Aku kembali menghirup aroma pedesaan. Menyenangkan rasanya bisa kembali ke sini. Sekian lama harus ikut kedua orang tua pindah ke berbagai tempat membuatku jenuh. Tentu saja selain karena desa ini ada seseorang yang membuatku selalu rindu.
Sayangnya dia malah bekerja di kota. Aku tak sabar untuk bertemu dengannya. Dan akan aku katakan semua yang selama ini terpendam. Ya, dia adalah cinta pertamaku dulu. Sampai saat ini aku masih menunggunya, berharap bisa dekat kembali seperti dulu.
Ternyata dia datang hari ini bertepatan dengan jadwalku memancing dengan Ariyo. Adiknya Nadine. Ya, aku merindukan Nadine. Karena tidak ada kesibukan aku selalu mengajak Ariyo kemanapun. Selain karena cuma dia yang dekat denganku, Nadine sekeluarga sudah mengenalku dan menganggapku sudah seperti anak sendiri. Menyenangkan memiliki keluarga lain selain keluargaku.
Tak sabar rasanya untuk segera kesana. Aku segera menyiapkan peralatan memancing dan segera berangkat. Seperti biasa aku hanya memanggilnya di depan.
"Assalamualaikuuum.... Ariyo, ayo jalan!" Teriakku dari halaman. Eeeh yang nongol malah Nesa dan Nadine! Aku jadi salah tingkah. Dia begitu cantik. Semakin hari semakin mempesona.
Nah, panjang umur. Baru juga disebut dah nongol aja orangnya. Tuh cintanya datang" kekeh Nesa sambil ke depan dan membuka pintu.
"Ayo masuk kak, ada kak Nadine di dalam" Ajak Nesa.
"Nadine? Dia pulang? " Tanyaku pura-pura tak melihatnya.
"Iya, tuh di dalam. Ayo masuk. Dilihat dulu, siapa tau naksir hehehe" kata Nesa sambil menarik tanganku dengan paksa. Aku sampai tersandung dibuatnya.
"Nih kak orangnya, kenal nggak?" Tanya Nesa sambil mendorong ku hampir membuatku terjungkal. Aku membenarkan pakaianku dan menatapnya dari dekat untuk pertama kali setelah sekian lama.
"Rehan?" Tanya Nadine tak percaya. Aku mengangguk. Bingung mau ngapain lagi.
"Apa kabar?" Tanya ku lupa mengulurkan tangan. Aku terlalu grogi dekat dengannya. Entah ada apa denganku hingga aku tak bisa melakukan apapun. Nadine malah menatapku sinis.
"Baik, kamu?" Tanya Nadine tak kalah dingin.
"Baik" jawabku singkat. Lalu kami hanya diam. Tanpa ada yang mau memulai obrolan.
"Kok pada diam sih? " Komentar Nesa memecah kesunyian. Nadine mengangkat bahu lalu beranjak ke dapur menemui ibunya. Aku hanya tersenyum.
Tak lama Nadine keluar membawa minuman fan cemilan.
"Diminum Re..." Katanya sambil melirik ke arahku. Aku hanya mengangguk lalu ponselku bergetar. Ternyata banyak sms, chat dan juga e-mail yang masuk. Karena urgent, aku harus membalasnya saat itu. Aku sampai lupa kalau ada Nadine disini, dekat denganku. Setelah selesai, aku sekilas melirik kearahnya. Ia sedang menatapku. Aku jadi merasa gugup. Sengaja aku memainkan ponsel hanya memutar dan menekan berbagai menu di layar ponsel.
"Jangan dilihat terus, nanti kamu naksir" Godaku tanpa melihat dia.
"Haaaah?" Dia melongo, aku menyembunyikan senyumku. Dia lucu sekali. Wajahnya memerah, ia memalingkan wajahnya. Aku ingin menatap wajah bersemunya namun...
"Kak, ayo. Udah ready neh" Teriak Ariyo tiba-tiba didekatku sambil mengangkat ember. Aku kaget lalu mengangguk. Melirik Nadine, aku ingin mengajaknya tapi aku takut ia tak mau. Jadi ku suruh Ariyo mengajak kakaknya untuk menemani kami dengan alasan menjaga barang berhargaku. Tentu saja dompet dan ponselku. Karena kali ini kami akan masuk ke sungai baru melempar joran. Untung ia mau meski dengan muka cemberut. Menggemaskan sekali.
