NovelToon NovelToon

Takdir Yang Terlewati

1

Satu persatu para pelayat meninggalkan makam. Menyisakan beberapa anggota keluarga yang masih bertahan didepan pusara penuh dengan bunga. Awan pun seakan ikut berduka, angin membawa daun kamboja kering berterbangan, yang terlihat hanya pasrah mengikuti arah angin berhembus.

"Ikhlaskan Jeng, Semua sudah berakhir. Biarkan Reno istirahat dengan tenang. "

Seorang perempuan paruh baya mencoba membisikan kalimat kepada perempuan muda yang sedang dirundung duka itu.

Ya, ialah Ajeng. Kartika Ajening Rahayu. Perempuan muda yang yang berusia 28 tahun yang ditinggal oleh suaminya Renopati Wirajuna untuk selama-lamanya karena korban kecelakaan di ruas jalan Ajibarang-Tegal.

Sebelum akhirnya meninggal, Reno mengalami koma selama 1 minggu. Dokter juga sudah memberikan keterangan bahwa cedera otak yang dialami Reno kemungkinan untuk sembuh sangat kecil. Misal ada keajaiban untuk sembuh pun, nantinya dalam bermobilitas kesehariannya akan membutuhkan banyak bantuan dari orang lain. Sampai akhirnya sejak semalam hingga dini hari tadi kondisinya semakin menurun, dan tepat pukul 6 pagi tadi Reno dinyatakan meninggal dunia.

"Mari kita pulang, sebentar lagi hujan akan turun. Ibu janji besok kita akan kembali lagi kesini" Perempuan yang disampingnya membujuk Ajeng untuk beranjak.

Ya, dia ibu Sukma. Ibu dari Reno, mendiang suaminya, mertuanya..

Ajeng membetulkan kacamata hitamnya. Berdiri sambil menghela nafas panjang. Ibu mertuanya meraih lengan tangan sang menantu, mencoba untuk saling menguatkan di tengah rundung duka yang menimpa keluarga mereka.

Mereka berjalan beriringan menuju mobil hitam yang sudah menunggu di pintu keluar pemakaman.

"Langsung pulang pak"

Bu Sukma memerintahkan sopir untuk menjalankan mobilnya

"Baik Bu" pak sopir mengangguk dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Tak ada pembicaraan yang berarti didalam mobil, semua terlena dengan fikirannya masing-masing.

Ajeng memandang sendu keluar jendela mobil yang ditumpanginya. Dia benar-benar tidak pernah mengira akan berada di posisi seperti ini. Rasanya seperti mimpi, kejadian semenyakitkan ini harus terjadi padanya. Di usia pernikahan yang baru menginjak tahun ke 2, dan sampai sekarang mereka belum dikaruniai seorang anakpun. Akan seperti apa kehidupan yang dia jalani sekarang? Terombang-ambing oleh ombak kehidupan, sendirian? tanpa pegangan? bahkan untuk sekedar menguatkan pun sudah tak ada.

Reno dan Ajeng, pasangan beda generasi, yang terpaut jarak 8 tahun itu mencoba untuk menyatukan diri mereka dalam satu ikatan. Yaitu pernikahan.

Hari-hari menjalani biduk rumah tangga mereka lalui seperti suami-istri pada umumnya. Reno dengan segudang aktivitasnya sebagai pemborong sukses yang mengikuti jejak Ayahnya, sementara Ajeng hanya sebagai pendamping setia yang ada di samping Reno, dari mulai Reno membuka mata sampai memejamkan matanya kembali, Menyiapkan segala kebutuhan Reno. Sikap posesif yang dimiliki Reno sedikit banyak menjadikan Ajeng terbatasi dengan aktivitas kesehariannya.

Bisa dikatakan bahwa Ajeng berporos pada Reno, dan segala hal yang dilakukan adalah untuk Reno. Fix dia istri sejati!

