NovelToon NovelToon

ARTY RHAPSODY: Untukmu Aku Bernyanyi

Prologue

"Woy, K.a.f.i.r! Bayar utang lu. Jangan ilang-ilangan kayak setan lu, dasar k.a.f.i.r!"

Kalian pasti takkan percaya kalau kata-kata itu adalah isi pesan seorang bibi untuk keponakannya.

Tapi begitulah kenyataannya!

Dua bulan yang lalu, Gabrielle meminjam uang dari kekasih bibinya untuk membeli perangkat sound portabel. Tidak banyak---hanya satu juta lima ratus rupiah, tapi untuk ukuran seorang pengamen jalanan yang berpenghasilan pas-pasan seperti Gabrielle, butuh waktu tiga bulan untuk melunasinya, dan itu sudah paling cepat. Dia sudah berjanji akan mencicilnya tiga kali dalam tiga bulan.

Bulan pertama, ia membayar cicilan tepat waktu. Hanya bulan ini sedikit terlambat. Uangnya belum terkumpul, dan ia bermaksud untuk melunasinya sekalian pada bulan mendatang.

Si pemilik hak bisa mengerti, ia sama sekali tidak keberatan dengan gagasan itu. "Yang penting sesuai perjanjian, tiga bulan lunas!" katanya.

Tapi berbeda dengan bibinya yang merasa lebih berhak membela kekasihnya. Ia betul-betul marah besar. "Bikin malu," katanya. "Lima ratus ribu aja lu gak mampu bayar, mana mungkin bisa bayar sekaligus satu juta? Mau bayar pake apa? Jual diri aja lu paling laku dapet rokok sebungkus, paling bonus kopi segelas!"

Terlalu sarkas memang!

Tapi seperti itulah perkataan yang selalu diterima Gabrielle sepanjang waktu, bahkan sebelum ia berhutang.

Belum lagi sindiran yang dilontarkan orang lain di story media sosial. "Kasian, ya... udah miskin, gak punya temen, boro-boro punya pacar. Udah gitu bentar lagi gak punya tempat tinggal, bentar lagi di-hussh... Husssh... Kasian! Kasian!"

Itu pun masih belum seberapa jika dibandingkan dengan perkataan bibinya pada pesan berikutnya. "Gak punya akhlak, gak punya malu, gak punya harga diri, gak punya apa-apalah pokoknya!"

Jadi, apa yang membuat bibinya begitu marah?

Apakah mungkin perkara hutang piutang yang tak seberapa bisa membuat seseorang begitu benci pada keponakannya sendiri?

Pertama, jumlah uang satu juta lima ratus rupiah bukan jumlah yang tak seberapa bagi Gabrielle, mengingat penghasilannya juga tak seberapa.

Kedua, bibinya mencurigai Gabrielle telah merayu kekasihnya demi cicilan yang tak dapat dilunasinya.

Ketiga, bibinya gagal mengeruk keuntungan dari bunga yang diharapkannya.

Sebelum proses pencairan dana dilakukan, Gabrielle sudah mengatakan bahwa ia mungkin tak mampu melunasinya sekaligus. Ia hanya bisa mencicilnya. Dan kesepakatan pun diambil. Tiga kali cicilan selama tiga bulan. Tapi kemudian bibinya berkata bahwa cicilan yang harus dibayarnya menjadi enam bulan dengan jumlah yang sama. Dengan kata lain, Gabrielle harus membayar dua kali lipat dari jumlah yang telah dipinjamnya.

Gabrielle merasa keberatan dengan hal itu, bukan semata-mata karena ia merasa dirugikan dan merasa ditipu, tapi karena bunga dari hutangnya bisa menimbulkan riba.

Bukankah hal itu jadi tidak ada bedanya dengan meminjam uang pada rentenir?

Kalau tahu bakal begini, lebih baik aku meminjam uang saja pada rentenir sejak awal? pikir Gabrielle.

Lalu diam-diam Gabrielle menemui kekasih bibinya itu di belakang bibinya untuk meluruskan kesepakatan itu. Tapi kekasih bibinya tidak mengakui adanya kesepakatan kedua. Dan pada akhirnya, Gabrielle memutuskan untuk membayarkan cicilan langsung kepada si pemilik hak.