Ia memang dipaksa ibunya untuk ikut. Aku ingin tertawa melihat muka manyunnya.
"Udah ikut aja yuk, ngapain juga di rumah. Ntar suntuk loh" Ajakku. Mau tak mau Nadine beranjak pergi setelah didorong oleh ibunya. Aku bersorak dalam hati. Aku bisa menghabiskan waktu bersamanya.
Akhirnya kami berjalam beriringan bertiga. Masih dapat kulihat wajah enggannya menemani memancing. Entah karena lelah atau jangan-jangan ia tak menyukaiku? Aaah biar sajalah, jika ia tak suka akan ku kerjai saja. Aku tersenyum membayangkan wajahnya. Lalu...
"Hei, tuan putri!" Teriakku. Nadine menoleh. "Turunlah, tak kan hilang susukmu!" Teriak ku berdiri di sungai yang dangkal selutut. Nadine mengejek, Ariyo tertawa.
"Aku pulang bukan untuk menemanimu disini! Sudah, aku pulang saja" Kata Nadine sambil berdiri dan membalikkan badan.
"Hei... tunggu!" Teriakku sambil berlari. Lalu pura-pura terpeleset dan menceburkan diri. Sebenarnya akupun belum mandi, biar aja mandi di sungai lebih segar.
Byuuurrrrr
"Kaaak....!" Teriak Ariyo saat melihatku tercebur dan menggapai-gapai semakin ke tengah sungai. Nadine melongo melihat kejadian itu.
"Kak, tolongin kak Rehan, dia nggak bisa berenang" Ucap Ariyo berdiri terpaku. Oooh pintat sekali calon adik ipar! Dia sukses berimprovisasi . Dengan cepat Nadine membuka topinya dan berlari masuk ke air sungai. Dia melihatku semakin agak ketengah. Dia mempercepat laju renangnya dan meraihku yang pura-pura pingsan. Nadine akan menyeretku ke tepian sungai.
Namun karena tak tahan akhirnya aku malah tertawa. Tawaku da Ariyo bersahut-sahutan. Nadine menoleh ke arah ku dan Ariyo bergantian. Dan menyadari dia dikerjain.
Nadine berbalik dan akan pergi ke tepian. Tapi tangannya ku cekal.
"Tunggu Nad!" tanganku menahan tangan Nadine. Nadine menoleh. "Jangan marah, aku cuma bercanda" Kataku sambil.memberikan senyum terbaikku
"Nggak lucu!" Kata Nadine sambil kembali ke tepian. Nadine kesal, dia pergi begitu saja meninggalkan ku dan Aryio. Pulang basah kuyub. Sementara aku dan Ariyo melanjutkan memancing dan menertawai kejadian barusan.
***
Sejak saat itu, Nadine menjaga jarak denganku. Aku tau dia marah. Aku ingin meminta maaf padanya tapi jiwa usilku tak tahan untuk tak menggodanya. Berbagai kelakuanku membuatnya kesal.
Tapi lucu juga melihat wajah marahnya, membuatku merasakan cinta yang dulu pernah ada. Aaah biar sajalah, toh selama tiga hari Nadine disini aku akan mengerjainya. Jujur aku sangat merindukannya. Apalagi rindu menggodanya hehehe...
Besok adalah hari terakhir Nadine disini. Besok ia akan kembali ke kota. Aku berniat meminta maaf padanya.
Pagi itu
"Hai..." aku menyapa nya dengan canggung saat melihat Nadine keluar menemuiku.
"Hai... Ada apa?" Tanya Nadine
"Cuma mau memastikan, kamu jadi pulang?" Tanyaku sedikit grogi.
"Jadi, emangnya kenapa?" Jawab Nadine dengan muka tak suka.
"Please, ijinkan aku ngantar kamu"
"Nggak usah Re, aku naik bus aja seperti biasa"
"Sampai terminal deh" paksaku
"Ya udah, kalo maksa. Terserah kamu aja" Jawab Nadine.
"Kalau sampai rumah?"
"NGGAAAAK!"
"Dih galak banget, kan tadi katanya terserah" Godaku
"Ya udah, siap-siap sana. Abis makan siang baru kita berangkat" Kata Nadine.