2 tahun bersama bukan waktu yang sebentar, juga tak bisa dikatakan lama. Karena banyak sekali kisah dan pembelajaran yang mereka dapati.

Reno mempunyiai 2 saudara. Seorang kakak perempuan dan seorang adik laki-laki sebaya dengan Ajeng.

" Jeng, Ajeng" Ibu sukma mengusap lengannya dengan lembut.

"Ya.. Iya bu? gimana?" Ajeng tersentak dengan panggilan mertuanya.

"Sudah sampai, ayo turun." Bu Sukma melepas seatbeltnya "Oya pak Anto, tolong nanti jam 7 jemput Barata di stasiun ya" Sebelum beranjak keluar mobil, bu Sukma memberikan perintah.

"Njih bu siap" Jawab pak Yanto dengan anggukan kepala.

Ajeng berjalan dengan digandeng bu Sukma memasuki rumah. Ya, rumah hadiah pernikahan dari Ayah Reno dulu untuk mereka. Dan kini dia akan melalui hidupnya sendiri, benar-benar sendiri.

Para pelayat sudah mulai berkurang, meskipun masih ada beberapa yang memilih untuk tinggal. Termasuk ibu Rena, Sucilowati dan Ayah Rena, Rahmat Sudrajat yang sedang berbincang dengan saudara dekat lainnya.

Bu Suci langsung mendekati putrinya, "Sebaiknya kamu istirahat dulu ya Jeng, sejak di rumah sakit kamu kurang istirahat. Mama gak mau sampai nanti kamu sakit. "

"Biar ibu antar ya.." Bu Sukma mengusap lengan kiri Ajeng. Membimbing Ajeng untuk masuk ke dalam kamarnya, memastikan bahwa menantunya itu akan beristirahat. Sebelum kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh Ajeng, dan akhirnya beranjak berdiri untuk keluar kamar.

"Ibu.. Maafkan Ajeng. Ajeng seharusnya tidak seperti ini, seharusnya Ajeng yang menguatkan ibu, bukan Ajeng yang dikuatkan ibu" Ajeng menarik tangan ibu mertuanya sehingga langkah kaki ibu mertua terhenti.

"Ssstttt, Ajeng". Bu Sukma langsung duduk memeluk Ajeng dengan erat. " Kita lewati ini bersama, kita harus saling menguatkan, ibu sudah pernah berada diposisi seperti kamu, ibu tahu betul apa yang kamu rasakan saat ini, sudah cukup perbanyak istighfar dan doa untuk Reno ya, InshaAllah memang ini jalan yang terbaik untuk semuanya" Bu Sukma melepaskan pelukannya sembari membenarkan rambut Ajeng yang menutupi sebagian wajahnya. " Sekarang beristirahat lah, ibu dan mamamu akan menyiapkan acara tahlil yasin untuk nanti malam ba'da isya." Bu Sukma beranjak keluar dari kamar Ajeng dan menutup pintu dengan perlahan.

Bu Sukma merupakan sosok mertua yang sangat, sangat baik hati. Ajeng tidak pernah sungkan bahkan lebih merasakan seperti Ajenglah anak bu Sukma. Bukan Reno. Sejak berumah tangga dengan Reno, bu Sukma adalah orang yang paling memperhatikan Ajeng, dibanding Reno suaminya sendiri. Mungkin karena Reno jarak Reno dan Ajeng yang terlalu jauh sehingga Reno kurang bisa mengimbangi Ajeng, hingga Bu Sukma yang lebih sering berada di pihak Ajeng.

Sepeninggalan ibu mertuanya, Ajeng hanya diam mengedarkan seluruh pandangannya ke setiap sudut kamar. Sebelum suara ponsel tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

"Asalamualaikum, Ajeng? ". Suara seorang laki-laki yang sangat familiar di telinganya, " Halo jeng, apa kau mendengarku?" Suara yang sama dari panggilan yang sama membuat air mata yang sudah mengering seketika mulai memenuhi pelupuk matanya.