Begitu bibinya mengetahui bahwa Gabrielle memiliki akses langsung pada kekasihnya, kecurigaan mulai menggerogotinya dan kemarahannya menggelegak. Segala macam cara dilakukannya hanya untuk mengata-ngatai Gabrielle, karena Gabrielle tidak pernah menanggapinya. Tapi semakin Gabrielle mengabaikannya, kemarahan bibinya semakin membuncah.

Sejahat itukah bibinya?

Tidak juga!

Bibinya hanya terbakar cemburu. Seseorang bisa melakukan apa saja saat cemburu. Kecemburuan adalah api yang menghanguskan.

...“Sesungguhnya, orang bodoh dibunuh oleh sakit hati, dan orang bebal dimatikan oleh iri hati”...

Itu adalah inti dari kisah ini---kecemburuan---iri dengki dan keangkuhan---penyakit hati yang menghancurkan segala-galanya. Di sini kita akan melihat betapa mengerikan dampak penyakit hati itu.

Dan ini baru permulaan!

Memangnya apa yang dicemburui dari seseorang yang katanya tidak punya apa-apa?

Itu hanya katanya!

Nyatanya Gabrielle tetap hancur---ditindas dan dipermalukan akibat kedengkian orang lain.

Siapa sebenarnya Gabrielle?

Tak banyak orang tahu kebenaran tentang Gabrielle---baik mengenai asal-usulnya, keluarganya, riwayat pendidikannya atau seperti apa dia di masa lalu. Bahkan keberadaan bibinya tidak membantu memberikan informasi kecuali mengenai fakta bahwa bibinya sendiri bahkan membencinya.

Setiap orang tahu, Gabrielle hidup sebatang kara dan menghidupi dirinya sendiri dari hasil mengamen.

Sebagian orang menyebutnya: GADIS BOHEMIAN---kaum eksentrik yang tidak diterima di masyarakat.

Sebagian lagi menyebutnya: Makhluk halu yang meresahkan.

Dan sebagian lagi menyebutnya: Arty---sok seniman---artis tanggung yang maksa famous.

Tapi mereka tetap saja iri.

Di dalam buku hariannya Gabrielle menuliskan kata-kata ini:

Seperti jauhnya jalan, demikian langkah hidupku. Di atas congkaknya jalanan, kutata garis hidupku.

Di tepi jalan, kusantap panas mentari. Di sepanjang hari kureguk peluh sendiri. Di antara kerikil jalanan, peruntunganku disembunyikan. Di persimpangan biasa kutunggu keajaiban.

Di atas jalan, cintaku bersemi. Di sepanjang jalan, kisahku tertulis...

Just it?

Jadi Gabrielle hanya anak jalanan?

Tidak lebih!

Lalu kenapa dia disebut K.A.F.I.R?

Semua orang pasti tahu, kenapa seseorang disebut k.a.f.i.r.

Tentu saja karena---dari namanya saja sudah cukup jelas---Gabrielle orang Kristen!

Chapter 1

Waktu baru menunjukkan pukul 23:30 ketika Gabrielle menghabiskan lagu terakhirnya dan mengutarakan sedikit pidato penutup, kemudian mematikan tombol power pada sound portabelnya.

"Baru jam setengah dua belas, Ndan?" Bobi---pedagang kopi sekaligus si pemilik lapak berkepala botak dengan tampang sangar namun tak pernah bilang 'Gue', menatap heran layar ponselnya, kemudian menatap Gabrielle dengan dahi berkerut.

Lapak si pedagang kopi bernama Bobi itu adalah lapak baru Gabrielle untuk menggelar konser akustiknya---sebut saja lapak mengamen.

Sejak ia membeli sound portabel dengan uang pinjaman dari kekasih bibinya, Gabrielle tidak perlu lagi mengamen berkeliling dari rumah ke rumah, tenda ke tenda, hingga ke bis kota---pinjaman itu betul-betul membantunya. Terutama mengingat persaingan ketat yang semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah pengamen.

Di setiap tempat di mana pun ia mengamen---di dalam bis kota, di tenda-tenda pedagang kaki lima, di komplek-komplek perumahan, selalu ada jatah untuk menunggu giliran---bahkan mengamen harus mengantre.