"Kok diusir sih Nad, udah nak Rehan makan siang disini saja. Nanti aja pulangnya" Tiba-tiba ibu Nadine keluar dari rumah dan menemui kami.
"Iya bu, terima kasih sudah diajak makan terus disini" Ucap ku tersenyum.
"Santai aja, biasakan diri. Siapa tau nanti kamu jadi menantu ibu. Ibu sih iyessss"
"Uhuuuk... uhuk... uhuk" Nadine terbatuk.
"Minum dulu, kamu itu minum jangan tergesa-gesa" Omel ibunya. Nadine hanya tersenyum. Ibunya berlalu. "Temenin Rehan dulu Nad, kamu itu setiap ada Rehan selalu nggak ada di rumah" Ucap ibunya kembali membuat Nadine tak berkutik.
"Kamu berkemas aja, aku mau jumpain Ariyo" Kata ki lalu aku beranjak ke belakang rumah. Saat akan mengikuti Ariyo.
"Halo? " Sapa Nadine.
"....."
"Setelah makan siang, kenapa?" Tanya Nadine
"...." terlihat Nadine tersipu malu.
"Gombal!" Ucap Nadine.
"....."
"Iya kangen dong, kangen traktirannya hahaha"
"......"
"Orangnya? Kangen nggak yaaaa?" goda Nadine.
"......."
"Oke, semoga nggak ada jadwal lain" Kata Nadine.
"........"
"Ok Co, see u there" Nadine memutuskan sambungan telponnya, lalu berbalik. Aku terlambat bergerak, jadi ketahuan aku seolah-olah menguping. Padahal emang iya hehehe
"Re....!" Panggil Nadine, lalu aku memilih untuk berbalik dan asik ngobrol kembali dengan adiknya. Nadine mengangkat bahu, lalu masuk ke kamarnya.
***
Akhirnya kami bebas. Aku bisa berduaan dengan Nadine. Ya aku mengantar Nadine ke terminal sesuai permintaaannya. Aku akan meminta maaf sebelim.berpisah dengannya. Tapi aku bingung harus memulai dari mana.
"Re, bisa nggak jangan ngebut?" Pinta Nadine, agak takut. Aku menekan rem, dan mereka berhenti dipinggir jalan.
"Ke... kenapa?" Tanya Nadine takut-takut. Seolah aku akan memakannya.
"Akuuu..." Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi nggak jadi.
"Ada apa?" Tanya Nadine.
"Bisakah kita ketemu akhir minggu nanti?" akhirnya aku bisa menanyakannya. Nadine terlihat bingung.
"Uhmmm... kayaknya.."
"Nggak bisa, aku tau. Kamu sibuk. Setelah sekian lama kita tak pernah jumpa. Ku pikir kita bisa menghabiskan waktu bersama. Nyatanya kamu menghindariku terus. Apa aku ada salah padamu?" Tanya ku sambil memalingkan wajahnya kearah Nadine.
"Haah? Tentu saja tidak. Aku tak pernah menghindarimu"
"Oh yaaa?" entah kenapa malah tubuh ku meringsek maju mendekati Nadine. Membuatnya gugup
"Iyy... yyaaaa... aku tak pernah menghindarimu" Kata Nadine menatap ke jalanan.
"Tatap aku jika itu tak benar!" Teriakku.Dengan pelan Nadine menatap wajahku yang memerah.
"Aku tidak menghindarimu" jawab Nadine setelah beberapa detik terpaku menatapku membuat jantungku berdegup kencang.
"Ada hal yang ingin kutanyakan padamu"
"Aa... Apa?"
"Aku... Sejak dulu masih sayang padamu, bisakah kita menjalin hubungan?" bodohnya aku malah brrtanya begitu ke Nadine.
"Kamu bercanda..." Nadine terkekeh sambil menepuk pipiku.
"Aku serius dan aku tak ingin berpacaran lama. Segera menikah" udah kadung malu, sekalian aja
"Sinting, aku belum ingin menikah Re" Ungkap Nadine.
"Kenapa? Bukankah ayah dan ibumu menginginkannya?" Tanya Rehan.
"Bukan inginku, aku belum bisa. Maaf bisakah kita terus?" Tanya Nadine menatap jalan di depannya.
Cup!
Aku mencium pipinya sekilas. Membuat Nadine melongo.
"Pertimbangkanlah, aku menunggu jawabanmu" Kataku lalu menjalankan mobil. Melanjutkan perjalanan.
