.. Buka pintunya. Gue mau masuk. Cepat buka!" hardiknya menggedor pintu dengan sebelah tangan memegang kepalanya. Pusing.

Nana yang berada di dalam semakin ketakutan. Ternyata perampok itu belum keluar dari rumah ini. Begitu pikirnya. Keringat semakin bercucuran membasahi pelipisnya. Suhu ruangan yang dingin seketika menjadi panas.

Gedoran pintu dari luar mengagetkan Nana. Kunci yang dia pegang terjatuh. Melangkahkan kakinya mundur dan tubuhnya terbentur meja.

"Kalo Lo nggak mau buka. Gue yang akan dobrak, nih, pintu!" teriak Ega.

Keadaan mabuk justru tidak menyulitkannya mendobrak pintu kamarnya. Dia dengan keras menendangnya. Hanya dengan dua kali tendangan pintu itupun terbuka.

Nana yang tidak jauh dari belakang pintu. Seketika terjatuh tertabrak pintu yang terbuka dengan keras. Menimpa kepalanya hingga dia pingsan.

Tubuh Ega yang dikuasai alkohol seketika terbelalak. "Siapa gadis ini? berani beraninya dia masuk ke kamarnya. Apa dia mau mencuri?" batinnya.

Baru saja dia akan berjongkok untuk melihat siapa gadis itu. Dia ikut pingsan juga. Pengaruh alkohol yang banyak membuat kepalanya pusing tak tertahankan. Dia pingsan dan jatuh di atas tubuh gadis itu.

..... ...

Sudah tengah malam. Gita yang tadinya pingsan di atas sofa mulai siuman. Dia memegang kepalanya yang pusing dan terbangun.

"Duh, pusing banget gue," gerutu Gita sambil terduduk. Beberapa menit kemudian dia teringat bahwa rumahnya kerampokan. Lalu dimana dia sekarang.

Dia melihat sekeliling rumah yang berantakan. "Alhamdulillah, gue selamat," ucapnya bersyukur. Lega.

Sejurus kemudian dia teringat bahwa Nana tadi bersamanya. Dan dia juga masih ingat kalau Nana berlari untuk bersembunyi. Tidak tahu dimana.

Dengan tergesa Gita masuk kedalam. Mencari dimana Nana bersembunyi. Belum sempat berucap dia sudah sangat syok melihat pemandangan di depannya.

"Hah. Astaghfirulloh..." kaget Gita berlari.

"Hei. Apa yang kalian lakukan, Ya Alloh. Kak bangun, Kak. Kalian ngapain? Ayo bangun," ucapnya menggoyangkan tubuh Ega.

Namun bukannya Ega yang terbangun justru Nana yang dulu membuka matanya. Melihat tubuhnya tertindih, Nana seketika mendorong keras tubuh Ega untuk beranjak. Kemudian menatap wajah Gita dengan menggelengkan kepalanya.

"Git. Ini nggak seperti yang Lo lihat. Sumpah! Gue nggak ngapa ngapain. Gu-gue juga nggak inget kenapa," ucap Nana membela diri.

Gita yang sedari tadi duduk berjongkok memijat keningnya. Apa yang tengah dilakukan oleh teman dan kakaknya disini. Belum sempat menjawab Nana, kedatangan orang tuanya mengagetkan mereka.

"Apa apaan ini? Kenapa rumahnya berantakan sekali, Git? Apa yang kalian lakukan disini?" hardik Bapak Gita marah.

"Te-tenang Pak. Aku bisa jelasin. Ayo kita ke depan dulu." Gita mengajak orang tuanya ke ruang tamu untuk menjelaskan kronologi yang sebenarnya.

Ibu Ve yang saat itu tengah syok melihat keadaan rumah dan ditambah dengan keberadaan Nana di kamar Ega membuatnya hampir saja pingsan. Berjalan mengikuti anaknya dengan menggandeng lengan suaminya.

"Duduk! Sekarang jelaskan sama Bapak apa yang sebenarnya terjadi. Dan kenapa ada perempuan di dalam kamar kakakmu Gita?" sentak Bapak Gita sedikit berteriak.

Pekerjaan yang menumpuk belum lagi acara kantor yang membuatnya pulang sampai selarut ini benar-benar membuat emosinya memuncak.

"Ta-tadi rumah kita kerampokan, Pak. Trus, trus aku tadi nggak tau. Bangun-bangun udah di sofa."

"Trus lagi, tadi pas ada rampok, barengan sama aku lagi ngerjain tugas sama temenku. Di-dia tadi lari ke dalam buat sembunyi. Karena aku udah di bekap sama mereka."

"Ta-tapi a-aku nggak tahu lagi Pak!" jawab Gita menunduk takut.

Terdengar helaan napas berat dari Bapaknya. Istrinya yang saat itu duduk bersebelahan dengannya hanya bisa mengusap pelan lengan suaminya. Berharap bisa meredakan emosinya.