Sekarang dia hanya perlu duduk manis di trotoar, di tepian bantaran sungai, berdampingan dengan lapak para pedagang kaki lima lainya di samping Bobi si pemilik lapak yang menjadi lapak barunya. Biasanya mulai dari pukul tujuh malam hingga pukul tiga pagi. Tapi hari ini pikirannya betul-betul kalut dan suasana hatinya tidak menentu. Hari ini dia betul-betul menjadi pengamen teladan---telat datang pulang duluan.

Perkataan-perkataan bibinya di dalam setiap pesan-pesannya, ditambah sindiran-sindiran orang lain di setiap unggahan story di hampir semua media sosial, menggerogoti dirinya secara perlahan. Meski dia tidak menanggapinya, bukan berarti dia tidak peduli.

Sindiran-sindiran itu meresap ke dalam hatinya dan mengeras di dalam sanubarinya.

Dan ketika ia menghitung hasil saweran yang didapatnya hari ini, ia merasakan dadanya nyaris meledak.

Mengamen berkeliling sebetulnya bisa menghasilkan lebih banyak tanpa harus repot-repot menyanyikan banyak lagu. Mengamen berkeliling juga tidak terlalu banyak menghabiskan waktu. Tapi Gabrielle tidak cekatan dalam hal berebut jatah.

Mengamen di taman tidak perlu berebut jatah, tapi dia harus menguasai lebih banyak lagu untuk melayani request dan butuh kesabaran ekstra untuk menunggu saweran. Dan yang terpenting, dia juga butuh baterai untuk wireless dan gitarnya. Modalnya lebih besar tapi hasilnya lebih sedikit. Hanya kesannya saja lebih anggun---lebih berkelas, dan sawerannya bukan lagi pecahan lima ratus perak---pantasnya!

Tapi melihat hardcase gitarnya---kotak apresiasinya hari ini, betul-betul membuatnya merasa kerdil.

Mereka semua benar, katanya dalam hati. Aku betul-betul miskin!

"Bang, kopi gue hari ini---biasa, ya---kasbon dulu," katanya pada si pemilik lapak yang gemar memanggilnya komandan hanya karena Gabrielle nyaris tak pernah mengenakan pakaian bercorak lain kecuali hitam dan loreng army---celana army, kaos hitam model army dan sepatu bot bergaya army, itu sudah menjadi semacam ciri khas baginya, meskipun orang lain mengatainya tidak punya baju lain---cuma satu-satunya, Gabrielle hanya merasa nyaman dengan warna-warna itu.

"Elah," sergah Bobi---si botak b.i.a.d.a.b, seraya mengibaskan tangannya. "Kek ama sapa aja!"

"Ketemu impas pokoknya," Gabrielle menambahkan.

"B.a.b.i," dengus Bobi setengah berkelakar. Tentu saja Bobi tidak menganggap Gabrielle berhutang. Ia tulus merelakan berapa pun banyaknya kopi yang diminum Gabrielle---lagi pula berapa banyak seorang perempuan sanggup menghabiskan kopi dalam semalam---tak mungkin sampai bikin bangkrut daganganku, kan? pikirnya.

Selera humor para b.e.r.a.n.d.a.l.a.n seperti mereka memang kasar dan tidak masuk akal. Tapi bagi Gabrielle masih lebih kasar perkataan bibinya dan lebih tidak masuk akal lagi sindiran teman.

Iya, teman!

Mereka semua yang suka menyindir kebanyakan adalah teman---teman b.a.n.g.s.a.t!

Karena orang lain yang tidak mengenalmu, tidak mungkin mengataimu.

Berbeda dengan Bobi.

Bobi bukan teman, tapi sahabat.

Ada perbedaan antara teman dengan sahabat. Saat kita jatuh, sahabat akan mengulurkan tangannya, sementara teman hanya akan berpangku tangan dan tak jarang bertepuk tangan.

Di dalam kamus Gabrielle, tidak ada istilah 'musuh'---istilah 'musuh' hanya ada di film action.

"Ha-ha!" Gabrielle tergelak menanggapi semburan maut yang dilontarkan Bobi. Terdengar ringan dan biasa.

Tapi tidak biasa bagi Bobi. Dia selalu bisa membaca kepalsuan di setiap tawa Gabrielle. "Lu buru-buru tutup, udah capek ya, Ndan?" tanyanya setengah menyindir. "Capek pura-pura bahagia?"