Nadine menghela napas.
"Kau lelah? Istirahatlah" Kataku. Nadine menguap lalu tertidur.
***
"Aku sudah lelah membangunkanmu,jadi jangan protes" katsku menrpuk pipinya srkian lama, ia tak bangun-bangun.
"Kita sudah sampai sini?" Tanya Nadine.
"Menurutmu? Sudahlah, tunjukkan rumahmu. Aku lelah dan ingin istirahat"
"Kenapa tak membangunkanku?"
"Aku membangunkanmu sepanjang jalan, tapi kamu tak mau bangun. Kuantarkan saja sampai sini. Selanjutnya aku tak tau rumahmu dan tolong, ponselmu dari tadi mengganggu" Kata ku yang kembali mendengar untuk yang keseratus kalinya alunan lagu di ponsel Nadine.
"Astagaaaa" Nadine panik mencari ponselnya didalam tas.
"Halooo? Co? Maaf aku ketiduran di jalan. Iya, ini sudah sampai. Maaf yaaa...."
"......."
"Ok, maaf ya Co...?" Sekali lagi Nadine meminta maaf.
"........"
"Gimana kalau makan siang?" Tawar Nadine.
"......."
"Hahaha tidak akan..."
"....."
"Thanks Co.."
"Pacar mu?" Tanyaku.
"Bukan" Jawabnya singkat.
"Baguslah, artinya aku bisa maju" Kataku.
"Mimpi! Eeeh stop...! Stooop! Itu rumahku" Tunjuk Nadine pada sebuah rumah mungil bercat hijau. Aku mengerem mendadak dan memarkirkan mobilnya didepan rumah Nadine.
"Aku akan menginap!" Ucap ku sambil menghempaskan tubuhnya di sofa.
"Disini?" Tanya Nadine
"Iya,lalu dimana lagi? Aku lelah kalau harus menyetir lagi dan mencari penginapan. Sudahlah, hanya semalam. Itung-itung berlatih tinggal serumah" kataku santai, membuat Nadine melotot.
Aku lelah dan akhirnya tertidur.
Sejenak aku sempat terlelap sampai aku merasakan ada seseorang di dekatku. Napasnya terdengar, aku tau itu Nadine. Aku sengaja tetap terpejam. Apa yang akan dilakukannya, tapi untuk mengintip aku tak berani.
Samar tercium aroma sampo dan sabun semakin dekat. Harum sekali. Aku berusaha mengenyahkan perasaan menggelenyar di perut.
"Jangan secepat itu terpesona denganku!" Ucapku yang tak tahan untuk menggodanya, sepertinya ia terkejut. Aku senang menggodanya. Sepertinya akan semakin menyenangkan mengerjainya.
Bahkan hari ini aku memaksanya untuk menemaniku makan. Aku sangat lapar dan lelah. Tingkah laku Nadine membuatku senang. Ia sangat cepat mengubah suasana hati apalagi dengan mimik wajahnya bila sedang kesal membuatku semakin gemas.
Aku yang kelelahan mengajaknya pergi makan, ternyata malah lokasi tempat makannya sangat dekat. Menyebalkan sekali gadis itu. Dia tau cara membalas perlakuanku terhadapnya.
Sebenarnya aku baru beberapa kali makan di pinggiran ini. Selain tak ada waktu, tak ada teman dan terkadang aku tak tahu dimana tempat makan pinggiran gini yang rasanya enak. Tapi Nadine cukup tahu, makanan yang kami pesan ternyata enak. Meskipun aku tak menunjukkan rasa sukaku. Nanti dia geer lagi.
"Kenapa nggak bilang tempatnya dekat gini?" Protesku sambil menarik kursi lalu duduk di hadapannya.
"Kan kamu nggak nanya, lagian katanya lapar. Lebih baik percepat rasa kenyang, biar aman" Jawab Nadine cuek. Semakin lama tingkah menyebalkannya semakin tinggi.
"Kamu nggak suka tempat di pinggiran gini?" Tanya Nadine lagi. Aku hanya mengangkat bahu lalu memesan teh hangat juga. Aku malas meladeninya, semakin terkuras tenagaku.
"Aku tau, kamu kan orang kaya. Nggak akan mungkin suka makan di tempat kayak gini" Cibir Nadine.