"Ya, Walaikumsalam. " Suara balasan yang terdengar enggan untuk menjawab akhirnya keluar dari mulutnya.

" Aku sedang dalam perjalanan, jam 7 aku sudah sampai di stasiun, aku harap kau baik-baik saja, tunggu aku"

tut.. tuttt.. tuttt

Telepon dimatikan sepihak oleh orang diseberang sana.

Ajeng menghela nafas panjang, Ya telepon barusan adalah Barata..

Barata Aji Dewandaru

*************

Cerita kedua saya selain Pesona Guru KB.

Saya ingin mengembangkan imajinasi selain dengan Bu Rena di novel Pesona Guru KB. Semoga teman-teman berkenan membaca dan mensupport saya.

Terimakasih 🤗

Jangan lupa tekan jempol dan votenya ya, boleh juga di tambahkan di favorit ya dengan tekan hati. Agar teman-teman dapat mengetahui update terbaru cerita aku. Bisa juga follow IG q wiwit widiawati.

Terimakasih banyak🤗🤗

Semoga melalui tulisan, saya dapat menyampaikan pesan moril yang baik aamiin.

Cerita ini 80 persen fiktif, mohon maaf apabila ada persamaan tokoh dan ceritanya terlalu rumit. Selamat membaca 🤗

ini benar-benar karya orisinil saya, mohon apresiasi dengan meninggalkan jejak setelah selesai pada satu bab. Vote dan komen sangat saya hargai. Terimakasih 😘

2

Jam menunjukan pukul 19.15 tepat saat acara tahlil yasin dimulai. Ajeng yang duduk diapit oleh mertua dan ibunya di kanan-kirinya terlihat begitu rapuh. Dia sedari tadi hanya berdiam diri, namun justru diam dirinyalah yang membuat orang disekelilingnya takut.

Suara surat yasin terdengar mengalun di telinganya, dia hanya diam. Menyimak sesekali membuka quran kecil yang dipegangnya, untuk mengikuti bacaan yang sudah berganti lembar itu.

Jilbab putih yang senada dengan warna gamisnya tersampir di kepalanya, menutup sebagian rambut hitam sebahunya yang diikat asal. Mata sayunya fokus melihat huruf hijaiyah yang terangkai menjadi bacaan yang mampu menenangkan diri.

Hingga satu jam berlalu, bacaan yasin tahlil berakhir, dilanjutkan dengan ucapan terimakasih oleh ayah Ajeng sebagai perwakilan dari keluarga atas kehadiran dan ketersediaan para tetangga dan kerabat yang telah membacakan yasin tahlil untuk Reno. Dan meminta kegiatan tersebut untuk dilakukan selama 7 hari berturut-turut.

Kerabat dekat masih ada juga yang berdatangan, bahkan ada juga yang dari luar kota. Ajeng hanya bisa tersenyum kala mereka Semua memberikan semangat untuknya. Baginya ini terlalu singkat, terlalu aneh dan dia seperti belum bisa mempercayainya.

Hingga tiba-tiba saja ibu mertuanya datang bersama seseorang yang selama ini paling dia hindari.

"Jeng, Barata" ibunya berbisik di telinganya.

Dan, tak ada yang bisa di lakukan selain hanya memandang datar Barata. Adik Reno, adik iparnya.

"Yang sabar dan tabah ya" Barata berucap sambil mengelus bahu kirinya.

Tak ada respon apapun dari Ajeng. Hingga mama Ajeng akhirnya mengajaknya untuk istirahat, masuk kedalam kamarnya.

"Istirahat ya sayang"

Setiba dikamar sang mama duduk di sebelah ranjangnnya.

"Mas Reno kenapa pergi ninggalin Ajeng sendiri ma? " ucapnya dengan matanya yang tak lepas figura foto pernikahannya. Mengambilnya dari nakas sebelah tempat tidur dan memeluknya erat tepat di dadanya.