"B.a.b.i," balas Gabrielle sambil cengengesan.

"Puma!" balas Bobi lagi. "Pura-pura macan padahal meong!" katanya tanpa tertawa.

Betul-betul botak b.i.a.d.a.b, batin Gabrielle merasa tergelitik.

Bagaimanapun kasarnya perkataan yang dilontarkan pria itu tak pernah melukai hatinya. Karena apa yang disampaikan oleh hati akan diterima oleh hati.

Begitu sampai di kamar kost-nya, kepahitan kembali merundungnya. Itu adalah saat di mana ia bebas merobek hatinya dengan tangannya sendiri, menguak luka tanpa diketahui oleh orang lain.

Ia melemparkan sweater-nya begitu saja, mencampakkan tas pinggangnya, kemudian mematikan ponselnya. Lalu mengurung dirinya---mengunci pintu dan jendela, kemudian berlutut dan berdoa.

"Tuhan, saya tahu Engkau tidak menjanjikan langit yang selalu cerah, atau rumput yang selalu hijau. Tapi Engkau menjanjikan Penolong. Malaikat-Mu berkemah di sekeliling orang percaya. Engkau tidak pernah benar-benar meninggalkan kami. Bantu saya merasakan kehadiran mereka. Bantu saya lebih dekat kepada-Mu. Bantu saya mengelola kemarahan saya. Bantu saya untuk menaklukkannya. Jadikan kemarahan saya sebagai hamba dan bukan tuan!"

Doanya kemudian terhenti.

Seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar.

Gabrielle menelan ludah dan menyeka air matanya dengan punggung tangannya. "Amin!" katanya terpaksa mengakhiri doanya.

Masih banyak hal yang belum kukatakan pada Tuhan, katanya dalam hati.

Ia menghela tubuhnya bangkit, kemudian berjalan ke arah pintu dengan lutut gemetaran.

Tak lama setelah pintu tersibak membuka, seraut wajah muncul sambil cengengesan. "Udah tidur ya, Kak?" tanyanya dengan raut wajah dipenuhi rasa bersalah.

"Mas Arif," Gabrielle berusaha memaksakan senyum. "Kirain siapa," katanya basa-basi.

"Maaf ganggu," kata pria berbadan kekar namun tak seberapa tinggi itu. "Tadi aku ke lapak, kakak udah tutup!"

"Masuk, Mas!" Gabrielle membukakan pintu lebih lebar. "Aku belum tidur kok. Cuci muka aja belum," katanya berusaha menepiskan perasaan bersalah yang tergambar di wajah pria itu. Ada perbedaan ketika ia berbicara pada Bobi dan ketika ia bicara dengan pria yang satu ini.

Arif termasuk pria santun yang tak pernah bilang 'gue'. Berbeda dengan Bobi meski tak pernah bilang 'gue', dia gemar mengumpat, 'b.a.b.i'---pertanda bahwa ia tidak termasuk ke dalam golongan pria santun.

Arif adalah sahabat Gabrielle nomor dua setelah Bobi---si botak b.i.a.d.a.b, tapi nomor kesekian setelah Tuhan Yesus.

Tuhan Yesus akan selalu menjadi nomor satu sebagai siapa pun---ayah, sahabat, kekasih---Ia bisa menjadi siapa saja di dalam hati Gabrielle.

"Kakak lagi sakit?" pria yang akrab disapa Mas Arif itu bertanya khawatir ketika kakinya melangkah ke dalam ruangan berukuran 2x3 yang menjadi ruang tamu sekaligus dapur dan juga kamar tidur Gabrielle selama beberapa bulan terakhir.

"Enggak," Gabrielle menjawab ringan seraya meraih cangkir kopi di atas meja di dekat pintu. "Mas Arif mau kopi apa mau teh?" ia menawarkan.

"Gak usah, Kak!" Arif menolak. "Aku udah ngopi di tempat Bobi."

Begitulah kebiasaan mereka, satunya menyapa Mas, satunya lagi menyapa Kakak. Jadi siapa sebenarnya di sini yang lebih tua?