"Memang aku nggak pernah makan di tempat begini, tapi kalau sama kamu kenapa nggak" Jawabku santai sambil menikmati aneka aroma wangi dari setiap gerobak. Wangi masakan yang diterbangkan oleh angin sore itu.
Tak lama kemudian pesanan kami datang. Ternyata makanan itu enak. Aku memakannya dengan lahap dan penuh nikmat. Aku tak pernah memakan masakan pinggiran dan bahkan masakan ibuku sendiri bisa dihitung dengan jari. Dan semua masakannya rasanya menyeramkan dan membuat sakit perut.
Sekilas aku melirik Nadine, ia tersenyum. Aku tau ia pasti mengagumiku. Andainya aku bisa meluluhkan perasaannya.
"Nadine?" Tanya seseorang di belakangnya. Nadine terdiam, aku mengangkat kepala. Si**lan. Ternyata acara makan kami di ganggu seseorang.
"Vico? Kamu disini?" Tanya Nadine heran. Aku malah lebih hetan ada lelaki tatoan dengan telinga bertindik sedang berpabgku tangan seolah dia merasa dirinya paling hebat. Aku tak suka melihat gayanya. Astaga apakah ini temannya Nadine? Aku tak percaya. Lebih baik aku melanjutkan makan. Dan apa? Siapa tadi namanya? Vico? Hmmmh...
"Tentu saja, aku berniat kerumahmu. Sejak tadi aku menelponmu tapi nggak diangkat. Pantesan aja..." Kata Vico sambil tersenyum sinis melirik ke arah ku. Seolah-olah aku adalah musuh yang sengaja mengajak Nadine dan tidak membolehkan mereka bertemu. Cih... kekanakan sekali!
"Maaf, aku lelah jadi aku memutuskan mandi lalu mencari makan" Kata Nadine menangkupkan kedua tangannya. Vico mengangkat kedua bahunya tak peduli
"Sepertinya sudah ada yang menemanimu. Sebaiknya aku pulang. Senang melihatmu baik-baik saja" Ucapnya lalu membalikkan badan dan berlalu dari sana. Aku senang sekali ia mengucapkannya, apakah aku harus berterima kasih dengannya? hehehe
Nadine segera berlari mengejarnya, meninggalkanku! Menyebalkan! Sehebat apa cowok itu hingga Nadine lebih mementingkan teman urakannya dibanding aku yang temannya sedari kecil?
Aku segera menyelesaikan makanku, lalu bergegas membayarnya. Aku berniat membawa Nadine pulang dan beristirahat. Cowok tengil itu pasti akan mengajak Nadine jalan-jalan. Nadine itu lelah, sebaiknya istirahat dulu.
"Co...! Vicoooo! Tunggu!" Teriak Nadine berlari mengejar Vico dan menarik lengannya.
"Co, maaf. Bukan aku nggak mau ngabarin. Tapi bener-bener nggak ada waktu megang ponsel" Kata Nadine.
"Apa pria tadi yang membuatmu sibuk tak bisa memegang ponselmu?" Tanya Vico. Nadine menggeleng pelan. Halah baru menjadi teman gayanya sangat protektif sekali. Aku tak suka melihatnya mengekang Nadine apalagi melarangnya berteman denganku. Andai ia tahu aku malam ini menginap di rumah Nadine.
"Tidak, dia hanya orang yang memang mengantarkanku atas permintaan ibu dan bapak. Kamu keberatan?" Tanya Nadine. Oooh Nadine kau menganggapku hanyalah sopir suruhan orangtuamu di depan laki-laki itu. Aku sunggub geram.
"Tentu, Nad.. mungkin ini waktu yang nggak pas. Tapi aku sayang sama kamu. Dan aku nggak suka kamu dekat dengan pria itu" Kata Vico meraih bahu Nadine. Astaga bahkan sekarang aku sedikit cemburu dengan lelaki bre***sek itu.
"Kamu...?" Tanya Nadine bingung, matanya yang membulat membuat siapa saja gemas melihatnya.
"Iya, aku sayang kamu!" Ucap Vico tapi menatap ke langit.
"Apa?"
"Ck... Aku sayang kamu... Sayang kamu... Sayang kamu... Sayang kamu. Puas?" Tanya Vico menangkupkan kedua tangannya di pipi Nadine. Pipi itu memerah dan memanas dihiasi senyuman manis bergigi gingsul. Aku terluka, ya ampuuun papa tolong anakmu sekali lagi. Aku meremas dada lalu pergi meninggalkan mereka.