Sedangkan mama yang tak kuasa menjawab hanya merengkuh dan memeluk Ajeng.

Terdengar isakan yang memilukan,

"Menangislah, keluarkan semuanya agar kamu merasa tenang" mama memeluknya erat sambil mengusap punggungnya.

"Kamu tahu Ajeng? Kadang ada pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban, percayakan semuanya kepada sang pemberi hidup. Sedangkan kita hanya dituntut untuk terus menjalankan semua yang sudah di gariskan. Yaitu takdir. Takdir kita tidak akan pernah terlewati oleh kita, sedang yang bukan untuk kita, tidak akan pernah melewati kita. Cukupkan Allah sebagai sebaik-baik pemberi takdir."

Suara tangisan Ajeng mulai terhenti, nafasnya yang sedari tadi memburu sudah mulai teratur. Cukup membuat tenang sang mama.

Mama melepas pelukannya, mengusap lembut air matanya, dan membenarkan beberapa anak rambut yang menutupi dahinya.

"Sekarang istirahatlah, besok kita akan ke makan suamimu, menabur bunga, bagaimana?" Mama mulai membujuk Ajeng.

Tanpa harus berdebat, akhirnya Ajeng menganggukan kepala. Merebahkan dirinya dan menaikan selimut sampai ke batas dagu.

"Kalau boleh, Ajeng ingin mama nemenin Ajeng tidur di sini ya?" Ajeng memandang harap kewajah mamanya.

"Iya sayang, boleh.Mama tidur disini menemanimu" Jawabnya sambil menggecup dahi anak kesayangannya itu.

Tak butuh lama, akhirnya Ajeng tertidur. Mama Suci keluar dari kamar Ajeng. Menuju suaminya Pak Rahmat untuk memberitahukan keinginan anaknya itu kepada suaminya.

"Sudah tidur Ajeng mbak?" Ibu Sukma yang sedang duduk bersama Barata, Pak Rahmat dan kerabat lainnya langsung bertanya ketika melihat Mama Suci keluar.

"Sudah, habis nangis langsung tidur. Mungkin capek sekali dia" Mama Suci duduk si samping suaminya. "Ajeng ingin mama di sini pak, apa bapak mengizinkan?" Mama Suci meminta izin.

"Tentu saja boleh ma" Jawabnya dengan tersenyum. " Rena benar-benar membutuhkan dukungan kita, dia begitu rapuh" tambahnya.

"Untuk sementara mbak dan mas menginap si sini saja, biar Ajeng ada temannya. Dia masih butuh adaptasi, mungkin juga masih shock dia" Ibu Sukma memberikan saran.

"Kalo mama di sini aja gak papa barang 2 hari, besok bapak ijinkan ke kepala sekolah ibu. Tapi Bapak harus pulang, Ningrum mau pulang apa temenin mama di sini?" Pak Rahmat bertanya kepada Ningrum, putri bungsunya.

"Pulang sama bapak, besok Ningrum ada kuliah pagi, pulang kuliah mampir ke rumah Mbak Ajeng lagi" Ningrum menjawab.

Mama Suci dan Pak Rahmat adalah seorang guru. Ibu Suci masih dinas dan mengajar di TK sementara Pak Rahmat, 2 tahun lalu telah pensiun setelah sebelumnya mengajar di sebuah SD negri di kotanya.

"Kalau begitu Biar Mas Rahmat di antar pak Anto saja ya" Ibu memberi saran.

"Saya bawa mobil bu besan" Pak Rahmat berseloroh. "Biar Ningrum nanti yang membawa, saya yang jadi penumpang ya dek ya?" Imbuhnya sambil menatap Ningrum meminta persetujuan.

Sementara Ningrum hanya menunjukan jari jempolnya tanda setuju, sementara matanya tak lepas dari ponsel pintarnya.

"Baiklah kalau begitu Bapak pulang dulu ya" Bapak berdiri dan berpamitan kepada semua orang yang berada di ruang keluarga dan menyalaminya.