Yang pasti lebih tua Arif, tapi karena kerendahan hatinya, ia menautkan panggilan itu untuk menghormati Gabrielle, supaya orang lain tidak keliru memahami hubungan mereka.

"Terus kopiku gak laku dong hari ini?" gerutu Gabrielle satengah berkelakar.

"Aku ke sini cuma mau liat keadaan Kakak. Kata Bobi Kakak lagi sakit!"

"Aku?" Gabrielle membelalakkan kedua matanya. "Sakit?"

"Bobi yang bilang," sahut Arif seraya menjatuhkan dirinya di lantai dan menyandarkan punggungnya pada dinding. Sebelah kakinya terlipat di depan dada, sementara kaki lainnya terjulur lurus di lantai.

"Memang sejak kapan aku gak sakit?" kelakar Gabrielle tanpa tawa. "Kalo aku gak sakit, Bang Bobi gak ada temennya!"

"Kakak udah makan?" tanya Arif tetap lurus dan benar selayaknya pria baik pada umumnya.

"Udah," jawab Gabrielle seraya meletakkan secangkir kopi yang baru diseduhnya di lantai seraya duduk dan bersila.

"Kapan?" tanya Arif lagi dengan raut wajah menyelidik.

"Tadi," sahut Gabrielle dengan nada sedikit meninggi.

"Tadi kapan?" tanya Arif lagi setengah mengejek.

"Tadi... malem," jawab Gabrielle mengaku. Dan itu berarti kemarin malam.

Arif menghela napas pendek dan menatap Gabrielle dengan raut wajah prihatin. "Kakak gak ada uang?" ia bertanya.

"Ada," jawab Gabrielle enteng.

"Terus kenapa gak beli makan?"

"Aku lagi ngumpulin uang buat bayar utang, Mas," ungkap Gabrielle lemas. "Udah telat satu bulan," jelasnya seraya tertunduk.

"Utang apa?"

"Waktu beli sound portabel aku pake uang Om Hendra, pacarnya bibi!"

Arif menghela napas pendek sekali lagi. "Berapa utangnya?"

"Satu juta lima ratus, tapi bulan kemaren aku udah cicil lima ratus. Cuma bulan ini aku telat. Rencananya mau aku bayar sekalian bulan depan. Tapi bibiku udah keburu marah-marah. Mungkin gak enak sama pacarnya. Jadi aku kejar target biar bisa lunasin lebih cepet."

"Ada nomor rekeningnya gak?"

"Ada," Gabrielle mengangkat wajahnya menatap pria di depannya dengan alis bertautan.

Bersamaan dengan itu Arif mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik di layar ponselnya. "Mana nomornya?"

"Mas Arif mau ngapain?" tanya Gabrielle ragu-ragu.

"Wis, mau tak lunasin sekarang! Tapi abis itu Kakak makan ya?"

GLEK!

Gabrielle menelan ludah.

Secepat itukah Tuhan mendatangkan penolong?

Chapter 2

Orang yang duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa akan berkata kepada Tuhan: ”Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai.

Sungguh, Dialah yang akan melepaskan engkau dari jerat penangkap burung, dari penyakit sampar yang busuk.

Dengan kepak-Nya Ia akan menudungi engkau, di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung, kesetiaan-Nya ialah perisai dan pagar tembok.

Engkau tak usah takut terhadap kedahsyatan malam, terhadap panah yang terbang di waktu siang, terhadap penyakit sampar yang berjalan di dalam gelap, terhadap penyakit menular yang mengamuk di waktu petang.

Walau seribu orang rebah di sisimu, dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu tidak akan menimpamu.

Engkau hanya menontonnya dengan matamu sendiri dan melihat pembalasan terhadap orang-orang fasik.

Sebab Tuhan ialah tempat perlindunganmu, Yang Mahatinggi telah kaubuat tempat perteduhanmu, malapetaka tidak akan menimpa kamu, dan tulah tidak akan mendekat kepada kemahmu; sebab malaikat-malaikat-Nya akan diperintahkan-Nya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu.

Mereka akan menatang engkau di atas tangannya, supaya kakimu jangan terantuk kepada batu. Singa dan ular tedung akan kaulangkahi, engkau akan menginjak anak singa dan ular naga.