"Panggil temanmu kesini!" perintah Bapak Malik pelan, berusaha meredam emosi.

Tanpa menjawab, Gita segera berlalu menyusul Nana yang saat ini sudah berdiri di depan kamar kakaknya ketakutan.

"Na, ayo ikut gue. Kita jelasin sama-sama, yah. Udah nggak usah takut. Mereka hanya salah paham kok," ucap Gita menenangkan Nana.

Tidak menunggu jawaban, Gita segera menarik lengan Nana untuk bertemu dengan orang tuanya. Menjelaskan kepada mereka sejelas-jelasnya.

Nana menunduk takut. Tidak berani melihat orang tua Gita. "Duduklah, nak!" perintah Pak Malik kepada Nana.

"Siapa namamu?" tanyanya.

"Na-nama saya Nana, Pak. Maaf sebelumnya ta-tapi ini tidak seperti yang Bapak lihat. Sa-saya tadi hanya takut. Trus sembunyi di dalam, Pak. Sumpah! Saya nggak bohong," ucap Nana berusaha membela diri.

"Sudahlah,nggak pa-pa. Bapak percaya kok sama kamu. Tapi Bapak tidak percaya kalo kalian berdua di dalam kamar dengan tidak melakukan apa-apa," senyum miring tersungging dari bibir Pak Malik.

Nana yang semula menunduk seketika mengangkat kepalanya. Syok mendengar ucapan Bapak Gita.

"Tapi kita tidak melakukan apa-apa, Pak. Saya berani di sumpah pocong. Saya tadi hanya pingsan karena ada seseorang yang mendobrak pintu. Cuma itu aja, Pak," sanggah Nana.

"Itu katamu. Tapi kamu tidak tau apa yang dilakukan anak saya waktu kamu pingsan 'kan?"

"Saya tidak mau tau. Pokoknya kalian harus menikah!" tegas Pak Malik meninggalkan mereka.

Nana hanya melongo, bingung. Apa yang di dengarnya tidak salah? Menikah. Lelucon macam apa ini. Dia harus menikah karena sesuatu hal yang tidak tau salah siapa.

Ibu Ve yang ikut bingung mencoba menenangkan Nana.

"Sudahlah, Nak. Kamu nggak usah takut. Mungkin Bapaknya Gita masih emosi. Jadi makhlum, ya. Jangan diambil hati. Biar saya nanti yang ngomong," ucapnya.

Ibu Ve tahu kalau ini hanya akal-akalan suaminya agar anaknya segera menikah. Ya, Ega sudah berusia 26 tahun. Kuliah yang tidak terurus ditambah perilakunya yang semakin menjadi.

Bermabuk-mabukan, judi, dugem dan masih banyak hal-hal buruk lain yang dilakukannya. Semakin membuatnya terlihat miris. Mungkin dengan menikahkannya dia bisa kembali seperti Ega yang dulu. Menjadi anak yang bisa dibanggakan orang tua. Dan melindungi keluarganya.

Ibu Ve berjalan menyusul suaminya. "Pak, apa kita tidak salah mau menikahkan Ega. Ibu percaya mereka tidak melakukan apapun. Ibu juga tau Bapak hanya main-main saja 'kan?"

Lagi-lagi Bapak Gita hanya menanggapinya dengan senyuman.

"Bapak tidak main-main, Bu. Dengan menikahkan Ega. Mungkin dia bisa menjadi anak yang lebih baik lagi. Kembali seperti Ega yang dulu. Dan Bapak lihat, gadis itu gadis yang baik. Apa salahnya menikahkan mereka? Lagi pula inilah waktu yang tepat."

"Tapi Nana masih sekolah, Pak. Dan dia juga belum menyetujui ini. Bapak yang memaksanya. Belum lagi bagaimana jika orang tuanya juga tidak setuju?"

"Itu masalah gampang, Bu. Biar Bapak yang mengatur semuanya."

Kesepakatan

Kegugupan begitu kentara ada di wajah Nana. Gadis yang selama ini terlihat ceria dan bar bar nyatanya bisa berubah seketika mendengar keputusan sepihak orang tua Gita. Berharap jika nanti ibunya mengetahui semua ini. Tidak mati jantungan.

Kalimat yang diungkapkan ayah Gita seolah-olah mengejeknya.

"Menikah."

"Haha. Lucu sekali," batin Nana menolak. Menertawai dirinya sendiri dengan kenyataan yang barusan di dengar.

Memang seberapa besar kesalahan yang dia buat sampai harus mau dipaksa menikah seperti ini. Bahkan mereka belum bertanya dengannya empat mata. Lima mata kalau perlu.

Kenyataan terjadinya tindakan kriminal di rumah temannya. Membuka mata dengan posisi ditindih laki-laki. Ah, semua gara gara perampok sialan itu.