Mama dan Bapak berjalan beriringan menuju ke halaman rumah. Sementara Ningrum sudah berjalan duluan di depan mereka.

"Openi anakmu apik-apik, Bapak ra bisa ndeleng anake dewek kaya ngono, doraka. Aja kelalen kon aja telat maem, mama ra usah mikirna Bapak, Bapak bisa jaga awak dewek, ana Ningrum neng umah. Ngesuk bapak karo Ningrum ngeneh ya" ( Urusi anakmu baik-baik, Bapak tidak bisa melihat anak kita seperti itu, kasihan sekali. Jangan lupa sampai telat makan, mama ra usah memikirkan Baapak, Bapak bisa jaga diri, ada Ningrum di rumah. Besok bapak sama Ningrum kesini ya).

"Nggih pak, Bapak atos-atos nggih" (Iya Pak, Bapak hati-hati ya).

Ningrum datang dengan mengendarai mobil inova hitam milik keluarganya. Berhenti tepat di depan Pak Rahmat berdiri. Mama menyalami Bapak sebelum Bapak masuk ke dalam mobil. Dan melambaikan tangan setelah mobil mulai berjalan.

"Hati-hati Rum bawa mobilnya" Ibu sedikit berteriak dan hanya dibalas dengan suara klakson dari Ningrum.

Sementara di ruang tengah keluarga Reno masih berkumpul, membicarakan tentang perusahaan Reno kedepannya mau bagimana.

Ajeng yang seharusnya meneruskan bisnis suaminya, namun sepertinya itu tidak akan mungkin. Itu diluar batas kemampuan dia.

Dan untuk di serahkan kepada Barata yang notabennya Adik Reno pun sepertinya tidak mungkin, Barata adalah anggota dari TNI AD. Jebolan bintara pada tahun 2010 itu kini sudah menyandang pangkat Sersan Kepala. Sersan Kepala atau Serka ini adalah pangkat bintara ketiga dalam kemiliteran di Indonesia, satu tingkat dibawah Sersan mayor, dan satu tingkat diatas Sersan satu.

Dan dia menjabat sebagai pasukan pengaman presiden atau Paspampres, yang bertugas dalam mengawal presiden dan wakil presiden secara fisik langsung dari dekat setiap saat dan dimanapun berada.

Tidak hanya presiden dan wakil presiden tetapi juga kepada tamu negara setingkat kepala negara atau pemerintahan beserta keluarganya. Baik di lingkungan istana kepresidenan maupun diluar lingkungan istana kepresidenan.

Mempunyai karir dan bagus dengan tiga pangkat yang tersemat di bahu kirinya tak sebanding lurus dengan kisah percintaannya, hingga akan menginjak usia 30 tahun dia masih terjebak dalam kisah cinta masa lalunya. Barata yang malang.

Karena tidak memungkinkan untuk meneruskan usaha kakanya yang terkendala jarak dan waktu itu maka, opsi terakhir kini adalah Mas Bayu. Mas Bayu adalah suami dari Mbak Runti, kakak perempuan Reno. Dia satu-satunya orang yang dapat dipercaya untuk mengurus usaha yang telah di bangun dengan susah payah oleh Reno. Tentunya akan dibahas lagi nanti setelah kondisi Ajeng membaik. Bagaimanapun Ajeng berhak tau.

3

Ajeng POV

Aku fikir, aku sudah tertidur lama. Ku lihat jam di atas nakas menunjukan pukul 23.05 WIB. Ternyata baru sekitar 2 jam aku memejamkan mata . Ku lihat ranjangku yang terlalu besar untuk kuhuni sendiri, ya terlalu besar. Kini akan ku tempati sendiri, entah sampai kapan, selamanya.. Mungkin, aku tak tahu.