Sungguh, hatinya melekat kepada-Ku, maka Aku akan meluputkannya, Aku akan membentenginya, sebab ia mengenal nama-Ku.

Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab, Aku akan menyertai dia dalam kesesakan, Aku akan meluputkannya dan memuliakannya.

Dengan panjang umur akan Kukenyangkan dia, dan akan Kuperlihatkan kepadanya keselamatan dari pada-Ku.

...🕊️🕊️🕊️...

Malam itu, merupakan salah satu malam terdamai bagi Gabrielle. Bukan saja perkara hutangnya dilunasi, Arif bahkan tak berharap uangnya dikembalikan. Ia juga bisa makan kenyang dan tidur nyenyak tanpa mimpi.

Siapa yang tak iri dengan karunia itu?

Bagaimana bisa seseorang menolongnya tanpa mengharap imbalan? Itu adalah isi pikiran bibi Gabrielle. Tetap cemburu meski terbukti kekasihnya betul-betul aman sekarang. Justru semakin cemburu begitu mengetahui Gabrielle mampu melunasi hutangnya tanpa harus menjual diri.

"Kok lu mau-mauan nolongin si K.a.f.i.r?" tulisnya dalam sebuah pesan singkat yang kemudian dikirimnya pada Arif. "Ada hubungan apa lu sama si K.a.f.i.r?" tulisnya lagi pada pesan yang kedua. "Lu pacarnya?"

Tidak ada balasan.

"Lu nolongin orang K.a.f.i.r berarti sama k.a.f.i.r.n.y.a!"

Getar telepon seluler membangunkan Gabrielle. Kedua matanya masih terasa perih ketika ia membuka mata. Tapi kemudian ia memaksakan dirinya untuk membuka pesan yang masuk setelah membaca nama si pengirim: Arif Priyono.

Tidak ada kata-kata!

Hanya gambar screenshot yang memuat isi pesan bibinya.

Seketika hatinya tersengat api amarah yang tak terkendali.

Beraninya dia menghina orang yang telah menolongku!

Dia saudaraku---dan Arif hanya orang lain. Bukankah sebagai saudara seharusnya dia yang menolongku?

Apa pantas dia mengatakan hal seperti itu pada seseorang yang telah menolong saudaranya?

Dia gila atau bagaimana?

Isi dada dan kepalanya benar-benar mendidih. Dengan kedua tangan terkepal, ia bangkit dari tempat tidurnya tanpa berdoa seperti biasa.

Dengan langkah-langkah lebar, ia berjalan menuju kamar mandi dan mencuci mukanya. Lalu kembali ke kamarnya dan menggasak barang-barang pribadinya---mencari sesuatu yang lama disembunyikannya. Sesuatu yang coba ia lupakan dari masa lalunya yang kelam---pisau taktik.

Gabrielle menatap pisau itu dengan mata berkilat-kilat. Seperti seseorang yang telah lama tidak sadarkan diri kemudian terbangun dalam keadaan prima dengan energi terisi penuh---betul-betul siap memulai aktivitas pertamanya setelah sekian lama beristirahat.

Siapa yang akan menduga bahwa gadis p.e.c.u.n.d.a.n.g yang di-bully teman dan saudaranya sendiri ternyata adalah seorang pembunuh berdarah dingin?

Memang bukan hal yang pantas untuk dibanggakan. Tapi jika semua orang mengetahuinya, akankah seseorang berani menyinggungnya?

Itulah kebenaran tentang dirinya yang tidak pernah diketahui oleh siapa pun kecuali orang-orang tertentu dari masa lalunya.

Gabrielle adalah seorang pembunuh bayaran---pembunuh profesional bertarif spektakuler.

"Dan aku lelah menjadi p.e.c.u.n.d.a.n.g," geramnya dengan tatapan nanar memandang udara kosong seraya menggenggam pisau itu dengan gemetar. Lalu ia mengenakan pakaian kebesarannya sebagai petarung lengkap dengan segala macam atribut yang tidak dipahami oleh siapa pun yang bukan petarung. "Saatnya menunjukkan siapa diriku sebenarnya!"

Di dalam dunia sindikat pembunuh bayaran, ada semacam candu yang membuat seseorang menjadi ketagihan melakukan pembunuhan seperti gejala sakau yang membuat orang terkait merasa tersiksa jika ia tidak melakukannya---itulah yang sedang dihadapi Gabrielle pada saat ini, dan itu bersifat fisik.