"Terima kasih" Jawab Nadine. Aku seharusnya mencari tahu dulu siapa yang dekat dengannya. Aku malah merasa yakin dia akan menyukaiku. Bagaimana caranya agar ia tahu aku juga menyukainya sejak dulu. Aku tak mungkin jujur saat ini. Belum waktunya ia tahu.
Aku memutuskan berjalan berkeliling dengan mobilku. Membiarkan Nadine dengan kebahagiaannya dahulu, setelah semua urusanku beres aku akan merebutnya. Apapun akan aku lakukan agar Nadine tak salah memilih pasangan. Yah, meskipun aku bukanlah lelaki yang sempurna tapi cinta di dada ini tak pernah pudar sejak bertahun-tahun yang lalu. Baru kusadari, cinta pertama itu paagi selamanya membekas di hati.
Setelah agak malam, aku memutuskan segera kembali ke rumah Nadine. Semoga ia sudah pulang. Tapi melihat lampu rumahnya yang sebahian belum hidup, dapat dipaayikan bahwa ia masih bersama cowok itu.
Aku menghempaskan badan ke tempat duduk agak kebelakang. Semoga dia cepat kembali. Aku sangat lelah.
"Dari mana aja kamu?" Tanyaku saat Nadine akan membuka kunci rumah.
"Aku dari depan sana. Kenapa tadi kamu pergi duluan? Aku nyariin kamu tadi" Kata Nadine sambil ikut duduk disampingku sambil tersenyum.
"Tiba-tiba aku di telpon" Jawabku singkat, karena tak terpikir alasan lainnya. Nadine mengangguk lalu kami duduk diam dengan pikirannya masing-masing.
"Aku mau istirahat" Kataku sambil berdiri, lalu masuk ke rumah. Sepertinya Nadine kesal. Aaah biarkan saja.
***
Pagi ini aku sungguh semangat. Aku akan menyiapkan sarapan, lapar mendera sejak subuh. Aku membuat mie goreng dan beberapa roti bakar juga teh dan kopi. Aku tak tahu sarapan pagi Nadine apa.
Beberapa telpon maauk sejak semalam mengganggu tidurku. Aku sengaja menginap di kota ini sekalian memantau pekerjaanku. Untung saja pakaian kantorku selalu ada di mobil jadi hari ini aku tak perlu repot mencari setelan kantor.
Aku benar-benar harus cepat dan aku terpaksa meninggalkan Nadine, selain untuk membalas perlakuannya kemarin juga karena aku harus mempersiapkan diri di kantorku. Mungkin siang nanti aku akan memberikan kejutan kecil untuk Nadine. Aku tersenyum sambil membayangkannya.
"Hai... Sharen. Aku nanti mau bicara. Setelah aku membereskan ini" Bisik Nadine sambil mengangkat sedikit tumpukan berkas pekerjaannya. Sharen tersenyum sambil mengangkat jempolnya. Lalu Nadine dan Sharen kembali disibukkan dengan pekerjaan masing-masing.
Nadine merenggangkan tubuhnya, baru pukul 10 badannya sudah kaku. Ia pergi ke pantry lalu membuat teh hangat. Saat ia menyesapnya lewat Sharen.
"Pssst... sini!" bisik Nadine. Sharen memghampiri Nadine.
"Ada apa?" Tanyanya.
"Mau kemana muka manyun begitu?" Tanya Nadine melihat muka Sharen cemberut.
"Mau antar laporan, sekalian jumpain pak CEO yang galak!" Jawabnya. Nadine terkikik geli.
"Emang pak CEO ada disini? Kan dia nggak pernah datang" Sharen mengangkat bahu tanda tak mengerti.
"Aku cabut dulu, sebelum denger teriakan" Kata Sharen sambil menarik napas lalu berlalu. Nadine hanya tersenyum dan membawa minumannya kembali ke mejanya.
***
"Nad, dipanggil tuh ama CEO" Kata Sharen yang kembali ke mejanya sambil menghempaskan diri ke bangkunya. Lalu memejamkan mata menenangkan diri.
"Aku? Dipanggil juga?" Tanya Nadine heran, Sharen mengangguk lemah sambil memijit pundaknya.