Sudah satu minggu belakang ini aku sama sekali belum tidur dengan benar, mendampingi suamiku di ICU, yang tergolek tak berdaya dengan banyaknya alat medis yang akupun tak tahu apa itu. Yang aku tahu semua alat itu yang akan menjadikan suamiku sembuh.

Rasanya seperti mimpi, begitu cepat dan berakhir terlalu sakit!!!!

Dan ternyata takdir tak berpihak kepadaku, takdir merenggut dia dariku dengan paksa, takdir mentertawakan ku, ya demikian kejamnya takdir padaku.

Hatiku rasanya seperti terhimpit batu besar, sesak dan nyeri. Aku tak pernah menyangka akan berada di posisi sekarang ini, terpuruk sendiri, menangisi kepergiannya seorang diri seperti ini, di sudut kamar didalam kegelapan malam.

Suara-suara orang yang sedang berbincang terdengar samar. Sesekali hening sama sekali tak ada suara, kemudian terdengar kembali dan begitu seterusnya.

Aku teramat lelah, sangat lelah. Kalau boleh, bisakah aku ikut pergi juga dengannya? aku menyesali waktu, dimana saat dia mengajakku untuk pergi bersamanya sebelum kejadian itu, aku lebih memilih untuk tetap tinggal dirumah. Dengan beralasan mama akan datang.

Dan memang mama datang, untuk menyambangiku yang katanya akhir-akhir ini begitu khawatir kepadaku. Entahlah perasaan seorang ibu memang begitu kuat. Hingga tak lebih dari satu jam setelah dia pergi, dan mamaku baru menginjakan kaki, keluar dari taksi online, aku menerima kabar bahwa suamiku mengalami kecelakaan lalu-lintas.

Semua terjadi begitu cepat, aku tak memperdulikan diriku kala itu, langsung memasuki taksi online yang baru saja mama turuni, dan kami pergi bersama menuju rumah sakit dimana Reno di rawat. Di dalam mobil mama terus menguatkanku, membimbingku untuk terus beristighfar. Dan aku hanya bisa mengikuti perintahnya dengan air mata yang terus berderai dari kedua mataku.

Hatiku hancur manakala melihat kondisinya, dan bertambah remuk redam saat mendengar perkataan dokter bahwa cedera otak yang dialami oleh Reno cukup parah, dan kemungkinan untuk sembuh sangat kecil. Misalpun ada keajaiban untuk sembuh, nantinya dalam bermobilitas kesehariannya, dia akan membutuhkan banyak bantuan dari orang lain.

Entah apa yang aku rasakan kala itu, bingung, marah, kecewa, tapi pada siapa? aku sama sekali tak bisa melampiaskan perasaanku kepada siapapun. Yang aku bisa lakukan hanya menangis, memohon di depan suamiku agar dia bangun. Entah dia dengar atau tidak perkataanku selama dia koma, setiap hari aku hanya memohon kepadanya untuk segera sadar, melihat aku yang berada di sampingnya, bertahan untukku. Untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang sudah kita rajut bersama. Hingga pagi tadi dia benar-benar menyerah. Meninggalkanku dengan hati yang terkubur bersama raganya.

Aku benar-benar kecewa, menyalahkan segalanya kepada Tuhan. Bagiku Tuhan begitu kejam padaku, berkali-kali dia memberiku cinta, berkali-kali juga dia remukan cinta itu.

Untuk apa aku diberikan rasa cinta bila berakhir dengan kesakitan yang tiada akhir? untuk apa dia mengirimkan orang yang hanya singgah dan menorehkan luka? untuk apa? untuk apa?

Reflek ku bating segala benda yang ada di nakas samping tempat tidur. Hingga menimbulkan suara yang mampu memekankan telingaku dan tak butuh waktu lama, suara pintu kamar yang dibukak secara kasar terdengar, bersamaan derap langkah orang-orang menujuku. Menangis dan berteriak menghawatirkan keadaanku.