Sekujur tubuhnya gemetar tak terkendali dan keringat dingin menggelinding di pelipisnya, kepalanya berdenyut-denyut. Perutnya menegang dan terasa mual. Otot-otot tangan dan kakinya mengejang dan menghentak-hentak menuntut pergerakan. Ia betul-betul bisa sakit jika tidak segera melampiaskannya.

Setelah selesai dengan semua persiapan kostumnya, ia kemudian menyelipkan pisau taktis itu pada gelang sabuk di pergelangan tangannya. Lalu melangkah keluar dan melupakan ritual khusus yang biasa ia lakukan sebelum melakukan segala sesuatu---berdoa.

Gabrielle telah melupakan jati dirinya sebagai manusia baru!

Kemarahan telah mengambil alih dirinya secara keseluruhan. Persetan dengan pengampunan, pikirnya pahit. Bibiku tidak terampuni---tidak manusiawi.

Ia masih bisa terima ketika ia dikata-katai, sekotor apa pun perkataan itu ditujukan pada dirinya. Tapi ia tak bisa mengampuni siapa pun yang menghina orang-orang yang berpihak kepadanya.

Setelah ia mengunci pintu kamarnya, ia berbalik dan menabrak seseorang---seorang pria berambut lurus sebahu berwajah terang.

Sepintas wajah pria itu mengingatkan dirinya pada manekin di etalase. Tubuhnya tinggi, ramping dan berbahu lebar. Ia mengenakan jaket kulit hitam mengkilat di atas kemeja putih bersinar yang menyilaukan. Ia tak sempat memperhatikan celana dan sepatunya karena terpukau pada wajahnya yang tidak manusiawi---terlampau rupawan.

Gabrielle mematung tercengang dengan mulut membulat.

Pria itu menatapnya dengan raut wajah datar. Tapi kedua matanya berkilat tajam dan menguncinya.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya Gabrielle sedikit tergagap.

"Anda yang membutuhkan bantuan," balas pria itu tanpa berkedip.

Baiklah, pikir Gabrielle. Cowok 3G: Gondrong, ganteng, gila---kriteria pria idamannya.

"Apa Anda tersesat?" tanya Gabrielle sekali lagi.

"Anda yang sedang tersesat!"

Lagi, batinnya. Jadi siapa sebenarnya yang gila di sini? Aku? Atau dia?

"Kembali ke kamarmu sekarang, Gabrielle!"

Gabrielle terkesiap sekarang. Aku pasti sedang bermimpi, katanya dalam hati. Aku tidak mengenalnya dan dia tahu namaku.

"Kembali ke kamarmu dan jangan pernah keluar sampai bekalmu habis!" ulang pria itu semakin membingungkan.

"Siapa Anda sebenarnya?"

Pria itu diam saja. Hanya menatap ke dalam mata Gabrielle.

Tak lama kemudian, pintu kamar Gabrielle berderak membuka.

Gabrielle terhenyak dan menyentakkan kepalanya ke samping---menatap pintu kamarnya dengan mata terbelalak. Aku yakin sudah menguncinya tadi.

"Stay at home, Gabrielle!" tandas pria tadi terdengar seperti menjauh.

Gabrielle menyentakkan kembali wajahnya ke depan---ke arah pria itu, tapi pria itu telah menghilang---menghilang dalam sekejap.

Mustahil!

Gabrielle tercengang dengan wajah memucat. Aku pasti sedang bermimpi, katanya dalam hati. Tiba-tiba bulu kuduknya meremang dan sekujur tubuhnya kembali gemetar. Keringat dingin menggelinding lagi di pelipisnya. Lebih parah dibandingkan sakau.

Kelopak matanya bergetar dan bola matanya bergerak-gerak gelisah memandangi udara kosong di hadapannya. Tidak ada tanda-tanda bahwa seseorang baru saja berdiri di hadapannya---di koridor yang panjangnya mencapai lima sampai enam meter. Butuh waktu beberapa detik untuk bisa menghilang di kelokan. Dan itu bukan satu detik---pria itu menghilang dalam satu kejapan mata.

Fix, batinnya. Aku gila!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!