"Ingin ku berkata kasar ya Alloh. Tapi aku masih inget dosa kok. Duh."

"Ayo lah Kak, bangun. Dasar Ega sialan. Bukannya cepetan bangun malah enakam tidur, woi! Andai nggak ada orang. Udah ku guyur air se galon. Huhu."

Menangis dalam hati nyatanya percuma saja. Memang siapa yang tau.

"Git, ayolah bantu bilangin ke mama kamu. Gue nggak salah papa, Git. Gue, tuh, disini korban ya!. Inget! K. O. R. B. A. N."

"Lo percaya 'kan?" Berusaha mendapat bantuan Gita. Nana rela memelas.

Ini demi masa depannya. Tidak mungkin 'kan belum juga mendapat ijazah es em a dia udah gendong anak. Duh baru ngebayangin aja dia sudah hampir menangis. Benar-benar dia masih ingin hidup bebas.

Bangun tidur siang. Rebahan sesuka hati. Gosip sana sini. Stalking gebetan dan masih banyak lagi. Bukannya bangun pagi, masak, bikinin kopi suami, nyuci dan setrika baju suami.

"Like pembantu tapi gratis, dong. Mana nggak dapet gaji gue. Gue 'kan masih mau kerja. Ngerasain lembur. Bayangin dinikahi CEO kayak di novel novel terlaris sekarang ini," batin Nana semakin miris.

"Gue nggak jamin, deh, Na bisa bantu Lo. Lo 'kan tahu, gimana bokap gue. Dia itu kalo udah ada maunya, ya, gitu."

"Kita tunggu kakak gue bangun dulu, deh. Pasti dia juga nggak setuju. Sekarang Lo berdoa aja gimana caranya bokap gue lupa sama semua ini. Trus, Lo nggak dicariin emak Lo," ucap Gita menenangkannya.

"Bangunin kakak Lo, dong, kalo gitu, Git. Jangan diem aja."

"Yaelah. Dia mah kalo abis minum gitu, ya. Percuma bangunin gak bakal juga melek."

"Kita tunggu besok pagi aja. Sekarang kita tidur, oke! Gue ngantuk banget."

"Yah, kok tidur sih, Git. Trus ini gimana?"

"Terserah Lo, deh, Na. Tidur ayo nggak ya udah. Berdiri disini sampek bulan purnama," jawab Gita berlalu ke kamarnya.

Nana hanya bisa menghela napas pasrah dan mengikuti kemana Gita melangkah. Dia akan menenangkan pikiran dulu. Siapa tahu ini semua hanya mimpi.

...... ...

Sudah semalam anak gadisnya tidak kunjung pulang. Ibu Saroh terlihat mondar mandir di teras rumahnya. Selepas subuh beliau hanya menanti kepulangan anaknya. Kemana sebenarnya Nana?

Berkali-kali dia menghubungi ponsel anaknya. Namun sama sekali tidak dijawab. Kemarin siang dia hanya menerima pesan bahwa Nana akan mengerjakan tugas kelompok. Mungkin sampai sore. Begitu isi pesannya.

Benar-benar hanya memiliki satu anak saja sungguh kurang ajar. Masih kecil sudah berani tidur diluar tanpa berpamitan. Dianggap apa sebenarnya dia.

Sebagai seorang ibu sungguh nalurinya begitu kuat. Sejak semalam bu Saroh merasa was-was. Mau mencari tapi kemana? Ini belum ada 24 jam. Tidak bisa membuat laporan anak hilang.

"Nana, sampai kapan kamu menjadi anak gadis yang menyebalkan!" umpat bu Saroh dalam hati.

Andai anaknya sudah pulang ingin sekali dia memukulnya dengan dandang. Sayang seribu sayang anaknya belum pulang.

Baru saja selangkah bu Saroh masuk ke dalam rumah. Kedatangan sebuah mobil menghentikannya. "Siapa mereka?" gumam bu Saroh dalam hati.

"Selamat pagi, Bu," salam Pak Malik.

"Iya, selamat pagi, Pak. Dengan siapa, ya? Dan ada keperluan apa?"

"Mohon maaf, Bu, sepagi ini saya sudah bertamu. Saya Malik ayahnya Gita. Teman sekelas Nana. Dan ini istri saya. Ini benar 'kan rumahnya nak Nana?"

"Loh! Iya Pak, benar. Saya ibunya. Mana anak saya?"

"Sabar dulu, Bu. Tapi bolehkah kami masuk dulu?"

"Oh, ya ampun sampek lupa. Maaf maaf, duh. Mari Pak, Bu, masuk."

Setelah mempersilahkan tamunya duduk. Bu Saroh meminta mereka menunggu sebentar untuk membuatkan minum.