Dadaku semakin sesak akibat tangisku yang tertahan dan tak bersuara, dan seketika kurasakan sepasang tangan kekar merengkuh tubuhku bersamaan dengan hilangnya kesadaranku.

"Dia hanya pingsan, tidak perlu khawatir. Saya akan memasang infus untuk mbak Ajeng agar tubuhnya tidak begitu kehilangan banyak cairan."

Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri, sampai akhirnya samar-samar kudengar suara asing di telingaku.

"Baiklah kalau begitu terimakasih banyak pak"

Kali ini suara mama yang aku dengar.

"Diusahakan jangan terlalu banyak fikiran, harus selalu di dampingi ya bu, diberikan support terus jangan di tinggal sendiri" Suara asing itu terdengar kembali.

"Iya Pak" kini terdengar suara ibu menjawab.

Aku memang mendengar suara-suara di sekitarku, tapi rasanya begitu enggan mata ini membuka. Aku benar-benar lelah. Sama sekali tak ingin berfikir maupun melihat sekelilingku saat ini. Yang aku inginkan adalah segala memory hari ini hilang dari fikiranku. Hanya itu.

Hingga kurasakan sudah tak ada lagi orang di dalam kamarku. Dan ketika aku baru saja akan mulai membuka mata, ku dengar suara dering ponsel.

"Ya halo Nit"

Suara yang tak asing bagi telinga dan hatiku.

"Ya, aku sampai tadi jam 7, maaf belum sempat mengabarimu"

"....... "

"Iya datanglah kerumah"

"..... "

"Aku belum bisa memutuskan Nit, keluargaku sedang berduka"

"..... "

"Aku mohon mengertilah"

".... "

"Terserah kau saja"

"....... "

"Iya, akupun sama. Selamat malam"

Mataku masih terpejam, setelah mendengar suara yang benar-benar aku hindari selama ini, aku benar-benar tak ingin membuka matu. Hingga kurasakan dia mendekat kepadaku, menarik kursi di sebah ranjangku.

"Apa kabar Sweetbrown? Masihkah boleh aku memanggilmu seperti itu? ahh, kau bertambah manis sekali"

Kurasakan jemarinya menggenggam erat jariku, mengusap lembut cincin pernikahanku dengan Reno.

"Masih banyak pertanyaan dan pernyataan yang ingin aku sampaikan, tapi semua sudah tak mungkin lagi bisa terucap. Aku sudah tidak mungkin lagi berhak bertanya maupun menjelaskan, aku sudah terlalu dalam melukaimu"

Kutahan kuat-kuat air mataku agar tidak sampai lolos. Memilih lebih mengeratkan kembali kelopak mataku.

"Kalau saja, kalau saja kau sabar menungguku, memberi aku waktu untuk menjelaskan semuanya, mungkin semuanya tidak akan pernah seperti ini jadinya, maafkan aku"

Tangannya meremas lembut jariku, dapat aku rasakan tangannya bergetar, entahlah. Aku begitu lelah hanya untuk sekedar menerka-nerka.

"Aku sebentar lagi akan menikah Sweety, dan orang itu bukan kamu... "

"Sayang, ngapain... mau nemenin mama dan Ajeng disini?"

Kali ini kudengar suara mama yang menghampiri. Reflek dia melepas genggaman tangannya padaku.

"Kasihan Ajeng sendiri ma, jadi aku nungguin dia sampai mama datang"

"Ya sudah beristirahatlah, pasti kamu cape kan. Biar mama di sini menemani Ajeng, kamu bukan muhrimnya"

Suara tawa mama dan dia terdengar tertahan. Mungkin takut aku terbangun. Hingga akhirnya suara pintu tertutup dan ranjangku bergerak, pertanda mama mulai menaikinya. Tidur di sebelahku dan memeluku dengan erat.

"Selamat beristirahat sayang" suara halusnya terdengar di telingaku disusul dengan kecupan hangat di keningku.

Dan hari-hari panjangku yang suram kini dimulai

🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!