"Udah sana temuin dulu, mumet aku. Banyak banget salahnya, banyak banget perintahnya. Heran deh... tu orang sebentar lagi bisa hipertensi" Umpat Sharen, Nadine terkekeh dan beranjak dari mejanya.
Tok... Tok... Tok
"Silahkan, Anda sudah ditunggu" seseorang membukakan pintu untuk Nadine. Nadine berjalan masuk pelan-pelan.
Ruangan CEO memang favoritnya. Ruangannya indah. Begitu memasuki ruangan ada sofa berwarna coklat dan hitam. Beberapa lukisan tergantung di dinding juga tanam di sudut ruangan menambah kesan sejuk. Sementara dindingnya sendiri berwarna putih.
Diseberang sofa ada meja kerja sang CEO. Kursinya menghadap kebelakang. Nadine tak pernah tau siapa CEO itu sebenarnya. Dia tak pernah menampakkan wajahnya. CEO yang aneh.
Dibelakang meja kerja sang CEO ada sebuah lukisan bunga indah. Nadine terpana melihatnya. Lukisan itu setinggi satu meter, dengan bunga berwarna putih.
"Apakah Anda sudah membawakan yang diminta oleh Tuan?" Tanya si asisten tiba-tiba dibelakang Nadine. Nadine berbalik dan menatap asisten bingung.
"Maaf, tapi saya harus bawa apa? Apakah ada perintah membawa sesuatu? Tidak ada yang membaritahu saya" Kata Nadine menjelaskan.
"Sebentar..." Lalu si asisten mendekati bosnya dan berbisik. Nadine tak bisa mendengar apa yang diinginkan si CEO itu. Aneh menurutnya. Tiba-tiba minta sesuatu, tapi perintah apa juga nggak jelas.
"Tuan meminta laporan bulan lalu dan tolong nanti kalau kembali kesini tolong bawakan jus jeruk, yang tidak terlalu manis, es nya sedikit. Dan beri sedikit selasih juga daun mint!" Perintah si asisten setelah dibisiki oleh CEO. Nadine akhirnya mengangguk dengan perintah aneh si CEO.
***
Nadine keluar ruangan, si CEO berbalik di kursinya dan tersenyum senang. Dia merasa kali ini akan memberikan kejutan sempurna untuk beberapa anak buahnya. Mungkin beberapa hari dengan perintah-perintahnya dan akhirnya semua akan tahu siapa dirinya. Sudah saatnya ia dikenal.oleh bawahannya baik di kantor pusat maupun di kantor cabang miliknya.
Setelah Nadine dari ruangan CEO dia segera memesan jus jeruk ke area kantin kantor.
"Buat si bapak ganteng ya bu?" Tanya mbak penjual.
"Hu'um... Kok tahu mbak?" Tanya Nadine.
"Ya, tahu meskipun jarang ke sini tapi beliau selalu memesan minuman yang sama" Jawabnya sambik tersenyum.
"Kok saya baru tau ya, padahal saya udah setahunan disini" Kata Nadine.
"Beliau memang jarang kesini, tapi beliau selalu mantau disini" Kata mbak penjual yang sepertinya tahu banyak.
"Oh ya? Mbak, denger-denger pak CEO itu galak ya?" Tanya Nadine. Mbak penjualnya tersenyum penuh misteri.
"Menurut saya pak CEO itu paling ramah bu. Orangnya baik banget. Sering membayar lebih, uang kembalian nggak mau diambil. Orangnya supel, suka ngobrol dan becanda. Aih seandainya saya kerja di kantor yang sama, udah saya katakan cinta bu. Si bapak ganteng banget soalnya hihihi Eeh maaf bu" Kata mbak penjual sambil tersenyim malu-malu karena keceplosan. Nadine hanya tersenyum.
Nadine agak bingung, sebagian besar orang kantor mengatakan kalau CEO nya galak minta ampun. Sementara mbak penjual jus bilang malah kebalikannya. Apakah CEO ini punya kepribadian ganda? Nadine bergidik ngeri.
Segera ia membayar jusnya dan ke kantornya mengambil laporan lalu mengantar ke ruangan CEO sambil menggerutu didalam hati. Sekarang tugasnya udah sama dengan OB kantor. Padahal tugasnya pun masih menumpuk tapi si bapak CEO malah membuatnya banyak memghabiskan waktu untuk melayaninya.