"Benar-benar punya anak gadis satu bukannya jadi anak baik. Ini malah datang orang tua temannya. Ya Ampun Nana. Awas kalo kamu sampek berani pulang!" Sarkas bu Saroh dalam hati. Mengaduk teh panas dengan kasar seolah-olah itu adalah anaknya.

Meletakkan dua cangkir teh di atas meja tamu. Dengan tidak sabar bu Saroh menyerbu orang tua Gita dengan banyak pertanyaan.

"Jadi sebenarnya ada apa Pak, Bu?"

"Dimana sebenarnya si Nana?"

"Apa anak saya bertindak kurang ajar kepada anak kalian, Gita?" tanya bu Saroh tidak sabar.

"Tenang dulu, Bu. Nana baik-baik saja. Bahkan dia masih tidur pulas di rumah kami dengan Gita."

"Emm. Sebenarnya kedatangan kami kemari karena ada suatu hal, Bu. Dan kami harap ibu tidak kaget dan tidak panik dulu."

"Dengarkan penjelasan kami baik-baik."

Orang tua Gita menjelaskan secara detail apa yang sebenarnya terjadi. Runtutan cerita dari awal dan maksud tujuan mereka kemari.

"A-apa! Menikah? Kalian jangan sembuarangan, ya, kalo bicara. Anak saya itu masih sekolah. Untuk apa dipaksa menikah dengan alasan yang tidak masuk akal."

"Jangan mentang-mentang saya orang tidak punya. Kalian sebagai orang kaya bisa seenaknya. Menikahkan anak sendiri supaya jadi anak baik dengan sebuah alasan konyol."

"Hah! Saya tidak mau. Yang ada kalian yang untung saya buntung," sarkas bu Saroh dengan napas naik turun. Erosi. Eh emosi.

Seketika orang tua Gita menjadi gelagapan. Mereka tidak menyangka dibalik Nana yang terlihat pendiam memiliki ibu yang bar bar sekali.

"Tunggu, Bu. Ibu jangan marah dulu. Saya belum selesai bicara ini."

"Maksud saya begini, Bu. Nanti selepas Nana menikah dengan anak saya, Ega. Kami akan menanggung semua biaya hidup ibu dan Nana. Jadi ibu tidak perlu repot-repot bekerja seperti ini."

"Saya hanya minta Nana membantu saya untuk memperbaiki sifat buruk Ega, Bu. Saya tidak akan melarang apapun yang Nana ingin lakukan."

"Dia akan tetap bebas bersekolah. Bahkan kuliah dan bekerja."

"Itu saja, Bu. Saya tidak mempunyai keinginan buruk. Lagipula anak saya Gita sudah berteman lama 'kan dengan Nana. Mereka akan menjadi keluarga nantinya. Bisa kuliah bersama."

"Bagaimana, Bu? Apa Ibu masih keberatan?"

Bu Saroh memicingkan mata curiga. Benarkah kedua orang ini tidak berbohong. Dia memang tidak berpendidikan sama seperti orang pada umumnya. Tapi tentu saja hal hal seperti ini tidak membuatnya bodoh.

Apa tidak berdosa membohongi anaknya sendiri walaupun demi kebaikan juga. Apakah tidak keterlaluan memaksa anak sendiri untuk menikah hanya untuk ber leha-leha. Duh, dia jadi pusing. Iya apa tidak ya?

"Ah iya aja deh. Lagian 'kan enak nanti kalo Nana nikah, dia bisa seperti temannya yang lain. Tidak bersusah payah lagi harus kuliah nyambi kerja," batin bu Saroh menenangkan diri. Membenarkan sesuatu hal yang belum pasti.

Akhirnya terucap kata setuju.

"Baiklah kalau begitu. Demi pendidikan anak saya. Saya akan berusaha membujuknya. Tapi kalau dia tidak mau. Saya tidak mau lagi dipaksa."

"Lalu hal apa yang bisa kalian berikan sebagai jaminan?"

"Kami sudah menyiapkan surat perjanjian, Bu. Hitam di atas putih beserta materai sepuluh ribu."

"Ini. Ibu bisa membaca isinya dengan seksama sebelum menandatanganinya."

Hanya butuh dua menit bu Saroh membaca isi surat perjanjian tersebut. Dan ya, semua sesuai dengan apa yang mereka ucapkan tadi.

Dia tidak butuh apa-apa. Memberikan pendidikan yang layak untuk anak satu-satunya 'lah keinginannya saat ini. Menandatangani surat perjanjian tersebut di atas materai dengan sedikit berat hati.

"Ini semua demi kamu, Nak. Ibu harap ini pilihan yang tepat. Ah, dasar aku memang ibu luknut," batin bu Saroh dramatis.

Urusan mereka telah selesai. Sebuah kesepakatan besar telah diambil. Berharap ini benar walau sebenarnya salah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!