Untuk apa ia punya asisten dan banyak OB yang bisa dengan cepat dan tau jadwalnya. Tentu dengan mudah memllayani semua kebutuhannya. Nadine semakin tidak mengerti dengan pola pikir orang kaya.
Ia mengetuk pintu dan asisten CEO itu membukakan pintu. Lalu mempersilahkan Nadine meletakkan laporan dan minuman diatas meja. Nadine meletakkannya hati-hati dan berharap bisa sedikit melirik bagaimana rupa sang CEO. Sengaja ia berlama-lama disana.
"Sudah selesa?" Tanya asisten mengagetkan Nadine. Nadine mengangguk.
"Ada lagi?" Tanya Nadine.
"Jam makan siang Anda sudah ditentukan juga Nona, Anda harus ke resto atas arahan CEO dan sudah ditentukan. Nanti disana Anda akan menemui klien bos dan tolong temani" Jawabnya datar.
Kali ini Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada leraturan memaksa si bos alias CEO itu. Selain galak ternyata dia adalah tipe pemaksa ulung. Mungkin mbak penjual jus tadi salah menilai orang. Jangan-jangan bukan CEO ini yang diceritakannya.
"Nona, silahkan tinggalkan kami dan lanjutkan pekerjaan Anda. Lalu bersiap nanti saya jemput untuk makan siang" Kata asistennya.
Nadine mengangguk "Selamat siang" pamitnya, si asisten mengangguk dan mengantarkan Nadine kembali ke pintu keluar. Si CEO tetap merahasiakan wajahnya. Dan tanpa menjawab salamnya. 'CEO macam apa yang tak menjawab salam bawahannya' Batin Nadine kesal.
Sepertinya ini hari buruknya kembali setelah kejadian di desanya bersama Rehan. Dia merindukan tingkah konyol Rehan. Lalu iseng ia mengirim pesan pada lelaki itu.
Hei, kamu istirahat makan siang dimana?
Pesan terkirim.
Nadine menunggu balasan Rehan sambil melanjutkan laporan ketikannya. Meskipun tak sepenuhnya konsentrasi pada ketikannya. Karena berkali-kali Nadine melirik ke ponselnya. Namun ponsel itu diam. Tak ada pesan balasan apapun dari Rehan. Mungkin dia sibuk.
Pukul 11.15 Nadine merenggangkan badannya. Tubuhnya menuntut istirahat. Nadine bersiap pergi makan siang dan berharap Rehan menyelamatkannya atau setidaknya berada di resto yang sama.
Hai sayang, makan siang denganku?
Pesan dari Vico terlihat di layar ponselnya.
Maaf sayang, aku harus menemui klien atas permintaan CEO galak
Nadine membalas dengan emoticon menangis.
It's oke. Take care. Kabari aku kalau sudah selesai. Oh ya... Nanti pulang pukul berapa? Aku jemput
Nadine tersenyum membaca balasan Vico.
Ok, aku pergi dulu. bye
have a lunch
Nadine membalas, lalu memasukkan ponsel ke dalam tasnya dan menunggu. Dilihatnya Sharen merampungkan pekerjaannya. Nadine segera mendekat.
"Hai... capek banget kayaknya" Goda Nadine.
"Bangeeeeet.... Aku denger kamu diajak makan sama pak CEO ya?" Tanya Sharen. Nadine mencibir.
"Bukan dia, tapi klien nya. Dih masak harus aku yang jumpain klien? Ini sih nggak termasuk kerjaan ku!" Nadine sedikit mengomel.
"Sekali-kali Nad, kan belom pernah hehehe" Jawab Sharen.
"Malesin. Aku juga nggak tau kliennya siapa dan darimana" Kata Nadine.
"Eh ya... tadi katanya kamu mau ngobrolin sesuatu. Apaan?" Tanya Sharen.
"Ntar aja deh, kapan gitu yang waktunya santai" Kata Nadine.
"Ntar malam yuk, sekalian shopping. Aku mau belanja beberapa keperluan. Gimana?" Tawar Sharen.
"Ok, Bebs... Aku duluan ya. Tuh asistennya dah nelpon" Kata Nadine menunjuk ponselnya.
"Daaah... Sukses yah" Kata Sharen. Nadine mengangkat jempolnya sambil tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!